KATA PENGANTAR
Berbicara dalam konteks kemahasiswaan, kita tidak bia menjauhkan diri dari
konsep intelektualitas dan dunia akademisi, sebab mahasiswa sering meleburkan
dirinya menjadi aktifis, intelektual, akademisi, cendekiawan dan lain
sebagainya. Pengakuan mahasiswa akan eksistensi dirinya adalah merupakan
pengakuan yang cukup esensial dalam kehidupan ini, sehingga apapun yang mereka
berikan label terhadap sesuatu selalu melalui kerangka ilmiah yang baik dan
sangat sistematis.
Melihat prospek apapun yang dilakukan oleh mahasiswa saat sekarang, kita
dapat menyimpulkan, bagaimana mereka menyibukkan dirinya untuk berusaha
memperbaiki kehidupan bangsa dan negara ini kedepannya, tetapi yang oleh
sebagian orang, dianggap sebagai pengkhianat yang selalu ingin mendapatkan
metri dibalik perjuangannya.
Tidak bisa juga dipungkiri akan adanya perilaku yang demikian dan bahkan
kebanyakan, hanyalah cari muka ke elit politik supaya diajak masuk ke partai
ataupun institusi negara, banyak aktifis yang sudah terinfeksi birokrasi dan
institusi negara, melupakan apa yang menjadi tujuan utamanya, yakni
memperjuangkan hak-hak rakyat yang sampai hari ini masih saja dijadikan
’kambing hitam’ oleh elit yang tidak bertanggungjawab. Tapi, hadirnya aktifis
dan intelektual pentas institusi negara,
hanya menjadi katalisator yang akan membuat kebijakan gilanya seorang penguasa
semakin dapat dijalankan. Sehingga muncul apa yang disebut oleh Julien Benda
dengan ”La Trahison Des Cleerss”,
yang menggariskan dengan utuh relasi pengkhianatan yang dilakukan oleh
intelektual.
Istilah intelektual
pertama kali diperkenalkan Clemenceau dengan istilah “Les Intellectuels”
dan dipakai secara luas di Prancis pada 1898 sebagai resonansi dari “Manifesto
Intelektual” (Manifeste Des Intellectuel) yang dibangkitkan oleh “Kasus
Dreyfus”. Pada 1896, Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudi dalam dinas
ketentaraan Prancis dituduh telah melakukan spionase dan dicopot pangkatnya
oleh sebuah pengadilan militer dan dihukum penjara seumur hidup. Sebagai protes
atas kesewenang-wenangan keputusan pengadilan itu, Emile Zola, seorang novelis
populer yang terkenal, menerbitkan sebuah surat terbuka di halaman muka sebuah
koran kecil terbit di Paris, yangn menuduh para anggota dinas ketentaraan
Prancis telah merekayasa bukti, memanipulasi, dan menutup-nutupi fakta-fakta
kasus tersebut. Surat itulah yang kemudian dikenal dengan “Manifeste Des
Intellectuels” (Manifesto Para Intelektual).
Pada tahap-tahap awal
kemunculannya, intelektual menunjuk pada sebuah kelompok dengan misi yang
diproklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah nurani bersama atas
persoalan-persoalan politik yang mendasar. Namun, dalam perkembangan
berikutnya, definis-definisi dari intelektual menjadi berlimpah dan beragam.
“Setiap definisi yang mereka ajukan”, kata Zygmunt Bauman, “Sesungguhnya
Merupakan sebuah upaya untuk menarik garis batas identitasnya masing-masing.
Setiap batasan membelah wilayah menjadi dua sisi: disini dan disana, di dalam
dan di luar, kita dan mereka”. Menurut pendapat Eyerman, dari beragam definisi
tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kategori. Yang pertama, definisi
yang menginterpretasikan intelektual dalam kerangka karakteristik-karakteristik
personal, seperti “seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus
bermain” atau mereka “yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya”
juga mengikuti dan mengembangkan definisi semacam ini. Yang kedua, definisi
yang mengaitkan istilah tersebut dengan suatu struktur dan fungsi sosial
tertentu. Definisi seperti ini, dapat diajukan, misalnya seperti yang diajukan
oleh Seymour Martin Lipset yang mendefinisikan para intelektual sebagai orang
“yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankan kebudayaan”.
Dengan melihat napak tilas perjalanan yang dilalui oleh hampir semua mahasiswa
yang ada dikampus-kampus, yakni ada sebuah kesamaan yang hadir dalam perjalanan
itu, yakni kebersamaan untuk menuntut keadilan yang seadil-adilnya, sehingga
yang bersalah akan disalahkan, yang benar akan dibenarkan.
Ketika kita berhadapan dengan tema seputar pengkhianatan, maka kita akan
teringat dengan karyanya Julien Benda ”La
Trahison Des Clerss”, yang mengupas habis tentang pengkhianatan yang
dilakukan oleh intelektual. Buku Benda ini menjadi rujukan utama dalam menulis
tentang bentuk-bentuk pengkhianatan yang terjadi dalam setiap lini kehidupan,
lebih-lebih yang berkaitan dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh intelektual. Pengkhianat banyak
Tulisan yang memicu pada kajian tentang intelektual, mahasiswa,
cendekiawan, aktifis dan lain sebagainya, selalu berhadapan dengan realitas
empiris yang sedang terjadi dan setiap apa yang ditulis, tidak pernah keluar
dari reel yang sebenarnya, sebab berhadapan dengan komunitas intelektual yang
sebenarnya. Menulis tentang intelektual dan seuruh dedengkot-dedengkotnya, kita
selalu berpatokan pada kajian yang dilakukan oleh Julien Benda, Antonio Gramsci,
Emile Zola, dan lain sebagainya, yang telah dengan baik mengurai dan memilah
semua yang berkaitan dengan apa yang berhubungan dengan intelektual, intelegensia.
Buku ini berusaha mengkaji hubungan itu dengan memakai literatur yang telah
ada, dengan sedikit mengolahnya dalam ranah pahaman empiris dan realitas
empiris yang tengah dihadapi pada saat ini, sehingga kajiannya semakin kompleks
dengan berbagai fenomena yang tengah terjadi dan selalu asyik untuk dibaca dan
dipahami dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar