Minggu, 13 Mei 2012

Pemuda, Pergerakan dan Kepemimpinan Nasional

PEMUDA, PERGERAKAN DAN KEPEMIMPINAN 

Fatahullah Jurdi  

Dengan melihat problematika bangsa yang begitu kompleks saat ini, generasi muda dituntut untuk ikut andil dalam berbagai situasi kehidupan bangsa ini, sebab generasi muda adalah masa depan sebuah bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan dan kreatifitas generasi mudanya.
Memperkenalkan Istilah Intelektual dan Inteligensia !
Istilah intelektual pertama kali diperkenalkan Clemenceau dengan istilah “Les Intellectuels” dan dipakai secara luas di Prancis pada 1898 sebagai resonansi dari “Manifesto Intelektual” (Manifeste Des Intellectuel) yang dibangkitkan oleh “Kasus Dreyfus” . Pada 1896, Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukan spionase dan dicopot pangkatnya oleh sebuah pengadilan militer dan dihukum penjara seumur hidup. Sebagai protes atas kesewenang-wenangan keputusan pengadilan itu, Emile Zola, seorang novelis populer yang terkenal, menerbitkan sebuah surat terbuka di halaman muka sebuah koran kecil terbit di Paris, yangn menuduh para anggota dinas ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti, memanipulasi, dan menutup-nutupi fakta-fakta kasus tersebut. Surat itulah yang kemudian dikenal dengan “Manifeste Des Intellectuels” (Manifesto Para Intelektual). 
Pada tahap-tahap awal kemunculannya, intelektual menunjuk pada sebuah kelompok dengan misi yang diproklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah nurani bersama atas persoalan-persoalan politik yang mendasar. Namun, dalam perkembangan berikutnya, definis-definisi dari intelektual menjadi berlimpah dan beragam. “Setiap definisi yang mereka ajukan”, kata Zygmunt Bauman, “Sesungguhnya Merupakan sebuah upaya untuk menarik garis batas identitasnya masing-masing. Setiap batasan membelah wilayah menjadi dua sisi: disini dan disana, di dalam dan di luar, kita dan mereka” . Menurut pendapat Eyerman, dari beragam definisi tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kategori. Yang pertama, definisi yang menginterpretasikan intelektual dalam kerangka karakteristik-karakteristik personal, seperti “seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain” atau mereka “yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya”  juga mengikuti dan mengembangkan definisi semacam ini. Yang kedua, definisi yang mengaitkan istilah tersebut dengan suatu struktur dan fungsi sosial tertentu. Definisi seperti ini, dapat diajukan, misalnya seperti yang diajukan oleh Seymour Martin Lipset yang mendefinisikan para intelektual sebagai orang “yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankan kebudayaan” .
Berbeda dengan intelektual, intelegensia tampil lebih awal sebagai sebuah bentuk strata sosial. Strata sosial ini muncul di Polandia dan Rusia pada masa kekuasaan Peter Agung (Peter the Great)—tetapi baru mendapatkan bentuknya pada tahun 1860-an. Strata ini terdiri dari lapis masyarakat yang lebih terdidik, tetapi berbeda dengan kalangan terdidik lainnya dari kelas atas. Elemen pembentuk utama dari strata yang sedang menanjak ini adalah pendidikan dan orientasinya pada kebudayaan Eropa, terutama pada bidang pengetahuan teknis dan sains, yang melampaui pengadopsian perilaku dan tata krama Eropa yang telah lama dilakukan oleh pada Bangsawan. 
Tidak seperti di Polandia dan Rusia, dalam masyarakat-masyarakat pasar bebas di Eropa Barat, orang-orang terdidik tidak membentuk sebuah strata tersendiri. Dikebanyakan masyarakat pasar bebas Barat, orang-orang terdidik (para intelektual) tampil sebagai sebuah bagian organik dari kelas-kelas yang ada. Mereka boleh jadi menjadi bagian dari kelas atas, menengah dan bahkan proletar . Oleh karena itu, menjadi seorang intelektual dalam masyarakat-masyarakat Eropa Barat sama sekali tidak mengubah ikatan kelas atau kesadaran kelas seseorang. Namun, di Polandia dan Rusia, intelegensia membentuk sebuah stratun yang berdiri sendiri dengan mengandaikan adanya sebuah identitas kolektif yang memancar dari karakteristik-karakteristik psikologis, perilaku, gaya hidup, status sosial, sistem nilai dan panggilan historis bersama .
Kepemimpinan strata inio dipegang oleh sekelompok relatif kecil pemimpin moral dan intelektual. Menurut Gella “Keyakinan-keyakinan, sikap-sikap moral dan perilaku politik dari para pemimpin ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh para anggota komunitas inteligensia” . Namun, pada umumnya seorang anggota biasa dari strata inteligensia mempertahankan identitas kolektif inteligensia dengan menirukan perilaku, dan peling tidak secara verbal, norma-norma dasar serta orientasi nilai dari para (pemimpin) “intelektual” dari strata ini. Jadi singkatnya, strata inteligensia ini memiliki intelektual-intelektualnya sendiri yang menjalankan peran sebagai perumus dan ertikulator identitas kolektif.
Dalam konteks Indonesia, bagaimana kita membumikan istilah “inteligensia” dan “intelektual” dalam sebuah formasi sosial dan konteks historis Indonesia? Memang benar bahwa peran intelektual atau fungsi sosial spesifik dari para pemikir (people of ideas) di kepulauan ini telah sejak lama dijalankan oleh pandita, resi, kiai ataupun ulama. Namun, pengunaan istilah “intelektual” dan “inteligensia” serta istilah turunannya daalam konteks Indonesia modern merujuk pada sebuah formasi sosial dan trayek historis yang spesifik, yang muncul sebagai akibat dari diintrodusirnya sistem pendidian Barat di Negeri ini – pada awalnya dilakukan oleh para misionaris Barat dan pemerintah penjajahan Belanda, lalu kemudian oleh lembaga-lembaga sosial yang lain.
Gerakan Sosial
Gerakan sosial biasanya didefinisikan sebagai gerakan bersama sekelompok orang atau masyarakat yang terorganisir tetapi informal bersifat lintas kelompok untuk menentang atau mendesakkan perubahan. Banyak versi dan dimensi dari definisi gerakan sosial itu tetapi Diani (2000), misalnya, menekankan pentingnya empat unsur utama, yaitu (1) jaringan yang kuat tetapi interakisnya bersifat informal atau tidak terstruktur. Dengan kata lain ada ikatan ide dan komitmen bersama di antara para anggota atau konstituen gerakan itu meskipun mereka dibedakan dalam profesi, kelas sosial, dll. (2) Ada sharing keyakinan dan solidaritas di antara mereka; (3) ada aksi bersama dengan membawa isu yang bersifat konfliktual. Ini berkaitan dengan penentangan atau desakan terhadap perubahan tertentu; (4) Aksi tuntutan itu bersifat kontinyu tetapi tidak terinstitusi dan mengikuti prosedur rutin seperti dikenal dalam organisasi atau agama, misalnya.
Dengan demikian, bisa diidealkan bahwa gerakan sosial sesungguhnya berangkat dari kesadaran sekelompok orang atas kepentingannya. Meskipun selalu dibutuhkan kepemimpinan di dalam semua gerakan sosial tersebut, tetapi keuntungan (value-added) dan capaiannya selalu harus kembali kepada konstituen gerakan dan bukan kepada pemimpinnya. Tulisan-tulisan tentang gerakan sosial baru di Indonesia cenderung memberikan penekanan pada peran pemimpin dan keuntungan yang kembali kepada mereka. Sedikit sekali, keberhasilan, jika ada, dari gerakan itu langsung memberikan keuntungan kepada konstituen gerakan itu.
Tiga buku berikut mungkin bisa dijadikan contoh, yaitu (1) Aktor Demokrasi, Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia (Arief Budiman at al. [ed.], ISAI 2001); (2) Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-Kasus Gerakan Rakyat di Indonesia (N. Kusuma at. al. [ed.], Insist, 200); (3) Gerakan Sosial, Wahana Civil Society bagi Demokratisasi (Iwan Gardono Sujatmiko [ed.], LP3ES, 2006). Saya ingin memberikan beberapa kesimpulan dari hasil bacaan saya terhadap narasi tentang gerakan sosial di Indonesia tersebut. Bahwa: 1. gerakan itu lebih menguntungkan pemimpin atau yang dianggap sebagai pemimpin dan karena itu ukuran capaiannya lebih dilihat apakah gerakan itu cukup memberikan impact kepada mereka; 2. gerakan-gerakan itu juga umumnya diinisiasi oleh para pemimpin itu ketimbang atas kesadaran konstituen sejak semula. 3. Beberapa gerakan yang termuat di dalam buku ini juga bermula dari dukungan donasi dari luar sebagai pendukung utama, baik luar negeri maupun luar kelompok itu, yang menunjukkan intervensi tertentu atas pergulatan isu yang diperjuangkan.
Dalam mendefinisikan tentang gerakan sosial, sudah banyak para pemerhati gerakan sosial dari Barat yang memberikan definisi tentang gerakan sosial. Ada beberapa definisi umum tentang gerakan sosial. Menurut Piotr Sztompka  gerakan sosial adalah:
    Kolektivitas orang yang bertindak bersama.
    Tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama.
    Kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya daripada organisasi formal.
    Tindakannya mempunyai derajat spontanitas relatif tinggi namun tak terlembaga dan bentuknya tak kontroversional.
Gerakan Sosial Baru atau yang disebut dengan GSB itu muncul pada masyarakat Barat modern sejak 1960-an, yang terkait dengan gerakan mahasiswa, potensi anti-perang vietnam, perjuangan hak-hak sipil dan gerakan perempuan. Gerakan sosial baru biasanya dianggap mencakup feminisme, politik lingkungan, gerakan perdamaian bdan politik kultural. Gerakan Sosial Baru ini dilihat terpisah dari gerakan buruh yang lebih tradisional.
Menurut Chris Barker , bahwa “pada tahun 1960-an telah muncul yang namanya Gerakan Sosial Baru atau yang biasa disebut dengan GSB di masyarakat-masyarakat Barat modern, yang terkait dengan gerakan mahasiswa, potensi anti-perang Vietnam, perjuangan hak-hak sipil dan gerakan perempuan”. Gerakan Sosial Baru biasanya dianggap mencakup feminisme, politik lingkungan, gerakan perdamaian bdan politik kultural. Gerakan Sosial Baru ini dilihat terpisah dari gerakan buruh yang lebih tradisional.
Menurut Touraine (1981) dan Melluci (1980, 1981, 1989), dalam  Chris Barker , mangatakan bahwa Politik radikal kontem-porer sedang memisahkan diri dari determinasi kelas, mereka ini terorganisasi lewat Gerakan-gerakan Sosial Baru, seperti yang diungkapkan oleh kedua penulis ini dalam bukunya masing-masing. Gerakan Sosial Baru semakin menjadi kolektivitas sosial politik dengan suara keras yang basisnya berada diluar tempat kerja. GSB ini muncul dari pencapaian dalam hal kebersamaan, kedekatan, dan kontinuitas. Seperti yang diungkapkan oleh Melluci (1989), mengatakan bahwa; “pembentukan identitas kolektif adalah proses yang halus/rapuh dan membutuhkan investasi/usaha yang terus-menerus”.
Kemunculan Gerakan Sosial Baru berkorelasi dengan melemahnnya kepastian hubungan antara kelas dengan keberpihakan politik. “studi-studi tentang perilaku mencoblos/voting dan aktivisme menunjukkan adanya penurunan yang stabil dalam hal komitmen politik antara kelas-kelas utamaatau kategori-kategori kerja di satu sisi dengan partai-partai politik besar disisi lainnya…. Sejak akhir 1960-an…. Indeks pemilihan kelas terus menunjukkan penurunan”. Gerakan sosial baru yang muncul pada saat itu sangatlah bagus apabila prinsip dan cara kerjanya di pakai oleh para aktivis organisasi pada saat ini. Sehingga mampu menciptakan ide-ide baru dan mampu menjadi salah satu organisasi yang bernama dan bisa dikatakan sukses. Contohnya PuKAP, yang pada saat ini telah banyak memberikan perubahan terhadap kondisi politik di negeri yang antah-barantah ini, yang apabila kita mampu menafsirkan apa yang menjadi tujuan dari PuKAP ketika mengkritik pemerintah dan parpol-parpol yang menamakan dirinya sebagai parpol Islam, itu sebagai sebuah masukan yang sangat berharga dan yang akan mampu membangkitkan jiwa politik yang lebih baik dari itu. Dan supaya parpol yang di kritik itu mengetahui kesalahan-kesalahannya, sangatlah egois seseorang ataupun sekelompok orang tidak mengakui kesalahannya, Rasulullah sendiri telah mengatakan bahwa ”tidak  ada yang namanya manusia tanpa kesalahan dan itu sangatlah mustahil dan tidak masuk akal, akan tetapi, ketika orang itu tidak terlihat kesalahannya karena kesalahan tersebut selalu ditutupi oleh kebaikan yang dia lakukan dan mungkin kesalahan yang dia lakukan sangatlah kecil sehingga itu tidak masuk dalam hitungan. Manusia itu tidak luput dari kesalahan dan dosa, siapapun itu, entah itu Nabi dan bahkan Rasulullah sendiri sebagai utusan teristimewanya Allah kepada umat manusia”.
Banyak diantara gerakan sosial yang sangat apatis terhadap Pemilihan Umum dan memicu masyarakat untuk tidak memberikan suara. Bahkan mereka selalu mengatakan “semakin banyak anda memilih maka semakin memberikan peluang terhadap para koruptor untuk menguasai konteks politik dan menjarah habis keuangan Negara dan menindas serta merampas hak-hak anda”. Menurut penulis ini adalah suatu realitas yang terjadi didalam konteks politik dan pemerintahan pada saat sekarang, sebab sangat banyak pemimpin yang menjual aset-aset penting Negara kepada para Korporasi Asing dan memberikan kewenangan kepada korporasi asing untuk menggarap habis-habisan Sumber Daya Alam yang dimiliki oleh Indonesia, sampai benar-benar terkuras habis, itu karena sifat pemimpin yang tidak memiliki rasa tanggungjawab dan rasa peduli terhadap lingkungan serta rasa kasihan kepada rakyat yang selalu ditindas.
Gerakan sosial merupakan suatu gerakan yang melakukan kontrol terhadap negara, memiliki rasa sosialisme yang tinggi dan menginginkan suatu perubahan terjadi di dalam masyarakat. Piotr Sztompka  mengemukakan beberapa tipe gerakan sosial yang menurut pemikir ilmu sosial dan politik sebagai tipe gerakan sosial murni
1.    Gerakan sosial yang berbeda menurut bidang perubahan yang diinginkan. Ada gerakan sosial yang terbatas tujuanya; hanya untuk mengubah aspek tertentu kehidupan masyarakat tanpa menyentuh inti struktur institusinya, gerakan yang hanya menginginkan perubahan “didalam” ketimbang perubahan masyarakatnya sebagai keseluruhan. Ini disebut sebagai gerakan reformasi.Neil Smelser dengan tipologi yang sama akan tetapi rumusan yang lain, membedakan antara; gerakan yang berorientasi norma dan gerakan yang berorientasi nilai. Gerakan yang berorientasi norma adalah tindakan memobilisasi atas nama keyakinan umum (ideologi bersama) yang mengimpikan penataan ulang norma. Sedangkan gerakan yang berorientasi nilai adalah tindakan kolektif yang dimobilisasi atas nama keyakinan umum yang menginginkan penataan ulang nilai. Menurut Smelser, nilai menyediakan pedoman fundamental untuk bertindak. Nilai menetapkan dan mengatur tujuan upaya manusia. Sedangkan, Norma adalah alat untuk memilih cara yang tepat dalam mengejar tujuan akhir (Ibid: 27).
2.    Gerakan sosial yang berbeda dalam kualitas perubahan yang diinginkan. Ada gerakan yang menekankan pada inovasi, berjuang untuk memperkenalkan institusi baru, hukum baru, bentuk kehidupan baru, dan keyakinan baru. Gerakan inilah yang dapat memurtadkan masyarakat dari keyakinannya masing-masing.
3.    Gerakan yang berbeda dalam target perubahan yang diinginkan. Ada yang memusatkan perhatian pada perubahan struktur sosial; ada pula yang pada perubahan individual.
4.    Gerakan sosial yang mengenai “arah perubahan yang diinginkan”. Kebanyakan gerakan mempunyai arah positif. Gerakan seperti itu mencoba memperkenalkan perubahan tertentu, membuat perbedaan.
5.    Gerakan sosial yang berbeda dalam strategi yang melandasi atau “logika tindakan mereka” (Rucht, 1988). Ada yang menyikuti logika instrumental; gerakan ini berjuang untuk mendapatkan kekuasaan politik dan dengan kekuatan politik itu memaksakan perubahan yang diinginkan dalam peraturan hukum. Institusi, dan organisasi masyarakat. Tujuan utamanya adalah kontrol politik.
6.    Perbedaan tipe gerakan sosial yang ditemukan sangat menonjol dalam epos sejarah berlainan. Ini memungkinkan kita untuk membedakan dua tipe besar yang berkaitan dengan sejarah modern. Gerakan yang menonjol di fase awal modernitas memusatkan perhatian pada kepentingan ekonomi; anggota umumnya direkrut dari satu kelas sosial tertentu, organisasinya kaku, desentralisasi.
7.    Bila orang melihat pada masyarakat konkrit, pada waktu historis konkret, disitu akan selalu tampak susunan gerakan sosial yang kompleks dan heterogen, mencerminkan perbedaan tipe gerakan seperti yang telah dibahas diatas. Pada tingkat hubungan sosial yang ruwet ini akan terlihat suatu fenomena yang menonjol. Terutama akan diketahui antara gerakan dan gerakan tandingan dalam konflik longgar yang saling merangsang dan memperkuat kualitas (Zald & Useem, 1982: 1).
Generasi Muda Sebagai Penentu Masa Depan Bangsa
Penentu baik dan buruknya masa depan suatu Bangsa adalah berada ditangan anak muda, sebagaiamana yang diungkapkan oleh Bung Karno dalam sebuah pidatonya, mengatakan ”berilah aku sepuluh anak muda, maka aku akan menguasai dunia”. Inilah ungkapan yang menandakan bahwa betapa pentingnya peran anak muda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di Dunia ini banyak sekali anak muda akan tetapi yang memiliki jiwa Intelektual sangat sedikit, khususnya Intelektual Islam. Dan hampir semuanya bergulat dipentas politik bahkan membawa politik Islam itu menyebar ke Negara-negara lain, bahkan ke Negara termaju didunia. Akan tetapi, ketika mereka berada dinegara termaju dunia yang kita tahu adalah negaranya orang-orang Barat yang sangat membenci Islam dan mereka saat sekarang sedang memikirkan bagaimana caranya supaya Islam ini hancur dan tidak pernah lagi muncul di pentas peradaban dunia. Banyak sekali para generasi Islam ini yang pergi mencari ilmu ataupun yang melanjutkan studinya dinegara-negara Barat, dan mereka menulis tesis ataupun disertasi yang membahas tentang Islam, yang pada akhirnya orang-orang Barat tahu kelmahan Islam ini seperti apa dan dan keadaan Islam saat sekarang bagaimana, yang ketika mereka pulang ke negara mereka masing-masing sudah membawa pandangan mengenai baiknya peradaban Barat dan bagusnya cara hidup mereka yang pada akhirnya dia juga ingin menerapkannya di Negara-nya
Orde Baru dapat dikelompokkan kedalam beberapa bentuk menurut teori kenegaraan yang pada prinsipnya tidak berbeda. Riswanda Imawan (1997: 33-36; Thaba, 1996: 53-69) membagi teori Negara Orde Baru kedalam beberapa istilah. Pertama, Negara Integralistik. Paham ini menekankan pada kekuasaan negara yang mutlak atau paham totalitarian, sebab kedaulatan negara diatas kedaulatan rakyat. Kedua, Beamstenstaat, berupaya untuk menyehatkan sistem demokrasi yang modern, efisien dan efektif dalam ramgka menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Ketiga,Negara Pasca-Kolonial, yaitu bahwa negara bekas jajahan yang sesudah kemerdekaan berubah secara sosial, politik, dan ekonomi, terkooptasi kedalam bekas penjajahannya dalam hal yang sama. Keempat, Patrimonialisme Jawa. Kelima, Negara Otoriter birokratik rente yang ditandai dengan sifat sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat mencapai tujuan, partisipasi masyarakat dibendung, pembangunan ekonomi dilakukan secara top down, ideologi yang digunakan bersifat teknokratis-birokratis. Keenam, Rent Capitalism State, Negara diandaikan sebagai sesuatu yang mandiri (otonom) yang didasarkan pada pertimbangan rasionalitas ekonomi dengan cara menekan kerugian untuk memperoleh keuntungan yang besar, termasuk dengan cara yang tidak demokratis.
Ketujuh, Bureaucratic Polity, yaitu sistem politik dimana kekuasaan dan partisipasi politik dalam membuat keputusan terbatas, sepenuhnya pada penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Tidak ada partisipasi masyarakat, yang ada hanya mobilisasi massa untuk melaksanakan keputusan yang sudah diambil. Kedelapan, Bureaucratic Authoritarianism. Legitimasi politik rezim diletakkan pada basis-basis tertentu seperti ekonomi, militer, birokrasi, dan budaya. Kesembilan, Negara Birokratik Otoriter Korporatis. Negara dipimpin militer, perusahan besar mempunyai hubungan khusus dengan negara, massa dimobilisasi, adanya tindakan represif untuk mengendalikan oposisi, dan pembuat kebijakan adalah teknokrat-birokrat
Kesepuluh, Negara Militer Rente. Negara berupaya dengan bantuan militer untuk mematikan kelompok oposan. Pusat-pusat birokrasu yang didukung militer sanggup mematahkan, memanipulasi, melawan atau kalau perlu memodifikasi dan membuat Undang-Undang yang baru, dimana pihak oposisi sangat kecil kemungkinannya untuk bisa mengajukan tuntutan. Kesebelas, Bureaucratic Capitalist State. Negara menjadi alat kelompok dominan untuk mempertahankan sumber daya ekonomi .
Sebagaimana ungkapan yang dipaparkan oleh M. C Donald, dia mengatakan ”Selama rakyat diorganisir . . . seb. Karena massa, dalam kerangka waktu historis adalah kerumunan agai massa, mereka kehilangan identitas dan kualitas sebagai manusia didalam ruang: orang dalam jumlah besar yang tidak mampu mengekspresikan dirinya sebagai umat  manusia karena mereka terikat satu sama lain bukan sebagai individu atau anggota masyarakat- sebenarnya mereka tidak terikat satu sama lain, kecuali untuk hubungan yang berjarak, abstrak, dan tidak manusiawi: sebuah pertandingan sepak bola atau pasar tradisional dalam kasus sebuah kerumunan, sebuah sistem produksi industrial, sebuah partai, atau negara bagian dalam kasus massa. Manusia adalah sebuah atom soliter, seragam, dan tidak bisa dibedakan dari ribuan maupun jutaan atom lain yang menyusun “kerumunan kesepian” yang David Reismen disebut sebagai masyarakat mereka. Namun demikian, rakyat atau orang-orang adalah sebuah komunitas, artinya sekelompok individu yang terkait satu sama lain dikarenakan  kepentingan, pekerjaan, tradisi-tradisi, nilai-nilai, maupun sentimen-sentimen yang sama .
Generasi Muda dan Kepemimpinan Nasional
Kalau kita melihat kembali konsep kepemimpinan yang dicerminkan oleh Rasulullah. Maka ada beberapa konsep kepemimpinan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para khalifah yang memang menjadi contoh bagi umat sesudahnya ;
Pertama, Bertakwa kepada Allah SWT. Bertakwa kepada Allah merupakan landasan pokok (prinsip utama) dari kepemimpinan Rasulullah SAW. Mengapa takwa itu menjadi landasan utamanya, karena akan lahir sebuah sistem masyarakat yang tidak mengenal perbedaan antara satu dan yang lainnya. Sebab kepemimpinan itu dijalankan dengan benar-benar berdedikasi kepada masyarakat, juga dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Kedua, siddiq (berkata benar atau jujur) seperti gelar yang diberikan kepada Abu Bakar Khalifah yang pertama. Setiap Muslimdiperintahkan untuk senantiasa berlaku siddiq (jujur) atau berkata benar. Seperti yang dikatakan oleh beliau dalam Haditsnya yang berbunyi: “qulil haqqa walau kanna muran” (berkatalah yang benar meskipun itu pahit atau berteriaklah jika itu benar). Apalagi kalau dia adalah seorang pemimpin, karena setiap kata-katanya mengikat banyak orang. Ketika seorang pemimpin berjanji, maka dia berjanji dengan orang banyak, dan apabila janji (amanah) itu tidak mampu dia jalankan (dia tepati), maka amanah itu ia pertanggung-jawabkan dihadapan sejarah, umat dan lebih-lebih dihadapan Allah SWT.
Dia akan disebut-sebut oleh orang sepanjang sejarah sebagai pemimpin yang tidak memiliki tanggungjawab terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Penulis menyarankan; ”apabila kita sudah mengetahui diri kita tidak mampu menjalankan hal tersebut atau tidak mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik, maka kita jangan pernah bermimpi untuk menjadi pemimpin sebelum kita mampu memimpin keluarga kita, saya yakin kita mengetahui semua apa tanggungjawab seorang pemimpin, pemimpin itu adalah amanah rakyat banyak yang harus kita perjuangkan dan setiap kita berjanji dengan rakyat harus kita tepati dengan baik, misalnya kita berjanji untuk kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan lain sebagainya, kalau memang kita tidak mampu menjalankan hal tersebut janganlah kita berjanji yang demikian”.
Ketiga, Tabligh (menyampaikan). Sebagai seorang pemimpin hendaknya komunikatif, atau terampil dalam menyampaikan hal-hal yang tengah terjadi didalam masyarakat. Seorang pemimpin harus selalu berkomunikasi dengan masyarakat dalam menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapinya, sehingga persoalan-persoalan yang muncul tidak disembunyikan, agar mampu dicarikan akar permasalahannya sehingga dapat dipecahkan secara bersama-sama dan dicarikan solusi yang tepat. Begitu pula dengan posisi yang ditempati oleh politisi Islam. Dan harus dipahami bahwa ia wajib menyampaikan dakwah dan kebenaran Islam dalam posisi dan kedudukannya sebagai penguasa.
Dalam berpolitik seorang Muslim harus berdakwah dan bukan berarti menjadikan mesjid sebagai panggung untuk berpolitik, karena saya lihat politisi kita sekarang menjadikan mesjid sebagai panggung politik, itu namanya politisi yang bodoh yang tidak tahu tempat untuk melakukan proses politik, sehingga mesjid tempat kita beribadah dijadikan tempat untuk berpolitik. Oleh karena itu, politik memang harus dipandang sebagai salah satu jalur dan media dakwah yang sangat penting dan strategis. Dalam melakukan dakwah untuk mengubah persepsi keliru bahwa, “politik memang kotor” tersebut, bisa dilakukan dengan lisan (Da’wah bil lisan atau da’wah bilisanial-maqal) maupun dengan suri tauladan (Da’wah bil hal atau tepatnya da’wah bil lisani al-hal). (Hajriyanto Y. Tohari, Ibid: 239).
Keempat, Fathonah (cerdas dan cakap). Seorang pemimpin jelas dituntut memiliki kecerdasan dan kemampuan yang memadai dalam kepemimpinannya, melebihi kecerdasan yang dimiliki oleh masyarakat yang dipimpinnya, sehingga tidak menyebabkan wibawanya turun dihadapan masyarakat. Seorang pemimpin tidak boleh mengandalkan secara terus-menerus kecerdasan orang-orang yang ada disekitarnya (pembantu-pembantunya), karena pada saat tertentu, seorang pemimpin harus menangani masalah yang timbul didalam masyarakat, atau keputusan-keputusan politik dengan cepat.
Kelima, Amanah (kepercayaan). Dalam perspektif Islam, kepemimpinan ituhakikatnya adalah melaksanakan Amanah Allah SWT dan kemanusiaan. Maka bukan saja mempertanggung-jawabkannya didunia ini, tetapi juga diakhirat kelak, kecuali itu kepemimpinan yang seyogyianya atas orang yang berhak lantaran memang mampu melaksanakannya (amanah itu), sehingga layak menerima/ mendapatkanya.
Keenam, Adil. Seorang pemimpin tidak boleh menunjukkan kepemim-pinannya hanya baik dan menguntungkan atas Diri, Keluarga, maupun suatu kelompok (partai) semata. Melainkan harus benar adil dan memihak pada siapa yang benar meskipun yang salah itu adalah anaknya sendiri. Seorang pemimpin tidak boleh menempatkan rakyat sebagai obyek kekuasaan, sementara para elit politik ditempatkan sebagai pelaku utama yang akan memerankan segala hal. Sehingga semuanya diputuskan secara sepihak tanpa mempedulikan suara rakyat dan tidak mendengarkan jeritan nurani rakyat. Para Koruptor kelas kakap dibiarkan berkeliaran tanpa sedikitpun disentuh oleh Hukum, sedangkan jika rakyat mencuri ayam saja ditahan minimal 2 bulan dalam penjara, mereka yang mengambil uang rakyat bermilyar-milyar itu tidak pernah disentuh oleh yang namanya hukum, rakyat selalu berteriak dan bertanya dimanakah Hukum dinegeri antah-barantah ini?. Keadilan tidak menjadi landasan utama bertindak bagi elit-elit politik Islam saat ini, yang menjadi landasan utamanya sekarang adalah kekayaan mereka tidak pernah memikirkan rakyat. Sehingga penyimpangan terjadi dimana-mana, seperti korupsi yang kini terjadi di berbagai institusi pemerintahan, itu karena mereka melupakan ajaran Islam yang melarang berbuat curang dan membenci orang yang tidak memiliki sifat amanah dan menjadi pecundang dipentas politik.
Ketujuh, Bersahaja. Seorang pemimpin hendaknya berpola hidup sederhana, yaitu menghidari perilaku serakah dan menumpukkan Harta, seperti perilaku para pemimpin kita sekarang, yang membuat Allah sangat membencinya.
Setelah kita melakukan identifikasi realitas politik yang dipersentuhkan dengan idealitas Al-Qur’an, maka ditemukan beberapa dimensi perilaku elit politik yang bertentangan dengan Al-Qur’an, dimana mereka suka saling menuding ketika berkampanye, saling menghina dan mencaci diantara sesama. Di samping itu kemunafikan elit politik ketika berkampanye merupakan realitas politik yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Menurut para pakar sosial-politik, kemunafikan dan kedustaan yang terjadi dipentas politik itu adalah sebuah keniscayaan, sebab, ketika kita kembali ketujuan awal dari politik adalah kepenntingan atau kekuasaan, ”tidak ada saudara dan sahabat sejati dalam pentas politik, yang ada hanyalah kepentingan dan kekuasaan sejati”. Ini adalah ungkapan yang sangat pas untuk dikatakan ketika kita berbicara tentang politik beserta para aktor-aktornya. Mereka bisa saja menghalalkan segala cara untuk mencapai hasrat kekuasaannya dan untuk memenuhi kepentingannya.
Ada tiga prinsip kekuasaan Ulama yang diajukan atau yang ditemukan dalam konsep Al-Maududi tentang Teo-Demokrasi. Al-Maududi adalah pendiri Jama’at-I Islami Pakistan, dalam karyanya: The Political Theory of Islami yaitu:
1.    Tidak ada orang, kelas atau kelompok, bahkan semua warga negara secara keseluruhan, dapat mengklaim kekuasaan. Hanya Allahlah penguasa yang sesungguhnya; selain-Nya hanyalah mahluk yang diciptakan oleh-Nya
2.    Allah adalah pemberi Hukum yang sesungguhnya dan kekuasaan legislasi yang absolut hanya ada pada-Nya. Orang-orang yang beriman tidak membuat aturan dengan benar-benar beba, juga tidak dapat memodifikasi hukum apapun yang telah diturunkan oleh Allah,  bahkan jika ada keinginan untuk memberlakukan hukum seperti itu atau mengubah huukum tuhan tersebut dengan bulat.
3.    Sebuah Negara Islam harus didasarkan pada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah para Nabi-Nya. Pemerintah yang menjalankan Negara seperti itu layak dijadikan sebagai contoh bagi Negara lain yang ada didunia ini dan layak untuk ditaati dalam kapasitasnya sebagai suatu agen politik yang dibentuk untuk menerapkan hukum Allah dan hanya sejauh itu negara bertindak. Kalau Negara itu tidak menghiraukan hukum yang telah diwahyukan Allah, perintah-perintahnya tidak mengikat orang-orang yang beriman .   
Menurut Nawawi (anank.wordpress.com) Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik:
1.    Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2.    Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3.    Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4.    Kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5.    Kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6.    Kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk mengukur kaum intelektual genuine adalah sebagai berikut;
1.    Berperan untuk mendorong terjadinya demokratisasi. Kaum intelektual genuine dalam upaya ini tidak turun ke jalan untuk mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi lebih kepada tawaran-tawaran politik terhadap Negara yang bersifat konseptual sehingga ada sinergitas antara posisi kaum intelektual dengan negara. Tetapi mereka bisa menjaga jarak, dimana posisi yang harus dimasuki dan dimana posisi yang tidak dimasuki, sehingga kaum intelektual adalah merupakan mereka yang lahir dengan kesadaran politik yang matang;
2.    Berusaha untuk meningkatkan proses partisipasi dalam masyarakat. Demokrasi hanya bisa terbangun jika partisipasi bisa dilakukan, dan partisipasi akan terwujud jika masyarakat mampu di sadarkan secara politik. Ketika varian utama dalam politik demokratis yakni kompetisi, kontestasi dan partispasi adalah merupakan agenda penting yang harus dilakukan oleh kaum intelektual genuine. Selama ini oposisi untuk membangun demokrasi hanya dimaknai jika mengambil posisi frontal terhadap Negara. Sehingga mereka yang melakukan gerakan pembebasan dan membentuk masyarakat supaya menjadi intelektual adalah mereka yang disebut sebagai intelektual genuine;
3.    Mempertahankan identitas kebangsaan. Ciri khas seorang intelektual genuine adalah memiliki identitas kebangsaan dan rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka mempertahankan identitas aslinya sekalipun proses globalisasi sedang mengancam eksistensi identitas kebangsaanya;
4.    memiliki rasa nasionalisme yang kuat, sebagai bentuk rasa kecintaannya terhadap identitas kebangsaan, maka nasionalisme adalah merupakan persoalan penting yang di jaga oleh kaum intelektual genuine. Seluruh model keaslian bangsa menjadi penting di jaga, karena itu merupakan bentuk kecintaan terhadap nation. Bangsa bukan hanya sekumpulan orang yang hidup bersama dan memiliki sejarah yang uniform, tetapi bangsa juga adalah kesatuan misi untuk berjalan beriringan untuk membangun masa depan yang lebih cerah;
5.    Menjaga budaya bangsa, sekaligus budaya politik. Kehancuran bangsa Indonesia saat ini adalah akibat berkumpulnya otak-otak serakah yang melakukan kejahatan atas nama rakyat. Budaya politik kleptokrasi, patrimonial dan selalu mengkhianati audiens politik adalah budaya politik yang harus di sucikan kembali oleh kaum intelektual genuine sehingga Indonesia tidak menjadi sarang para dedengkot politik yang selalu membawa rakyat sebagai kuda tunggangan. Sikap politik kaum intelektual genuine tidak memandang negara sebagai musuh, sekalipun mereka menganggap elit politik sebagai biang keladi dari kemerosotan moral bangsa, sikap mereka adalah melakukan politik korektif secara ilmiah, karena mereka yang disebut genuine masih cinta terhadap musyawarah, cinta terhadap demokrasi dan menginginkan negara dibangun bukan atas nama kebencian, tetapi harus melalui kerja sama yang erat antara berbagai pihak yang terlibat di dalamnya;
6.    Melakukan upaya pemberdayaan. Model pendekatan yang paling penting dari seorang intelektual genuine adalah berusaha untuk menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Penempatan masyarakat sebagai obyek yang dilakukan selama Orde Baru misalnya, tidak bisa dibiarkan secara berketerusan, karena dapat menciptakan masyarakat kerdil dan menganggap bahwa bangsa ini adalah milik penguasa. Pikiran permisif, pesimis yang kemudian berakibat melahirkan ironi dalam negara demokrasi ini, harus diretas melalui upaya pemberdayaan. Kalau demonstrasi dan gerakan protes adalah upaya untuk menggerakkan massa untuk melawan Negara dan ini cenderung dilakukan oleh kaum intelektual organik, maka kaum intelektual genuine harus memikirkan bagaimana masyarakat bukan di gerakkan, tetapi mereka sendiri yang akan bergerak secara sadar untuk membangun negara-nya atau untuk melawan negara, jika negara mengalami collaps;
7.    Gerakan paradigmatik, yaitu merubah cara berpikir masyarakat yang dihinggapi oleh sindrom ketakutan menjadi sumber perlawanan dan dari rasa inferior menjadi superior;
8.    Mendidik massa supaya menjadi warga negara. Massa. Ketika Eep Saifullah Fatah menyampaikan di Taman Budaya Surakarta, Sabtu, 1 Januari 2000 mengatakan, “maka yang saya inginkan di abad baru ini adalah berubahnya kita sebagai massa menjadi warga negara. Perubahan inilah yang menjadi pekerjaan besar kita sepanjang abad baru ini. Pertama-tama, ini adalah pekerjaan kita sendiri-sendiri. Baru kemudian, ia menjadi pekerjaan kelompok, dan pekerjaan bangsa”. Karena itu, kata Fatah, saya ingin agar di abad baru ini kita meneguhkan komitmen untuk membongkar tirani di kepala kita masing-masing. Mari kita merdekakan diri kita sendiri. Pemerdekaan diri sendiri inilah yang kelak akan menjadi modal sungguh besar untuk memerdekakan kita sebagai masyarakat dan sebagai bangsa.
Akhir-akhir ini sering kita dengar slogan ‘Saatnya kaum muda memimpin, atau ‘perlunya kepemimpinan orang muda’ atau ada yang agak ekstrim, ‘kaum muda berkuasa kaum tua tersingkirkan.’ Wacana ini digelindingkan bak bola salju. Mulai dari dikusi, seminar, kajian, penelitian, debat sampai beberapa partai yang akan bertarung dalam kontes pemilu 2009 nanti pun mengusung tema ini.
Wacana ini patut diapresiasi, anak-anak muda negeri ini mulai sadar, bangsa ini perlu pemikiran dan semangat segar. Historis bangsa ini lahir dan terbentuk dari peran kaum muda dan tuanya. Ini terlihat dari Gerakan Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Java, pada masa pra kemerdekaan, lalu disusul oleh Tan malaka, Moh. Syahril, Soekarno, Moh Hatta dsb.
Fenomena bangsa yang sudah merdeka 63 tahun, 100 tahun kebangkitan Nasionalnya, 10 Tahun Reformasi, membuat agenda mengusung kepemimpinan kaum muda dapat dilihat dari dua sudut pandang.
Pertama, Politik. Ketika pelaksanaan pemilu 2004, rakyat mengharapan SBY-JK, dapat membuat bangsa ini bisa menampilkan wajah aslinya sesuai skogan kelak, ia bisa mensejaterakan rakyatnya, membebaskan rakyatnya dari kemiskinan dan kebodohan. Supermasi hukum ditegakkan, pelanggaran HAM diadili. Penangkapan para koruptor kelas kakap, pembelian kembali asset-aset bangsa yang sempat tergadaikan bahkan dijual dengan harga murah, ibarat seperti kain bekas yang tidak layak pakai.
Pembenahan sektor ekonomi, ketimpangan sosial, menjadi harapan baru untuk dapat di selesaikan. Memang ada sedikit persoalan yang coba mulai dibenahi oleh pemerintah, tetapi secara empiris, itu sebuah pengkiatan terhadap rakyat. Beberapa kebijakan pemerintah seperti menaikkan harga BBM dan harga sembako kian melambung. Daya beli masyarakat kecil menurun, biaya sekolah dan kesehatan yang terus mahal.
Yang paling menyedihkan, DPR tercoreng dengan korupsi, Mahkamah Agung dengan isu suap serta yang paling menyita perhatian banyak khalayak terlibatnya dua menteri Kabinet SBY-JK yang namanya disebut masuk dalam daftar penerima dana BLBI. Hal ini jadi bola kristal terbangunnya image masyarakat yang tidak percaya lagi kepemimpinan bangsa kepada kaum tua.
Kedua, dari sudut pandang budaya, watak kebudayaan nasional kita bagi suatu Negara pun menjadi cair. Dengan kencangnya transpormasi informasi. Akulturasi budaya yang didorong oleh kekutan global tersebut telah menjadi tatanan peradaban dan tradisi kehidupan Negara-negara ketiga.
Dalam aspek sosial budaya, kepentingan individu menjadi aspek yang selalu harus diprioritaskan dalam segala hal. Kepentingan komunal menjadi hal kuno yang tidak digunakan lagi. Cara fakir ini pernah dikemukakan oleh Adam Smith dengan mengatakan, sikap altruis (mementingan kepentingan orang banyak) adalah bentuk kegagalan bagi suatu Negara.
Ini luput dari kacamata kaum tua, sehingga akhir-akir ini setiap individu saling berkompetisi, tidak lagi mengidahkan norma, etika dan aturan yang berlaku. Sehingga dengan ketertutupan hati nurani yang dibungkus sikap tamak materi, maka porak-porandalah tatanan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban yang telah kita bangun selama ini.
Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif bilang, bangsa ini sudah di ambang kehancuran dan tuna keadaban yang tidak mengenal lagi nilai-nilai moralitas. Melihat dua fenomena dan potret bangsa tadi, sudah selayaknya bagi kita yang muda untuk mengusung dan memformulasikan kembali aras pemikiran dan menyatakan siap tampil dalam ranah kehidupan bangsa ini.
Kegagalan masa lalu kita niatkan untuk tidak akan terulang bagi generasi yang akan datang. Walau untuk membenahi negara dan daerah yang multikrisis ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, namun dengan langkah antisipatif dan mempersiapkan generasi muda yang lebih matang, akan relative membuka jalan bagi kebangkitan bangsa dan daerah ini kedepan. Bukankah kaum muda Indonesia telah menujukkan kiprahnya dalam menentang ketidakadilan di negara ini? Maka sebagai kalangan muda, mau tidak mau sekarang kita harus mempersiapkan diri untuk menjadi ikon bangsa dan daerah ini ke depan.
Kita persiapkan untuk agenda kepemimpinan kaum muda, Pertama, Jadilah generasi muda yang cakap ilmu dan kemantapan iman. Jika kedua unsur ini tidak lagi terbentuk dalam jiwa generasi muda sekarang, tentu dampak kehidupan masyarakat kedepan jauh akan lebih parah dari sekarang. Untuk meraih kemajuan banga ini, bukanlah dengan mengangan-angankannya saja, tapi dengan ilmu. Keunggulan ilmu tidak dapat dirasakan apabila tidak dilandasi dengan iman.
Kedua, kedewasaan mental dan kearifan global. Ini bagian dari skill anak muda kita yang juga harus dapat diciptakan melalui budaya bangsa ini. Ini tercermin dari sikap mau berdialog, bersikap pluralistik, dan berlaku toleran sekaligus mampu menjalin kerjasama dengan berbagi pihak.
Ketiga, melihat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, maka bagi kaum muda dituntut untuk memiliki penghayatan keagamaan yang substantive yang tidak mudah terjebak dalam\ aras formalistik dan simbolik. Karena kejumudan pikiran kian menjauhkan bangsa ini dari kemajuan. Pemahaman agama harus mampu diciptakan ke arah yang lebih toleran, progressive dan terbuka.
Jadikan acuan kedepan untuk mepersiapkan kaum muda yang kuat dan layak jual di pentas nasional dan dunia, karena Islam mengajarkan pada umatnya, “agar setiap manusia harus khawatir jika meninggalkan generasi muda yang lemah mentalnya,” Karena hari esok bukanlah untuk generasi tua hari ini, melainkan buat generasi muda sekarang dan yang akan datang. Semangat kaum muda adalah semangat perubahan.
Regenerasi dan pembeliaan perlu dilakukan. Maksud pembelian disini bukan terpaku pada umur saja, tetapi ia boleh tua asal memiliki progresivitas seperti anak muda. Kategori muda memiliki dua arti, yaitu, dari segi umur dan pemikiran meminjam Istilah Ridho Alhamdi “muda tidak mesti anti tua.”
Perubahan Sosial dan Politik Dalam Kehidupan Masyarakat
Ada beberapa landasan dalam melakukan perubahan sosial: Pertama, Realitas. Realitas merupakan hal yang pertama sekali dalam melakukan suatu perubahan. Karena berangkat dari realitas inilah semua persoalan mampu dipetakan. Tanpa melakukan pembacaan terhadap realitas, kita akan kehilangan identitas dalam melakukan gerakan. Karena gerakan apapun yang kita desain dan bangun, harus berangkat dari realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Paradigma ini sangat penting untuk dibangun, dumaknai dan diapresiasi, demi melihat sebuah perubahan yang responsif dan partisipatif.
Oleh karena itu, A.N Whitehead menekankan sifat prosesual seluruh realitas: “alam adalah struktur dari prosesyang berkembang. Realitas adalah proses”. Perubahan senantiasa terjadi dialam semesta. Selanjutnya ia mengatakan: “kehidupan manusia berubah dari hari ke hari; wujud lahiriahnya adalah sama. Perubahan adalah konstan, dan kadang-kadang kelihatan. Konstalasinya tak nampak berubah sama sekali, meskipun kita tahu bahwa konstalasinya itupun berubah. Apakah perubahan terjadi dalam satu menit ataukah dalam milyaran tahun, itu hanya lah persoalan pengukuran manusia belaka . . . perubahan adalah konstan, apakah kita ukur dengan menit atau milyaran tahun, kita sendiri adalah bagian dari perubahan itu.
Pemikiran ini merupakan perlawanan dari determinisme yang menganggap bahwa alam yang terbentang adalah susunan dari benda yang mati. Padahal semua yang ada di alam akan mengalami perubahan, dan itu adalah pertanda bahwa alam itu berubah dan mengalami pergeseran. Karenanya ia mengatakan, bahwa manusia/individu merupakan bagian dari perubahan.
Kedua, adalah Tindakan. Manusia melakukan aktivitas dan bertindak tentu akan melahirkan perubahan. Entah ia sadar atau tidak bahwa tindakan yang dia lakukan itu telah melahirkan perubahan. Seorang manusia, dalam melakukan aktifitas apapun, tentu akan melahirkan suatu perubahan entah dia sengaja atau tidak, akan tetap berimplikasi pada perubahan. Oleh sebab itu, setiap tindakan manusia tentu mendatangkan perubahan, baik dalam skala besar maupun kecil. Ia mewabah pada tindakan manusia, aktivitas, dan perilaku yang dilakukan oleh manusia. Sehingga setiap perubahan yang terjadi merupakan implikasi dari tindakan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri- dan itu kembali memperkuat bahwa realitas manusia adalah bagian dari perubahan.
Ketiga, ide baru yang muncul sebagai Determinisme dari teori yang ada. Ini merupakan bagian dari landasan perubahan sosial. Ide merupakan gagasan-gagasan brilian yang mendekonstruksi ide yang telah ada, atau sebagai antitesa dari konsep yang telah mapan, sehingga konsep yang ada tadi mengalami perubahan, bukan hanya secara konseptual tetapi juga paradigma. Jadi dalam melakukan perubahan perlu ada ide, di mana ia lahir sebagai antitesa dari ide yang ada. Misalnya, sekarang banyak pembongkaran terhadap teori-teori atau ide-ide lama yang dilakukan oleh banyak pakar, seperti pembongkaran Mansour Fakih terhadap dusta-nya pembangunan dinegara-negara dunia ketiga yang dilanggengkan oleh rezim-rezim politik yang berkuasa, pembongkaran yang dilakukan oleh Harun Yahya terhadap The Origin of Species yang ditulis oleh Charles Darwin, merupakan ide yang brilian yang ternyata mampu menyentakan alam bawah sadar masyarakat, bahwa hegemoni teori-teori barat kemudian mampu dibongkar kedustaannya. Disinilah terjadi perubahan paradigma karena adanya ide yang lahir sebagai antitesa dari ide yang telah ada sebelumnya.
Keempat, dependensia. Yaitu ketergantungan antar berbagai pihak yang menyebabkan pihak yang tergantung itu harus menyikuti keinginan pihak yang menggantungnya. Teori dependensia ini sebenarnya di gunakan oleh Teotonia Dos Santos dalm melihat ketergantungan negara-negara dunia ketiga dalam menata perekonomian mereka terhadap negara-negara dunia pertama.
Kenapa dependensia dapat melahirkan perubahan sosial? Kita secara praktis bisa berpikir, karena ketergantungan ini menyebabkan pihak yang bergantung harus ikut pad pola struktur minimal-meniru-pihak yang menggantungnya. Dalam perekonomian misalnya, Indonesia adalah negara yang menggantungkan diri pada negara-negara Barat, karena sekarang Barat sedang berada pada posisi diatas dalam hal pembangunan ekonomi, maka ia menjadikan negara-negar berkembang menggantungkan perekonomiannya pada mereka. Sehingga pembangunan perekonomian dinegara-negara berkembang merupakan copian  dari negar-negar maju tersebut. Disini perubahan terjadi, tetapi bergantung pada rekayasa entitas lain, bukan murni lahir dari komunitas setempat. Oleh sebab itu, perubahan terjadi sangat tergantung pad kemurahan hati entitas yang menggantungnya tersebut, sehingga aktivitas ekonomi katakanlah mengalami semacam modifikasi.
Kelima, adalah Dialektika, sebagaimana yang telah diajukan diatas, bahwa dialektika berpotensi melahirkan perubahan sosial. Bahkan melalui dialektika-lah, kemungkinan besar perubahan sosial itu akan terjadi. Apa yang terjadi dalam rentang sejarah kemanusiaan, perubahan senantiasa terjadi akibat dari proses dialektika. Jika bukan karena dialektika, tidak bisa mengecam manis dan pahitnya berIslam. Melalui Islam yang dikembangkan oleh Muhammad (Rasulullah) SAW kita mampu menemukan jati diri kemanusiaan kita .
Menurut Piotr Sztompka, perubahan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung dair sudut pengamatan . apakah dari sudut aspek, fragmen, atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan karena keadaan sistem sosial itu tidak sederhana, tidak berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen sebagai berikut ini:
1.    Unsur-unsur pokok (misalnya, jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka)
2.    Hubungan antar unsur (misalnya, ikatan sosial, loyalitas,, ketergantungan, hubungan antar individu, integrasi)
3.    Berfungsinya unsur-unsur didalam sistem (misalnya, peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial)
4.    Pemeliharaan batas (misalnya, kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip rekruitmen dalam organisasi, dan sebagainya)
5.    Subsistem (misalnya, jumlah dan jenis seksi, segmen atau divisi khusus yang dapat dibedakan)
6.    Lingkungan (misalnya, keadaan atau kondisi geopolitik) .

Daftar Pustaka
Yudi Latif, “Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20”, Bandung, Mizan Pustaka. 2005. Hlm: 20.
Zygmunt Bauman, “Legislators and Interpreters: On Modernity, Post-Modenity and Intellectuals”, Oxford, Polity Press. 1989.
L. Coser, “Men Of Ideas”, New York, Quil. 1965.
Michael Walzer, “The Company of Critics”, London, Peter Halban. 1989.
Paul Johnshon, “Intellectuals”, London, Weindenfeld & ANU Press. 1998.
Seymuor Martin Lipset,”Democracy In Plural Societies”, New Haven, Yale University. 1960.
A. Gella, “An Introduction to the Sociology of the Intelligentsia”, dalam “The Intelligentsia and Intellectuals: Theory, Method, and Case Study”, ed.A. Gella, London, Sage Publications Ltd. 1976.
Genealogi Konraad & Szelenyi I., “The Intellectual on the Road to Class Power”, terjm. A. Arato dan R.E. Allen, Sussex, Harvester Press. 1979.
Syarifuddin Jurdi, (2007), “Sejarah Wahdah Islamiyah: Sebuah Geliat Ormas Islam di Era Transisi”, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2007.
D . McDonald; “A Theory of Mass Culture”, dalam B. Rosenberg dan D. White [Editor]  Mass Culture, Glencoe, free press, 1957.
Dominic Strinati; ”Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer”, Bandung, Mizan Media Utama [MMU], 2004.
Fajlurrahman Jurdi, “Aib Politik Muhammadiyah”, Yogyakarta, Juxtapose, 2007, Hlm: 87-90. yang dicetak miring dari penulis.
A’bul A’la Al-Maududi, “Political Theory of Islam.”Islam: Its Meaning and Message”,  Edited By Kurshid Ahmad. London: Islamic Council of Europe, 1976.
Saiful Mujani, “Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik Di Indonesia Pasca-Orde Baru”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Piotr Sztompka; ”Sosiologi Perubahan Sosial”, Jakarta, Prenada Media, 2004).
N Kusuma, at. al. [ed.], (2004), “Gelombang Perlawanan Rakyat: Kasus-Kasus Gerakan Rakyat di Indonesia”, Yogyakarta, Insist Press. 
Iwan Gardono Sujatmiko, [ed.], (2006), “Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi”, LP3ES.
Fajlurrahman Jurdi, at al. [ed], (2009), “Gerakan Sosial Islam: Genealogi Habitus Muhammadiyah”, Yogyakarta, PuKAP-Indonesia bekerjasama dengan ”The Habitus School”, DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulsel dan DPD KNPI Sulsel.
M Rusli Karim, (1997), HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.
Syafiq A Mughni, (2002), “Dinamika Intelektual Islam: Pada Abad Kegelapan”, Surabaya, Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM).
Arbit Sanit, (1998), ”Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998”, Bandung, Pustaka Hidayah.
Ahmad Erani Yustika, (2003), ”Negara vs Kaum Miskin”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Arief Budiman, at al. [ed.], (2001) “Aktor Demokrasi: Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia” ISAI. 
Rum Aly, (2004), ”Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung Di Panggung Politik Indonesia 1970-1974”, Jakarta, Kompas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar