Rabu, 25 April 2012

mahasiswa vis a vis negara


KATA PENGANTAR
Berbicara dalam konteks kemahasiswaan, kita tidak bia menjauhkan diri dari konsep intelektualitas dan dunia akademisi, sebab mahasiswa sering meleburkan dirinya menjadi aktifis, intelektual, akademisi, cendekiawan dan lain sebagainya. Pengakuan mahasiswa akan eksistensi dirinya adalah merupakan pengakuan yang cukup esensial dalam kehidupan ini, sehingga apapun yang mereka berikan label terhadap sesuatu selalu melalui kerangka ilmiah yang baik dan sangat sistematis.
Melihat prospek apapun yang dilakukan oleh mahasiswa saat sekarang, kita dapat menyimpulkan, bagaimana mereka menyibukkan dirinya untuk berusaha memperbaiki kehidupan bangsa dan negara ini kedepannya, tetapi yang oleh sebagian orang, dianggap sebagai pengkhianat yang selalu ingin mendapatkan metri dibalik perjuangannya.
Tidak bisa juga dipungkiri akan adanya perilaku yang demikian dan bahkan kebanyakan, hanyalah cari muka ke elit politik supaya diajak masuk ke partai ataupun institusi negara, banyak aktifis yang sudah terinfeksi birokrasi dan institusi negara, melupakan apa yang menjadi tujuan utamanya, yakni memperjuangkan hak-hak rakyat yang sampai hari ini masih saja dijadikan ’kambing hitam’ oleh elit yang tidak bertanggungjawab. Tapi, hadirnya aktifis dan intelektual pentas institusi  negara, hanya menjadi katalisator yang akan membuat kebijakan gilanya seorang penguasa semakin dapat dijalankan. Sehingga muncul apa yang disebut oleh Julien Benda dengan ”La Trahison Des Cleerss”, yang menggariskan dengan utuh relasi pengkhianatan yang dilakukan oleh intelektual.
Istilah intelektual pertama kali diperkenalkan Clemenceau dengan istilah “Les Intellectuels” dan dipakai secara luas di Prancis pada 1898 sebagai resonansi dari “Manifesto Intelektual” (Manifeste Des Intellectuel) yang dibangkitkan oleh “Kasus Dreyfus”. Pada 1896, Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukan spionase dan dicopot pangkatnya oleh sebuah pengadilan militer dan dihukum penjara seumur hidup. Sebagai protes atas kesewenang-wenangan keputusan pengadilan itu, Emile Zola, seorang novelis populer yang terkenal, menerbitkan sebuah surat terbuka di halaman muka sebuah koran kecil terbit di Paris, yangn menuduh para anggota dinas ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti, memanipulasi, dan menutup-nutupi fakta-fakta kasus tersebut. Surat itulah yang kemudian dikenal dengan “Manifeste Des Intellectuels” (Manifesto Para Intelektual). 
Pada tahap-tahap awal kemunculannya, intelektual menunjuk pada sebuah kelompok dengan misi yang diproklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah nurani bersama atas persoalan-persoalan politik yang mendasar. Namun, dalam perkembangan berikutnya, definis-definisi dari intelektual menjadi berlimpah dan beragam. “Setiap definisi yang mereka ajukan”, kata Zygmunt Bauman, “Sesungguhnya Merupakan sebuah upaya untuk menarik garis batas identitasnya masing-masing. Setiap batasan membelah wilayah menjadi dua sisi: disini dan disana, di dalam dan di luar, kita dan mereka”. Menurut pendapat Eyerman, dari beragam definisi tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kategori. Yang pertama, definisi yang menginterpretasikan intelektual dalam kerangka karakteristik-karakteristik personal, seperti “seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain” atau mereka “yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya” juga mengikuti dan mengembangkan definisi semacam ini. Yang kedua, definisi yang mengaitkan istilah tersebut dengan suatu struktur dan fungsi sosial tertentu. Definisi seperti ini, dapat diajukan, misalnya seperti yang diajukan oleh Seymour Martin Lipset yang mendefinisikan para intelektual sebagai orang “yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankan kebudayaan”.
Dengan melihat napak tilas perjalanan yang dilalui oleh hampir semua mahasiswa yang ada dikampus-kampus, yakni ada sebuah kesamaan yang hadir dalam perjalanan itu, yakni kebersamaan untuk menuntut keadilan yang seadil-adilnya, sehingga yang bersalah akan disalahkan, yang benar akan dibenarkan.
Ketika kita berhadapan dengan tema seputar pengkhianatan, maka kita akan teringat dengan karyanya Julien Benda ”La Trahison Des Clerss”, yang mengupas habis tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh intelektual. Buku Benda ini menjadi rujukan utama dalam menulis tentang bentuk-bentuk pengkhianatan yang terjadi dalam setiap lini kehidupan, lebih-lebih yang berkaitan dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh intelektual.  Pengkhianat banyak
Tulisan yang memicu pada kajian tentang intelektual, mahasiswa, cendekiawan, aktifis dan lain sebagainya, selalu berhadapan dengan realitas empiris yang sedang terjadi dan setiap apa yang ditulis, tidak pernah keluar dari reel yang sebenarnya, sebab berhadapan dengan komunitas intelektual yang sebenarnya. Menulis tentang intelektual dan seuruh dedengkot-dedengkotnya, kita selalu berpatokan pada kajian yang dilakukan oleh Julien Benda, Antonio Gramsci, Emile Zola, dan lain sebagainya, yang telah dengan baik mengurai dan memilah semua yang berkaitan dengan apa yang berhubungan dengan intelektual, intelegensia.
Buku ini berusaha mengkaji hubungan itu dengan memakai literatur yang telah ada, dengan sedikit mengolahnya dalam ranah pahaman empiris dan realitas empiris yang tengah dihadapi pada saat ini, sehingga kajiannya semakin kompleks dengan berbagai fenomena yang tengah terjadi dan selalu asyik untuk dibaca dan dipahami dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar