Minggu, 13 Mei 2012

Politik dan Kepemimpinan Politik

POLITIK DAN KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Oleh :
Fatahullah Jurdi 

Sejarah adalah hal yang selalu dibahas ketika kita membahas konsep politik ataupun ketika kita ingin membahas tentang sebuah bangsa, sebab sejarahlah yang dapat menentukan sebuah negara itu sudah maju atau masih tetap seperti yang telah lalu. Maka, Menurut Homi Bhabha seorang yang berkebangsaan India, dalam bukunya yang sering menjadi rujukan, “The Location Of Culture (1994) , Bhabha mengemukakan; “Genealogi politik dan teoritis modernitas tidak lah untuk melacak asal-usul gagasan civility atau keadaban, tetapi pada upaya mengungkap sejarah momen-momen kolonial. Itu ditemukan dalam gerakan perlawanan penduduk yang di jajah terhadap kata Tuhan dan Manusia”. Kita bisa memaklumi, apa yang dikatakan oleh Homi Bhabha ini adalah kebalikan dari arus utama penulisan sejarah, atau apapun yang berkaitan dengan modernitas. Kita selalu berbicara tentang modernitas sebagai civilizing process (seperti yang telah diusung oleh Nobert Ellias) atau modernitas sebagai energi pembebasan (seperti Habermas). Maka, yang kita tulis dari sejarahnya kita, misalnya sejarah Islam, adalah momen-momen ketika Islam menjadi modern, atau pada saat Islam terbebaskan dari pengaruh-pengaruh takhayul atau khurafat. Sejarah Nabi dan para Khalifah penggantinya dikatakan sebagai “sangat modern”. Modernitas, dengan kata lain, dalam sejarah Islam atau bahkan dalam Islam sendiri sebagai doktrin dari Islam itu sendiri. “Islam adalah agama modern”, demikian slogan yang sering kita lontarkan.
Islam adalah agama yang sangat komplit, yang mencakup semua tatacara dan kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tetapi, yang oleh manusia yang tidak berpikir, itu dikatakan sebagai agama yang sangat terbelakang. Seandainya kita mencermati dan mengkaji semua apa yang sudah dikatakan dalam kitab Al-Qur’an, semua yang menjadi keperluan umat manusia itu sudah dicakup semuanya dalam kitab suci Al-Qur’an, kitab suci Al-Qur’an adalah kitab yang sangat relevan untuk berbagai zaman, sehingga Al-Qur’an tetap menjadi kitab yang sangat suci sampai sekarang dan itupun diakui oleh mereka yang buka dari Islam. Agama Islam adalah agama yang sangat toleran terhadap agama lainnya dan tidak pernah memusuhi agama lainnya. Dan adapula umat Islam yang sangat apatis terhadap umat yang selain Islam, yang pada akhirnya mereka cenderung memusuhi agama yang tidak sama dengan mereka.
Menurut saya, Islam sekarang sudah terpecah dan bahkan bisa dikatakan akan mengalami degradasi yang sangat signifikan, itu dikarenakan oleh umat atau orang mengaku diri Islam membuat istilahnya sebuah wadah yang selalu mengatakan dirinya Islam padahal mereka ingin memurtadkan orang-orang Islam yang lainnya. Mereka ini telah terpengaruh oleh ideologi barat yang hanya mengandalkan kekuatan semata tanpa melihat bahwa ada yang mengatur semua kehidupan ini.
Indonesia bukanlah negara yang belajar dari sejarah, akan tetapi Indonesia ini adalah negara yang kembali kepada sejarah masa lalunya, mereka selalu masuk kembali ke dosa-dosa masa lalu dan mereka selalu memotong-motong sejarah, sehingga mereka selalu kembali kepada sejarah tersebut. Indonesia sekarang adalah sama seperti Indonesia pada Zamannya Soekarno dan para pahlawan lainnya, yakni masih hidup dibawah naungan penjajah. Dan bedanya dengan penjajahan pada masa itu adalah dalam bentuk kolonial, akan tetapi sekarang Indonesia sedang di jajah lewat teknologi yakni dengan menjarah habis semua sumber daya alam Indonesia sampai benar-benar habis. Saya teringat akan pernyataan Presiden Pertama Indonesia yakni Soekarno bahwa ”perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, akan tetapi perjuanganmulah yang paling sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Kita membayangkan seorang Soekarno telah mampu menafsirkan apa yang akan terjadi di Indonesia ini kedepan setelah dia meninggal atau bahkan ketika dia masih hidup pada saat itu, namun telah minggat dari panggung kekuasaan.
 Dan sekarang Indonesia memang telah menjadi apa yang telah dikatakan oleh Soekarno. Sekarang Indonesia sedang melawan orang-orang bangsanya sendiri, yakni melawan pemerintah yang ingin menjaul negara ini dengan harga ”Nol rupiah” kepada korporatokrasi asing, dan korporatokrasi asing tersebut sedang menjarah habis sumber daya alam Indonesia. Akan tetapi, pemerintah Indonesia hanya bisa bungkam seribu bahasa tanpa menoleh kepada bangsa yang telah mampu melawan musuh mahluk hidup itu, pemerintah Indonesia hanya menjadi penonton terbaik ketika perusahaan itu menjarah sumber daya alamnya tanpa membantah atau memprotes akan hal tersebut dan yang paling anehnya lagi pemerintah setempat tidak mengetahui berapa konsentrat Emas dan lainnya yang dibawa keluar oleh perusahan ini. Inila kegilaan epistemiknya penguasa Indonesia yang dusta dan jahannam sekarang, mereka inilah orang-orang yang masih bermental terjajah (inlander).
Banyak sekali para pemerhati ataupun para pakar politik Islam yang memberikan sumbangan bagaimana kalau pemikiran politik ini diajarkan di perguruan tinggi. Sehingga para mahasiswa dapat mengetahui tentang bagaimanakah alur pemikiran dari pemikiran orang-orang Islam selama ini mereka imani, akan tetapi banyak pula diantara mereka yang tidak mau menerapkan pemikiran itu pada masyarakat lebih-lebih dipentas politik, mereka hanya cenderung memilih atau menerapkan teori-teori atau ideologi-idelogi dari Barat. Sehingga mereka sangat peka terhadap hal-hal yang menyangkut kehidupan yang ada di Barat dan juga terhadap perkembangan yang terjadi di Barat. Mereka ini akan menjadi anak kandung para kapitalis Barat yang sangat ditakuti oleh seluruh umat manusia.
Di dalam Universitas-Universitas di Indonesia kita bisa menemukan beberapa mata kuliah yang di berikan oleh para dosen-dosen mengenai pemikiran politik, diantaranya, “Pemikiran Politik Barat”, “Pemikiran Politik Islam”, “Pemikiran Politik Indonesia Lama”, “Pemikiran Politik Indonesia Baru”, dan “Pemikiran Politik di Negara-negara Berkembang”. Mata kuliah ini sangat identik dengan perkembangan pada zaman sekarang dan mata kuliah ini bukan saja membahas tentang politik akan tetapi mata kuliah ini juga membahas tentang perbandingan politik, studi kawasan, serta sistem dan pembangunan politik di dunia, dan inilah yang selalu diajarkan dalam Fakultas-fakultas sosial politik diberbagai Universitas, baik yang Negeri maupun yang Swasta.
Politik
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab , Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin Politicos atau Politõcus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)." 
Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak. Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak menguraikan soal politik.
Sekian banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-siyasah Asy-Syar'iyah (Politik Keagamaan).
Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti "menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan". Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang  pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.
Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum" dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti "putusan". Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat. Sebagai "perbuatan" kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai "membuat atau menjalankan keputusan", maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.
Kata  siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang  dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.
Dalam Al-Quran ditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks pujian. Salah satu di antaranya adalah;
“Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak” .
Politik Islam itu sendiri merupakan sifat politis yang ingin memperjuangkan hak-hak rakyat atau yang pro terhadap rakyat, tanpa meninggalkan nilai-nilai keislamannya atau nilai-nilai agama sebagai basis keyakinannya kepada yang maha pencipta.
Politik sebagai ilmu yang sangat diminati oleh banyak orang karena ia sifatnya analitik dan ilmiah. Di dalam ilmu politik, orang dihadapkan pada gagasan dan wacana yang pada ujungnya nanti gagasan dan wacana itu akan menjadi  dasar untuk terjun ke dunia empirik. Dunia politik adalah dunia empirik sedangkan ilmu politik adalah wilayah kerja idealis yag membutuhkan para pemikir sehingga mampu mempertahankan idealisme ilmu politik.
Adapun konsep-konsep Ilmu Politik yang sudah dibatasi oleh mereka  yang sudah ahli dalam bidang politik antaranya adalah sebagai berikut:
1.    Teori politik
Definisi teori merupakan generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep, konsep itu lahir dalam pikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.
Teori politik adalah bahasaan dan generalisasi dari phenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain teori politik adalah bahasan  dan renungan  atas a). tujuan dari dari kegiatan politik dari kegiatan politik, b) cara-cara mencapai tujuan itu, c) kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu  dan d) kewajiban-kewajiban (obligation) yang diakibatkan oleh tujuan politik itu. Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial, Negara, kekuasaan, kedaulatan, hak, dan kewajiban, kemerdekaaan, lembaga-lembaga Negara, perubahan social, pembangunan politik (political development), modernisasi dan lain sebagainya. Menurut Thomas P. Jemkin dalam the study of political theory dibedakan menjadi dua macam teori politik, sekalipun perbedaan antara keduan kelompok teori tidak bersifat mutlak.
     Teori-teori yang mempunyai dasar moril dan yang menentukan norma-norma politik (norms for political behavior). Karena adanya unsur norma-norma dan nilai (value) maka teori-teori ini boleh dinamakan valuational (mengandung nilai). Yang termasuk golongan ini antara lain filsafat politik, teori politik sistematis, ideologi dan sebagainya.
     Teori-teori yang menggambarkan dan membahas phenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai. Teori-teori ini dapat dinamakan non-valuationnal. Ia biasanya bersifat deskriptif (menggambarkan) dan komparatif (membanding-kan). Ia berusaha untuk membahas fakta-fakta kehidupan politik sedemikian rupa sehingga dapat disitematisir  dan disimpulkan dalam generalisasi-generalisasi.
2.    Masyarakat
Ada beberapa semua ilmu social mempelajari manusi sebagai anggota kelompok. Timbulnya kalompok-kelompok itu ialah karena dua sifat manusia yang bertentangan satu sama lain; di satu pihak dia ingin kerjasama, di pihak lain dia cenderung untuk bersaing dengan sesama manusia.
Di dalam kehidupan kelompok dan dalam hubungannya dengan manusia yang lain, pada dasarnya setiap manusia menginginkan beberapa nilai. Dalam mengamati masyarakat disekelilingnya, yaitu masyarakat Barat, Horald Lasswell memperinci delapan nilai, yaitu:
1.    Kekuasaan
2.    Pendidikan/Penerangan (Enlighjtnment)
3.    Kekayaan (Wealth)
4.    Kesehatan (Well-Being)
5.    Keterampilan (Skill)
6.    Kasih Sayang (Affection)
7.    Kejujuran (Rectitude) dan Keadilan (Rechtschapenheid)
8.    Kesegaran, Respek (Respect)
3.    Kekuasaan
kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekolompok manusia  untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau sekolompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempengaruhi kekuasaan itu. Gejala kekuasaan ini adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua bentuk hidup bersama.
Adapun definisi yang diberikan oleh Robert M. Maclver adalah; “kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah-laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia”. (social power is the capacity to control the behavior of other either directly by fiad or in-directly by the manipulation opf available means). Sedangkan menurut Ossip K. Flechtheim adalah “keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain . . . untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan”.
4.    Negara 
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat)dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonistis dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama.
Ada beberapa tahapan perkembangan Ilmu Politik dan tahapan ini selalu dilewati oleh, entah itu politik Islam maupun politik Barat, antara lain adalah sebagai berikut :
1.    Politik Unifikiasi Primitive
Politik Unifikasi Primitive adalah politik mengenai kelahiran dan masa anak-anak bangsa. Dimulai sejak awal periode yang sulit ditentukan secara tepat kapan waktunya, sebab akar perkembanngan manusia selalu dimulai di masa lampau. Pada abad ke-16 sebagian besar Eropa Barat telah mencapai tahap primitive tersebut. Dibanyak bagian dunia, asal-mula Negara bangsa ditandai dengan munculnya koloni-koloni Eropa. Akhir dari tahap unifikasi politik tersebut jauh lebih mudah ditelusuri, sebab tahap itu datang ketika Negara mulai mengadakan industrialisasi secara sungguh-sungguh atau seperti yang dikatakan oleh W. W Rostow dengan menggunakan istilah ekonomi “the take-of” atau “tinggal-landas”.
Pada tahap ini, seperti pada tahap-tahap yang lainnya, tujuan dan kepentingan dari orang-orang yang memerintah demikian banyak . . . yakni meningkatkan harga diri, kekuasaan nasional . . . dan beberapa orang bahkan berbicara tentang perkembangan ekonomi. Tetapi fungsi utama pemerintah Cuma satu, yakni menciptakan persatuan Nasional. Apapun  niat mereka yang bermacam-macam itu, para penguasa pada tahap ini menganggap diri mereka sibuk dengan problema unifikasi (persatuan dan kesatuan nasional), sebab Negara-negara yang mereka perintah sangat terpecah-pecah dan perpecahan tersebut selalu membuat frustasi rencana-rencana pemerintah nasional.
Problema yang dihadapi itu sangatlah bermacam, pertama-tama, terdapat problema elementer dalam menegakkan kekuasaan politik sentral atas seluruh wilayah dan rakyat untuk dimasukkan kedalam batas-batas nasional, suatu problema yang pada umumnya dipecahkan secara brutal dan adakalanya melalui militer.
Problema lainnya adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan tersebut dalam mengahadapi perpecahan-perpecahan etnis, minoritas-minoritas yang saling bentrok, dan gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan diri. Belum lagi problema menghadapi para penguasa daerah dan wilayah, baik itu militer maupun sipil, yang berusaha mendapatka kebebasan yang lebih tinggi dari pengawasan pusat. Dan terdapat pula problema bagaimana menerapkan pola persatuan ekonomi Nasional kedalam suatu bentuk perekonomian local yang bercampur aduk yang sebagian besar berdasarkan kepada pertanian subsistem. Problema lain adalah bagaiamana memperluas pengawasan politik terhadap desa-desa melalui penciptaan birokrasi nasional yang baru dan melaui partai-partai politik. Dan masih ada problema yang satu lagi, yang umumnya problema ini ditunda untuk masa mendatang, yakni menyangkut peningkatan arti kebangsaan yang melibatkan usaha-usaha dan loyalitas warga Negara.
Politik unifikasi primitive berjuang menghadapi seluruh problema tersebut dan mencapai ukuran sukses, namun pada akhir periode tugas-tugas besar tetap ada. Bangsa tersebut mungkin dapat hidup tetapi masih jauh dari tumbuh dengan sepenuhnya. Memang suatu bangsa dalam arti modern belum lagi ada. Bangunan persatuan politik dan ekonomi masih tipis dan koyak. Suatu jarang yang dapat memisahkan penguasa dari yang dikuasai, sebab walaupun rakyat biasa dari segi politik tunduk, namun partisipasi mereka dalam kehidupan bangsa keciol sekali. Pemerintah nasional menawarkan jasa-jasa sedikit saja, dan sebaliknya rakyat dapat dimobilisasikan untuk memberikan sumbangan kemakmuran, waktu, usaha, atau kepentingan bagi tujuan-tujuan nasional. Pendeknya, arti unifikasi itu masih bersifat “primitive”. kendatipun demikian, unifikasi itu ada dan merupakan suatu landasana yang diperlukan bagi perkembangan-perkembangan selanjutnya.
Kalau dalam Islam tahapan ini terjadi pada masa Rasulullah SAW dan beserta para sahabat-sahabatnya, dimana pada masa itu sang Rasulullah mampu menyebarkan Islam pada masyarakat Arab jahiliyah yang sangat membangkang pada saat itu. Politiknya Rasulullah adalah politik yang sangat murni dan itu sangat diakui oleh para pemikir-pemikir Barat, dan mereka tidak mampu menandinginya sampai kapanpun, sehingga ketika mereka menulis tentang orang-orang yang paling berpengaruh di dunia, yang pertama dan yang paling teratas adalah sang Rasulullah Muhammad SAW, yang mampu menyebarkan Islam hingga kepelosok dunia dan sampai sekarang ajarannya tetap menjadi pedoman bagi umat yang mengaku diri beragama Islam. Ada beberapa pemikir Islam Politik di antaranya adalah, Ibnu Khaldun, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain sebagainya.
2.    Politik Industrialisasi
Dengan adanya industrialisasi maka bentuk dan tugas bangsa berubah. Tahap kedua perkembangan politik terjadi selama masa transisi (peralihan) ini. Pada masa tersebut suatu kelas baru mengambil kekuasaan, membangun ekonomi baru dan rakyat akhirnya menjadi suatu bangsa.
Fungsi utama pemerintah dalam tahap kedua perkembangan politik mengizinkan dan membantu modernisasi ekonomi. Ketiga varietas pemerintahan tersebut, . . . borjuis, stalinis, dan fasis . . . telah melakukan hal tersebut, dan walaupun perbedaan-perbedaan dalam ketiga system ini besar dan menyolok, namun semuanya sama-sama melaksanakan tiga tugas penting tersebut yakni membangun bangsa melakukan indutrialisasi.
Pertama-tama, ketiga-tiganya memungkinkan suatu peralihan kekuasaan politik dari tangan–tangan elit tradisional ke manager-manager industry  yang ingin memodernisasikan ekonomi. Sistem stalinis bertindak cepat, dengan meniadakan aristokrasi kuno lewat revolusi pertama. Sistem borjuis beralih secara lebih bertahap, dimana borjuis secara perlahan-lahan memperoleh kedudukan diatas aristokrasi tradisional dan kemudian membagi kekuasaannya bersama massa rakyat. Dibawah pemerintahan fasisme, golongan tuan tanah tetap bertahan memerintah bersama dengan elite industry baru sepanjang periode fasis, tetapi akhirnya menyerah kalah.
Kedua, ketiga bentuk pemerintahan tersebut mengizinkan dan membantu akumulasi modal, yang demikian mutlak diperlukan bagi perkembangan industri. Ini dilekukan terutama dengan menekan konsumsi penduduk sambil mengizinkan modal menumpuk di tangan mereka yang ingin menanam kembali modalnya, paling tidak sebagian dari padanya dalam bentuk barang-barang modal.
Ketiga, semua tiga bentuk pemerintahan tersebut telah mendorong terjadinya perpindahan penduduk secara besar-besaran dari pedalaman ke kota. Perpindahan penduduk tersebut memberikan tenaga kerja untuk industri borjuis dan pada waktu yang sama membantu percepatan kehancuran dunia petani Daerah. Daerah kantong (anclave) gaya inggris dan kolektivisasi modal Rusia, kedua-duanya mempercepat hijrahnya petani dari ladang pertanian. Pemerintah-pemerintah fasis memberikan sedikit bantuan dan beberapa rintangan terhadap gelombang perpindahan penduduk ke kota, tetapi kendatipun demikian perpindahan tersebut berlangsung terus.
3.    Politik Kesejahteraan Nasional
Poltik kesejahteraan nasional merupakan politik bangsa-bangsa industri sepenuhnya. Didalam tahap kedua telah tumbuh ketergantungan timbale-balik antara rakyat dan pemerintah, dan dalam tahap ketiga ini adalah saling ketergantungan itu menjadi lengkap. Kekuasaan Negara tergantung kepada kemampuan rakyat biasa untuk bekerja dan berjuang, dan rakyat, bersama-sama dengan penguasa-penguasa industri, tergantung kepada pemerintah nasional untuk melindungi mereka terhadap kemiskinan akibat depresi dan dari kehancuran perang.
Fungsi primer pemerintah berbedea denga  fungsi periode sebelumnya. Dalam tahap kedua merupakan tugas pemerintah untuk melindungi modal yang berasal dari rakyat dan tuntutan-tuntutan mereka untukl memperoleh taraf kehidupan yang lebih tinggi. Dalam tahap ketiga ini merupakan tugas pemerintah untuk melindungi rakyat terhadap kesulitan-kesulitan kehidupan industri. Untuk menjaga supaya ekonomi berjalan lancar, untuk memberikan taraf kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka dambakan, dan membantu mereka yang menderita rugi.
Dalam demokrasi massa (mass democracy)rakyat mulai menjalan-kan kekuasaan ekonomi mereka yang baru (yang diperolehnya melalui serikat buruh serta kekuasaan politik yang baru melalui hak pilih yang lebih longgar). Mereka menggunakan kekuasaannya yang baru untuk memperoleh perlindungan pemerintah nasional, dan sudah menjadi tuntutan mereka agar pemerintah melaksanakan fungsinya yang baru.
4.    Politik Berkelimpahan (Politics Of Abundance)
Kita sekarang menuju awalnya suatu revolusi industri yang baru . . . yakni revolusi otomatisasi. Konsekuensinya menjanjikan akan terjadinya kehancuran seperti pada revolusi industri yang asli, dan bentuk-bentuk serta fungsi-fungsi politik baru diperlukan untuk memperlancar masuknya maupun untuk menghadapi konsekuensi-konsekuensinya. Organski menamakan tahap baru perkembangan politik ini dengan politik berkelimpahan (politics of abundance). Tak satu bangsapun telah jauh memasuki tahap ini, tetapi Amerika Serikat dan Negara-negara paling maju Eropa Barat dan persemakmuran berdiri diambang pintu.
Kelimpahan merupakan janji tekhnologi baru, suatu janji yang nampaknya mungkin terpenuhi jika komputer zaman sekarang dan otomatis mesin-mesin yang mengatur sendiri (Dari “keturunan” mereka yang sudah lebih baik) digunakan untuk apapun yang mendekati kapasitas mereka. Pengangguran merupakan ancamanya, dan banyak orang yang merasa khawatir bahwa suatu proporsi besar dari para pekerja, bahkan barangkali mayoritas, akan digantikan tempatnya oleh mesin-mesin. Sukar membayangkan konsekuensi-konsekuensi revolusi semacam itu.
Bagi dunia politik yang wilayah kerjanya empirik dan lapangan, membutuhkan aktor politik, sedangkan dunia akademik atau idealis membutuhkan orang yang konsen pada wilayah pemikiran. Disinilah antara keduanya akan saling mengisi, aktor politik menjalankan aktivitas politik sehingga pesan-pesan politik mampu di praksiskan ke dalam realitas poltik. Sementara mereka yang konsen pada dunia akademik akan tetap menjaga kemurnian ilmu politik agar tidak ternoda oleh kuatnya tarik menarik kepentingan dalam realitas politik.
Kedudukan ilmu politik sebagai bagian dari ilmu kenegaraan, mengharuskan bahwa bagian dari kajian ilmu politik itu adalah negara, terutama mencakup lembaga-lembaga politik dalam negara. Tetapi tidak hanya sekedar negara yang akan menjadi wilayah berkhidmatnya ilmu politik, tetapi juga diluar negara seperti bahasa-bahasa politik, peran-peran civil society, demokratisasi, dinamika kebijakan politik dan pergeseran kekuasaan dalam negara adalah merupakan wilayah kerja analitik ilmu politik. Bahkan yang paling penting dari itu adalah political behaviorial (tingkah laku politik) para aktor politik yang senantiasa bergeser beriringan dengan bergesernya kepentingan politik. Politik itu secara empirik sejatinya adalah kepentingan sehingga ia dinamis dalam menjawab realitas masyarakat. Karena kepentingan masyarakat itu berubah sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat dimana ilmu politik itu berkhidmat.
Sebagai ilmu, ilmu politik merupakan gagasan dari para Negarawan yang lahir dari hasil pergulatan ide dan gagasan orang-orang di dalamnya. Oleh sebab itu tidak sepenuhnya benar kalau ilmu politik itu bisa diterapkan disemua negara – dalam arti ilmu politik dari negara yang satu bisa di transfer kenegara yang lain begitu saja. Karena ada perbedaan tradisi, kultur bahkan pandangan hidup suatu masyarakat yang berbeda dengan sikap dan pandangan hidup negara lain. Sekalipun memang secara universal ilmu politik itu hampir sama dan saling terkait antara negara yang satu negara yang lain.
Dari sudut kepentingan ilmu politik tidak akan sejalan dengan realitas dan politik, karena ilmu politik bekerja ideal sedangkan realitas politik bekerja pragmatis dan cenderung mengikuti irama kepentingan yang ada, dengan mereduksi makna dan hakikat politik yang sesungguhnya. Begitu juga kalau kita melihat sistem politik. Sistem politik terkadang membutuhkan komitmen untuk menjalankannya, tetapi kita bisa melihat sendiri bahwa ternyata hakikat politik akan dilanggar akibat sistem politik. Nilai dan peran ideal politik bisa dicederai akibat bekerjanya sistem politik yang tidak berpihak kepada masyarakat atau negara. Untuk itulah, di dalam politik itu mesti ada gagasan-gagasan besar yang harus mampu di terjemahkan ke dalam tataran praktis sehingga wilayah idealis politik tidak berkurang nilainya ketika di hadapkan dengan realitas politik yang ada.
Pandangan politik harus sejalan dengan teori politik yang ada. Karena pandangan politik itu adalah akumulasi penafsiran terhadap teori politik sebagai awal gagasan-gagasan politik. Menurut Isjwara (1999: 27) bahwa teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik (political institution). Tetapi bukan negara dalam keadaannya yang statis, melainkan negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup bermasyarakat.
Disamping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain (Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia):
    politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Teori Klasik Aristoteles).
    politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
    politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
    politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam rezim politik yang demokratis, kecenderungan antara gagasan dan tingah laku politik merupakan salah satu komitmen yang harus dijalan-kan. Karena dalam tingkah laku inilah seorang politisi itu dinilai, sejauh mana komitmen politik yang dibangun sehingga dalam menjalankan aktivitas politik tidak terjadi disparitas antara nilai, identitas dan komitmen politik yang dibangun.
Ada beberapa kecenderungan perilaku politik dilihat dari perspektif kepentingan pribadi, dan perilaku politik yang seperti ini selalu muncul dalam praktek politik di Indonesia, yaitu:
1.    Perilaku Politik yang Pragmatis.
Kecenderungan perilaku politik pragmatis adalah merupakan kecen-derungan seorang politisi dalam menjalankan aktivitas politiknya dengan berusaha mementingkan kepentingan dirinya sendiri dengan melakukan upaya-upaya pragmatis tanpa mau berpikir panjang. Perilaku politik cenderung berpikir pendek akal dan tidak mau berpikir implikasi politik yang akan timbul sebagai akibat dari keputusan politik yang diambil. Lebih ironis lagi, bahwa pragmatisme politik sudah tidak murni lagi sebagai sebuah pikiran pendek akal, tetapi sudah cenderung digunakan untuk memberikan label kepada politisi yang tidak memiliki nurani dan mengobral kepentingan rakyat untuk kepentingan pribadinya.
2.    Perilaku Politik Hedonis.
Perilaku politik hedonis lebih melihat politik itu sebagai lahan subur untuk mencari kesenangan pribadi dan golongannya. Tidak berpikir baik atau tidak baik, melanggar hukum atau tidak melanggar hukum, yang penting adalah bagaimana bisa mendatangkan kesenangan pribadinya atau golongannya itulah tujuan hakiki perjuangan serang politisi hedonis. Mengumpul harta, menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mencapai kesenangan pribadi, meninggalkan norma-norma politik, mengambil hak-hak rakyat adalah merupakan persoa-lan yang dianggap bukan persoalan. Karena yang menjadi persoalan bagi politisi hedonis adalah kesenangan pribadi, terlepas dari kepen-tingan siapapun yang akan dilanggar tidaklah penting. Disinilah otak, pikiran, tindakan, dan seluruh aktivitasnya adalah diarahkan untuk mencapai tujuan tesebut, maka pada saat yang sama disini pula pragmaisme itu bersekongkol dengan hedonisme yang menyebaban politisi tersebut buat mata hatinya.
3.    Perilaku Politik Status Quo.
Seorang status quo adalah penjaga nilai-nilai politik lama, anti peruba-han dan yang dipikirkan adalah bagaimana nilai-nilai lama mampu dipertahankan dalam menjalankan aktivitas politik yang dilakukan. Seorang politisi status quo seringkali melihat masa lalu itu sebagai masa yang tidak perlu lagi dirubah dan masa yang sedang dihadapinya adalah masa yang mesti dipertahankan, apakah realitas pada saat itu memberikan arti bagi rakyat atau tidak, baginya tidak menjadi masalah. Yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai yang dianut oleh sang politisi itu mampu dipertahankan. Oleh sebab itulah seorang politisi itu tetap mempertahankan identitas pribadi atau kelompok yang dianutnya. Gagasan-gagasan politik pribadi adalah gagasan yang memiliki nilai yang tidak saja mempertahankan tembok status quo. Maka jiwa yang dibangun oleh seorang politisi status quo akan ada kecenderungan kearah politisi otoriter, karena takut kekuasaan yang dimilikinya terancam diambil oleh orang lain. Kebanyakan diberbagai negara di dunia, politisi status quo merupa-kan politisi yang berusaha untuk selalu melanggengkan kekuasan yang dimilikinya sehingga kekuasaan yang dimikinya tidakberalih tangan. Di Indonesia, model status quo itu terjadi pada saat rezim Orde Baru dan rezim Orde Lama tampil sebagai penguasa beberaa dekade yang lalu. Mereka tidak ingin memberikan peluang kepada orang lain untuk terlibat dalam pucuk pimpinan negara, sebab itu mereka melakukan apa yang kemudian disebut sebagai salah satu periodesasi kekusaan otoriter yang terjadi di Indonesia.
4.    Perilaku Politik Machiavellistik.
Machiavelli adalah merupakan salah satu pelopor yang menghalalkan segala cara dalam berpolitik. Dalam menjalankan aktivitas politik yang menghalalkan segala cara ini, Machiavelli lahir sebagai seorang politisi yang tidak akan mengindahkan moral. Bagi machiavelli unuk mencapai kejayaan kekuasaan yang terpenting bahwa kekuasaan itu harus ganas, tiranik dan seorang penguasa itu harus cerdik, dan serakah. Karena dengan demikian kekuasaan itu akan mampu menja-dikan dirinya sebagai yang kaya dalam proses yang berlaku. Dalam menjalankan politik yang terpenting adalah mecoba mengha-dirkan gagasan yang dianut oleh kepentingannya, karena kepentingan itulah yang akan menjadi landasan berpolitik seorang Machivellian.
Machiavelli merupakan rujukan bagi sebagian besar para politisi dunia, terutama yang memiliki akal busuk dengan berupaya mengor-bankan kepentingan rakyat. Penindasan, pengekangan hak-hak politik dan tindakan kejahatan politik oleh kekuasaan adalah menjadi hal yang biasa. Karena yang terpenting bukan proses baik atau tidak baik, tetapi tujuan yang hendak dituju adalah menumpuk kepenti-ngan pribadi dan golongan.
5.    Perilaku Politik Materialistik.
Seorang penganut mazhab materialistik akan berfikir bagaimana mendapatkan kekuasaan dan dengan kekuasaan itu pula ia memikir-kan bagaimana cara untuk mengeksploitasi rakyat untuk mendapat-kan materi sebanyak-banyaknya. Pikiran seorang politisi yang seperti ini hanya mencari keuntungan materi sebanyak-banyaknya dan tidak mempersoalkan halal atau haram, baik atau tidak baik, melanggar hukum atau tidak melanggar hukum. Yang penting dan utama adalah bagaimana mendapatkan kekuasaan yang sebanyak-banyaknya dan dengan kekuasaan itu ia akan menumpuk materi. Kesenangan pribadi, kelompok-kelompok “jahat” dan komunitas-komunitas liar yang dimiliki adalah merupakan bagian yang paling penting bagi seorang politisi yang materialis. Perilaku ini adalah merupakan perilaku politik yang instant, dan tidak memiliki keberpihakan, karena keberpihakannya akan ditentukkan oleh sejauh mana posisi dan artikulasi politiknya di ukur dari keberhasilan materi yang diperoleh .
Oleh karena itu, politik seharusnya menetapkan bahwa tindakan dan sikap politik yang diambil harus memiliki kekuatan legitimasi baik secara sosiologis maupun secara politik dan yuridis. Setiap tingkah atau dan pengambilan kebijakan politik oleh seorang aktor politik mesti di dasari dengan komitmen moral berdasarkan nilai-nilai dan aturan main politik. sehingga karena aturan main politik itu adalah mainstream dari politik, maka tindakan politik mesti mendapatkan kekuatan legitimasi sosiologis dan legitimasi etis, dan yang utama sekali adalah kekuatan legitimasi yuridis.
Perilaku politik (political behavior), meniscayakan terbentuknya moralitas politik, karena tanpa moralitas politik, kita tidak akan menemukan bagian dari gagasan nilai dalam berpolitik. Karena alam berperilaku, seorang aktor politik mesti memikirkan bagaimana tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan sikap-sikap dalam politik. Maka seorang politisi harus melihat politik itu sebagai proses, bukan sebagai tujuan. Karena jika politisi memandang politik itu sebagai tujuan, maka politik bukan lagi nilai dan edukasi, tetapi politik itu adalah kepentingan untuk meraup kepentingan orang-orang tertentu – utamanya- adalah para aktor politik.
Ada beberapa Pendekatan dalam ilmu politik, sebagaimana yang tengah terjadi dalam arus kehidupan politik yang ada di Indonesia, pendekatan ini juga dipakai dalam arus pemikiran politik di negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan demokratis, yaitu sebagai berikut :
1.    Pendekatan Tradisional. Pendekatan tradisional dalam ilmu politik di pelopori oleh George H. Sabine. Ia memandang ilmu politik itu punya sejarah yang panjang, misalnya bagaimana persoalan faktual masa lalu sangat membantu kemajuan ilmu politik kontemporer. Bahkan Sabine mencoba mengangkat pendekatan sejarah sebagai unsur yang paling esensial bagi untuk memahami teori politik. Teori politik selalu mengacu kepada konteks yang agak spesifik sehingga rekonstruksi waktu, tempat dan keadaan yang mampu memberikan pemahaman terhadap ilmu politik itu menjadi suatu hal yang penting.
2    Pendekatan Historis. Dalam hal ini ada sebagian pemikir yang mengatakan, bahwa sejarah adalah merupakan bagian dari politik. Politik adalah sejarah itu sendiri, seperti sejarah kekuasaan, sejarah partai politik, sejarah hubungan internasional dan lain-lain. Leo Strauss, seorang professor ilmu politik pada universitas Chicago, adalah pencetus mazhab pemikiran yang percaya pada paradigma kesejarahan untuk memperkuat kembali  pemahaman politik. Studi-studi politik seperti menggali kembali ilmu politik dari Aristoteles, Plato dan Sokrates adalah merupakan hal yang terpenting untuk membaca kembali kekuatan ilmu politik sehingga ada semacam perbandingan untuk melihat kejayaan ilmu politik pada masa lalu. Dalam pendekatan histories ini, mereka bergumul dengan sejarah untuk memahami ilmu politik, karena antara politik dan sejarah ada persamaan, bahkan disinyalir bahwa ilmu politik itu lahir karena ada sejarah. Sejarahlah yang melatarbelakangi keberadaan ilmu politik. Kendatipun pendekatan historis mengalami masa puncaknya pada abad yang lalu, tetapi banyak bukti yang menunjukkan hingga kini masih di jumpai pendekatan ini. Salah satu bukti yang bisa di kemukakan adalah pendapat yang mengatakan adanya kesamaan metode yang di gunakan oleh para sarjana sejarah dan sarjana politik. Sebagaimana di tegaskan oleh Edward Said: “This Historical approach is Indispensable. It afford the only mean of appreciating the true of nature of institutions and the parculiar way in which they have been fashioned.” Suatu kenyataan yang tidak bisa diingkari, dewasa ini banyak pendekataan historis yang digunakan oleh para sarjana politik yang kebetulan juga di kenal sebagai sejarawan. Pada umumnya mereka memberikan deskripsi tentang peristiwa-peristiwa politik masa kini secara terperinci, dan itu semua dilakukan dengan gaya narasi seorang sejarawan. Apa yang mereka hasilkan biasa di kenal studi kasus. Dalam hubungan dianut suatu pendirian bahwa suatu studi kasus yang dikerjakan dengan baik dan mampu memberikan gambaran tentang peristiwa politik secara realistis barangkali sulit untuk ditolak kegunaaanya. (Maricahyono; 1991:9).
3.    Pendekatan Legalistis. Dalam hubungannya dengan sejarah, sebagaimana yang dijelaskan di atas, ilmu politik itu juga, memiliki mata rantai dengan studi hukum. Karena studi hukum ini menyangkut kebijakan-kebijakan yuridis yang diproduksi oleh politik. Pendekatan legalistis dalam ilmu politik seperti mengkaitkan konstitusi ataupun peraturan-peraturan dengan ilmu politik dengan tidak memisahkan antara ilmu politik dengan ilmu hukum. Karena semua peraturan hukum itu adalah merupakan bagian dari produki politik. Yang menegakkan peraturan itupun harus dilakukan oleh penguasa politik, sehingga antara keduanya tidak bisa di pisahkan.
Beberapa sarjana politik melihat bahwa pendekatan legalistis sebagai suatu pendekatan yang memperkaya pendekatan historis. Dalam pandangan ini pendekatan legalistis harus dianggap mampu mengungkapkan perbedaan antara dunia sejarah dan dunia politik. Para sarjana politik dewasa ini mampu melihat perbedaan dirinya dengan para sejarawan.  Kecuali itu, perlu digaris bawahi, dalam menerima dan menggunakan pendekatan legalistis, para sarjana politik tidak lagi dibatasi untuk mengkaji sistem hukum semata-mata, tetapi beberapa aspek hukum dan konstitusional setiap institusi politik dapat pula dikaji dan diuji. Salah satu yang paling menarik dari upaya ini adalah apa yang dilakukaan oleh Edward S. Corwin dalam analisanya tentang lembaga kepresidenan sebagai satu konstitussional offices. (Maricahyono, 1991:10).
4.    Pendekatan Institusional. Dalam pendekatan institusional ini, para ilmuwan politik mencoba melihat bahwa dari segi-segi tertentu, ada kekurangan dalam ilmu politik kalau dilihat hanya dari segi konstitusional dan sejarah an-sich. Untuk lebih mempertajam lagi adalah harus melihat bagaimana kinerja personal yang ada di dalam institusi tersebut dan tanggung jawab moralnya terhadap realitas yang di hadapinya di dalam institusi tempatnya bekerja. Dalam hal ini, mereka mengkaji realitas-realitas politik yang bersentuhan dengan kerja-kerja praktis, baik itu peristiwa politik, perilaku politik, dan tindakan para pelaku yang bekerja dalam dunia politik, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
5.    Pendekatan Filsafat. Filsafat politik merupakan usaha untuk mengetahui satu mode tertentu dari pengalaman-pengalaman praktis yang mengakumulasi semua pengalaman. Filsafat politik juga mencari hakikat ilmu politik melalui kajian empirik dan rasionalitas terhadap beberapa realitas politik dan fenomena dalam politik sehingga mampu menerjemahkan realitas itu seobyektif mungkin dengan bangunan rasio yang bisa dipertanggungjawabkan. Oakeshott (Varma, 2001: 181) meyakini bahwa filsafat politik atau sebagaimana yang dikatakan olehnya memfilsafatkan politik – adalah aktivitas yang terbatas dalam konteks peran yang lebih luas dari memfilsafatkan – sebagai usaha untuk mengetahui satu mode tertentu dari pengalaman-pengalaman praktis – dari totalitas pengalaman. Refleksi kehidupan politik, sebagaimana disebutkan dalam pengantar buku Hobbes – Leviathan, dapat menjadi beragam tingkatan, dan sesuai untuk pindah dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain, tetapi di dalam filsafat politik kita memiliki dunia aktivitas politik di benak kita, dan juga dunia lain serta usaha untuk menggali pertalian ke dunia tersebut bersama-sama. Filsafat politik bagi Oakeshott adalah konsiderasi hubungan antara politik dan keabadian. Politik menyumbang pada suatu pemenuhan suatu akhir yang tidak dapat menghasilkan dirinya sendiri.
6.    Pendekatan Sosiologi. Dalam pendekatan sosiologi, politik harus mampu memberikan gambaran tentang struktur sosial masyarakat. Dalam wawasan politik supaya mendekati paradigma masyarakat terhadap studi bangunan sosiologis masyarakat menjadi suatu hal yang urgen dalam berpolitik. Kontrol sosial masyarakat terhadap perilaku politik juga merupakan sesuatu yang tidak kalah saingnya dengan entitas kekuasaan itu sendiri. Sehingga keterlibatan masyarakat dalam politik merupakan hal yang mutlak di perlukan untuk melihat dan menilai sejauh manakah penguasa politik berpihak kepada masyarakat. Pembacaan terhadap setting sosial masyarakat untuk mengambil tindakan  politik adalah merupakan paradigma politik yang sangat penting di dalam memaknai obyektif atau tidaknya paradigma politik. Bahkan Catlin mengatakan, bahwa ilmu politik itu tidak dapat dipisahkan dengan sosiologi, dengan menunjuk keuntungan dari pendekatan ini: 1. memungkinkan para ahli untuk mengkaji hubungan dan struktur masyarakat secara menyeluruh dan tidak semata pada bagian-bagian tertentu yang diciptakan masyarakat Eropa abad ke-15 kan ke-17 yang kini disebut sebagai negara modern. 2. mereka bisa mengaitkan studinya dengan teori umum mengenai masyarakat sehingga para ilmuwan politik bisa mengabaikan kesalahan yang tidak perlu, sesuatu yang hampir tak pernah diacuhkan oleh para ilmuwan politik saat ini. 3. kalau ilmuwan politik memusatkan perhatiannya pada negara sebagai satuan analisanya, maka hal-hal kecil yang berkenaan dengan kejadian politik sehari-hari yang tidak di mengertinya mungkin akan terabaikan. Memang ada banyak saat ini, tetapi jelas tidak semua yang bisa dijadikan sebagai alat satuan analisa politik. Mereka harus mengerti betul ciri-ciri pokoknya. 4. kalau ilmuwan politik mengarahkan perhatiannya pada kajian yang non-kelembagaan, tetapi pada fungsi-fungsi dan proses-proses, maka mungkin mereka akan lebih mudah meperoleh unit analisanya Catlin sendiri mengambil fenomena control sebagai pusat studi politiknya. (Varma, 2001: 51-52).
7.    Pendekatan Behavioralis, dalam Pendekatan ini  revolusi behaviorial muncul setelah selesai perang dunia ke-2. Faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya behavioralisme adalah berkembangnya kecenderungan baru dalam dunia penelitian, yaitu dengan mengadakan survei. Dalam melakukan penelitian survei ini, responden yang menjadi obyek penelitian jumlahnya sangat besar sehingga untuk memahami sikap dan perilaku politik maupun pelaku lainnya yang timbul di dalam masyarakat perlu ada pemetaan dalam mengolah data penelitian. Haricahyono (1991:12) mengatakan Behavioralisme menunjuk pada satu tipe psikologi yang mendasarkan datanya pada stimulus  (rangsangan dan respon yang nampak khususnya yang menyangkut perilaku (action behavior). Behavioralisme sebagaimana yang dikatakan oleh David Easton, jangan di campuradukkan dengan behavior yang merupakan suatu konsep psikologi, yang dirintis oleh J.B. Watson yang bertujuan untuk melenyapkan dari penelitian ilmiah – apapun referensi yang digunakan – data yang bersifat subyektif, seperti maksud-maksud, tujuan, serta ide. Behavioralisme menekankan bahwa yang dapat diakui sebagai data adalah data yang validitasnya di dasarkan atas observasi, yang diperoleh melalui penggunaan panca-indera  atau peralatan mekanis. Bahkan pada masa selanjutnya, para ahli psikologi mulai menyadari bahwa antara stimulus eksternal dan respons yang dapat diamati, terdapat pengalaman subyektif yang mempengaruhi interpretasi serta akibat-akibat dari stimulus tadi, dengan demikian juga mempengaruhi sifat-sifat dari respons yang dihasilkan. (Varma, 2001: 71). Lebih lanjut Varma menulis, bahwa ilmu politik perilaku (behaviorial political science) dapat dianggap berkembang melalui tiga tahap. Pertama, yang mendahului pecahnya perang dunia, terdapat peningkatan pemanfaatan metode-metode empiris dan kuantitatif. Para ilmuwan politik mengikuti bimbingan Staur Rice dan Harold Gosnel, mulai menggunakan data kuantitatif serta tabel-tabel statistik dalam tulisan mereka, tetapi hal ini tidak dapat dianggap sebagai suatu terobosan biasa. Kedua, pada saat terjadi dikotomi antara kaum tradisionalis dan behavioralis mulai mengalami penyembuhan suatu keretakan baru mulai timbul diantara kaum behavioralis sendiri. Kaum behavioralis mulai terbagi dalam dua aliran pemikiran, yakni (a) behavioralis teoritis (theoretical behaviouralis) yang terus membuat jaringan teori tanpa dikendalikan oleh penemuan-penemuan substantif, dan (b) behavioralis positif, yang asyik dengan metode-metode, sehingga mereka tak hanya kelihatan mengabaikan teori, tetapi juga ilmu politik itu sendiri. Ketiga, adalah ketika kaum behavioralis yang beraliran empiris mengecam kaum behavioralis positif pada tahun 1960-an, karena dianggap (a) hanya tertarik terutama pada perilaku manusia dalam sifat-sifatnya yang umum dan biasa (b) mengabaikan kegunaan dan validitas cerita-cerita impresionis dari suatu fenomena politik, (c) memaksakan penggunaan model-model procrustean terhadap suatu realita, sehingga mereka sendiri terpedaya oleh relevansi dari penelitian-penelitian mereka. (d) membuat-buat logat khusus yang menghalangi komunikasi dan replikasi yang membuat karangan yang terbelit-belit dan tumpul, (e) tidak mampu memanfaatkan rekomendasi kebijaksanaan dan sebagainya. (Varma, 2001: 88-90).
Kepemimpinan
Kalau kita melihat kembali konsep kepemimpinan yang dicerminkan oleh Rasulullah. Maka ada beberapa konsep kepemimpinan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para khalifah yang memang menjadi contoh bagi umat sesudahnya ;
Pertama, Bertakwa kepada Allah SWT. Bertakwa kepada Allah merupakan landasan pokok (prinsip utama) dari kepemimpinan Rasulullah SAW. Mengapa takwa itu menjadi landasan utamanya, karena akan lahir sebuah sistem masyarakat yang tidak mengenal perbedaan antara satu dan yang lainnya. Sebab kepemimpinan itu dijalankan dengan benar-benar berdedikasi kepada masyarakat, juga dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Kedua, Siddiq (berkata benar atau jujur) seperti gelar yang diberikan kepada Abu Bakar Khalifah yang pertama. Setiap Muslimdiperintahkan untuk senantiasa berlaku siddiq (jujur) atau berkata benar. Seperti yang selalu dikemukakan oleh banyak orang, yang berbunyi: “qulil haqqa walau kanna muran” (berkatalah yang benar meskipun itu pahit atau berteriaklah jika itu benar). Apalagi kalau dia adalah seorang pemimpin, karena setiap kata-katanya mengikat banyak orang. Ketika seorang pemimpin berjanji, maka dia berjanji dengan orang banyak, dan apabila janji (amanah) itu tidak mampu dia jalankan (dia tepati), maka amanah itu ia pertanggung-jawabkan dihadapan sejarah, umat dan lebih-lebih dihadapan Allah SWT.
Dia akan disebut-sebut oleh orang sepanjang sejarah sebagai pemimpin yang tidak memiliki tanggungjawab terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Penulis menyarankan; ”apabila kita sudah mengetahui diri kita tidak mampu menjalankan hal tersebut atau tidak mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik, maka kita jangan pernah bermimpi untuk menjadi pemimpin sebelum kita mampu memimpin keluarga kita, saya yakin kita mengetahui semua apa tanggungjawab seorang pemimpin, pemimpin itu adalah amanah rakyat banyak yang harus kita perjuangkan dan setiap kita berjanji dengan rakyat harus kita tepati dengan baik, misalnya kita berjanji untuk kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan lain sebagainya, kalau memang kita tidak mampu menjalankan hal tersebut janganlah kita berjanji yang demikian”.
Ketiga, Tabligh (menyampaikan). Sebagai seorang pemimpin hendaknya komunikatif, atau terampil dalam menyampaikan hal-hal yang tengah terjadi didalam masyarakat. Seorang pemimpin harus selalu berkomunikasi dengan masyarakat dalam menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapinya, sehingga persoalan-persoalan yang muncul tidak disembunyikan, agar mampu dicarikan akar permasalahannya sehingga dapat dipecahkan secara bersama-sama dan dicarikan solusi yang tepat. Begitu pula dengan posisi yang ditempati oleh politisi Islam. Dan harus dipahami bahwa ia wajib menyampaikan dakwah dan kebenaran Islam dalam posisi dan kedudukannya sebagai penguasa.
Dalam berpolitik seorang Muslim harus berdakwah dan bukan berarti menjadikan mesjid sebagai panggung untuk berpolitik, karena saya lihat politisi kita sekarang menjadikan mesjid sebagai panggung politik, itu namanya politisi yang bodoh yang tidak tahu tempat untuk melakukan proses politik, sehingga mesjid tempat kita beribadah dijadikan tempat untuk berpolitik. Oleh karena itu, politik memang harus dipandang sebagai salah satu jalur dan media dakwah yang sangat penting dan strategis. Dalam melakukan dakwah untuk mengubah persepsi keliru bahwa, “politik memang kotor” tersebut, bisa dilakukan dengan lisan (Da’wah bil lisan atau da’wah bilisanial-maqal) maupun dengan suri tauladan (Da’wah bil hal atau tepatnya da’wah bil lisani al-hal).
Keempat, Fathonah (cerdas dan cakap). Seorang pemimpin jelas dituntut memiliki kecerdasan dan kemampuan yang memadai dalam kepemimpinannya, melebihi kecerdasan yang dimiliki oleh masyarakat yang dipimpinnya, sehingga tidak menyebabkan wibawanya turun dihadapan masyarakat. Seorang pemimpin tidak boleh mengandalkan secara terus-menerus kecerdasan orang-orang yang ada disekitarnya (pembantu-pembantunya), karena pada saat tertentu, seorang pemimpin harus menangani masalah yang timbul didalam masyarakat, atau keputusan-keputusan politik dengan cepat.
Kelima, Amanah (kepercayaan). Dalam perspektif Islam, kepemimpinan ituhakikatnya adalah melaksanakan Amanah Allah SWT dan kemanusiaan. Maka bukan saja mempertanggung-jawabkannya didunia ini, tetapi juga diakhirat kelak, kecuali itu kepemimpinan yang seyogyianya atas orang yang berhak lantaran memang mampu melaksanakannya (amanah itu), sehingga layak menerima/ mendapatkanya.
Keenam, Adil. Seorang pemimpin tidak boleh menunjukkan kepemim-pinannya hanya baik dan menguntungkan atas Diri, Keluarga, maupun suatu kelompok (partai) semata. Melainkan harus benar adil dan memihak pada siapa yang benar meskipun yang salah itu adalah anaknya sendiri. Seorang pemimpin tidak boleh menempatkan rakyat sebagai obyek kekuasaan, sementara para elit politik ditempatkan sebagai pelaku utama yang akan memerankan segala hal. Sehingga semuanya diputuskan secara sepihak tanpa mempedulikan suara rakyat dan tidak mendengarkan jeritan nurani rakyat. Para Koruptor kelas kakap dibiarkan berkeliaran tanpa sedikitpun disentuh oleh Hukum, sedangkan jika rakyat mencuri ayam saja ditahan minimal 2 bulan dalam penjara, mereka yang mengambil uang rakyat bermilyar-milyar itu tidak pernah disentuh oleh yang namanya hukum, rakyat selalu berteriak dan bertanya dimanakah Hukum dinegeri antah-barantah ini?. Keadilan tidak menjadi landasan utama bertindak bagi elit-elit politik Islam saat ini, yang menjadi landasan utamanya sekarang adalah kekayaan mereka tidak pernah memikirkan rakyat. Sehingga penyimpangan terjadi dimana-mana, seperti korupsi yang kini terjadi di berbagai institusi pemerintahan, itu karena mereka melupakan ajaran Islam yang melarang berbuat curang dan membenci orang yang tidak memiliki sifat amanah dan menjadi pecundang dipentas politik.
Ketujuh, Bersahaja. Seorang pemimpin hendaknya berpola hidup sederhana, yaitu menghidari perilaku serakah dan menumpukkan Harta, seperti perilaku para pemimpin kita sekarang, yang membuat Allah sangat membencinya.
Setelah kita melakukan identifikasi realitas politik yang dipersentuhkan dengan idealitas Al-Qur’an, maka ditemukan beberapa dimensi perilaku elit politik yang bertentangan dengan Al-Qur’an, dimana mereka suka saling menuding ketika berkampanye, saling menghina dan mencaci diantara sesama. Di samping itu kemunafikan elit politik ketika berkampanye merupakan realitas politik yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Menurut para pakar sosial-politik, kemunafikan dan kedustaan yang terjadi dipentas politik itu adalah sebuah keniscayaan, sebab, ketika kita kembali ketujuan awal dari politik adalah kepenntingan atau kekuasaan, ”tidak ada saudara dan sahabat sejati dalam pentas politik, yang ada hanyalah kepentingan dan kekuasaan sejati”. Ini adalah ungkapan yang sangat pas untuk dikatakan ketika kita berbicara tentang politik beserta para aktor-aktornya. Mereka bisa saja menghalalkan segala cara untuk mencapai hasrat kekuasaannya dan untuk memenuhi kepentingannya.
Ada tiga prinsip kekuasaan Ulama yang diajukan atau yang ditemukan dalam konsep Al-Maududi tentang Teo-Demokrasi. Al-Maududi adalah pendiri Jama’at-I Islami Pakistan, dalam karyanya: The Political Theory of Islami yaitu:
1.    Tidak ada orang, kelas atau kelompok, bahkan semua warga negara secara keseluruhan, dapat mengklaim kekuasaan. Hanya Allahlah penguasa yang sesungguhnya; selain-Nya hanyalah mahluk yang diciptakan oleh-Nya
2.    Allah adalah pemberi Hukum yang sesungguhnya dan kekuasaan legislasi yang absolut hanya ada pada-Nya. Orang-orang yang beriman tidak membuat aturan dengan benar-benar beban, juga tidak dapat memodifikasi hukum apapun yang telah diturunkan oleh Allah,  bahkan jika ada keinginan untuk memberlakukan hukum seperti itu atau mengubah huukum tuhan tersebut dengan bulat.
3.    Sebuah Negara Islam harus didasarkan pada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah para Nabi-Nya. Pemerintah yang menjalankan Negara seperti itu layak dijadikan sebagai contoh bagi Negara lain yang ada didunia ini dan layak untuk ditaati dalam kapasitasnya sebagai suatu agen politik yang dibentuk untuk menerapkan hukum Allah dan hanya sejauh itu negara bertindak. Kalau Negara itu tidak menghiraukan hukum yang telah diwahyukan Allah, perintah-perintahnya tidak mengikat orang-orang yang beriman .
Menurut Nawawi Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik:
1.    Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2.    Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3.    Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4.    Kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5.    Kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6.    Kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk mengukur kaum intelektual genuine adalah sebagai berikut;
1.    Berperan untuk mendorong terjadinya demokratisasi. Kaum intelektual genuine dalam upaya ini tidak turun ke jalan untuk mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi lebih kepada tawaran-tawaran politik terhadap Negara yang bersifat konseptual sehingga ada sinergitas antara posisi kaum intelektual dengan negara. Tetapi mereka bisa menjaga jarak, dimana posisi yang harus dimasuki dan dimana posisi yang tidak dimasuki, sehingga kaum intelektual adalah merupakan mereka yang lahir dengan kesadaran politik yang matang;
2.    Berusaha untuk meningkatkan proses partisipasi dalam masyarakat. Demokrasi hanya bisa terbangun jika partisipasi bisa dilakukan, dan partisipasi akan terwujud jika masyarakat mampu di sadarkan secara politik. Ketika varian utama dalam politik demokratis yakni kompetisi, kontestasi dan partispasi adalah merupakan agenda penting yang harus dilakukan oleh kaum intelektual genuine. Selama ini oposisi untuk membangun demokrasi hanya dimaknai jika mengambil posisi frontal terhadap Negara. Sehingga mereka yang melakukan gerakan pembebasan dan membentuk masyarakat supaya menjadi intelektual adalah mereka yang disebut sebagai intelektual genuine;
3.    Mempertahankan identitas kebangsaan. Ciri khas seorang intelektual genuine adalah memiliki identitas kebangsaan dan rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka mempertahankan identitas aslinya sekalipun proses globalisasi sedang mengancam eksistensi identitas kebangsaanya;
4.    memiliki rasa nasionalisme yang kuat, sebagai bentuk rasa kecintaannya terhadap identitas kebangsaan, maka nasionalisme adalah merupakan persoalan penting yang di jaga oleh kaum intelektual genuine. Seluruh model keaslian bangsa menjadi penting di jaga, karena itu merupakan bentuk kecintaan terhadap nation. Bangsa bukan hanya sekumpulan orang yang hidup bersama dan memiliki sejarah yang uniform, tetapi bangsa juga adalah kesatuan misi untuk berjalan beriringan untuk membangun masa depan yang lebih cerah;
5.    Menjaga budaya bangsa, sekaligus budaya politik. Kehancuran bangsa Indonesia saat ini adalah akibat berkumpulnya otak-otak serakah yang melakukan kejahatan atas nama rakyat. Budaya politik kleptokrasi, patrimonial dan selalu mengkhianati audiens politik adalah budaya politik yang harus di sucikan kembali oleh kaum intelektual genuine sehingga Indonesia tidak menjadi sarang para dedengkot politik yang selalu membawa rakyat sebagai kuda tunggangan. Sikap politik kaum intelektual genuine tidak memandang negara sebagai musuh, sekalipun mereka menganggap elit politik sebagai biang keladi dari kemerosotan moral bangsa, sikap mereka adalah melakukan politik korektif secara ilmiah, karena mereka yang disebut genuine masih cinta terhadap musyawarah, cinta terhadap demokrasi dan menginginkan negara dibangun bukan atas nama kebencian, tetapi harus melalui kerja sama yang erat antara berbagai pihak yang terlibat di dalamnya;
6.    Melakukan upaya pemberdayaan. Model pendekatan yang paling penting dari seorang intelektual genuine adalah berusaha untuk menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Penempatan masyarakat sebagai obyek yang dilakukan selama Orde Baru misalnya, tidak bisa dibiarkan secara berketerusan, karena dapat menciptakan masyarakat kerdil dan menganggap bahwa bangsa ini adalah milik penguasa. Pikiran permisif, pesimis yang kemudian berakibat melahirkan ironi dalam negara demokrasi ini, harus diretas melalui upaya pemberdayaan. Kalau demonstrasi dan gerakan protes adalah upaya untuk menggerakkan massa untuk melawan Negara dan ini cenderung dilakukan oleh kaum intelektual organik, maka kaum intelektual genuine harus memikirkan bagaimana masyarakat bukan di gerakkan, tetapi mereka sendiri yang akan bergerak secara sadar untuk membangun negara-nya atau untuk melawan negara, jika negara mengalami collaps;
7.    Gerakan paradigmatik, yaitu merubah cara berpikir masyarakat yang dihinggapi oleh sindrom ketakutan menjadi sumber perlawanan dan dari rasa inferior menjadi superior;
8.    Mendidik massa supaya menjadi warga negara. Massa. Ketika Eep Saifullah Fatah menyampaikan di Taman Budaya Surakarta, Sabtu, 1 Januari 2000 mengatakan, “maka yang saya inginkan di abad baru ini adalah berubahnya kita sebagai massa menjadi warga negara. Perubahan inilah yang menjadi pekerjaan besar kita sepanjang abad baru ini. Pertama-tama, ini adalah pekerjaan kita sendiri-sendiri. Baru kemudian, ia menjadi pekerjaan kelompok, dan pekerjaan bangsa”. Karena itu, kata Fatah, saya ingin agar di abad baru ini kita meneguhkan komitmen untuk membongkar tirani di kepala kita masing-masing. Mari kita merdekakan diri kita sendiri. Pemerdekaan diri sendiri inilah yang kelak akan menjadi modal sungguh besar untuk memerdekakan kita sebagai masyarakat dan sebagai bangsa.

Daftar Pustaka

Adams, Ian, (1993), ”Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya”, Yogyakarta, Qalam.
Al-Maududi, A’bul A’la, (1976), “Political Theory of Islam.”Islam: Its Meaning and Message”. Edited By Kurshid Ahmad. London: Islamic Council of Europe.
Al-Raziq,  Abd , (1998), “Message Not Government, Religion Not State Liberal Islam”, A Source Book. Edited By Charles Kuzman, Oxford. Oxford Uni Press.
Bagus, Lorens, (2000), ”Kamus Filsafat”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Barents, J., (1965), “Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapangan”, terjemahan dari L. M. Sitorus, Djarkarta, Pembangunan.
Baso, Ahmad, (2005), “Islam Pascakolonial : Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme”, Bandung, Mizan.
Budiardjo, Miriam, (2002), “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Easton, David, (1965), “A Systems  Analysis Of Political Life”, New York.
------------------, (1971), “The Political System”, New York, Alfred A. Knopf, Inc.
-----------------, (1984), “A Frame for Political Analisis”, Prentice-Hal, inc., Englewood Cliffs, N.J. Yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik”, Bandung, PT. Bina Aksara.
Isjwara, F., (1999), “Pengantar Ilmu Politik”, Putra A Bardin, Yogyakarta.
Jurdi, Fajlurrahman, (2008), ”Aib Politik Islam: Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan”, Yoyakarta, Antonylib-Indonesia bekerjasama dengan PuKAP-Indonesia.
---------------------, (2007), ”Aib Politik Muhammadiyah”, Yogyakarta, Juxtapose.
---------------------, (2008), ”Predator-Predator Pasca Orde Baru: Membongkar Aliensi Leviathan Dan Kegagalan Demokrasi Di Indonesia”, Yogyakarta, PuKAP-Indonesia.
Jurdi, Fatahullah, (2009), ”Pengantar Ilmu Politik; Studi Terhadap Hubungan Antara Ilmu Politik dengan Politik”, Makassar, makalah yang disampaikan pada acara kuliah pengantar ilmu politik pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan  Filsafat UIN Alauddin Makassar.
Jurdi, Syarifuddin, (2006), ”Islam Dan Politik Lokal”, Yogyakarta, Pustaka Cendekia Press.
Latif, Yudi, (2005), “Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20”, Bandung, PT. Mizan Pustaka.
Mujani, Saiful, (2007), “Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik Di Indonesia Pasca-Orde Baru”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Noer, Deliar, (1965), “Pengantar Kepemikiran Politik”, Medan, Dwipa, Djilid I.
Turner, Bryan S., (2008), “Teori-Teori Sosiologi Modernitas dan Posmodernitas Pasca Marxis!-Pasca Liberal!”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Zainuddin, A. Rahman, (2004), ”Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah dan Benturan Ideologi”, Jakarta, Pensil-324.
Zallum, Abdul Qadim, (2004), ”Pemikiran Politik Islam: Mengemukakan Ketinggian Politik Islam”, Jawa Timur, Al-Izzah.
Shihab, Quraish, “Wawasan Dalam Al-Qur’an”. Dalam format e-Book seperti ini oleh M. Arifin, S.Kom, M.A.
Qur’an Surat Al-Baqarah (2); Ayat 269.


1 komentar: