Minggu, 13 Mei 2012

Mahasiswa dan Gerakan Sosial Islam di Indonesia

MAHASISWA DAN GERAKAN SOSIAL ISLAM
“HMI, IMM, PMII, Dan KAMMI” 

Oleh
Fatahullah Jurdi 

Tema ini penulis angkat mengingat sudah banyaknya peran yang diberikan oleh gerakan-gerakan sosial, khususnya gerakan sosial Islam untuk kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Bagaimana mereka telah memberikan peran yang sangat signifikan, sebagai tanda kecintaan mereka terhadap Negara yang antah barantah ini.
Gerakan sosial selalu meneriakkan aspirasi rakyat kepada para wakil rakyat. Akan tetapi, para wakil rakyat ini hanya melihat itu sebagai sebuah ungkapan anak-anak yang tidak punya kerjaan, padahal itu adalah masukan dan kritikan mereka terhadap kerja para rezim ini. Supaya rezim ini memperbaiki perilakunya sebagai wakil dari rakyat, yang akan menyampaikan aspirasi rakyat kepada penguasa, mereka harus menyampaikan bahwa rakyat menginginkan ini dan itu.
Mereka selalu mengatakan perubahan, padahal perubahan itu tidak pernah terjadi. Meski terjadi perubahan itu, perubahan itu lebih pada arah kemunduran dan perubahan itu hanya menuju pada kehancuran semua lini Bangsa, padahal Bangsa ini memang sudah antah-barantah, dari sepeninggalnya sang Founding Fathers dan juga sang proklamator Bangsa dan Negara ini.
Rezim otoriter peninggalan Orde Baru, masih sangat kental melekat pada tubuh para rezim yang berkuasa pada saat sekarang. Gerakan sosial, selalu membangun seri perlawanan dalam menghambat kebijakan “gila” para rezim ini dalam menyiksa rakyat yang tidak pernah merasa di siksa, itu karena akal busuknya para penguasa itu, yang pada akhirnya melesetkan semuanya kepada hal-hal yang dianggap oleh rakyat itu sebagai sebuah fantasi dan sangat mereka nikmati siksaan itu.
Penulis menulis karya ini untuk bagaimana kita dapat mengetahui bagaimana keadaan ormas Islam Indonesia dan apa saja yang menjadi perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih-lebih dalam beragama. Ini sangat dirasakan dalam beberapa dekade terakhir ini, bagaimana para anak-anak muda Islam memberikan pemahaman Islam yang lebih baik bagi masyarakat yang pemahaman Islamnya masih dibawah standar sehingga menganggap Islam ini sebagai agama yang mudah untuk kita bodoh-bodohi atau dalam istilah Makassar-nya Pipakanakanai atau patatoai, sehingga apa yang diajarkan oleh Islam, kita tafsirkan dalam konteks yang sangat jauh bedanya dari apa Islam katakan kepada kita lewat A-Qur’an dan Al-Hadits.
Sebagaimana ungkapan yang sering dilontarkan oleh KH. Zainuddin MZ. Dalam setiap ceramahnya, beliau mengatakan “Islam mengajarkan awas...., ada hidup sesudah mati, ada akhirat sesudah dunia, maka dari itu tingkat iman dan taqwa kita kepada Allah Swt”, inilah ungkapan yang memberikan kesadaran kepada kita umat Islam, untuk bagaimana supaya kita selalu beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt dengan iman dan taqwa yang sesungguh-sungguhnya, bukan untuk main-main.
Banyak dari kader ormas Islam Indonesia yang telah lolos menjadi kader yang sesungguhnya kader, yakni dari mereka yang tidak mengetahui tentang Islam menjadi manusia yang lebih mengetahui tentang apa dan bagaimana Islam itu. Akan tetapi, banyak pula kader ormas Islam ini, dari yang Islamnya bagus atau biasa kita sebut dari yang shalatnya bagus menjadi tidak bagus, sebab sudah dimasuki oleh pemahaman keagamaan yang lain dari pemahaman keagamaan yang dibawa oleh Rasulullah Saw sebagai Uswatun Hasanah (sebagai tauladan bagi umat manusia). Sifat kepemimpinan yang diwariskan oleh Rasulullah sangat-lah relevan untuk setiap zaman, tidak saja untuk zamannya.


Gerakan Sosial
Gerakan sosial biasanya didefinisikan sebagai gerakan bersama sekelompok orang atau masyarakat yang terorganisir tetapi informal bersifat lintas kelompok untuk menentang atau mendesakkan perubahan. Banyak versi dan dimensi dari definisi gerakan sosial itu tetapi Diani (2000), misalnya, menekankan pentingnya empat unsur utama, yaitu (1) jaringan yang kuat tetapi interakisnya bersifat informal atau tidak terstruktur. Dengan kata lain ada ikatan ide dan komitmen bersama di antara para anggota atau konstituen gerakan itu meskipun mereka dibedakan dalam profesi, kelas sosial, dll. (2) Ada sharing keyakinan dan solidaritas di antara mereka; (3) ada aksi bersama dengan membawa isu yang bersifat konfliktual. Ini berkaitan dengan penentangan atau desakan terhadap perubahan tertentu; (4) Aksi tuntutan itu bersifat kontinyu tetapi tidak terinstitusi dan mengikuti prosedur rutin seperti dikenal dalam organisasi atau agama, misalnya.
Dengan demikian, bisa diidealkan bahwa gerakan sosial sesungguhnya berangkat dari kesadaran sekelompok orang atas kepentingannya. Meskipun selalu dibutuhkan kepemimpinan di dalam semua gerakan sosial tersebut, tetapi keuntungan (value-added) dan capaiannya selalu harus kembali kepada konstituen gerakan dan bukan kepada pemimpinnya. Tulisan-tulisan tentang gerakan sosial baru di Indonesia cenderung memberikan penekanan pada peran pemimpin dan keuntungan yang kembali kepada mereka. Sedikit sekali, keberhasilan, jika ada, dari gerakan itu langsung memberikan keuntungan kepada konstituen gerakan itu.
Tiga buku berikut mungkin bisa dijadikan contoh, yaitu (1) Aktor Demokrasi, Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia (Arief Budiman at al. [ed.], ISAI 2001); (2) Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-Kasus Gerakan Rakyat di Indonesia (N. Kusuma at. al. [ed.], Insist, 200); (3) Gerakan Sosial, Wahana Civil Society bagi Demokratisasi (Iwan Gardono Sujatmiko [ed.], LP3ES, 2006). Saya ingin memberikan beberapa kesimpulan dari hasil bacaan saya terhadap narasi tentang gerakan sosial di Indonesia tersebut. Bahwa: 1. gerakan itu lebih menguntungkan pemimpin atau yang dianggap sebagai pemimpin dan karena itu ukuran capaiannya lebih dilihat apakah gerakan itu cukup memberikan impactkepada mereka; 2. gerakan-gerakan itu juga umumnya diinisiasi oleh para pemimpin itu ketimbang atas kesadaran konstituen sejak semula. 3. Beberapa gerakan yang termuat di dalam buku ini juga bermula dari dukungan donasi dari luar sebagai pendukung utama, baik luar negeri maupun luar kelompok itu, yang menunjukkan intervensi tertentu atas pergulatan isu yang diperjuangkan.
Dalam mendefinisikan tentang gerakan sosial, sudah banyak para pemerhati gerakan sosial dari Barat yang memberikan definisi tentang gerakan sosial. Ada beberapa definisi umum tentang gerakan sosial. Menurut Piotr Sztompka (2004: 325) gerakan sosial adalah:
    Kolektivitas orang yang bertindak bersama.
    Tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama.
    Kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya daripada organisasi formal.
    Tindakannya mempunyai derajat spontanitas relatif tinggi namun tak terlembaga dan bentuknya tak kontroversional.
Gerakan Sosial Baru atau yang disebut dengan GSB itu muncul pada masyarakat Barat modern sejak 1960-an, yang terkait dengan gerakan mahasiswa, potensi anti-perang vietnam, perjuangan hak-hak sipil dan gerakan perempuan. Gerakan sosial baru biasanya dianggap mencakup feminisme, politik lingkungan, gerakan perdamaian bdan politik kultural. Gerakan Sosial Baru ini dilihat terpisah dari gerakan buruh yang lebih tradisional.
Menurut Chris Barker (2005: 167-169), bahwa “pada tahun 1960-an telah muncul yang namanya Gerakan Sosial Baru atau yang biasa disebut dengan GSB di masyarakat-masyarakat Barat modern, yang terkait dengan gerakan mahasiswa, potensi anti-perang Vietnam, perjuangan hak-hak sipil dan gerakan perempuan”. Gerakan Sosial Baru biasanya dianggap mencakup feminisme, politik lingkungan, gerakan perdamaian bdan politik kultural. Gerakan Sosial Baru ini dilihat terpisah dari gerakan buruh yang lebih tradisional.
Menurut Touraine (1981) dan Melluci (1980, 1981, 1989), dalam  Chris Barker (2005: 167-168), mangatakan bahwa Politik radikal kontem-porer sedang memisahkan diri dari determinasi kelas, mereka ini terorganisasi lewat Gerakan-gerakan Sosial Baru, seperti yang diungkapkan oleh kedua penulis ini dalam bukunya masing-masing. Gerakan Sosial Baru semakin menjadi kolektivitas sosial politik dengan suara keras yang basisnya berada diluar tempat kerja. GSB ini muncul dari pencapaian dalam hal kebersamaan, kedekatan, dan kontinuitas. Seperti yang diungkapkan oleh Melluci (1989: 34), mengatakan bahwa; “pembentukan identitas kolektif adalah proses yang halus/rapuh dan membutuhkan investasi/usaha yang terus-menerus”.
Kemunculan Gerakan Sosial Baru berkorelasi dengan melemahnnya kepastian hubungan antara kelas dengan keberpihakan politik. “studi-studi tentang perilaku mencoblos/voting dan aktivisme menunjukkan adanya penurunan yang stabil dalam hal komitmen politik antara kelas-kelas utamaatau kategori-kategori kerja di satu sisi dengan partai-partai politik besar disisi lainnya…. Sejak akhir 1960-an…. Indeks pemilihan kelas terus menunjukkan penurunan”. Gerakan sosial baru yang muncul pada saat itu sangatlah bagus apabila prinsip dan cara kerjanya di pakai oleh para aktivis organisasi pada saat ini. Sehingga mampu menciptakan ide-ide baru dan mampu menjadi salah satu organisasi yang bernama dan bisa dikatakan sukses. Contohnya PuKAP, yang pada saat ini telah banyak memberikan perubahan terhadap kondisi politik di negeri yang antah-barantah ini, yang apabila kita mampu menafsirkan apa yang menjadi tujuan dari PuKAP ketika mengkritik pemerintah dan parpol-parpol yang menamakan dirinya sebagai parpol Islam, itu sebagai sebuah masukan yang sangat berharga dan yang akan mampu membangkitkan jiwa politik yang lebih baik dari itu. Dan supaya parpol yang di kritik itu mengetahui kesalahan-kesalahannya, sangatlah egois seseorang ataupun sekelompok orang tidak mengakui kesalahannya, Rasulullah sendiri telah mengatakan bahwa ”tidak  ada yang namanya manusia tanpa kesalahan dan itu sangatlah mustahil dan tidak masuk akal, akan tetapi, ketika orang itu tidak terlihat kesalahannya karena kesalahan tersebut selalu ditutupi oleh kebaikan yang dia lakukan dan mungkin kesalahan yang dia lakukan sangatlah kecil sehingga itu tidak masuk dalam hitungan. Manusia itu tidak luput dari kesalahan dan dosa, siapapun itu, entah itu Nabi dan bahkan Rasulullah sendiri sebagai utusan teristimewanya Allah kepada umat manusia”.
Banyak diantara gerakan sosial yang sangat apatis terhadap Pemilihan Umum dan memicu masyarakat untuk tidak memberikan suara. Bahkan mereka selalu mengatakan “semakin banyak anda memilih maka semakin memberikan peluang terhadap para koruptor untuk menguasai konteks politik dan menjarah habis keuangan Negara dan menindas serta merampas hak-hak anda”. Menurut penulis ini adalah suatu realitas yang terjadi didalam konteks politik dan pemerintahan pada saat sekarang, sebab sangat banyak pemimpin yang menjual aset-aset penting Negara kepada para Korporasi Asing dan memberikan kewenangan kepada korporasi asing untuk menggarap habis-habisan Sumber Daya Alam yang dimiliki oleh Indonesia, sampai benar-benar terkuras habis, itu karena sifat pemimpin yang tidak memiliki rasa tanggungjawab dan rasa peduli terhadap lingkungan serta rasa kasihan kepada rakyat yang selalu ditindas.
Gerakan sosial merupakan suatu gerakan yang melakukan kontrol terhadap negara, memiliki rasa sosialisme yang tinggi dan menginginkan suatu perubahan terjadi di dalam masyarakat. Piotr Sztompka (2004: 332-336) mengemukakan beberapa tipe gerakan sosial yang menurut pemikir ilmu sosial dan politik sebagai tipe gerakan sosial murni
1.    Gerakan sosial yang berbeda menurut bidang perubahan yang diinginkan. Ada gerakan sosial yang terbatas tujuanya; hanya untuk mengubah aspek tertentu kehidupan masyarakat tanpa menyentuh inti struktur institusinya, gerakan yang hanya menginginkan perubahan “didalam” ketimbang perubahan masyarakatnya sebagai keseluruhan. Ini disebut sebagai gerakan reformasi.Neil Smelser dengan tipologi yang sama akan tetapi rumusan yang lain, membedakan antara; gerakan yang berorientasi norma dan gerakan yang berorientasi nilai. Gerakan yang berorientasi norma adalah tindakan memobilisasi atas nama keyakinan umum (ideologi bersama) yang mengimpikan penataan ulang norma. Sedangkan gerakan yang berorientasi nilai adalah tindakan kolektif yang dimobilisasi atas nama keyakinan umum yang menginginkan penataan ulang nilai. Menurut Smelser, nilai menyediakan pedoman fundamental untuk bertindak. Nilai menetapkan dan mengatur tujuan upaya manusia. Sedangkan, Norma adalah alat untuk memilih cara yang tepat dalam mengejar tujuan akhir (Ibid: 27).
2.    Gerakan sosial yang berbeda dalam kualitas perubahan yang diinginkan. Ada gerakan yang menekankan pada inovasi, berjuang untuk memperkenalkan institusi baru, hukum baru, bentuk kehidupan baru, dan keyakinan baru. Gerakan inilah yang dapat memurtadkan masyarakat dari keyakinannya masing-masing.
3.    Gerakan yang berbeda dalam target perubahan yang diinginkan. Ada yang memusatkan perhatian pada perubahan struktur sosial; ada pula yang pada perubahan individual.
4.    Gerakan sosial yang mengenai “arah perubahan yang diinginkan”. Kebanyakan gerakan mempunyai arah positif. Gerakan seperti itu mencoba memperkenalkan perubahan tertentu, membuat perbedaan.
5.    Gerakan sosial yang berbeda dalam strategi yang melandasi atau “logika tindakan mereka” (Rucht, 1988). Ada yang menyikuti logika instrumental; gerakan ini berjuang untuk mendapatkan kekuasaan politik dan dengan kekuatan politik itu memaksakan perubahan yang diinginkan dalam peraturan hukum. Institusi, dan organisasi masyarakat. Tujuan utamanya adalah kontrol politik.
6.    Perbedaan tipe gerakan sosial yang ditemukan sangat menonjol dalam epos sejarah berlainan. Ini memungkinkan kita untuk membedakan dua tipe besar yang berkaitan dengan sejarah modern. Gerakan yang menonjol di fase awal modernitas memusatkan perhatian pada kepentingan ekonomi; anggota umumnya direkrut dari satu kelas sosial tertentu, organisasinya kaku, desentralisasi.
7.    Bila orang melihat pada masyarakat konkrit, pada waktu historis konkret, disitu akan selalu tampak susunan gerakan sosial yang kompleks dan heterogen, mencerminkan perbedaan tipe gerakan seperti yang telah dibahas diatas. Pada tingkat hubungan sosial yang ruwet ini akan terlihat suatu fenomena yang menonjol. Terutama akan diketahui antara gerakan dan gerakan tandingan dalam konflik longgar yang saling merangsang dan memperkuat kualitas (Zald & Useem, 1982: 1).
Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Setelah rezim Orde Baru meninggalkan panggung politik (reformasi), reformasi telah membuka jalan baru bagi Indonesia, Indonesia yang dulu dikuasai oleh rezim militer otoriter yang sangat gila akan harta dan lebih-lebih gila terhadap kekuasaan sehingga seorang rezim seperti Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun. Sekarang Indonesia sebagai Negara sebuah Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Telah banyak memberikan jalan baru bagi para generasi muda untuk bagaimana mereka memandang kehidupan bangsa ini kedepan dengan berbagai gaya yang diberikan oleh gerakan tempat mereka dikader.
Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam) dan HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan yang khas. Berikut sekilas perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut:
1.    Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
a.    HMI Dipo
HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.
Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin Bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak di jalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No!.”
b.    HMI MPO
Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujung Pandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986.
Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujung Pandang dan Purwokerto kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya represi negara justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat.
HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka cenderung fundamentalis dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis saat ini.
2.    Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkindi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement  (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat.
3.    Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU.
Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.
4.    Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
KAMMI terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga Da’wah Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998. Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.
Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam pandangan KAMMI, krisis yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat. Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali dengan adanya pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya, harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia belumlah selesai, masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1—4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.
Gerakan Sosial Dalam Membangun Indonesia Yang Berkeadilan Sosial
Ketika kita bermimpi untuk menjadi sebuah Negara yang berkeadilan sosial yang tinggi. Maka, harus terlebih dahulu Negara itu mempunyai penguasa yang tidak otoriter dan tidak berlaku semena-mena terhadap masyarakat. Sebab dengan penguasa yang berlaku semena-mena, akan menciptakan ketidak-seimbangan dalam kehidupan sosial dan banyak sekali menciptakan kecemburuan sosial yang begitu besar dalam kalangan masyarakat, sehingga terjadilah yang namanya kudeta. 
Pancasila adalah merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam Pancasila sudah tercantum semua apa yang menjadi cita-cita Negara Indonesia, sebab dalam semua sila pancasila sudah terdapat cita-cita Negara yang demokratis misalnya adalah sila kelima yang berbunyi Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ini adalah cita-cita Negara demokratis, bagaimana mereka menginginkan supaya rakyat atau penduduknya mendapatkan keadilan yang sama rata, tanpa melihat status, suku, ras dan lebih-lebih jabatannya. Sebab ketika keadilan itu melihat semua itu maka yang rasnya lebih kuat, akan tidak dikenai hukuman meski mereka bersalah.
Ciri Negara yang memiliki keadilan sosial yang tidak memandang sebelah adalah 1) yang salah disalahkan, yang benar dibenarkan, 2) tidak membantu yang salah meski itu adalah sanak family kita sendiri, 3) yang salah dihukum sesuai dengan pelanggarannya, yang benar dilindungi dengan hukum pula, 4) jika seorang presiden berbuat salah maka harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku (jangan, karena dia seorang presiden, meski mencuri atau mengkorup uang Negara diberi hukuman yang sangat ringan, bahkan kerapkali tidak pernah disentuh oleh hukum). Jika ada penguasa yang memiliki sifat tersebut, maka Negara Indonesia akan menjadi Negara yang adil dan makmur.
Dengan adanya gerakan sosial ini, akan memberikan jalan baru bagi penegakan hukum di Indonesia yang dirasa semakin hilang. Sebab spirit anak-anak muda dalam menetukan masa depan bagi Bangsa dan Negara sangat besar, apalagi sekarang sudah ada yang namanya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan lain sebagainya, yang dibentuk setelah amandemen UUD 1945 yang ketiga (2003) dan keempat (2004). Dalam amandemen yang ketiga dibentuknya Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menafsirkan konstitusi guna untuk menciptakan Negara yang adil dan demokratis.
Pancasila-nya Indonesia, telah menjadi panca yang begitu sial, sebab apa-apa yang dikatakan oleh pancasila adalah omong kosong belaka dan bahkan kerapkali hanya menjadi semacam dogeng pengantar tidur, sehingga ketika penguasa lalim yang ada di Indonesia mengucapkan kalimat yang ada dalam semua sila yang ada di pancasila, masyarakat seakan-akan terhipnotis dengan sendirinya, mereka langsung merasa kantuk. Mereka sudah mengetahui terlebih dahulu bahwa kata-kata itu adalah merupakan omong kosongnya penguasa untuk mencari perhatian dan untuk mencari massa yang akan mendukungnya dalam pencapaian hasrat kekuasaan yang begitu gila yang ada dalam dirinya. Ketika kita menginginkan Negara yang berkeadilan sosial yang tinggi, maka kita harus menghapus penguasa yang tidak memiliki integritas dan kejujuran pribadi, ketika penguasa yang memiliki sifat seperti ini tidak ada dalam lingkungan penguasa, maka percayalah bahwa mimpi menjadi Negara yang berkeadilan sosial itu akan menjadi nyata. Disamping itu, kriteria pemimpin sebagaimana yang dicerminkan oleh Rasulullah sebagai tauladan umat manusia harus dimiliki oleh penguasa sekarang, seperti, Pertama, Bertakwa Kepada Allah SWT, Kedua, Siddiq, Ketiga, Tabligh, Keempat, Fathonah, Kelima, Amanah, Keenam, Adil, Ketujuh, Bersahaja (Fajlurrahman Jurdi, 2007; 87-91).

Daftar Pustaka
1.    Buku-buku,
Aly, Rum, (2004), ”Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung Di Panggung Politik Indonesia 1970-1974”, Jakarta, Kompas.
Anonim, 1999. Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah.
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi, 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Bagus, Lorens, 2000, ”Kamus Filsafat”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Barker, Chris., 2005,  “Cultural Studies: Teori dan Praktek”, Yogyakarta, Bentang. Di terjemahkan dari, “Cultural Studies: Theory and Practice”, 2000, London, Sage Publications.
Budiman, Arief., at al. [ed.], (2001) “Aktor Demokrasi: Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia” ISAI. 
Berger, Peter L & Hansfried Kellner, 1985. Sosiologi ditafsirkan Kembali, Essay tentang Metode dan Bidang Kerja. Jakarta: LP3ES.
————– & Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Fatah, Eep Saifullah, (1999), “Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan”, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
Melucci, A, 1980, “The New Social Movements: A Theoretical Approach”, Social Science Information, 19 (2).
------------------, 1981, “Ten Hypotheses For The Analysis Of New Movements”, dalam D. Pinto (ed.) “Contemporary Italian Socoilogy, Cambridge, Cambridge University Press.
Sztompka, Piotr, 2004, “Sosiologi Perubahan Sosial”, Jakarta, Prenada Media.
Touraine, A., 1981, “The Voice and The Eye: An Analysis Of Social Movements, Cambridge, Cambridge University Press.
Waloni, Dr. M. Yahya, Pidato “Silaturrahim Mantan Pendeta GKI Papua”, di Pondok Pesantren Pamekasan, Madura, Kamis 08 November 2007.
Farhan, Ishak Ahmad, (2002), ”Menyiasati Perang Peradaban: Tarbiyah Islam Melawan Ekspansi Kaum Zionis”, Jakarta, Harakah.
IMM, (1998), “Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah”, Dokumen yang tidak di terbitkan.
Latif, Yudi, (2005), “Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20”, Bandung, PT. Mizan Pustaka.
Mughni, Syafiq A, (2002), “Dinamika Intelektual Islam: Pada Abad Kegelapan”, Surabaya, Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM).
Nasution, Harun, (1975), ”Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan”, Jakarta, Bulan Bintang.
Sanit, Arbit, (1998), ”Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998”, Bandung, Pustaka Hidayah.
Yustika, Ahmad Erani, (2003), ”Negara vs Kaum Miskin”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Kusuma, N., at. al. [ed.], (2004), “Gelombang Perlawanan Rakyat: Kasus-Kasus Gerakan Rakyat di Indonesia”, Yogyakarta, Insist Press. 
Sujatmiko, Iwan Gardono., [ed.], (2006), “Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi”, LP3ES.
Jurdi, Fajlurrahman., at al. [ed], (2009), “Gerakan Sosial Islam: Genealogi Habitus Muhammadiyah”, Yogyakarta, PuKAP-Indonesia bekerjasama dengan ”The Habitus School”, DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulsel dan DPD KNPI Sulsel.
Feith, Herbert & Lance Castle, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.
————-, 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijaksanaan Pembangunan Bagi Keberadaan Islam Politik di Indonesia era 1970-an dan 1980-an. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Latif, Yudi, 1999. Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan. Bandung: Mizan.
Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, 2001. Perlawanan dari Masjid Kampus. Surakarta: Purimedia.
Salim HS, Hairus, dan Muhammad Ridwan, 1999. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural. Yogyakarta: LKiS.
Sanit. Arbi, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan; Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Gardono, Iwan [ed.], 2006,Gerakan Sosial, Wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta, LP3ES.
Calhoun, Craig, 2000, “’New Social Movements’ of the Early Nineteenth Century” dalam Nash, Kate, Reading in Contemporary Political Sociology, Blackwell, Oxford, hlm. 128-153.
2.    Koran
Huda, Nurul, PMII Kader Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001
3.    Majalah/Jurnal
Surur, Bahrus, 2001, Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam Muhammadiyah, Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.
Ul Haq, Fajar Riza, 2001, Neo Modernisme Islam Berwawasan Praksis Liberatif (Dari Teologi Inklusif Menuju Teologi Pluralis), Jurnal Shabran, edisi 2 Vol. XV, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar