Minggu, 13 Mei 2012

SOSIOLOGI POLITIK

PATRONASE AGAMA DALAM KEHIDUPAN POLITIK LOKAL
“Runtuhnya Nilai-Nilai Tradisional Agama pada Masyarakat”

Oleh
Prof. Dr. Musafir Pababbari M.Si  


A.    Agama dalam Kajian Ilmu Sosial
Pada tanggal 19 Februari 1870 di Royal Institution di Landon, Fredrich Max Muller menyampaikan kuliah perdananya dengan penuh semangat, dan yang kemudian di cetak dalam sebuah buku sebagai dokumen besar bagi studi agama di dunia yang diberi judul Introduction to the Science of Religion (Wach 1958). Max Muller di puji karena pengetahuannya yang dalam tentang Hinduisme dan tulisan-tulisannya yang popular dalam bahasa dan metologi. Ungkapan atau frasa the science of religion menyentak perhatian para pendengarnya, karena selama ini telah berkembang suatu pendapat bahwa science itu bertentangan dengan religion. Bagaimana mungkin keyakinan atau kepercayaan yang sudah pasti (religion) itu bisa di campur dengan program studi yang diabdikan pada eksperimen, revisi dan perubahan (Science). Muller yakin bahwa dua hal itu dapat digabung menjadi satu. Dia percaya bahwa studi ilmiah tentang agama akan mengungkapkan dua sisi itu. Hal itu dibuktikan dari kuliah yang disampikan itu yang diberi judul Introduction to the science of religion. (Wach 1958 : 3). Perlu dicatat juga bahwa Max Muller telah menyusun The sacred books of the east lima puluh jilid yang dimulai pada tahun 1875 yang berisi terjemahan kitab-kitab suci agama-agama Timur (Ali 1990:9).
Kajian Muller tentang agama telah diikuti oleh beberapa ilmuwan sesudahnya dari berbagai perspektif yang berbeda-beda. Misalnya Taylor dan Frazer melakukan kajian tentang animisme dan magi yang dipandang sabagai bentuk awal agama, Freud mengkaji agama dan kepribadian, dan Geertz meninjau agama sebagai system budaya (Robertson 1993). Di samping itu, khusus  yang menyorot dan menganalisis agama dari aspek sosiologis misalnya Marx memandang agama sebagai suatu alienasi (Johnson1986), Weber menganalisis ciri-ciri utama dari agama dunia, dan karyanya yang sangat terkenal yang mengundang sejumlah perdebatan di kalangan tradisi intelektual yaitu tesis Weber tentang The protestant ethic and the spirit of capitalism. Durkheim menyorot tentang dasar-dasar sosial agama dalam karyanya yang berjudul The Elemntary Form of Religious Life. Talcott Parson menyorot tentang agama dan masalah makna yang dipublikasikan dalam Essays in sociological theory, Stark dan Glock tentang dimensi–dimensi keberagamaan, Bellah tentang evolusi agama, Alford tentang agama dan politik Demerath menyoroti tentang agama dan klas sosial di Amerika dan masih banyak lagi analisis-analisis yang menggunakan interpretasi sosiologis. (Robertson,1993) Dalam dunia Islam penulis-penulis muslim juga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menggunakan intrepretasi sosiologis diantaranya adalah Ali ibn Sahl Rabban al-Tabari (meninggal tahun 854) menulis kitab yang sangat terkenal Kitab al-Din wa al-Daulah. Di Mesir Muhammad Abduh (1849-1905) dengan kitabnya Risalah al Tauhid juga meninjau agama dari segi sosiologis (Mukti Ali 1990 :9 -15)
Perkembangan studi agama dalam analisis sosiologis sebagai bidang kajian dan studi ilmiah Islamic studies (Dirasaat islaamiyyah) telah bekerja dengan data yang mengandung makna-makna keagamaan dalam masyarakat atau komunitas, kelompok atau individu muslim, Karena itu, ia sangat membutuhkan bantuan metodologis dari sudut pandang Religionswissenschaft yang mengharuskan para peneliti untuk memperhatikan secara penuh apa yang di maksud dengan “beragama” dan “agama” dalam masyarakat muslim dan oleh para sarjana muslim. Ia juga membutuhkan bantuan metodologis dari sudut pandang studi agama untuk melihat makna keagamaan tertentu dari data yang menjadi consern muslim dan kemudian menentukan bagaimana data tersebut diorganisir ke dalam suatu perangkat struktur dan system yang koheren. Tidak cukup berhenti sampai di situ, usaha itu perlu dilanjutkan dengan menyusunnya kembali menjadi pola keagamaan yang bersifat umum, yang berlaku bagi setiap pemeluk agama-agama yang hidup sekarang ini. Ia juga membutuhkan bantuan metodologis dalam berbagai studi tentang data keagamaan untuk dapat memahami bahwa semua agama yang memiliki kendaraan histories-empiris yang khusus dapat memiliki elemen makna keagamaan yang sama,yang difahami secara transcendental–universal. Data keagamaan yang bersifat normative-teologis ini pada saat yang sama mempunyai muatan histories, sosial, budaya dan politik. Jadi dalam bentuknya yang histories-empiris,agama selalu menjadi bagian dari setting histories dan sosial dari komunitasnya, namun pada saat yang sama secara fenomenologis ia mempunyai pola umum (general pattern) yang dapat dipahami secara intuitif dan intelektual sekaligus oleh manusia di mana pun mereka berada. (Martin 2001:iii).
Dua dekade terakhir ini semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang Islamic studies dan perhatian akan problem yang dihasilkan dari berbagai approach atau pendekatan ini. seperti misalnya pendekatan sosiologis yang menganalisis data keagamaan, semakin terasa pentingnya mengembangkan studi agama-agama dalam perspektif  ilmu-ilmu sosial. Hal ini disebabkan karena semakin berkembangnya tehnik dan metode pendekan ilmu-ilmu sosial yang dapat menjangkau seluruh fenomena sosial termasuk didalamnya fenomena sosial keagamaan.
B.    Kajian Sosiologis Tentang Patronase
Studi mengenai hubungan patronase masih bersifat marginal di akhir tahun lima-puluhan dan awal tahun enam puluhan menjadi semakin penting artinya akhir-akhir ini, baik dalam disiplin antropologi, sosiologi maupum politik. Ada beberapa factor yang mendorong terjadinya perubahan ini. Pertama, semakin meluasnya objek dari studi gejala semacam ini. Dari studi hubungan antar person yang terbatas sifatnya menjadi studi tentang berbagai hubungan sosial dan hubungan antar organisasi. Kedua, kajian masalah hubungan patronase ini kemudian mencakup berbagai macam masyarakat yang terdapat diberbagai tempat di dunia, tidak lagi terbatas hanya di Amerika Selatan, dimana hubungan semacam ini tanpak mencolok. Kesadaran dikalangan para ilmuwan sosial mengenai pentingnya studi ini, oleh karena gejala tersebut rupanya tetap bertahan di daerah-daerah yang sudah mengenal politik demokrasi atau system politik yang dapat berfungsi dengan baik serta semakin eratnya hubungan studi ini dengan perkembangan teori pertukaran sosial. (Putra 1988:1-2).
Kendatipun kajian mengenai gejala patronase telah banyak dilakukan oleh ilmuwan sosial, namun gema kegiatan ini masih cukup lemah di Indonesia.Ini tidak berarti bahwa gejala patronase tidak ada di Indonesia, tetapi sebaliknya gejala tersebut cukup signifikan untuk diteliti sebagai suatu gejala sosial yang menarik, terutama di daerah-daerah pedesaan.
1.    Pengertian Patronase
Dalam kajian ini, ada beberapa definisi yang telah disampaikan oleh para sosiolog di antaranya adalah Jemes C. Scott, Peter Burke dan Sydel F. Silverman dijadikan pegangan untuk menganalisis gejala patronase yang terjadi di wilayah studi ini. Scott (1972) mengatakan bahwa hubungan patronase mengandung dua unsur utama yaitu pertama adalah bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak lain, entah pemberian itu berupa barang ataupun jasa, dan bisa berbagai ragam bentuknya. Dengan pemberian itu pihak penerima merasa berkewajiban untuk membalasnya., sehingga terjadi hubungan timbal balik. Kedua adanya unsur timbal balik yang membedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan atau hubungan karena adanya wewenang formal ( Putra 1988:3).
Selanjutnya Scott juga mengemukakan bahwa hubungan patronase ini mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan hubungan sosial lain yaitu pertama terdapatnya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran. Kedua adanya sifat tatap muka (face to face character). Dan ketiga adalah sifatnya yang luwes dan meluas (diffuse flexibility), (Putra 1988:3).
Menurut Burke Patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara. Antara pimpinan (patron) dan pengikutnya (Klien). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan,bahasa yang hormat, hadiah dan lain-lain). Di sisi lain, patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada kliennya. (Burke 2001:106)
Menurut Silverman Patronase sebagai sebuah pola lintas budaya dapat didefinisikan sebagai hubungan kontraktual antara orang-orang dengan status dan kekuasaan yang tidak sama, yang memberlakukan kewajiban-kewajiban timbal balik dan jenis yang berbeda pada masing-masing pihak. Minimum, yang diberikan adalah perlindungan dan pertolongan di satu pihak dan kesetiaan di lain pihak Hubungan ini dibangun diatas landasan pribadi dan berhadapan muka, serta berlanjut (Frank Mc.Glynn dan Arthur Tuden 2000:244).
Agar hubungan ini berjalan dengan baik, diperlukan adanya unsur-unsur tertentu didalamnya. Unsur pertama adalah bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak yang lain, entah pemberian itu berupa barang ataupun jasa dan bisa berbagai ragam bentuknya. Kedua dengan pemberian itu pihak penerima merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya, sehingga menjadi hubungan timbal-balik. Adanya unsur timbal balik inilah yang menurut Scott yang membedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan (coercion) atau hubungan karena adanya wewenang formal (formal authority). Selain itu hubungan patronase ini juga perlu didukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien) melakukan penawaran, artinya bilamana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi seperti yang diharapkan, dia bisa menarik diri dari hubungan tersebut tanpa terkena sanksi sama sekali. Hubungan patronase mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan hubungan sosial lain. pertama, terdapatnya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran. kedua, adanya sifat tatap muka  (face to face character) dan ketiga adalah sifatnya yang luwes dan meluas (diffuse flexibility) (Putra 1988 : 3)
2.    Patronase Sebagai Realitas Sosial
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris, maka patronase sebagai realitas sosial menjadi pokok persoalan yang diteliti dalam sosiologi sebagai fakta sosial. Menurut Durkheim (Ritzer 1992) Fakta sosial dinyatakannya sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Arti penting pernyataan Durkheim ini terletak pada usahanya untuk menerangkan bahwa fakta sosial tidak dapat dipelajari melalui introspeksi. Fakta sosial harus diteliti di dalam dunia nyata (empiris). Fakta sosial hasil karya Durkheim yang tertuang dalam bukunya The Rules of sociological Method (1895) dan Suicide (1897) telah menjadikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri lepas dari pengaruh filsafat dan psikologi.
Menurut Durkheim fakta sosial terdiri atas dua macam yaitu (1) dalam bentuk material atau sebagai barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi karena merupakan bagian dari dunia nyata. (2) dalam bentuk non material yaitu sesuatu yang dianggap nyata sebagai fenomena yang bersifat inter subyektif yang hanya muncul dalam kesadaran manusia. Berdasarkan konteks teoritik Durkheim, maka patronase merupakan sebuah fakta sosial yang secara paradigmatik menurut Durkheim hanya dapat dijelaskan dengan fakta sosial itu sendiri. Berdasarkan pranata dan struktur sosial sebagai pengaruh internal, sekaligus merupakan fakta sosial untuk dapat menjelaskan sekaligus memahami suatu tindakan sosial seseorang atau kelompok. Konsep Durkheim tersebut merupakan suatu asumsi teoritik fungsionalisme yang melihat konsep masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi dalam realitas sosial. Sehingga perubahan pada suatu elemen sosial akan mempengaruhi elemen sosial lainnya (Perdue, 1986). Dengan kata lain bahwa asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap struktur sosial lainnya (Ritzer, 1992). Dengan demikian, patronase dapat dilihat sebagai suatu pranata sosial yang memiliki pengaruh fungsional atau mendapatkan pengaruh yang fungsional dari struktur ataupun pranata-pranata sosial lainnya.
Gejala patronase dapat juga dilihat dari sudut pandang paradigma interaksionisme simbolik, melalui analisis tindakan sosial dari Weber. Perhatian interaksionisme symbol terhadap dimensi subyektif sejajar dengan tekanan Weber pada pemahaman arti subyektif dari tindakan sosial individu. Teori interaksi symbol tidak melihat tingkat subyektif dalam cara yang sama seperti Weber, juga tidak didasarkan pada perspektif Weber secara eksplisit. Weber bergerak lebih jauh melebihi analisa tindakan dan arti subyektif untuk melihat pola institusional dan budaya yang luas. Interaksionalisme symbol memusatkan perhatiannya terutama pada tingkat interaksi antar pribadi secara mikro (Johnson 1981: 4).     
Konsep Weber tentang tindakan sosial, dalam konteks ini dapat diasumsikan bahwa gejala patronase adalah sebuah hubungan sosial, dengan dasar asumsi bahwa terdapat sebuah tindakan yang terpola di mana beberapa orang aktor yang berbeda melakukan hubungan dengan tujuan/motif tertentu dalam sebuah interaksi. Dengan demikian secara kontekstual dari konsep teoritik Weber tentang rasionalitas dalam suatu tindakan sosial, maka patronase merupakan sebuah pranata yang dapat dijelaskan secara impersonal melalui tindakan antar hubungan sosial (sosial relationship). Menurut Weber, sejauh tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor individu tersebut mengandung makna dan memiliki hubungan serta terarah kepada orang lain ,maka telah terjadi hubungan sosial. Syarat dari hubungan sosial tersebut adalah terjadinya saling penyesuaian (mutual orientation) antara orang yang satu dengan yang lain.
Dasar paradigma Weber berkaitan dengan teori aksi (action theory) yang melihat tindakan sosial merupakan suatu proses keterlibatan aktor dalam pengambilan keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan yang telah di pilih, yang kesemuanya itu dibatasi kemungkinannya oleh system budaya, baik itu norma, ide ataupun nilai-nilai sosial sebagaimana didukung oleh Talcott Parson (Perdue, 1986).
Patronase sebagai realitas sosial yang muncul sebagai fakta empirik dapat dilihat pada  a). hubungan patron client    b). politik patron client.  serta  c). Agama patron client.
a.    Politik Patron Client
Para sosiolog telah banyak membuat analisis tentang cara kerja patronase. Di Inggris misalnya, pada abad ke 15 pemilikan lahan merupakan tujuan utama para lelaki dewasa, dan persaingan perolehan tanah kadang-kadang memerlukan tindak kekerasan, seperti halnya perampasan tanah keluarga  John Paston di Gresham oleh tetangganya yang bernama Lord Moleyns, dalam kasus ini hubungan antara pemimpin lokal ( lord atau master) dan pengikut-pengikutnya (well Willers) adalah merupakan dasar bagi organisasi masyarakat. Orang kecil membutuhkan “pemimpin yang baik” dari orang besar. Para pengikut mencintai pemimpinnya tidak hanya dengan penghormatan tetapi juga hadiah. Dilain pihak pemimpin membutuhkan pengikut untuk meningkatkan kehormatan atau pemujaan 
Kajian hubungan patron-klien dalam kehidupan politik dapat di lihat pada tahun 1920 an di mana Lewis Namier mengemukakan pendapatnya bahwa partai Whig (cikal bakal partai liberal di Inggris) dan Tory (nama lain partai konservatif) kedua partai ini merubut simpati dari kader-kadernya bukan dipersatukan oleh ideology atau program melainkan hubungan patron klien antara pengikut dengan pemimpinnya. (Burke 2001 : 108) 
Juga beberapa kajian terbaru tentang politik Prancis pada abad ke 17 telah memanfaatkan perkembangan literature sosiologi tentang patronase. Mereka mencatat ,misalnya bagaimana Kardinal Richelieu memilih pembantu-pembantunya berdasarkan pada pertimbangan personal ketimbang impersonal, dengan kata lain, yang ia cari bukanlah calon-calon terbaik untuk mengisi jabatan tertentu, melainkan memberikan jabatan  itu kepada kliennya (Burke 2001: 110), juga kajian Sharon Kettering tentang patron-klien, ia menyatakan bahwa jaringan patronase sejalan dan saling melengkapi dengan pranata-pranata politik resmi Perancis abad ke 17, bahwa  ritual sosial pemberian hadiah adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik, (Burke 2001 : 121).
Di Indonesia, kecenderungan pembentukan pola hubungan patronase, baik dikalangan penguasa maupun masyarakat. Pola hubungan dalam konteks ini bersifat individual, terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak, (Gaffar, 2000: 109). Dalam interaksi politik, masing-masing mempunyai kedudukan yang saling membutuhkan penawaran untuk dipertukarkan karena Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan perhatian dan kasi sayang bahkan bisa berupa kekayaan harta benda atau uang. Sementara klient memeliki sumber daya berupa tenaga ,dukungan dan loyalitas. Pola hubungan tersebut tetap terpelihara karena masing-masing pihak saling tergantung dan menguntungkan disamping itu pula, pola patronase ini kadang melibatkan pihak ketiga yang sering disebut sebagai perantara (brooker atau middleman) yang menghubungkan antara pihak patron dengan klient.
Kecenderungan patronase ini dapat ditemukan secara meluas baik dalam lingkungan birokrasi maupun masyarakat dalam hubungannya dengan mobilisasi dan partisipasi politik. Seorang pengamat kawakan terhadap masyarakat dan sejarah Indonesia, WF. Wertheim, mengajukan politik patron klient sebagai pola kehidupan politik Indonesia (Wertheim 1969:10) itu berarti bahwa pengelompokan politik tidak didasarkan atas aliran budaya maupun solidaritas klas, tetapi berdasarkan hubungan antara para patron dengan klient mereka yang merupakan hubungan yang tak putus-putus. (Kuntowijoyo, 1993: 145). Hubungan patron–client  juga telah diamati oleh Karl D. Jackson dalam kajiannya mengenai mobilsasi pedesaan dalam gerakan Darul Islam di Jawa Barat. Dalam kajian itu ia menyimpulkan bahwa dukungan dan penolakan rakyat terhadap mobilisasi itu begitu banyak bergantung kepada para pemimpin desa, yang pada gilirannya bergantung kepada pendapat koneksi mereka di kota, bukan atas dasar keagamaan semata-mata. (Jackson 1971:12-17), namun berbeda dengan Partai Tarekat (Maarif 1993:173)  sebuah kelompok yang dipersatukan oleh ideologi dan juga hubungan mereka dengan sang pemimpin terutama sekali pada kasus memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Politik patron-klien juga memiliki dimensi ekonomi. Dengan merujuk kepada hasil pemilu tahun 1955 dan pemilu lokal tahun 1957, Wertheim (1969) mengamati afiliasi politik dalam beberapa tingkatan, berhubungan dengan tingkat kemakmuran pada suatu daerah. Basuki Gunawan dari Universitas Amsterdam menghubungkan perbedaan pilar  masyarakat jawa dengan berbagai kelompok sosio-ekonomi, seperti pilar Islam-reformis  umumnya bersandar pada pedagang kota dan pemilik lahan pertanian, dan pilar nasionalis bersandar kepada pejabat, dan sebagian besar mereka yang bersandar kepada pejabat elite birokrat yang mempunyai elemen utama dalam masyarakat, serta pilar Islam orthodoks masih mencari pengikut utamanya di antara kaum santri. Sementara itu, pilar komunis mencari pendukungnya di antara para pekerja di perusahaan industri dan perkebunan dari petani abangan yang miskin (Syamsuddin 2001 :16 ) 
Demikian pula gejala patronase juga terjadi di Kesultanan Palembang, bahwa kekuasaan dan sistem otoritas pejabat agama menggunakan sistem patron klien (Rahim 1998:192)
b.    Agama Patron - Klien 
Gejala patronase pada masyarakat katholik telah diteliti oleh Foster (1961). Dalam agama ini dikenal adanya santo-santo pelindung, baik itu individual ataupun yang komunal. Oleh karena itu ia membedakan dua macam hubungan patron klien, yaitu sebagai relasi antar manusia dan relasi antara manusia dengan seorang tokoh spritual, dalam hal ini para santo yang disebut juga patron.
Orang Tzintzuntzan percaya bahwa kekuatan dan kekuasaan bersumber pada Tuhan. Namun karena kelemahan manusia maka mereka memerlukan seorang santo sebagai tokoh spritual yang dapat berhubungan dengan Tuhan. Di kalangan mereka terdapat banyak santo yang dapat menjadi penghubung atas kepentingan mereka. Mereka menganggap bahwa para santo itu memiliki kekuatan spritual yang mampu berhubungan dengan Tuhan. Hubungan seseorang dengan santo ini sangat pribadi sifatnya.Apabila santo yang dijadikan pelindung banyak memberi berkah maka hubungan mereka berlangsung terus, sedang jika terjadi sebaliknya seseorang bisa mencari ganti santo yang lain sebagai pelindungnya. Dalam konteks kebudayaan seperti inilah tumbuh system patronase dikalangan petani Tzintzuntzan. Di sini model-model yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan mereka gunakan juga dalam kehidupan sosial mereka. dalam hubungan manusia dengan manusia. (Putra 1988:28-29)
Gejala patronase dapat ditemukan pula pada masyarakat Muslim, misalnya pada komunitas tarekat Khalwatiah Samman di Sulawesi Selatan. Pola hubungan khalifah-murid karena adanya system kepercayaan terhadap karamah dan barakah yang dalam bahasa Bugis /Makassar disebut karamak dan barakkak. Anreguru memiliki karamak dan barakkak lalu kemudian memberi karamak dan barakkak itu kepada anakguru, baik berupa benda ataupun wejangan dan nasehat kepada anakguru. Pemberian tersebut dipandang barakkak. Pola hubungan anreguru dan anakguru menjadi kokoh sepanjang masa karena meniti di atas system kepercayaan yang sudah mengakar dalam tradisi tarekat berdasarkan etika dan system kepercayaan sufistik. Kelebihan anreguru dilihat dari segi kemampuan ekonomi, tidak ada yang menonjol kecuali kejujuran dan kepercayaan penganutnya. Penganut tarekat telah menyerahkan dirinya kepada khalifah (anreguru) sejak ia mengucapkan baiat, bahkan khalifah dipandang pemimpin simbolis dan menjadi pusat perhatian untuk diteladani (patron) oleh para pengikutnya (klient). (Hamid 1994: 234-241). 
Pemisahan domain religius tersebut menunjukkan ada konsensus antara kekuatan Islam dengan kekuatan religi local. Hal ini kemudian tertuang pada struktur organisasi sosial masyarakat yang menempatkan dua unsur keagamaan tersebut di dalam aspek kehidupan masyarakat. Hubungan antara masyarakat dengan kyai dan pemangku bersifat saling membutuhkan sehingga terjadi hubungan antara patron (kyai & pemangku) dengan klien (masyarakat).  
C.    Kajian Sosiologis Tentang Otoritas
Kajian sosiologis tentang otoritas telah melahirkan suatu karya monumental dari Weber  The theory of sosial and economic organization. Menurut Weber terdapat serangkaian distingsi-distingsi tipologis yang bergerak dari tingkat hubungan sosial ke tingkat keteraturan ekonomi dan sosial politik. Konsep legitimasi keteraturan sosial mendasari analisa Weber mengenai institusi ekonomi, politik dan agama serta interpretasinya mengenai perubahan sosial. Weber menunjukkan empat dasar legitimasi yang berbeda-beda yang mencerminkan tipologi tindakan sosial yaitu  a) karena tradisi ;suatu kepercayaan akan legitimasi mengenai apa yang sudah selalu ada. b) berdasarkan sikap-sikap affektual, terutama emosi, yang melegitimasi validitas mengenai apa yang baru diungkapkan atau suatu model untuk ditiru. c) berdasarkan kepercayaan rasional akan suatu komitmen absolut  dan terakhir  d) karena dibentuk dalam suatu cara yang diakui sebagai yang sah  (Johnson 1986:226). Dengan demikian bahwa tipe tindakan sosial tertentu sangat erat kaitannya dengan bentuk-bentuk otoritas yang telah dikemukakan Weber, hal ini dapat dijelaskan lebih jauh pada kajian berikut ini.
1.    Tindakan Sosial dan Tipe-Tipe Otoritas
Menurut Weber tindakan sosial itu harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subjektif yang terkandung di dalamnya, Weber memperkenalkan metode sosiologi untuk memahami tindakan sosial itu dengan nama Verstehen (Weber,1964:9). Bagi Weber sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut, bukan bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun nilai yang obyektif dari tindakan, melainkan arti  sesungguhnya yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Dengan kata lain Verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial dan histories. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.(Siahaan 1986:200).
Dasar tindakan sosial menurut Weber adalah  rasionalitas. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan yang nonrasional . Tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan yang sadar akan pilihan tindakan yang dilakukan. Kategori utama mengenai tindakan rasional dan yang non rasioanl memisahkan empat tindakan sosial di dalam sosiologinya yaitu Rasional terdiri dari tindakan sosial rasional instrumental (Zweck rasionalitat) dan rasional yang berorientasi nilai (Wertrationalitat) serta Non rasional terdiri dari tindakan sosial tradisional dan afektual (Weber 1964: 14-Johnson 1986:220-Perdue 1986:382)    
a)    Zweck rational yaitu rasionalitas instrumental dimana ia menduduki tingkat rasionalitas yang paling tinggi dalam tindakan sosial yang meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
b)    Wert rational yaitu rasionalitas yang bererientasi pada nilai nilai absolut tertentu. Nilai-nilai yang dijadikan sandaran ini bisa nilai etis, estetis, keagamaan atau nilai-nilai lain. Jadi di dalam tindakan berupa wert rational ini manusia selalu menyandarkan tindakannya yang rasional pada suatu keyakinan terhadap suatu nilai tertentu.
c)    Affectual yaitu suatu tindakan sosial yang non rasional timbul karena dorongan atau motivasi yang sifatnya emosional tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Ledakan kemarahan seseorang atau ungkapan rasa cinta, kasihan, kemarahan ketakutan atau kegembiraan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi  adalah contoh dari tindakan affectual ini.
d)    Traditional yaitu tindakan sosial yang bersifat non rasional yang didorong oleh emosi dan berorientasi kepada tradisi masa lampau  tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Tradisi di dalam pengertian ini adalah suatu kebiasaan bertindak yang berkembang dimasa lampau. Mekanisme tindakan semacam ini selalu berlandaskan hokum-hukum normative yang telah ditetapkan secara tegas oleh masyarakat. (Johnson 1986: 220-222).
Kempat tindakan sosial inilah yang menurut Weber  membentuk pola hubungan sosial dalam masyarakat. Weber mengidentifikasi tiga dasar legitimasi yang utama dalam hubungan otoritas berdasarkan tipologi tindakan sosial tersebut di atas.             
a.    Otoritas Legal-Rasional
Otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal. Tipe ini sangat erat hubungannya dengan tindakan sosial  rasionalitas intrumental.Seseorang yang sedang melaksanakan otoritas legal-rasional adalah karena dia memiliki suatu posisi sosial yang menurut peraturan yang sah, dia didefinisikan sebagai memiliki posisi otoritas. Bawahan tunduk pada otoritas karena posisi sosial yang mereka miliki itu didefinisikan menurut peraturan sebagai yang harus tunduk kepada yang memegang otoritas legal-rasional itu. (Johnson, 1986: 231-232) 
b.    Otoritas Tradisional
Tipe otoritas ini berlandaskan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi alasan penting orang taat pada struktur otoritas itu ialah kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah selalu ada. Mereka yang menggunakan otoritas termasuk dalam satu kelompok status yang secara tradisional menggunakan otoritas atau mereka dipilih sesuai dengan peraturan-peraturan yang dihormati sepanjang waktu. Jenis otoritas yang berdasarkan tradisi sedemikian ini masih dapat dibedakan ke dalam jenis otoritas yang disebut dengan patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis otoritas di mana kekuasaan didasarkan kepada senioritas. Meraka yang lebih tua dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Sedangkan patrimonialisme adalah jenis otoritas yang mengharuskan seorang pemimpin bekerja sama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan orang terdekat yang memiliki loyalitas pribadi kepadanya (Giddens 1986:192-194).Di dalam jenis otoritas yang bersifat patriarkhalisme dan patrimonialisme ini ikatan-ikatan tradisional memegang peranan utama. Si pemegang otoritas adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Dan penunjukan otoritas lebih didasarkan kepada hubungan yang bersifat personal / pribadi serta kepada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin.(Gerth dan Mills 1953 :296).
c.    Otoritas Kharismatik
Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin itu sebagai seorang pribadi.Istilah kharisma digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada orang sebagai pemimpin. Kharisma harus dipahami sebagai kualitas luar biasa tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh-sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. jadi wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang-orang baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal ,di mana pihak si tertakluk menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut.(Siahaan 1986 : 203)
2.    Konflik dan Otoritas
Perkembangan teori-teori sosiologi dikenal adanya dua pendekatan teoritis yang saling menunjang yaitu pendekatan fungsioanlisme structural dan pendekatan konflik.
Pendekatan fungsionalime structural berpendapat bahwa masyarakat terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu suatu general agreement yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Ia memandang masyarakat sebagai suatu system yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium (Turner1990:143). Pendekatan ini menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis.Pendekatan ini sering pula disebut dengan pendekatan organisme.
Sementara itu, penganut teori konflik mengatakan bahwa di dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara atau bahkan mengukuhkan  status quo dari pola hubungan kekuasaan yang ada dengan yang ingin merombak atau mengubah status quo itu (Craib 1994:93), dengan demikian teori konflik dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme structural. Oleh sebab itu proposisi yang dikembangkan oleh penganut teori konflik bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori fungsionalisme structural. Teori konflik yang cenderung memakai asumsi – asumsi struktural fungsional berpretensi untuk membangun konsensus. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu memiliki kepentingan, sehingga masing - masing anggota atau kelompok masyarakat memiliki sumbangan terhadap munculnya konflik. Oleh sebab itu konsesnsus sangat mengandalkan adanya konflik yang muncul secara tidak terelakkan, sebagai konsekuansi dari adanya kepentingan pada setiap individu. Dalam konteks inilah konsensus tidak mungkin dibangun tanpa diawali dengan konflik. Eksponen fungsionalisme konflik antara lain adalah Ralf Dahrendorf, Lewis Coser dan Randall Collins.  Menurut Ralf Dahrendorf sebagai tokoh utama teori konflik,  bahwa kalau teori fungsionalisme memandang masyarakat berada dalam kondisi statis atau bergerak dalam kondisi keseimbangan , maka menurut teori konflik ,bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Kalau menurut teori fungsionalisme structural setiap elemen atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, maka teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Kontras lainnya adalah bahwa kalau penganut teori fungsionalisme structural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma , nilai-nilai  dan moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.(Ritzer 1992:30).
Menurut Dahrendorf, analogi antara sistem biologi dan sistem sosial serta ide mengenai suatu sistem sosial itu sendiri diganti oleh suatu konsepsi mengenai “suatu sistem yang harus dikoordinasi” hal ini sangat ruwet untuk sistem otoritas atau sistem kekuasaan.Dalam konteks ini, perbedaan antara otoritas dan kekuasaan sangat penting untuk dipahami dalam menganalisis suatu keadaan sosial tertentu..Kekuasaan cenderung menaruh kepercayaan pada kekuatan, sedangkan otoritas adalah kekuasaan yang dilegitimasi – kekuasaan yang telah mendapat pengakuan umum (Craib 1994:93). Keberadaan otoritas itu sendiri menciptakan kondisi-kondisi untuk konflik sebab kendatipun masyarakat terintegrasi ke dalam nilai-nilai yang disepakati, namun masyarakat yang terintegrasi tersebut berasal dari unsur masyarakat yang oleh Dahrendorf menyebutnya sebagai quasi-group yaitu kelompok potensial yang akan mengembangkan kepentingan-kepentingan bersama yang masih bersifat laten dan belum disadari biasa pula disebut dengan manifest group.
Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan fungsionalisme structural dengan teori konflik. Coser mengakui beberapa susunan structural merupakan hasil persetujuan dan konsensus. Suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsionalime structural dan juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial (Poloma 1994:107). Oleh sebab itu, antara konflik dan otoritas sepanjang sejarah kemanusiaan tetap saja muncul sejalan dengan kepentingan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Masyarakat membutuhkan konflik untuk mendinamisir kehidupan masyarakat di samping itu pula otoritas juga dibutuhkan untuk memberikan keseimbangan (equiliberium) dalam kehidupan masyarakat.
3.    Pola Hubungan Otoritas Politik
Kajian sosiologis pola hubungan otoritas dalam masalah-masalah politik akan mengacuh pada landasan empirik “umat sebagai konsep sosial ”. Hal ini diperlukan untuk mempertegas bahwa agama pada dimensi spritual agak sulit dipahami untuk menghubungkan antara tradisi mistik dengan politik karena hal ini merupakan kajian teologis.
Terdapat dua persepsi yang bebeda tentang peran politik yang dilakukan oleh para pengamal tarekat, pertama bahwa dalam pandangan mereka, fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Beberapa gerakan politik tradisional yang dimotori oleh tarekat, yang merupakan protes sosial akibat berbagai tekanan sosial dan ekonomi terjadi pada masa penjajahan seperti dengan munculnya suatu gerakan dengan mengambil bentuk ideologi milleniarisme, mahdiisme, dan jihad fi sabilillah sebagai elemen ideologi yang memberikan legitimasi terhadap gerakan mereka, seperti pemberontakan petani Banten dan gerakan milleniari di Kediri tahun 1888, kemudian Gerakan Mahdiisme di Gedangan Sidoarjo tahun 1903. Pemberontakan anti–Belanda di daerah Banjarmasin tahun 1860, juga fenomena yang sama terjadi di daerah Sukabumi pada masa revolusi. Demikian juga halnya di Makassar yang dipelopori oleh Syaikh Yusuf. Hal seperti ini juga terjadi di Turki misalnya, pada tahun 1925 semua tarekat dilarang setelah terjadi pemberontakan nasional Kurdi yang dipimpin oleh syaikh-syaikh tarekat Naqsyabandiyah (Bruinessen 1999). Gerakan politik tarekat ini mencermin adanya hubungan teologis antara gerakan pembebasan sosial dengan elemen ideologi yang berakar dari faham teologi Islam.
Persepsi kedua  memandang bahwa perkembangan tarekat sebagai suatu gejala depolitisasi , sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dan politik. Dalam pandangan ini, tarekat lebih berorientasi kepada urusan ukhrawi ketimbang masalah duniawi. Pandangan seperti ini terlihat terlalu sederhana. Tetapi tidak dapat terlepas bahwa terjadinya proses depolitisasi akibat dari terjadinya hegemoni kekuasaan yang terjadi di Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir.
Sebagai klarifikasi terhadap masalah tersebut, penelitei mencoba melakukan studi konprehensip terhadap beberapa masalah yang terkait dengan masalah pokok. Hal ini dapat dilihat bahwa agama sebagai kategori sosial, agama seringkali dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu atau dijadikan ikatan solidaritas baru menggantikan simbol-simbol solidaritas sosial yang lain. Gejala muncul dan berkembangnya konservatisme di Amerika Serikat misalnya pada masa pemerintahan Ronald Reagen merupakan bukti konkriet saat agama dijadikan sebagai sebuah simbol solidaritas baru. Dalam politik Amerika Serikat modern , tidak ada seorangpun yang dapat mendiskualifikasi besarnya peranan Christian Coalition  dalam memobilisasi  dukungan politik bagi golongan konservatif. (Gaffar 2000: 124).
Sejalan dengan itu dalam perkembangan pemikiran di kalangan pemimpin dan pemikir Islam mengenai hubungan yang pas antara agama dan politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemimpin Islam memandang keduanya terpisah, namun sebagian yang lain memandang politik termasuk dalam Islam dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Demikian pula mengenai bentuk atau sistem politik yang harus diterapkan pada umumnya sepakat bahwa baik dari Islam modernis ataupun tradisionalis sejak awal telah memilih sistem politik demokratis. Dalam pendangan mereka , demokrasi adalah suatu mekanisme politik  yang manfaatnya lebih relevan untuk mencapai cita  cita politik Islam, (Syamsuddin 2001:58).
Gambaran di atas sebagai landasan empirik untuk melihat bagaimana proses politik melibatkan elite agama untuk memperkuat hubungan antara agama dan politik. Gambaran berikut ini akan lebih fokus kepada keterlibatan elite tarekat lokal yang secara kultural dikenal dengan nama annangguru. Keberadaan annangguru sebagai cultural broker (Geertz 1966) memegang peranan penting dalam masyarakat sebagai penyuluh agama dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan termasuk persoalan politik lokal yang terjadi, sehingga annangguru menjadi pusat lingkaran masyarakat.   
a.    Interaksi Agama dengan Politik
Studi tentang interaksi agama dengan politik adalah bagian dari kajian agama dalam aspek komunitas agama  (the religious community). Dengan kata lain kajian tentang hubungan agama dengan politik ini tidak akan memasuki wilayah keyakinan , upacara (ritual) dan pengalaman pengamal tarekat, sebab nampaknya akan sulit  untuk menghubungkan atau mencari kaitan antara tradisi mistik yang berkembang dalam tarekat dengan gerakan politik. Dalam kehidupan tarekat, bagaimanapun bentuk dan ajarannya tetap menitikberatkan pada upaya setiap anggota jamaah tarekat untuk mengembangkan potensinya sehingga mencapai tahap kesempurnaan (insan kamil) dan cenderung mengabaikan unsur duniawi. Sedangkan politik sangat erat hubungannya dengan upaya untuk menjaga kelangsungannya suatu kekuasaan atas sekelompok orang. Tradisi mistik dalam tarekat lebih bersifat transendental, sedangkan politik lebih bersifat corporeal.  
Klarifikasi faktual terhadap masalah tersebut akan dilihat pada tataran empirik, adakah hal yang  menunjukkan bahwa interaksi sosial hubungan antara agama dengan politik sebagai suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan karena melihat komunitas tarekat yang merupakan bagian atau salah satu bentuk komunitas keagamaan (Islam), maka perlu dilakukan tinjauan kajian agama atau yang lebih spesifik yakni tarekat dalam hubungannya dengan masalah - masalah politik  dari perspektif sosiologis.
Pada masa pemerintahan Orde Baru dengan pendekatan yang kuat terhadap stabilitas politik dalam rangka menjamin kesinambungan pembangunan, Jackson (1978) melihat pemerintah Orde Baru dengan kacamata bureaucratic polity digambarkan sebagai birokrasi yang melakukan konsentrasi kekuasaan, sehingga kebijakan politik diisolasi dari keikutsertaan masyarakat seperti yang tertuang dalam kebijakan politik massa mengambang (floating mass). Sebaliknya kebijakan politik mengedepankan pemusatan kekuasaan di tangan orang–orang kepercayaan tertentu. Sumber legitimasi menampakkan kemiripan dengan legitimasi tradisional dengan spesifik patrimonial tradisional. Kalau legitimasi patrimonial tradisional tergantung dari dana yang diperoleh dari eksploitasi terhadap petani dan pedagang, maka neopatrimonial yang dikembangkan oleh Orde Baru tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang dibiayai dari bantuan luar negeri, modal asing, dan naiknya harga minyak.
Model neopatrimonial, hubungan negara-masyarakat melalui hubungan informal , personal serta partai politik merupakan pusat perhatian, sehingga  dengan demikian analisis seperti ini membutuhkan pendekatan mikro. Oleh karena itu pertanyaannya , memadaikah pendekatan ini jika dipakai untuk memahami unit analisis yang lebih makro seperti partai politik , birokrasi, atau keseluruhan sistem politik rasional (King,1982:18-19),oleh karena ituu untuk memperoleh model pemahaman yang lebih memadai maka dalam melihat rezim Orde Baru harus diakui bahwa didalamnya mengandung pluralitas, baik kepentingan kelompok maupun individu . Dalam hal ini dapat ditelusuri pandangan King dalam melihat pemerintah Orde Baru yang kemudian diikuti oleh Emmerson (1983). King menyebut rezim birokratik otoritarian di Indonesia adalah sebuah format kekuasaan yang melembaga di mana pusat kekuasaan berada pada suatu birokrasi yang mengandalkan militer sebagai pusat pengendalian birokratik. Sementara berbeda dengan King yang menganggap kekuasaan berada di tangan oligarki militer dan bukan semata-mata di tangan Presiden Soeharto, maka Emmerson justru melihat militer yang relatif monistik dibawah kepemimpinan Soeharto menjalankan kontrol dan hegemoni dalam proses politik dengan mengedepankan pendekatan keamanan sehingga membatasi birokrasi pluralistik. Emmerson menyebut birokrasi hybrida dalam arti tidak cukup syarat untuk disebut negara otoritarian dan negara pluralistik (Emmerson 1983: 1220-1223).
Kebijakan politik masyarakat dikelompokkan secara vertikal membatasi individu dan kelompok dalam struktur yang dikendalikan oleh pusat birokrasi. Menurut King , langkah inilah yang ditempuh oleh Orde Baru dalam rangka menjaga kelangsungan proses modernisasi dan mencegah perpecahan dengan melemahkan kekuatan sosial antara lain dengan cara membentuk organisasi  sosial, profesi dan agama yang sepintas kelihatan berdiri sendiri (otonom) tetapi sungguh merupakan suatu rekayasa untuk melindungi dan mengamankan kepentingan ekonomi dan politik seperti assosiasi buruh ke dalam SPSI, petani ke dalam HKTI, pemuda  ke dalam KNPI, pemuka agama Islam ke dalam MUI dan pengamal Tarekat ke dalam PERTI (Persaudaraan Tarekat Indonesia).
Pengamat lain yang tidak kalah menariknya dalam mengajukan model tentang Indonesia Orde Baru adalah William Liddle (1985) ia mengajukan model Modern Personal Rule dalam bentuk pyramida kekuasaan yang dibaginya ke dalam tiga jajaran utama yaitu presiden dengan segala atributnya, angkatan bersenjata dan birokrasi.
Gambaran tentang proses politik pada masa Orde Baru ini menurut Gaffar menunjukkan terjadinya proses depolitisasi yang rapi dan sangat efektif terhadap institusi sosial dan politik yang ada. Depolitisasi ini dilakukan dengan berbagai cara. Pertama dengan mewujudkan konsep “massa mengambang” atau floating mass. Dengan konsep seperti ini kontrol politik terhadap partai politik non pemerintah (PDI dan PPP) akan semakin gampang dilakukan.Kedua dengan mewujudkan prinsip monoloyalitas terhadap semua pegawai negeri atau siapapun yang bekerja dalam lingkungan instansi pemerintah. Ketiga dengan emaskulasi partai-partai politik yang ada. Hal ini dilakukan dengan dua cara yaitu dengan melakukan regrouping atau penyederhanaan sistem kepartaian dan mengontol rekruitmen pimpinan utama partai tersebut, sehingga partai-partai tersebut mempunyai pemimpin yang akomodatif terhadap pemerintah.(Gaffar 2000: 40)
Melihat konstalasi politik seperti ini pada masa orde baru, maka dapat digambarkan bagaimana hubungan politik lokal dengan patronase agama sebagai berikut :          
Keterlibatan Jama’ah Tarekat dalam Kegiatan  Politik
Kecenderungan politik jama’ah tarekat Qadiriyah tercermin dari pandangan teologis yang mereka pahami, sehingga perilaku politik di kalangan jama’ah tarekat juga bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil jawaban responden tentang pandangan teologis mengenai pemilu yang merupakan ajang demokrasi bagi bangsa Indonesia. Pemilihan Umum dalam suatu negara demokrasi dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara.
Berdasar data yang diperoleh dalam studi lapangan menggambarkan bahwa terdapat kecenderungan dari jamaah tarekat Qadiriyah dalam menentukan sikap politiknya berdasarkan pandangan teologisnya bahwa hak menentukan pilihan partai bukan kewajiban agama (62%), maka bisa saja terjadi perbedaan antara sikap politik annangguru dengan para jamaahnya dalam afiliasi politiknya. Berikut ini disajikan data lapangan pandangan teologis jamaah tarekat Qadiriyah  dalam pemilihan umum.    
Tabel : Pandangan Teologis Jama’ah Tarekat Qadiriyah dalam Pemilihan Umum.
Pandangan teologis    Frekuensi    Prosentase
Kewajiban Agama    12    24
Bukan Kewajiban Agama    31    62
Tidak Tahu    7    14
Jumlah (N)    50    100

Sumber: Studi lapangan bulan September 2003.
Klarifikasi terhadap data faktual yang ditemukan di lapangan lalu kemudian di-cross check melalui wawancara mendalam ditemukan bahwa ketika annangguru Shaleh masih hidup semua jama’ah wajib mengikuti fatwa annangguru, tetapi sekarang tidak lagi seperti itu karena sikap politik annangguru pada saat itu, hanyalah untuk nyelamatkan tarekat Qadiriyah yang mendapat tekanan politik dari penguasa Orde Baru.
Sisi lain dalam studi ini ditemukan bahwa ketika peneliti mentabulasi silang antara sikap teologis dengan kecenderungan afiliasi politik tarekat Qadiriyah ditemukan hal-hal sebagai berikut:
Tabel  : Afiliasi Partai Politik Tarekat Qadiriyah di Mandar
Pandangan Teologis    Afiliasi Partai Politik   
F    %
    PPP    PKB    PAN    GOL    PKS       
Kewajiban Agama    10    -    -    -    2    12    24
Bukan Kewajiban Agama    -    7    -    20    4    31    62
Tidak Tahu    -    7    -    -    -    7    14
  Jumlah (N)                10        14          -           20          6    50    100
Sumber : Studi lapangan bulan September 2003.
Kecenderungan jamaah untuk tidak mengikuti pilihan politik annangguru tidak bisa dilepaskan dari warisan pendidikan politik Orde Baru ketika itu yang sangat dominan melakukan depolitisasi Islam, bahwa amalan tarekat itu harus dibedakan dan dipisahkan dari pilihan politik, sementara Pemilu itu adalah hak pribadi masing-masing warga negara untuk menentukan pilihan politiknya.
Informasi lainnya dari data yang diperoleh dalam studi berkaitan dengan perbedaan afiliasi politik dalam satu payung tarekat yang sama menunjukkan, bahwa perbedaan afiliasi politik antara annagguru Shaleh yang masuk Golkar dengan pilihan politik yang diambil oleh annanggru H.Sahabuddin yang tetap sebagai Ketua Dewan syuro PKB menjadi dasar pembenaran dari sikap politik jamaah bahwa afiliasi politik jamaah tidak tergantung kepada mursyidnya. Walaupun ada pandangan ekstrim dari pengikut setia annangguru Shaleh yang menyatakan bahwa orang yang tidak masuk Golkar berarti ia telah membangkan dari gurunya dan itu berarti ia telah berkata ah kepada gurunya ini berarti secara hakiki ia telah keluar dari tarekat gurunya yaitu tarekat Qadiriyah.
Uraian tentang pola hubungan otoritas politik antara annangguru dengan jama’ahnya dapat disimpulkan bahwa afiliasi politik Annangguru tidak selalu sama dengan afiliasi politik jama’ah tarekat Qadiriyah, hal ini terjadi karena adanya persepsi yang berbeda terhadap sikap annangguru Shaleh ketika masuk Golkar yang dinilai oleh pengikutnya sebagai sikap  setengah hati. Sehingga sebagian jama’ah menganggap bahwa masuknya annangguru Shaleh ke Golkar boleh diikuti dan boleh tidak diikuti karena hal itu hanyalah sikap pribadi dan bukan sikapnya sebagai mursyid dari tarekat Qadiriyah.
a.    Posisi Politik Elite Tarekat
Deskripsi dan uraian berikut ini akan memaparkan beberapa temuan hasil studi yang telah dilakukan berkenaan dengan posisi politik elite tarekat pada konstalasi politik pada tingkat lokal di wilayah studi, Gambaran umum menunjukkan bahwa Ikatan emosional yang merupakan basis solidaritas penganut tarekat mulai melemah ketika kepentingan politik memasuki wilayah tarekat, hal ini dapat terjadi disebabkan oleh karena pertimbangan  politik lebih didasarkan kepada hal-hal yang lebih pragmatis-rasional, sehingga ummat (jamaah tarekat) sebagai kesatuan sosial mencair bersamaan dengan semakin pudarnya ikatan emosi keagamaan karena konsep politik yang secara ketat diturunkan dari konsep keagamaan (tidak ada pemisahan antara agama dan politik) kini mulai bergeser dengan dasar-dasar pertimbangan yang lebih rasional oleh berbagai kepentingan sosial dan ekonomi.
Hasil studi lapangan dengan menggunakan tehnik catatan lapangan yang diperkuat dengan wawancara mendalam menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan elite tarekat (Annangguru ) terhadap pemerintah. Sikap politik yang lebih bersifat pragmatis-rasional nampak jelas ketika Annangguru Sahabuddin mendukung dua orang caleg dari unsur Golkar yaitu Drs.H.Ibnu Munzir dan H.Adnan Shaleh pada Pemilu tahun 2004 di mana issu sentralnya adalah mendirikan Propinsi Sulawesi Barat. Dari kasus ini nampak tidak adanya konsistensi afiliasi politik annangguru, pada saat awal Reformasi Annangguru termasuk tokoh NU yang ikut menbidangi lahirnya PKB di Sulawesi Selatan, namun pada saat masyarakat menginginkan terbentuknya Propinsi Sulawesi Barat, maka yang lebih pragmatis adalah mendukung Partai politik Golkar.  Hal ini disebabkan karena posisi annangguru cukup strategis sebagai cultural  broker dalam upaya transformasi sosial. Oleh karena itu perilaku politik jamaah tarekat Qadiriyah sangat kondusif terhadap kebijakan politik pemerintah.
Sebagai kelanjutan dari gerakan Reformasi yang membuka ruang politik yang luas bagi masyarakat, maka tingkat partisipasi politik akan semakin tinggi sejalan dengan semakin tingginya kesadaran politik masyarakat. Hal ini diakui oleh banyak pengamat politik bahwa tingkat partisipasi politik pada era reformasi ini sangat legitimated. Dengan demikian maka hal ini juga mendorong kemungkinannya berbagai kelompok sosial / keagamaan membentuk sebuah partai politik  atau berpartisipasi dalam suatu partai politik yang sesuai dengan visi kelompok sosial / keagamaan yang bersangkutan.
Selanjutnya kajian sosiologis tentang posisi politik elite tarekat akan mendeskripsikan tiga lokus kajian yakni pertama partisipasi politik tarekat dalam pemilu, kedua bagaimana perubahan orientasi politik tarekat akan menjadi fokus dalam studi ini. Dan ketiga bagaimana orientasi tarekat terhadap kehidupan dunia. Partisipasi politik di era reformasi di mana studi ini dilakukan akan difokuskan pada kelompok sosial dalam pergulatannya dengan masalah-masalah politik serta perubahan orientasi politik dan orientasinya terhadap kehidupan dunia yang secara sosiologis terbentuk dalam komunitas tarekat Qadiriyah.
1.    Partisipasi Politik Tarekat dalam Pemilu
Masalah politik  adalah masalah pembagian wewenang dan fungsi sehingga dapat dibangun suatu hirarki dalam struktur. Sama halnya dengan tarekat yang menempatkan Annangguru (khalifah) di dalam struktur atas seperti “agama” atas “dunia” dalam hubungan itulah persoalan partisipasi politik  Islam selalu akan berkaitan dengan dengan posisi “agama” atau institusi tarekat di satu pihak dalam kegiatan politik khususnya pada kegiatan pemilu yang digolongkan sebagai hal yang bersifat “duniawi” . Karena itu, tujuan partisipasi politik Islam akan bersifat struktural di mana “agama” ditempatkan pada struktur  “atas” bukan subordinatif atas negara. Sepanjang hubungan struktural itu sulit atau tidak terpenuhi, maka Islam akan dianggap berada dalam situasi terancam. Pada saat demikian, gerakan Islam merasa wajib untuk merebut posisi strategis yang mampu mengontrol dinamika sosial dan politik.  
Karena itu hirarki seseorang di dalam struktur masyarakat yang demikian itu tampak amat jelas dalam institusi tarekat yang mana menempatkan Annangguru sebagai penentu kebijakan gerakan tarekat. Para annangguru (mursyid) secara geneologis terhubungkan sedemikian rupa dengan mata rantai historis yang berakhir pada diri rasul Muhammad saw, sebagaimana tercermin dalam silsilah para mursyid tarekat Qadiriyah. Maka ditangan annanggurulah persoalan sosial dari suatu komunitas dapat diselesaikan termasuk persoalan politik.
Penyelesaian yang paling demokratis adalah dengan jalan Pemilu, karena dengan Pemilu yang demokratis akan melahirkan sistem pemerintahan yang lebih legitimated.  Dalam suatu negara demokrasi,  Pemilihan Umum dilaksanakan dengan teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara.(Gaffar 2000:9) Hal ini merupakan salah satu indikator dari suatu pemerintahan demokratis, di samping indikator lain seperti adanya akuntabilitas, rotasi kekuasaan secara teratur dan damai, rekruitmen politik secara terbuka, dan lain-lain.
Partisipasi politik tarekat dalam kegiatan pemilu terkait dengan memahami tindakan sosial dari penganut tarekat Qadiriyah dalam hubungannya dengan arti subjektif, Weber dalam analisa sosiologisnya mengajukan konsep rasionalitas yang merupakan kunci bagi suatu analisa objektif mengenai arti-arti subjektif dan juga merupakan  dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda (Johnson, 1986:219).
Hasil studi lapangan dengan menggunakan instrumen kuestioner terstruktur dan wawancara mendalam dengan para responden menunjukkan bahwa pola tindakan sosial penganut tarekat Qadiriyah dalam  afiliasi politik cenderung berprilaku rasional, hal ini menunjukkan terjadinya perubahan orientasi perilaku politik jama’ah tarekat dari tindakan tradisional dengan mengikuti otoritas kharismatik ke tindakan rasional dengan pilihan politiknya sendiri.
Gambaran tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel  : Motivasi / Alasan  Jamaah Tarekat Memilih
Partai Politik.

Tipe tindakan sosial    Karakteristik motivasi/alasan   
F   
%
Rasionalitas instrumental    Pilihan sendiri    23    46
Rasionalitas berorientasi nilai    Ikut partai berkuasa    15    30
Tindakan tradisional    Ikut Annangguru    7    14
Tindakan afektif    Kecewa masa lalu    5    10
Jumlah        50    100
    Sumber : Studi lapangan bulan September 2003.
Klarifikasi terhadap data faktual yang ditemukan di lapangan lalu kemudian di-cross check melalui wawancara mendalam ditemukan bahwa pilihan partai jama’ah tarekat tergolong rasional karena di samping kondisi politik di era reformasi membuka ruang yang lebar dalam hal partisipasi politik rakyat, namun tidak menutup kemungkinan terjadi money politic dalam pemungutan suara, karena rentangnya persoalan sosial dan ekonomi yang dialami oleh kebanyakan umat Islam. Hal lain juga disebabkan karena annangguru Shaleh tidak menitip pesan politik kepada seluruh jamaah Qadiriyah bahwa Ketika annangguru Shaleh masih hidup semua jama’ah wajib mengikuti fatwa annangguru, tetapi sekarang tidak lagi seperti itu karena sikap politik annangguru pada saat itu, hanyalah untuk menyelamatkan tarekat Qadiriyah yang mendapat tekanan politik dari penguasa Orde Baru.
2.    Perubahan Orientasi Politik Tarekat
Perubahan pandangan yang sangat mendasar tentang hubungan antara agama dan politik, ketika seorang ulama kharismatik annanggguru Shaleh mengambil langkah politik dengan berafiliasi ke Golkar, hal ini berlawanan secara horisontal dengan pemikiran politik Islam waktu itu yang menganggap bahwa ketaatan dan keshalehan seseorang sangat ditentukan  afiliasi politiknya. Maka oleh karena itu seorang muslim yang taat tidak ada pilihan lain kecuali ke partai Islam. Dalam konteks tahun 1970-an yang dimaksud dengan partai Islam adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berazaskan Islam, maka oleh karena itu adalah logis ketika muncul fatwa dari Majlis Syuro PPP yang diketuai oleh KH. Bisri Syamsuri bahwa wajib bagi seorang muslim untuk memilih dan memenangkan PPP yang berazaskan Islam (Sujuthi, 2001:70).
Kontrol politik pemerintah Orde Baru yang menjangkau hampir segala kegiatan masyarakat, termasuk kegiatan keagamaan. Hal ini juga dialami oleh para pengamal tarekat Qadiriyah di Mandar. Kegiatan kegiatan tarekat banyak terhambat dan dicurigai oleh aparat pemerintah sebagai kegiatan politik. Para pengamal tarekat banyak yang melapor dan mengeluh kepada annangguru atas kesulitan-kesulitan serta tekanan-tekanan politik dari aparat pemerintah baik terang-terangan maupun terselubung.
Maka ketika annangguru mendengarkan hal tersebut, dan keinginan Golkar juga yang ingin merangkul annangguru ke dalam politik, maka setelah annangguru melakukan shalat istiharah beliau lalu kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Golkar. Kendatipun  Langkah dan pilihan politik annangguru  bergabung dengan Golkar hanya membawa keuntungan bagi Golkar, karena di satu pihak Golkar mendapat legitimasi sosial dan politik dari kalangan Islam tradisional khususnya di kalangan pengikut tarekat, dan di lain pihak tarekat Qadiriyah tidak lagi mendapat tekanan psikologis dari politik penguasa Orde baru. Namun secara material, tarekat ini tidak mendapat fasilitas yang istimewa dari penguasa Orde Baru. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dilokasi ritual tahunan 27 Ramadhan di Bukit Bukku Salabose tidak ada listerik serta pengerasan jalanan hanya dilakukan atas swadaya masyarakat yang dipimpin langsung oleh annangguru. (Fenomena ritual di Buku Salabose akan di bahas dalam sub. Bab tersendiri ).
Kehidupan berdemokrasi dalam fenomena di atas menunjukkan lemahnya institusi keagamaan (tarekat) dalam konteks kehidupan politik sehingga  melahirkan budaya politik yang bersifat parokial dalam sebuah sistem politik. Budaya politik adalah suatu orientasi psikologis terhadap objek sosial yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat Cognitive, affective, dan evaluatif.
Sikap dan orientasi tersebut lalu kemudian membentuk budaya politik yang berbeda. Dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitive akan terbentuk budaya politik yang parokial. Sementara dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh karakteristik yang bersifat affektif, akan terbentuk budaya politik yang bersifat subjektif. Akhirnya, masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan, akan terbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif.( Gaffar 2000:100 )
Untuk lebih jelasnya Gaffar menggambarkan fenomena tersebut dalam tabel berikut ini :
Tabel    :Hubungan Antara Budaya Politik dengan   Orientasi Politik.

Orientasi Politik    Budaya Politik
    Parokial    Subjektif    Partisipatif
Kognitif    X       
Affektif        X   
Evaluatif            X
Sumber : Diolah dari data sekunder
Budaya politik yang demokratis, dalam hal ini budaya politik yang partisipatif, akan mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis dan stabil, maka oleh karena itu dalam membangun suatu sistem budaya politik yang partisipatif memerlukan infrastruktur politik yang kuat di antaranya adalah dengan Pemilihan Umum yang bukan hanya sebagai sarana untuk mendapatkan legitimasi politik tapi juga sebagai sarana dalam mengembangkan kehidupan demokrasi sebagai salah satu pilar dalam membangun masyarakat madani.
Model budaya politik tersebut di atas dalam mengamati perubahan orientasi perilaku politik pada wilayah kasus studi, maka dapat dideskripsikan bahwa telah terjadi perubahan orientasi politik tarekat Qadiriyah di Mandar, di mana dalam bentuk budaya politik parokial yang dibangun dari suatu sistem kepercayaan kepada pemimpin kharismatik yang memiliki jama’ah yang banyak dan dikenal mempunyai kesetiaan total kepada pemimpin kharismatiknya, secara evolutif berubah ke bentuk yang lebih rasional yakni dalam bentuk budaya politik subjektif dan partisipatif dimana pilihan partai politik tidak lagi didasarkan pada afiliasi politik Annangguru melainkan berdasarkan pada pilihan sendiri, (lihat tabel) Hal ini terjadi, sebagai konsekuensi logis dari proses reformasi politik yang sementara ini sedang berjalan. Kendatipun sebenarnya benih-benih perubahan orientasi politik itu sudah ada sebelum lahirnya gerakan reformasi. Namun perubahan ke arah itu tidak nampak, karena hegemoni politik Orde Baru yang hampir menjangkau seluruh lapisan masyarakat termasuk komunitas tarekat tidak dapat dielakkan. Hal ini dapat dilihat pada Fenomena H.Sahabuddin yang secara diam-diam bertolak belakang dengan afiliasi politik Annangguru Shaleh walaupun perbedaan afilasi politiknya bukan atas dasar alasan agama (Fiqh). 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar