Minggu, 13 Mei 2012

Nalar Berpikir Anak Muda Indonesia

NALAR BERPIKIR DAN BERIDEOLOGI ANAK MUDA INDONESIA

Oleh:
Fatahullah Jurdi 

Dalam ranah kehidupan anak-anak muda Indonesia pada saat ini, ada semacamn pendiskriminasian yang membuat semua kebijakan itu mengarah pada kebijakan sipil, yang akan mengedepankan kepentingan warga sipil, mereka melihat, seakan yang hidup di negeri ini hanyalah mereka yang menjadi warga-warga sipil yang cukup terpandang, sehingga tidak ada yang namanya kelaparan. Sebagai anak bangsa yang resah dengan perilaku penguasa yang seperti ini, saya akan melakukan perlawanan untuk meminta kebijakan pangan itu supaya lebih baik dan lebih berpihak kepada penduduk yang kecil dan lebih-lebih kepada petani.
Ketika kita memperhatikan kehidupan manusia Indonesia yang ada disekitar kita, maka akan ada sebuah tontonan yang akan mengharuskan kita untuk mengeluarkan air mata. Sebab tidak sepantasnya warga Negara yang kaya akan sumber daya alam itu mengalami hal tragis yang begitu dahsyat. Kelaparan menyerang warganya dimana-mana, sehingga banyak warga Negara Indonesia yang mati kelapan dan juga mati karena kekurangan gizi.
Dalam kehidupan sosial sekarang, nalar ideologi anak-anak muda Indonesia, semakin mengalami keretakan dengan apa tengah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Anak-anak muda Indonesia telah termakan oleh ideologi-ideologi materialisme, hedonisme dan juga ideologi-ideologi yang bertentangan dengan realitas kehidupan sosial yang tengah terjadi dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Indonesia adalah Negara yang selalu sarat dengan berbagai pemikiran-pemikiran baru. Misal pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh Ulil Abshar Abdallah bagi terbentuknya suatu aliran baru Islam, begitu juga dengan pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid beserta gengnya dalam ranah kehidupan beragama di Indonesia. Sebagaimana yang disebutkan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra M.A dengan konteks berteologi di Indonesia, bagaimana dia mengupas tentang terjadi pergolakan ideologi dikalangan anak-anak muda Islam Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa dalam tubuh Islam Indonesia tengah terjadi pergolakan pemikiran dan juga ideologi yang menciptakan polemik yang berkepanjangan antar pemikir-pemikir Islam Indonesia.
Indonesia banyak sekali mencetak pemikir-pemikir Islam Kontemporer yang memberikan pemikiran-pemikiran baru tentang adanya sebuah konsep barau dalam berteologi di Indonesia. Kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini, sangat sarat dengan berbagai pergolakan pemikiran dan juga ideologi yang menciptakan polemik yang berkepanjangan bagi terciptanya Indonesia baru.
Dalam konteks berteologi di Indonesia, kita akan menjumpai berbagai hal yang mungkin tidak sepadan dengan apa yang menjadi pemikiran kita pada hari ini. Terjadi pergolakan besar-besaran dalam kehidupan sosial bermasyarakat di Indonesia. Indonesia adala Negara.
Nalar Ideologi Politik Anak Muda Indonesia
Generasi muda adalah jumlah yang menjanjikan untuk mendukung aktifitas politik negeri ini. Sehingga, kelompok usia sekolah setingkat SMA menjadi target untuk mendulang suara dari pemilih pemula dalam sebuah kegiatan politik seperti Pemilu. Sehingga sangatlah relevan dunia pendidikan bisa menjadi basis yang strategis untuk menaikkan pamor politik. Tak heran jika para caleg berupaya meraih simpati dari kalangan guru dan siswa.
Sejatinya sudah ada larangan beraktifitas politik atau berkampanye di lembaga pendidikan. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Namun dengan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, para pelaku politik praktis ini tetap melakukan aktifitas politik di lingkungan sekolah meski dengan secara terselubung. Bagaimanpun bentuknya, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, kampanye politik merupakan bentuk paparan yang telah mengarah pada politik praktis.
Dengan paparan dan ancaman propaganda politik yang semakin besar ini generasi muda harus dibekali moral dan pengetahuan yang baik tentang politik. Selama menuntut ilmu di bangku pendidikan, para siswa tampaknya tak pernah mendapatkan pendidikan politik secara benar. Pembelajaran politik secara langsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat melalui media yang sudah sarat dengan pembusukan dan anomali politik.
Dunia politik realitasnya akan selalu lekat dalam dimensi kehidupan manusia. Perwujudannya akan selalu bisa ditemui dalam skala yang besar hingga skala yang terkecil. Tentu dengan tingkat variasi kajian yang berbeda antara satu dimensi dengan dimensi lain.
Seluruh anak bangsa pasti akan muak melihat kaum elite politik yang sudah kehilangan nilai kearifan dan fatsun politik. Mereka cenderung menghalalkan segala cara dalam mencapai ambisi dan keinginan. Yang lebih menyedihkan, mereka juga tak segan-segan menjatuhkan rival politik melalui praktik “kampanye hitam” yang sangat tidak cerdas. Saling klaim dan sekaligus memberikan stigma kepada lawan politik sudah dianggap sebagai strategi politik yang sah. Tragisnya, tak sedikit elite politik yang tersandung persoalan hukum akibat hilang nilai moral kejujuran dan memudarnya nilai kearifan dan fatsun politik dalam berpolitik.
Fenomena lain adalah trauma politik yang banyak didengar atau dialami selama rezim Orde Baru. Sejarah politik d jaman itu telah menimbulkan luka politik yang dalam bagi manusia yang mengalaminya. Dalam zaman orde baru tampaknya masyarakat sengaja dipaksa dibutakan dari berbagai persoalan sosial-politik kebangsaan. Akibatnya manusia hanya diarahkan untuk menjadi robot-robot zaman yang harus menjadi kacung pada sang sutrada kekuasaan di kehidupan bangsa ini.
Sejarah politik yang menyedihkan itu tidak boleh dijadikan landasan dalam politisasi pendidikan. Namun pengalaman sejarah politik itu adalah pengalaman yang sangat berharga untuk memulai berbangsa dan bernegara dengan melalui jalan yang benar.
Dalam beberapa survey didapatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR dan partai politik demikian tinggi. Mungkin saja ketidak percayaan terhadap partai politik akibat dari individu pemain politik atau tidak sempurnanya sistem yang ada sekarang. Ketidakpercayaan terhadap partai politik inilah awal dari hancurnya tatanan politik bangsa ini. Hancurnya tatanan politik di negeri ini merupakan imbas dari minimnya dunia pendidikan politik kita dalam menyentuh nilai-nilai kearifan politik.
Bila hal ini terus berlanjut dari generasi ke generasi, bukan tidak mungkin negeri kita hanya akan disuguhi permainan akrobat politik yang tidak berkualitas dan memuakkan. Akibatnya pandangan terhadap kehidupan politik bangsa ini berkonotasikan selalu sebagai sebuah permainan busuk dan kotor. Padahal, politik merupakan bagian dari strategi kehidupan untuk mencapai tujuan. Jika dilakukan secara benar, jujur, cerdas, dan bermoral, pasti akan mendatangkan kemaslahatan dan kesejahteraan buat rakyat.
Pengajaran terhadap politik, harus dilakukan sejak dini. Generasi muda harus peduli dengan persoalan bangsa khususnya masalah politik. Mereka perlu belajar dan sekaligus memahami berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa dan negerinya. Sehingga, pendidikan politik yang perlu diaplikasikan ke dalam lembaga pendidikan bukanlah dalam bentuk propaganda politik praktis yang akan mengarah pada proses pembusukan intelektual, melainkan pendidikan politik yang sesuai secara ilmiah dan bermoral. Penanaman nilai-nilai kearifan dan fatsun politik secara benar melalui dunia pendidikan mendesak harus dilakukan.
Sudah saatnya dunia pendidikan dilakukan secara holistik dengan mengakomodasi berbagai persoalan yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup rakyat banyak khususnya menyangkut permasalahan bangsa.
Semula sistem pendidikan yang tidak mengacu pada pembelajaran terkotak-kota pada setiap mata ajaran bisa jadi dianggap aneh. Namun hasil yang dicapai akan jauh memberikan lonjakan kualitas generasi. Kemampuan berkreasi dan menginspirasi, memberikan pengalaman tersendiri bagi anak-anak. Dunia anak-anak yang penuh dengan imajinasi, pada pendidikan formal dan sekolah (umumnya sekolah negeri), kemudian dikerangkeng dalam pembentukan robot intelektual.
Proses mengenali, menemukan dan mencari jalan baru, sungguh sangat jauh dari impian. Pada beberapa sekolah non-negeri, sistem pembelajaran dengan mengutamakan kualitas peserta didik yang dihasilkan, justru merupakan sebuah metoda pembelajaran yang jauh akan lebih berpengaruh.
Belajar politik bisa dimulai sejak berusia delapan tahun. Melalui pendidikan formal, mulai dari belajar melihat dan membentuk rukun tetangga, membangun kelurahan dan kecamatan, membentuk kota, mengembangkan provinsi, membangun negara, hingga merundingkan sistem antar negara di dunia, dapat mengisi ruang-ruang kualitas politik anak negeri. Pembelajaran ilmu-ilmu dasar seperti aritmatika, logika, ekologi, akuntansi, ekonomi koperasi, moneter, sosiologi, kesejarahan, hingga beragam pengetahuan dasar lainnya dapat diberikan dalam bentuk ruang-ruang dimensi sosial kehidupan.
Proses belajar dengan menemukan, akan terus memberikan gerakan otak untuk mencari hal yang baru, untuk sesuatu yang lebih baik bagi kehidupan. Bukan semata untuk menjadi robot intelektual yang kemudian menerima sistem yang tengah stabil, yang ketika sistem mengalami guncangan, maka berlarianlah semuanya mencari tempat perlindungan yang aman.
Mampukah negeri ini untuk menemukan sebuah sistem pendidikan yang lebih mencerdaskan bagi keberlanjutan kehidupan dalam sebuah keadilan dan kesejahteraan bersama. Tantangan terbesar bagi pemimpin negeri kemudian adalah untuk berani memimpin sebuah pembaharuan.
Jangan sampai, dunia pendidikan bisa meraih segala ilmu yang ada tetapi dalam hal tertentu khususnya mengabaikan kehidupan sosial politik akan membuat ketidakpedulian anak-anak masa depan negeri ini dari berbagai persoalan nyata yang dihadapi bangsa dan negaranya.
Kepedulian terhadap masalah bangsa adalah juga bentuk kepedulian terhadap sesama manusia. Para siswa harus mulai memahami persoalan-persoalan kebangsaan melalui proses pembelajaran yang dialogis dan interaktif.
Karena demikian padatnya kurikulum yang ada maka pendidikan politik tidak perlu dijadikan sebagai materi pelajaran tersendiri. Nilai moral kearifan dan kesantunan politik perlu segera ditanamkan dan diaplikasikan ke dalam dunia pendidikan yang diberikan secara integratif ke dalam berbagai mata pelajaran tertentu seperti PPKN, sejarah dan sebagainya.
Berhasil menanamkan nilai-nilai kearifan politik ke dalam ranah pemikiran siswa sudah merupakan sukses tersendiri bagi sebuah lembaga pendidikan. Pendidikan politik tidak harus sekedar teori. Pembelajaran dalam sikap dan perilaku sehari-hari baik di rumah dan di sekolah adalah pelajaran politik yang sangat berharga.
Memupuk sikap menghargai pendapat orang lain dengan melakukan pemilihan ketua kelas atau diskusi dan debat yang baik tentang permasalahan bangsa adalah bentuk pendidikan politik praktis yang berharga.
Melalui pengajaran nilai santun dan bermoral politik semacam itu kepada generasi muda diharapkan kelak mereka mampu mencetak politikus masa depan yang cerdas dan bermoral. Sehingga hal itu akan dapat membantu meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap permasalahan bangsa melalui partisipasi politik dengan tidak menghalalkan segala cara.
Komitmen Kita Terhadap Ideologi
Walau telah ditemukenali karakter khas dan keunikan ekonomi suatu negara, seringkali negara tersebut tidak mampu melakukan proses pembangunan (virtuous cycle of development) menuju kemajuan ekonomi. Di Indonesia, yang terjadi justru pertumbuhan yang berkualitas rendah. Signifikasi pertumbuhan yang relatif baik. Ternyata, tidak mampu mengurang jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Faktanya, sebaliknya peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan.(Burhanudin Abdullah, Kompas. 09/10/07).
Selain Cina. Contoh lain keberhasilan karakter khas yang didorong oleh komitmen tinggi terhadap ideologi adalah Jepang, nilai-nilai yang diajarkan oleh Suzuki Sochan melalui Budha Zen, mendorong bangsa Jepang bangkit dari keterpurukan paska kekalahan dalam perang dunia II sehingga muncul sebagai negara maju. Demikian pula dengan eropa, tesis Max Weber “ The Protestan Etics And The Spirit Of Capitalism” (1973). Dan Richard Robinson dalam “The Rise of Capital” (1986). Setidaknya, menggambarkan bangkitnya pembangunan menuju kemajuan ekonomi di Eropa. Kapitalisme sebagai ideologi, terpatri kuat di jiwa bangsa eropa dan mereka berkomitmen kuat terhadap ideologi tersebut dalam pembangunan, bahkan saya berani mengatakan agama kapitalisme merupakan agama yang eksis di Eropa, Amerika bahkan di seluruh belahan dunia lain. Mungkin, termasuk Indonesia. Namun, kita tidak pernah mengakuinya.
Bangsa Yang Munafik Terhadap Ideologi
Lantas berhasilkah Bangsa Indonesia, yang katanya Negara Pancasilais, religius dan menjujung tinggi nilai-nilai kearifan lokal ini, menemukenali kekhasan dan keunikan pembangunannya menuju kemajuan. Koentjaraningrat melalui bukunya “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan” (1974) mengidentifikasi karakter kebudayaan dan mentalitet pembangunan “orang-orang Indonesia”, sebagai orang yang. Munafik, licik, suka sikut kanan-kiri, dan tidak memiliki komitmen.
Ekonomi Pancasila, yang dipopulerkan oleh almarhum Mubaryanto, Guru Besar Ekonomi UGM Yogyakarta. Berhenti pada tataran kajian, ekonomi kerakyatan sekedar slogan dan retorika. Ekonomi Islam yang dikembangkan oleh banyak ekonom-ekonom muda Indonesia seperti M. Chatib Bisri dan lainnya, seakan tanpa signifikasi dan ruang memadai dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sosialisme tak memiliki tempat. Kapitalisme malu-malu tapi mau. Jadilah Indonesia sebagai Negara yang tanpa ideologi dalam pembangunannya. Tidak ada ideologi yang dipegang teguh.
Jadi, ideologi adalah masalah pokok pembangunan ekonomi Indonesia. Seperti yang disampaikan Koentjaraningrat, orang Indonesia tidak pernah berkomitmen kuat terhadap ideologi yang diyakini, ideologi hanya sebatas alat propoganda untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok. Politik Ekonomi Indonesia, melalui Undang-undang ekonomi yang dirancang dan disetujui oleh DPR cermin dari tidak ada ideologi. Padahal, para politisi tersebut selalu mendeklarasikan diri sebagai kelompok politik yang berpegang teguh terhadap ideologi, Islam dan nasionalis misalnya. Namun, undang-undang yang lahir dari para politisi tersebut sama sekali, kontradiktif dengan ideologi yang mereka usung. Undang-undang tentang pertambangan misalnya,  jelas menggadaikan sumber daya alam Indonesia kepada Negara luar.
Kemunafikan seakan menjadi biasa. Hampir semua politisi dan birokrat mulai tingkat pusat sampai daerah adalah ”etalase kemunafikan” Indonesia. Diatas podium teriak Syariat Islam, atau nasionalisme dan NKRI. Di belakang, menggadaikan Negara. Seolah mengajarkan moral, namun menjadi penggiat dan pelaku utama dari korupsi dan koncoisme. Iman dan Taqwa slogan indah, sering digunakan oleh banyak Pemda di Indonesia. Namun, operasionalisasi pembangunan justru jauh dari slogan bahkan ironisnya justru bertentangan. Tak ada harmonisasi pikir (tought) dengan gerak (action), atau Aqidah (tauhid) dengan ibadah (prilaku).
Mencapai Kemajuan Dalam Keyakinan Terhadap Ideologi
Proses  pembangunan (development) memerlukan upaya pengkombinasian proses pertumbuhan (growth) dengan seperangkat perubahan-perubahan  (changes), idealnya yang digerakkan melalui kegiatan-kegiatan reformasi, untuk menghasilkan keberlanjutan  (sustainability) dari tahap ke tahap.
Untuk mencapai kemajuan, dalam proses pembangunan (virtuous cycle of development) kiranya pekerjaan dasar yang harus dilakukan oleh Indonesia, pertama adalah “dekontruksi karakter bangsa”. Sehingga berubah menjadi bangsa yang ”berkomitmen kuat” terhadap nilai dan ideologi yang diyakini. Kedua, lakukan instutisionalisasi atau pelembagaan negara yang paripurna, melalui dukungan politik yang kuat dan luas, baik dilingkungan pemerintah maupun masyarakat melalui sistem politik yang dilandasi konstitusi Negara. Melalui institutisionalisasi, diharapkan akan tercipta mekanisme koordinasi (coordination mechanisms) yang demokratis, akuntabel dan transparan. Sehingga terbentuk sistem normatif dan legitimasi melalui perundangan yang berpihak kepada pembangunan untuk kesejahteraan. Ketiga, bangsa Indonesia harus dengan tegas berani menentukan wajah ”ideologi” pembangunan ekonominya, serta berkomitmen kuat terhadap ideologi tersebut. (Wallahu A’lam Bishawab).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar