Sabtu, 03 Maret 2012

Perilaku Elit Politik Lokal Bima dan Dompu

BAGIAN PERTAMA
PERILAKU ELIT POLITIK


A.    ELIT POLITIK LOKAL BIMA
Yang paling banyak dibicarakan pada saat sekarang, baik dalam ranah nasional dan lebih-lebih dalam ranah lokal, yakni bagaimana elit politik lokal ini mampu memberikan konstribusi dalam menciptakan perilaku politik yabng jauh lebih baik sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat. Sebab dengan baiknya perilaku politik para elit politik, maka akan dengan sendirinya menciptakan kebaikan dalam dunia politik, apalagi politik sekarang adalah politik sebagaimana yang sering diungkapkan oleh Frans Magnis-Suseno “Politik sering dianggap bisnis yang sangat kotor (najis mughaladah), untuk mencari politisi yang sungguh-sungguh jujur dan ”sepi ing pamrih”, dianggap sama dengan mau mencari perawan dilokasi pelacuran, inilah pendapat sinisme paragmatis. Sedangkan strukturalisme ekstrem berpendapat bahwa moralitas pribadi para politisi tidak relevan, sebab sebuah Negara hanya dapat maju, apabila para politisi yang memimpinnya memiliki integritas dan kejujuran pribadi”. Ini adalah sebuah pendapat yang sangat relevan untuk konteks dunia politik jaman sekarang. Bagaimana konteks politik sekarang memang menjadi sebuah ajang bisnis yang penuh dengan aib dan kedustaan serta sangat tidak Islami (kalau kita kaitkan dengan ajaran Islam).
Sebagaimana yang tercermin dalam ungkapan Suseno diatas, bagaimana elit politik itulah yang pondasi dasar bagi suatu bangsa untuk maju dan melakukan perubahan kearah yang lebih baik.
Elit politik Bima, sebagai elit politik lokal yang masih eksis dengan ajaran Islam yang menjadi agama kepercayaannya, masih memegang teguh prinsip politik, sebagaimana khittah awal dari politik itu sendiri. Akan tetapi, kalau dalam konteks nasional, khittah awal politik itu sudah dibelokkan ke arah yang sangat jauh dari cita-cita politik yang sebenarnya, inilah yang membuat politik itu menjadi sebuah konteks yang penuh dengan dosa dan pengkhianatan. Inilah yang harus dihindari oleh semua elit politik.
Dalam membaca peta politik sebuah Bangsa, kita harus melihat apakah elit politik dalam bangsa tersebut telah memberikan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat atau tidak?. Ini adalah pertanyaan besar kepada elit politik, apabila kita mau melihat sejauh mana politik dalam bangsa tersebut berkembang. Kebanyakan elit politik, menjadikan politik itu sebagai sebuah ajang untuk memperkaya diri mereka sendiri, sehingga membuat konteks politik itu penuh dengan acara-acara baru, misalnya adanya acara nepotisme, kolusi dan lebih-lebih korupsi yang menjadi musuh bersama. Kolega politik kita yang ada dalam wilayah lokal dan nasional, harus menjadi politisi yang betul-betul politisi atau biasa disebut dengan politisi sejati, dan inilah yang sangat diharapkan oleh suatu bangsa yang ingin maju dan melampaui Bangsa lain yang memang sudah dikatakan sebagai Bangsa atau Negara maju. Apabila Indonesia ingin maju dan melampaui Negara adidaya seperti Amerika Serikat, maka Indonesia harus betul-betul berkonsentrasi terhadap hal tersebut, dan ini sangatlah diharapkan.
Korupsi pada masa sekarang sudah menjadi suatu kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan dan sudah menjadi pekerjaan bersama bagi para elit politik, sehingga muncul wacana korupsi massal. Indonesia sekarang sedang menyandang gelar, sebagai “juara kelima” Negara terkorup di dunia, dan ini sangatlah menakjubkan bagi kita sebagai orang awam terhadap politik. Ternyata Indonesia punya prestasi, akan tetapi, prestasi yang sangat tidak kita harapkan. Ini adalah sebuah kegilaan epistemik yang dicerminkan oleh suatu Negara besar seperti Indonesia, apalagi Indonesia ini termasuk Negara yang paling banyak penduduk Muslim-nya. Korupsi itu adalah musuh bersama, apabila kita menemukan suatu institusi yang melakukan korupsi atau penggelapan terhadap hak-hak rakyat, maka musnahkanlah dia, sebab sudah halal darah dan dagingnya untuk kita bunuh. Karena mereka ini adalah pengkhianat, dan pengkhianat itu halal darahnya untuk kita tumpahkan.
Indonesia sebagai Negara yang sudah 63 tahun merdeka dan jauh dari campur-tangan para kolonialisme, seharusnya sudah menjadi Negara yang sangat maju, sebab Indonesia adalah salah satu Negara kepulauan yang sangat kaya akan sumber daya alam. Dari banyak kekayaan Indonesia, yg paling menonjol adalah kekayaan minyak dan gas alamnya, sehingga membuat hasrat Barat untuk menguasai Indonesia sangatlah besar.
Begitu pula yang terjadi dengan Bima sebagai salah satu daerah dalam lingkup wilayah Republik Indonesia, yang juga kaya akan kekayaan alam yang berlimpah dan menjadi salah satu daerah yang siap di incar oleh Barat untuk dijarah habis kekayaan alamnya. Dengan berkembangnya kehidupan manusia, maka berkembang pula arah berpikir elit politik Bima, yang dulunya adalah elit yang sangat mengedepankan rasio keagamaannya dibandingkan rasio hasrat duniawinya, yang sekarang berubah menjadi elit yang siap melahap semuanya demi kepentingan pribadi dan kesenangan duniawinya. Elit politik Bima berubah 90 derajat dari sifat asli elit yang sesungguhnya.
Elit politik Bima pada masa sekarang, sudah terkontaminasi oleh sikap dan perilaku elit politik nasional yang sudah membawa cita-cita politik ini jauh dari konteks politik yang sebenarnya, dan menjadi cita-cita mengambang yang tidak jelas. Indonesia sekarang menjadi Negara yang sangat bingung dengan keadaan politiknya yang begitu rusak dan begitu tidak jelas. Ketidakjelasan politik inilah yang membuat Indonesia menjadi Negara yang tidak jelas arah dan tujuan kehidupannya, dan ini sangatlah ditakutkan, sebab bisa saja akan membawa Indonesia kedalam jurang kerusakan yang begitu dalam, yang membuat Indonesia tidak mampu lagi keluar dari dalamnya.
Sebagaimana ungkapan yang serig penulis lontarkan dalam setiap diskusi “jika para elit politik suatu bangsa itu tidak mencerminkan kejelasan, maka akan membawa ketidakjelasan yang sangat nyata bagi bangsa tersebut dan ini haruslah kita cegah dan kita perbaiki”, paradigma yang salah akan membawa perilaku yang salah, begitu juga sebaliknya perilaku yang salah akan membawa paradigma yang salah. Politik itu tidak akan menjadi jelas, apabila para elit politiknya tidak jelas. Sebab yang mencerminkan kebaikan politik hanyalah mereka yang bergelut dalam dunia politik itu sendiri.
Terjadinya perubahan yang sentral dalam peta politik bangsa dewasa ini dapat digambarkan secara singkat melalui dua proses yakni demokratisasi dan desentralisasi atau otonomi daerah yang sementara ini dilangsungkan dengan panduan utama secara yuridis formal adalah UU No. 22 dan UU. 25 tahun 1999. Proses demokratisasi politik telah dilegalisasi dan dipandu juga oleh UU politik, sebagaimana yang telah dilaksanakan pada Pemilu 1999 dan telah melibatkan banyak kekuatan politik baik yang berorientasi aliran ataupun nasionalis. Pemerintahan yang terbentuk lewat Pemilu 1999 dianggap sebagai pemerintahan yang telah secara demokratis mendapat mandat dari rakyat dan legitimasi politik yang mereka miliki tentu lebih kuat ketimbang pemerintahan yang terpilih sebelum Pemilu 1999.
Pergeseran politik yang terjadi secara horisontal tersebut juga diikuti oleh pergeseran secara vertikal yaitu terjadinya pemindahan kekuasaan yang selama ini terpusat dan dialihkan kepada daerah. Hal tersebut diatur melalui sebuah perangkat hukum sebagaimana tersebut diatas. Dengan demikian kita akan mengatakan pula bahwa telah terjadi pergeseran arena politik dominan dari tingkat nasional ke tingkat daerah (khususnya daerah Kota dan Kabupaten) dan pada saat yang hampir bersamaan pemindahan dari kekuasaan politisi ke birokrasi pemerintahan yang terkontrol oleh masyarakat dengan membuka ruang-ruang publik yang bebas dan tetap berada dalam wilayah koridor hukum yang telah diatur secara bersama oleh masyarakat melalui ketewakilan politik mereka diparlemen.
Maka dengan ini harus dijelaskan pula mengenai perubahan konteks sosial politik yang dapat dijadikan acuan analisis dari dua UU yang mengatur tentang otonomi daerah tersebut diatas. Setting politik pertama adalah telah terjadi dan meluasnya protes daerah yang semakin sulit untuk dikendalikan oleh pemerintah pusat, setelah hampir tiga dekade kekuasaan otoriter birokratik orde baru tidak pernah terusik sama sekali sebagaimana yang terjadi sekitar tahun 1950-an. Protes yang terjadi pada sekitar tahun 1980-an telah menyiratkan adanya ketidakpuasan yang dialami oleh daerah-daerah tertentu yang memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak mendapat pembagian yang adil, pemicu utamanya adalah persoalan keuangan. Selanjutnya muncul pula otonomi yang lebih luas untuk beberapa daerah dengan harapan akan dapat melakukan sesuatu bagi perbaikan nasib rakyatnya, semacam sulawesi Selatan dengan membentuk KPPSI (Komite Persiapan Pelaksana-an Syariat Islam).
Sementara setting politik yang kedua adalah munculnya semangat demokratisasi yang menghendaki adanya ruang partisipasi politik masyarakat yang lebih luas. Akumulasi kekecewaan terhadap sistem politik monolitik orde baru yang dibangun oleh melalui oleh baginda Soeharto, kemudian melahirkan ledakan yang menghendaki adanya kebebasan berorganisasi, berpartai politik yang tidak hanya tiga, berpendapat secara lebih bebas dan bertanggungjawab serta keharusan adanya oposisi sebagai sebuah wahana terjadinya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara atau daerah.Tuntutan juga mengendaki diadakan pemilu secara jujur dan adil dan untuk membangun pemerintahan yang representatif sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan lagi. Lebih jauh muncul pula keinginan untuk membentuk lembaga yang dapat memeriksa kekayaan pejabat negara dari pusat samapi ke daerah.
Otonomi Yang Mencemaskan
Praktek yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah telah membawa pada kecemasan baru tentu saja akan mengandung beberapa harapan. Bagi kalangan birokrat yang ada di daerah, desentralisasi dan demokratisasi di daerah telah membawa ketegangan antara birokrasi lokal dengan politisi setempat, serta adanya kelambanan dalam proses pengambilan keputusan di daerah. Dan boleh jadi otonomi daerah yang sementara dijalankan sekarang ini akan membawa pada suatu keadaan, dari harapan akan terjadi percepatan pelayanan kepada masyarakat, kepada keterpurukan yang bisa saja terjadi oleh berbagai kepentingan antara tarik-menarik pihak birokrat pemerintahan dengan kalangan politisi yang menurut anggapan sementara orang telah “menjadi raja baru” di daerah masing-masing, karena kekuasaan yang begitu dominan berada dalam wilayah legislatif.
Ide otonomi daerah yang berkembang saat ini telah terjebak pada pemikiran bahwa kebijakan otonomi daerah terancam kegagalan oleh karena terjadinya tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada di daerah maupun di pusat. Konflik kepentingan yang terjadi dalam level kehidupan manapun apalagi hal itu terjadi dalam wilayah perebutan  kekuasaan menjadi hal yang biasa, dan hal itu merupakan konsekuensi logis dari adanya transformasi penyelenggara pemerintahan, dan oleh karenanya pengelolaan konflik hanya sebagian dari isue yang harsu difikirkan dalam melansir kebijakan otonomi daerah. Yang pasti pemikiran kita mengenai arah kebijakan otonomi daerah harus diarahkan pada terjadinya transformatif  pola penyelenggaraan pemerintahan kearah yang desentarlisasi. Oleh karena itu setiap kebijakan otonomi daerah harus dijadikan instrumen untuk mencapai tujuan yaitu antara kemungkinan kita mencapai tujuan yang mendasar yaitu menyediakan basis untuk mengelola kepentingan publik secara lebih baik yaitu untuk mencapai idealitas masyarakat yang adil dan makmur.
Undang-undang otonomi daerah memformat ulang pola penyelenggaraan pemerintahan. Dalam konteks ini otonomi daerah sebagai autarkhi, artinya hanya difahami sebagai proses pelepasan diri dari keterikatan yakni sebuah bentuk intepretatif untuk memikirkan diri sendiri sekaligus menolak keperluan untuk memikirkan orang lain termasuk barangkali kerjasama. Maka kemudian lahirlah semangat “lokalisme” sebagai konsekuensi dari pemaknaan otonomi daerah dalam corak tersebut diatas. Dalam hal lain kebijakan otonomi daerah justru terseret pada kecendrungan-kecendrungan yang esesif dalam memaknai peran yang seharusnya dimainkan oleh aktor lokal.
Muncul antusiasme dalam menyambut otonomi daerah terutama daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, akan membawa pada kristalisasi “lokalisme”,memunculkan pula keinginan untuk mendirikan unit-unit pemerintahan baru baik pada tingkat propinsi maupun  Kota dan Kabupaten. Hal tersebut dapat dimaknai, bahwa memang selama tiga dekade pemerintahan otoriter birokratik yang juga militeristik, telah membawa masyarakat pada jurang kesenjangan yang begitu lebar antara pemerintahan daerah yang satu dengan yang lain, dan lebih menyedihkan lagi adalah mereka yang kaya dengan potensi sumber daya alamnya yang tertinggal, serta terjadi pula kesenjangan pendapatan dan bahkan telah mebciptakan kemiskinan yang besar dan tingkat ketergantungan daerah kepada pusat yang tinggi, artinya daerah hanya mendapatkan belas kasihan dari pemerintah pusat.
Menyinggung apa yang sementara dialami oleh daerah Bima yang secara potensi barangkali kurang sumber daya alamnya atau setidaknya belum sempat dieksplorasi dengan baik, maka menjadi keharusan bagi komponen elit pemerintahan baik yang ada di parlemen ataupun yang ada di birokrasi pemerintahan untuk melakukan networking dengan pihak-pihak luar yang dapat membantu percepatan perbaikan nasib masyarakat. Secara tidak disadari perdebatan yang terjadi antara keharusan untuk memperbaiki harapan tingkat kehidupan masayarakat, sebagaimana yang dialami oleh pemerintah Kabupaten Kutai yang telah membebaskan SPP mulai dari tingkat dasar sampai menengah dan untuk satu tahun kedepan membebaskan SPP semua Mahasiswa yang kuliah disana, serta akan diberikan intensif masing-masing kurang lebih 300.000,- sampai lima ratus ribu kepada semua pegawai negeri yang ada di daerahnya, serta diberikan kepada masing-masing kepala sekolah sepeda motor (Baca: Kompas 1-06-01)
Bima menurut penulis memiliki banyak kelebihan dalam menyambut otonomi daeran ini, terutama kelebihan itu terletak pada sumber daya manusia yang rata-rata telah menamatkan pendidikan secara formal tingkat tinggi, serta posisi Bima yang cukup strategis bagi perdagangan global, mengingat Bima merupakan tempat persinggahan  atau peristrahatan yang cukup baik bagi mereka yang hendak melanjutkan perjalanan kewilayah bagian timur Indonesia. Permasalahan yang muncul kemudian adalah ketika berbagai potensi yang telah ada tersebut tidak mampu dioptimalkan, digali, dikelola dan dimaksimalkan, maka Bima hanya menjadi daerah secara terus-menerus mengharapkan pertolongan dan bantuan dari pemerintahan pusat, atau daerah lain yang lebih kaya
Demokratisasi Pada Level Daerah
Ciri utama dari pemerintahan Orde Baru adalah dominasi atau hegemoni negara atas masyarakat dan kekuatan social politik yang eksis, sejak dahulu para pengkaji Indonesia telah paham bahwa kehidupan politik di indonesia sangat di dominasi oleh negara. Misalnya kita bisa melihat Andrew MacIntryre yang memperlihatkan unsur-unsur tertentu masyarakat bisnis di indonesia memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap penetapan kebijakan pemerintah, dan juga  dianggap penting adanya struktur kapitalis “pribumi” dibawah rezim orde baru, dan tidak tersentuh sama sekali hubungan antara masyarakat dan negara dalam makna yang lebih luas, diluar sebagian unsur komunitas pengusaha, masyarakat Indonesia tampaknya masih benar-benar dikontrol oleh negara, sebagaimana yang dinyatakan oleh Robison (1993:45),”sumber kekuasaan politik dan kepemimpinan politik ada dalam perangkat negara sendiri, dan kekuasaan politik dan wewenang birokratis dirangkap oleh para pejabat negara”.
Orde baru telah menerapkan sistem korporatisme yang disambungkan dengan wahana Pemilunya Golkar dan bukan pemilu untuk memilih wakil rakyat secara demokratis tetapi memilih orang yang telah ditentukan oleh kekuasaan negara. Kelompok-kelompok kepentingan korporatis yang bersatu dibawah jaringan Golkar meliputi Organisasi Pegawai Sipil Korpri, dengan keanggotaan yang bersifat memaksa bagi para pegawai pemerintah, SPSI merupakan satu-satunya serikat buruh yang diakui, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang disokong untuk menjadi wakil tunggal dari berbagai kepentingan bisnis, begitu juga dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Kongres Wanita Indoensia. Pengawasan Negara atas masyarakat berjalan secara ekstensif. Campur tangan negara ada di hampir seluruh wilayah kehidupan sehari-hari, kepala desa diangkat sebagai klien negara untuk mengontrol dan memantau seluruh kegiatan, surat rekomendasi dari berbagai kantor militer dan sipil diperlukan oleh orang yang melamar pekerjaan, memasuki pendidikan tinggi, pindah, menikah dan lain-lain.
Organisasi Intelijen Indonesia memiliki ambisi menguasai, tetapi komplek-sitas masyarakat Indonesia dan juga kelemahan internal negara membuat banyak praktik totaliter tidak efektif. Nyaris tidak bisa mengontrol masyarakat yang amat besar dan beragaman seperti masyarakat Indoensia dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa. Pada saat yang hampir bersamaan kelompok dan aktivis pro-demokrasi Indonesia bekerja dibawah berbagai pembatasan yang hebat, menurut Undang-undang tentang organisasi sosial, pemerintah memiliki kekuasaan besar untuk campur tangan dalam urusan organisasi, agar terbebas dari campu tangan banyak pula organisasi yang mengubah dirinya menjadi yayasan, bentuk lain organisasi yang tidak ketat diatur oleh pemerintah. Banyak pula aktivis dipenjara, dan bahkan dibunuh, orang yang dituduh mencemarkan nama baik presiden bisa dihukum beberapa tahun penjara.
Kelompok kelas menengah juga tumbuh dan dengan gigih berjuang untuk penegakan demokrasi seperti hadirnya Mahasiswa, pengacara, aktivis LSM, jurnalis, seniman, dan pemuka agama adalah merupakan simbol pemimpin gerakan pro-demokrasi yang sedang marak. Kelas menengah ini berpotensi memiliki sumber daya dan motivasi untuk melaksanakan perubahan sosial, tetapi jumlah mereka masih sangat kecil dan organisasi mereka payah, bahwa kelas menengah diargumentasikan pada pengalihan terhadap perkembangan kapitalisme, tetapi Menurut Olle Tornquist, kelas menengah semacam itu tidak tertarik pada upaya memajukan demokratisasi, menurut argumen dari kebanyakan orang, baik dipedesaan maupun diperkotaan sama-sama memiliki satu hal “mereka sangat dikuasai oleh sarana-sarasan ekstra-ekonomi (yakni politik, administratif, dan militer)”. Karena itu mereka mesti memiliki minat sama terhadap demokratisasi “untuk menyingkirkan kekuatan ekstra-ekonomi yang digunakan untuk melawan mereka.
    Aktor otoriter utama politik orde baru adalah Soeharto bersama keluarga dan sekutu atau kroni dekatnya serta angkatan bersenjata ABRI (sekarang TNI). Hal itu sangat terlihat setelah lebih dari tiga dekade memegang kekuasaan soeharto tidak memperlihatkan tanda-tanda ingin mundur dari kursi kepresidenan, alasan utama dari terus bertahannya Soeharto menjadi Presiden adalah untuk kepentingan keluarganya, walaupun itu mendapatkan suatu kebencian yang luas dikalangan militer terhadap perlakuan istimewa Presiden terhadap anak-anaknya. Dengan demikian aktor otoriter lainnya adalah mereka yang dianggap aktif dan mendukung segala bentuk tindakan represif pemerintah dan militer atau juga mereka yang ada dalam birokrasi pemerintahan yang ditopang oleh kelompok bisnis dan kekuatan politik orde baru Golkar yang sangat berpeluang untuk menyalah-gunakan wewenang mereka demi mencapai kepentingan kroninya.
Amien Rais misalnya jauh sebelum tumbannya orde baru sudah menggelindingkan ide tentang adanya keadilan dan kesetaraan di depan hukum, begitu juga dengan keadilan sosial dan ekonomi, kemudian lembaga politik seperti MPR harus mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bukan pada penguasa, kebebasan dalam segala hal bagi setiap warga negara. Sampai kemudian Amien Rais mengatakan :
“saya menolak pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi cuma cocok bagi dunia barat. Kalaupun pendapat seperti ini diterima, lantas apa gunanya UUD 1945 yang seluruhnya merupakan pengaturan  asasi tentang sistem demokrsai politik untuk indonesia ?. Apalagi menurut Islam, demokrasi jelas yang paling cocok  dengan spirit dan substansi Al-Qur’an maupun Sunnah. Dalam kaitan ini, kita jangan sampai terkecoh oleh negara-negara yang menamakan dirinya negara Islam. Terus terang saja, negara-negara seperti Arab saudi, Yordania atau sisten Emirat Arab di Teluk Persia dan lain-lain ditinjau dari ajaran Islam adalah negara-negara non-islamis, jika bukan Anti-islamis…suatu negara yang melindungi hak-hak azasi manusia, menegakkan keadilan dan memberlakukan rule of law terhadap semua warga negara tanpa diskriminasi serta berusaha memberantas setiap bentuk penindasan manusia atau manusia lainnya, maka negara itu telah melaksanmakan ajaran Islam” (Unders Uhlin, 1998 : 77).
Sementara wacana yang dibangun oleh Adi Sasono adalah demokratisasi politik harus seiring dengan demokratisasi ekonomi. Rakyat yang secara sturktural tertindas, karena adanya akumulasi kekuatan ekonomi di tangan satu pihak, sulit mengembangkan praktik demokrasi politik. Demokrasi juga harus mencakup masalah pendidikan, budaya, perubahan struktur sosial, penghapusan nilai-nilai feodalistis, peningkatan standar hidup rakyat, dan penciptaan nilai-nilai baru dalam hal kesetaraan. Bahkan Aswab Mahasin mengusulkan ada paket perubahan dari atas dan dipadukan dengan tekanan yang muncul dari bawah akan menjadi skenario yang paling pas dengan harga politik yang termurah (Uhlin, 1998 : 77).
Oleh karena itu dalam memahami wacana demokrasi untuk konteks daerah perlu memahami pula budaya politik terutama budaya politik Islam, karena mayoritas daerah di Indonesia ini memiliki ciri khas sebagai daerah yang telah lama diperintah oleh kerajaan Islam, Bima misalnya merupakan daerah yang mayoritas Islam dan merupakan daerah bekas kerajaan yang ciri khas pemerintah khilafah Islamiyah, model pemerintah semacam kerajaan dahulu masih berlaku sampai sekarang di Timur Tengah. Maka dengan demikian dalam demokrasi maupun Islam  tidak seorangpun yang lebih tinggi daripada yang lain, untuk mencapai itu sebuah pemerintahan yang bertanggungjawab harus dikembangkan, kita harus menolak setiap bentuk kediktatoran, tetapi juga karena Islam menekankan prinsip-prinsip permusyawaratan, maka cara kita mengukuhkan demokrasi adalah dengan permusyawaratan dan bukan dengan konfrontasi. Gus-Dur  juga mengatakan bahwa  suatu cara hidup yang pada dasarnya beroposisi terhadap prinsip-prinsip pemerintahan militer, misalnya etika sosial yang mengabaikan struktur sosial yang didirikan oleh otoritas semacam itu, sebuah pandangan dunia yang sepenuhnya bertentang dengan ideologi formal negara, dan kesetiaan pada elit spiritual penentang yang biasanya terdiri dari pemuka agama dan budaya.
Arief Budiman merupakan salah seorang tokoh  yang dengan gigih mengemukakan gagasan tentang demokrasi sosial di indonesia, meskipun dia sendiri merupakan salah seorang yang mendirikan forum demokrasi bersama dengan Gus-Dur tahun 1980-an dan juga mendukung sepenuhnya orde baru pada awalnya tetapi kemudian  Budiman-lah yang juga dengan gigih menentang orde baru terutama kediktatoran pemerintahan Militer di bawah Soeharto, gerakan pro-demokrasi ala Budiman tersebut dewasa ini mendapatkan tempat yang terbaik untuk secara leluasa mengembang wacana kritiknya terhadap penyelewengan pelaksanaan pemerintah atau kediktatoran parelemn pada level lokal (daerah Bima).
Yang paling menarik diantaranya adalah mengenai pembangkangan elit yang dimulai oleh sebagian besar Jenderal yang tidak setuju dengan beberapa kebijakan pemerintahan Soeharto dengan kroninya, pembangkangan itu kemudian mendirikan institusi yang bernama Petisi 50 didalamnya terdapat Ali Sadikin, Dharsono dan lain-lain dan mereka melakukan kritik yang sangat keras terhadap pemerintahan tidak sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut diatas, dan setelah peristiwa Tanjung Priok mereka membuat ‘Buku Putih’, karena itu pula sebagian besar dari mereka yang menanda tangani petisi 50 dipenjarakan sepuluh tahun dan diubah menjadi tujuh tahun. Argumen yang dibangun oleh kelompok Petisi 50 yang dikatakan oleh pihak pemerintah sebagai penyimpang dari Pancasila dan UUD 1945, dan mereka mengatakan bahwa yang  menyimpang dari itu semua adalah Soeharto, dan mereka yang tergabung dalam Petisi 50 aalah mereka yang menginginkan adanya kesetaraan dalam hal ekonomi, sosial dan politik.
Masa Depan Masyarakat Madani
Gagasan tentang masyarakat madani di Indonesia sesungguhnya baru dipopulerka pada awal tahun 90-an, dan perbincangan itu terus menjadi berkembang terutama dikalangan akademik. Perbicangan mengenai masyarakat madani (Civil Society) mulai populer, hal tersebut bermula dari seminar nasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Kupang NTT tahun 1995 dengan tema “Dimensi Kepemimpinan dan Masyarakat Kewargaan : Menuju abad XXI”. Konsep civil society dalam seminar tersebut diterjemahkan dengan “masyarakat warga atau kewargaan”. Konsep civil society dalam tulisan ini diterjemahkan dengan masyarakat madani yang juga dapat dikatakan sebagai “masyarakat berbudaya”. Masyarakat madani merujuk pada kata madinah sebuah kota yang sebelumnya bernama yastrib diwilayah Timur Tengah, dimana masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad pada zaman itu merupakan masyarakat yang mempunyai peradaban yang tinggi (Baca : Culla,1999). Menurut Nurcholis Madjid, kata ‘madinah’  berasal dari bahasa arab “madaniyah” yang berarti peradaban, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah “masyarakat beradab”. Sementara kata madani itu sendiri dalam bahasa rab dapat diartikan sebagai kota, hal tersebut terkait dengan kota madinah yang dibangun oleh Nabi dahulu yaitu negara-kota (city-state), yang mempunyai korelasi makna dengan bentuk polis dalam masyarakat yunani kuno.
Sementara Azis Thaba (1996) mengartikan civil society sebagai “masyarakat berbudaya” (civilized society) sebagai lawan dari “masyarakat liar”. Berikut ini perbandingan dari makna civil society dalam konteks indonesia untuk mengingatkan akan penggunaannya. Mansour Fakih (1996) mengartikannya  sebagai “masyarakat sipil”,makna tersebut sebetulnya sesuai dengan terjemahan dalam kosa kata bahasa Indonesia.  Tetapi kemudian muncul masalah lain, bahwa istilah masyarakat sipil itu dianggap sebagai lawan dari “masyarakat Militer”. Ryaas Rasyid mengartikan sebagai masyarakat “kewargaan”. Rahardjo menerjemahkan civl society sebagai Masyarakat Madani, serta Muhammadiyah mengartikan sebagai “masyarakat utama” Dari sekian padanan tersebut diatas menurut  Hikam, tidak ada yang mampu menjelaskan esensi dari konsep civil society, sehingga Hikam tetap memakai konsep aslinya  yaitu Civil societyI  tanpa harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Dalam uraian ini civil society tdiartikan sebagai masyarakat madani, karena bagi penulis istilah masyarakat madani lebih mendekati esensi dari civil society untuk konteks Indonesia. Pemakaian istilah itu juga digunakan oleh Maswadi Rauf  yang lebih memilih “masyarakat madani” sebagi terjemahan dari civil society, baginya masyarakat madani mendekati istilah lain yaitu “pemberdayaan masyarakat” yang berkaitan dengan munculnya ketidakpuasan sebagian besar dari warga masyarakat atas praktek politik Orde Baru yang dianggap menjauhkan nilai-nilai demokrasi dan malah menciptakan sebuah rezim otoriter. Dengan demikian masyarakat madani berupaya menciptakan sebuah mekanisme pemerintahan (dalam hal ini pengikutsertakan masyarakat menjadi sesuatu yang diprioritaskan bagi kemajuan masa depan masyarakat)
Masyarakat madani untuk pertama kali diperkenalkan di Indonesia, yaitu pada saat ceramah Mantan Perdana Menteri Malaysia, Dato Anwar Ibrahim dalam festival Istiqlal tahun 1995. Disini agama merupakan sumbernya, peradaban adalah prosesnya dan masyarakat kota atau kota ilahi adalah hasilnya. Jadi masyarakat madani merupakan usaha untuk membentuk peradaban  dengan budaya kota sebagaimana juga Nabi Muhammad mendirikan kota Madinah  diatas pluralisme agama. Yang hendak dibangun oleh kekuatan yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat adalah sebuah komunitas yang beradab, saling toleransi antar sesama manusia, menumbuhkan sikap saling menghargai dan sebetulnya itulah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
    Wacana Masyarakat Madani untuk konteks Indonesia yang diperbincang-kan kembali sekitar dekade 1990-an, adalah ketika Cendekiawan mulai mengorganisir diri lewat institusi sosial seperti kehadiran ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indoensia), Ikatan cendekiawan Kristen, Ikatan Cendekiawan Budha, Hindu dan seterusnya. Masyarakat  Madani (civil society) ketika itu diidentikkan dengan kelas menengah (Baca : Tanter dan Young, Politik Kelas Menengah Indonesia). Masyarakat madani atau juga yang sering disebut dengan Civil society yang tetap dipertahankan oleh Hikam dapat dilihat dari dua sudut pandang sebagaimana dikatakan oleh david Beetham dan Kevi Boyle (2000) yaitu sudut pandang negatif dan sudut pandang positif. Sudut pandang negatif dikatakan, gagasan bahwa jangkauan negara harus dibatasi, sehingga negara dicegah agar tidak mengendalikan semua kegiatan masyarakat, merasuki semua lingkup kehidupan, atau menghisap habis semua inisiatif dan bakat masyarakat. Sudut pandang positif, gagasan yang memiliki banyak dukungan independen dari swaorganisasi dalam masyarakat, yang dengannya orang-orang bisa bekerja secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri, yang bisa bertindak sebagai saluran opini dan tekanan rakyat kepada pemerintah, dan yang bisa bertindak sebagai sarana perlindungan rakyat dari penguasaan pemerintah.
    Antonio Gramsci (1891-1937) sebagai salah seorang pemikir politik terpenting di abad ke 20 berkebangsaan Italia, gagasan-gagasannya perlu juga dikutip. Gagasannya yang paling cemerlang tentang hegemoni yang dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis. Pandangan Gramsci tentang masyarakat madani se-ide dengan konsep gerakan sosial. Landasan pemikiran Gramsci tentang masyarakat madani di dasarkan pada konfliktual dan dialektika antara “negara” (state) dan “masyarakat madani”  (civil society) dalam analisisnya tentang supremasi dan hegemoni, Gramsci mengatakan sebagaimana di kutip oleh Fakih (1996) : “Apa yang dapat kita kerjakan, sejenak adalah menyediakan dua “aras” superstruktur, satu yang dapat disebut “masyarakat madani”, yakni esemble organisme yang biasanya disebut “privat”, dan aras lain yaitu “masyarakat politik” atau “negara”. Dua aras ini pada satu sisi berhubungan dengan fungsi hegemoni dimana kelompok dominan menjalankan seluruh masyarakat dan sisi lain berhubungan dengan “dominasi langsung” atau perintah yang dijalankan melalui negara dan pemerintahan “juridis”
Oleh karena itu masyarakat madani berbeda dengan masyarakat politik atau negara, karena masyarakat madani berada dalam lingkup privat dari individu, yang juga merupakan arena publik utama yang bebas, dimana semua orang berada dalam aktifitas ideologis dan intelektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Gramsci mengatakan, bahwa masyarakat madani adalah suatu dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah. Masyarakat madani yang dikutip oleh Simon dari Gramsci adalah suatu wadah perjuangan kelas dan perjuangan demokrasi kerakyatan. Jadi masyarakat madani adalah wadah kelompok sosial yang dominan mengatur konsensus dan hegemoni, dan juga kelompok sosial yang lebih rendah dapat menyusun perlawanan mereka dan membuat hegemoni alternatif – hegemoni tandingan.
Interpretasi Gramsci mengenai masyarakat madani, dapat dikatakan, bahwa demokratisasi tidak dapat tercapai melalui penguatan masyarakat madani, karena baginya antara masyarakat madani dan negara tidak dalam kondisi yang kontradiktif. Masyarakat madani dan negara justru bergandengan untuk menguatkan eksistensi kelas yang dominan atau cara produksi. Bagi Gramsci, proses demokratisasi harus dilihat dalam dua perspektif perjuangan kelas, yaitu apakah demokrasi itu hanya melayani kelas penindas (oppressive class), atau sebaliknya kelas tertindas (oppresed class) demokrasi tidak harus bermakna sejarah sebagai adanya kebebasan yang didapatkan oleh mereka yang termasuk dalam kategori kelas tertindas, karena sangat mungkin demokrasi justru melayani kelas penindas, memperkuat hegemoni dan eksistensi negara (pemerintah)
Nurcholis Madjid memberikan kerangka konsep yang lebih terperinci  untuk memahami masyarakat madani dalam hubungannya dengan upaya membangun masyarakat yang lebih demokratis, Madjid Mengatakan : bahwa demokrasi sebagaimana yang dipahami di negara maju-harus punya “rumah”, maka rumahnya adalah “masyarakat Madani” (civil Society), dimana berbagai macam perserikatan, klub, gilda, sindikat, federasi, persatuan, partai, dan kelompok-kelompok bergabung menjadi perisai antara negara dan warga negara. Keberadaan dari masyarakat madani mendorong proses demokratisasi, karena yang menjadi inti dari konsep ini adalah terbukanya ruang publik bagi keterlibatan rakyat, masyarakat madani adalah bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi dan sekaligus menjadi lawan bagi rezim-rezim absolutis. (Madjid : 1999 : 265)
Apa yang dimaksud oleh Madjid tersebut diatas sejalan dengan konsep yang dibangun oleh Hikam :bahwa masyarakat madani (Civil Society) didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganiasi dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswadayaan, keswasembadaan, dan kemandirian berhadapan dengan negara,..... kebersamaan, kepercayaan, tanggungjawab, toleransi, kesamarataan, kemandirian, dan seterusnya merupakan esensi dalam sebuah civil society yang mandiri dan kuat. (Hikam,99)
Rumusan serupa juga dikemukakan oleh Maswadi Rauf (1999: 298), masyarakat madani menurutnya bercirikan : masyarakat yang mandiri, bebas, sukarela, taat kepada peraturan yang berlaku, dan berfungsi sebagai alat pengawasan terhadap negara. Dengan demikian, kalau berbicara tentang masyarakat madani, maka sebetulnya akan membicarakan tentang proses berlangsung demokrastisasi dalam masyarakat. Karena kehadiran dari masyarakat madani yang kuat dan memiliki  daya kontrol terhadap kekuasaan negara, dan pihak negara memberikan tempat bagi adanya masyarakat madani. Jadi masyarakat madani yang mandiri, adalah masyarakat yang terlepas dari kendali negara (penguasa politik) sehingga negara tidak mendikte masyarakat untuk berbuat sesuai dengan keinginan penguasa politik belaka, masyarakat mampu menentukan keinginannya sendiri sesuai dengan pandangan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam memahami masyarakat madani tentu sangat sulit untuk dipisahkan dari negara atau masyarakat politik, karena gagasan masyarakat madani selalu dikaitkan dengan negara, dan senantiasa membicarakan tentang proses pemberdayaan masyarakat dan upaya membuat masyarakat menjadi mandiri yang tidak tergantung dengan pemerintah. Dalam hal ini dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama, perspektif yang melihat posisi negara mengungguli masyarakat madani, dan perspektif ini lebih sering ditemukan dalam negara-negara yang menganut sistem pemerintahan otoritarian, seperti kasus Indonesia pada masa Orde Baru. Kedua, perspektif yang melihat adanya otonomi masyarakat madani yang dapat diperjuangkan lewat organisasi independen artinya yang bersifat swaorganisasi dan swadana yang dapat mengimbangi kekuatan negara. Dapat dikatakan, bahwa cita-cita dari  masyarakat madani sebagai sebuah entitas tersendiri yang lepas dari entitas pemerintah (negara), menghendaki pemerintah (negara) memerintah masyarakat madani tidak berlebihan dan tidak pula membiarkan menjadi anakhis. Pada intinya yang diperjuangkan oleh masyarakat madani adalah terjadinya demokratisasi dan masyarakat punya daya kontrol terhadap pemerintah.
Masyarakat Madani dalam rentang sejarah Indonesia merdeka dapat dilihat dalam tiga fase. Pertama, pada masa Orde lama, masa itu terlihat bahwa Negara maupun masyarakat Madani masih begitu rapuh, karena keduanya masih mencari jatidirinya masing-masing, sehingga praxis masa itu kekuatan masyarakat madani masih belum menemukan jatidirinya yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya adalah Muhammadiyah. Kedua, masa Orde Baru, pasa fase ini pemerintahan atau  Negara hadir dengan begitu dominan, kuat dan mempunyai daya paksa yang tinggi, sementara posisi masyarakat madani sangat marjinal, lemah, dan tidak mempunyai kekuatan apapun ketika berhadapan dengan negara. Hubungan antara masyarakat madani dan negara boleh dibilang – meminjam istilah  Suharsosebagai strong and weak society. Praxis masyarakat madani pada pemerintahan otoriter birokratik Orde Baru tidak bisa tumbuh dengan memadai dan bahkan semua kelompok dalam masyarakat di kontrol oleh negara, hal itu di mulai dari masa tertib politik tahun 1977 dan pemberlakuan azas tunggal tahun 1985 bagi semua organisasi sosial, politik dan keagamaan, dengan alasan utamanya adalah stabilitas nasional. Dan ketiga, era reformasi, dimana hubungan antara negara dan masyarakat madani sudah mulai memperlihat posisi yang seimbang, dalam hal ini negara tetap punya  kekuatan mengatur terhadap masyarakat madani, dan masyarakat madani mempunyai  daya kontrol yang kuat terhadap negara. Praxis fase ketiga ini merupakan fase yang memperlihat pola keseimbangan antara kekuatan masyarakat madani dan negara.
Hal lain yang perlu dijelaskan juga adalah periode pasca Orde Baru, kekuatan masyarakat madani tidak begitu signifikan lagi peranannya, hal itu terlihat wajah pers nasional kita belakangan ini yang semakin tidak terkendali (“pers yang anarkis”) tidak bisa disamakan dengan massa yang anarkis. Organisasi sosial keagamaan juga memperlihatkan perilaku yang hampir sama dengan pers, dimana Organisasi semacam NU misalnya secara terang-terangan mendukung kepemimpinan Wahid sampai 2004, kalau wahid diturunkan sebelum periodenya, maka massa ditingkat grassroots akan marah sebagaimana sering dikemukakan oleh Ketua NU Hasyim Muzadi. Hal yang lain terlihat pula bahwa Muhammadiyah juga melakukan hal yang hampir sama, ketika beberapa Pimpinan Muhammadiyah meminta Megawati untuk mengambil langkah-langkah strategis demi menyelamatkan bangsa ini, secara tersirat Muhammadiyah meminta Wahid untuk mundur dari kursi Kepresidenan. Sikap dari berbagai komponen yang dianggap sebagai pilar dari kekuatan masyarakat madani tersebut, telah memasuki arena politik praktis, dan kemudian memunculkan stigma baru dikalangan masyarakat, bahwa baik NU maupun Muhammadiyah tidak akan bisa memerankan posisinya sebagai kekuatan masyarakat madani. Ikatan ideologis maupun historis kedua Organisasi tersebut dengan dua tokoh yang menjadi sumber konflik yaitu Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, tidak bisa dihilangkan dengan begitu saja.
Dengan demikian, kita sebenarnya memiliki tiga visi mengenai civil society dan negara. Pertama, kehadiran masyarakat sipil hanya bersifat sementara dalam perkembangan masyarakat, karena kecendrungan untuk rusak dari dalam, maka pada akhirnya masyarakat sipil akan ditelan oleh negara, yakni sebuah negara ideal yang merupakan taraf perkembangan masyarakat tertinggi. Kedua, karena negara hanya cerminan saja dari civil society dan berfungsi melayani individu yang serakah, maka negara akan diruntuhkan atau runtuh dengan sendirinya dalam suatu revolusi proletar, jika negara lenyap maka yang tinggal adalah masyarakat yakni masyarakat tanpa kelas. Dan ketiga, visi yang melihat, bahwa civil society tidak saja bisa menjadi benteng kelas yang memegang hegemoni dalam hal ini kelas borjuis, tetapi juga bisa menjalankan fungsi etis mendidik masyarakat dan mengerahkan perkembangan ekonomi yang melayani kepentingan masyarakat. Dipihak lain civil society sendiri juga terdiri dari organisasi-organisasi yang melayani kepentingan umum atau memi-liki rasionalitas dan mampu mengatur dirinya sendiri secara bebas. Bisa terjadi ke-duanya saling mendukung dalam arti buruk maupun baik  dari segi kepentingan umum.
Dari ungkapan yang sangat akademik tersebut diatas, setidaknya kita akan mengambil sebuah argumen yang sangat praxis bagi konstruksi daerah Bima pasca pemberlakuan otonomi daerah. Penulis tidak ingin mengatakan, bahwa di Bima sekarang ini barangkali masih berkisar pada upaya pemberdayaan masyarakat, sementara pelibatan masyarakat itu sendiri secara lebih cerdas dalam membangun daerah kedepan barangkali masih sangat kurang. Hal ini tergambar ketika kita akan menilai beberapa proses pembuatan ataupun proses melahirkan sebuah produk hukum yang bagi penulis hanya melibatkan pihak-pihak tertentu atau mungkin sekali arogansi kekuasaan yang lebih dominan, apakah itu berada dalam wilayah kekuasaan eksekutif ataukah legislatif daerah.
Gejala umum telah menggambarkan hal seperti ini yang tidak perlu lagi kita perdebatkan, permasalahannya adalah bagimana daerah Bima yang dianggap sebagai daerah represntase dari komunitas yang didominasi oleh Ummat Islam, bisa melakukan upaya-upaya yang Islami pula bagi kebaikan daerah kedepan dan bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu saja ? sesuatu yang baik sebetulnya, ketika keberadaan organisasi semacam Muhammadiyah, majelis Ulama Indonesia, NU ataupun yang lainnya memerankan diri mereka untuk menyadarkan warga masyarakat, atau paling minimal untuk komunitas mereka. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada secara sadar bisa memperkuat harapan ini.

B.    ELIT POLITIK LOKAL DOMPU
Elit politik Dompu adalah elit politik pengkhianat yang selalu ingin membuat masyarakat kebingungan dengan arah politik yang mereka jalankan. Ini adalah manusia yang tidak bertanggungjawab, yang sifat serta hasratnya hanya untuk menjual, meski masyarakat itu tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Ini adalah elit politik gila yang sangat bodoh dan dungu.
Terjadinya perubahan yang sentral dalam peta politik bangsa dewasa ini dapat digambarkan secara singkat melalui dua proses yakni demokratisasi dan desentralisasi atau otonomi daerah yang sementara ini dilangsungkan dengan panduan utama secara yuridis formal adalah UU No. 22 dan UU. 25 tahun 1999. Proses demokratisasi politik telah dilegalisasi dan dipandu juga oleh UU politik, sebagaimana yang telah dilaksanakan pada Pemilu 1999 dan telah melibatkan banyak kekuatan politik baik yang berorientasi aliran ataupun nasionalis. Pemerintahan yang terbentuk lewat Pemilu 1999 dianggap sebagai pemerintahan yang telah secara demokratis mendapat mandat dari rakyat dan legitimasi politik yang mereka miliki tentu lebih kuat ketimbang pemerintahan yang terpilih sebelum Pemilu 1999.
Pergeseran politik yang terjadi secara horisontal tersebut juga diikuti oleh pergeseran secara vertikal yaitu terjadinya pemindahan kekuasaan yang selama ini terpusat dan dialihkan kepada daerah. Hal tersebut diatur melalui sebuah perangkat hukum sebagaimana tersebut diatas. Dengan demikian kita akan mengatakan pula bahwa telah terjadi pergeseran arena politik dominan dari tingkat nasional ke tingkat daerah (khususnya daerah Kota dan Kabupaten) dan pada saat yang hampir bersamaan pemindahan dari kekuasaan politisi ke birokrasi pemerintahan yang terkontrol oleh masyarakat dengan membuka ruang-ruang publik yang bebas dan tetap berada dalam wilayah koridor hukum yang telah diatur secara bersama oleh masyarakat melalui ketewakilan politik mereka diparlemen.
Maka dengan ini harus dijelaskan pula mengenai perubahan konteks sosial politik yang dapat dijadikan acuan analisis dari dua UU yang mengatur tentang otonomi daerah tersebut diatas. Setting politik pertama adalah telah terjadi dan meluasnya protes daerah yang semakin sulit untuk dikendalikan oleh pemerintah pusat, setelah hampir tiga dekade kekuasaan otoriter birokratik orde baru tidak pernah terusik sama sekali sebagaimana yang terjadi sekitar tahun 1950-an. Protes yang terjadi pada sekitar tahun 1980-an telah menyiratkan adanya ketidakpuasan yang dialami oleh daerah-daerah tertentu yang memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak mendapat pembagian yang adil, pemicu utamanya adalah persoalan keuangan. Selanjutnya muncul pula otonomi yang lebih luas untuk beberapa daerah dengan harapan akan dapat melakukan sesuatu bagi perbaikan nasib rakyatnya.
Sementara setting politik yang kedua adalah munculnya semangat demokratisasi yang menghendaki adanya ruang partisipasi politik masyarakat yang lebih luas. Akumulasi kekecewaan terhadap sistem politik monolitik orde baru yang dibangun oleh melalui oleh baginda Soeharto, kemudian melahirkan ledakan yang menghendaki adanya kebebasan berorganisasi, berpartai politik yang tidak hanya tiga, berpendapat secara lebih bebas dan bertanggungjawab serta keharusan adanya oposisi sebagai sebuah wahana terjadinya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara atau daerah.Tuntutan juga mengendaki diadakan pemilu secara jujur dan adil dan untuk membangun pemerintahan yang representatif sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan lagi. Lebih jauh muncul pula keinginan untuk membentuk lembaga yang dapat memeriksa kekayaan pejabat negara dari pusat samapi ke daerah.
Perubahan tersebut diatas berimplikasi langsung pada proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, hal tersebut tidak bisa abaikan sama sekali apa yang sementara terjadi di daerah kita (Dompu). Dompu yang merupakan salah satu representase dari daerah tingkat II yang perlu dipahami adalah sebuah daerah yang memiliki karakter yang berbeda dengan daerah lain. Budaya yang digunakan dan disemboyangkan adalah “Nggahi Rawi Pahu” merupakan semboyang yang memiliki kecendrungan pada lahirnya sebuah sikap yang bakal dimiliki oleh aparat pemerintahan maupun para politisi lokal yang ada di daerah ini yaitu sebuah sikap yang mengedepankan moralitas dan akhlak politik yang tinggi, sehingga dapatlah dikatakan, bahwa pemerintahan dan masyarakat Dompu akan dengan mudah untuk menciptakan sebuah bentuk masyarakat yang demokratis, karena adanya kesamaan antara ucapan dan perbuatan.
Otonomi Yang Mencemaskan
Membicarakan kesiapan Dompu untuk menjadi sebuah daerah yang betul-betul mampu untuk merealisasikan Undang-undang otonomi daerah menjdi menarik, mengingat daerah ini merupakan daerah, kalau dikalkulasikan sebagai daerah “minus”, baik dari segi sumber daya manusianya maupun barangkali dengan sumber daya alamnya. Bukan berarti dengan demikian Dompu akan menjadikan dirinya untuk selalu berharap pada pemerintah pusat dengan dana alokasi umum ataupun dana bantuan yang berbentuk subsidi silang. Tetapi yang patut dikedepankan oleh Pemda Dompu dan tentu saja dengan dukungan dari sumber daya yang ada dalam masyarakatnya akan dapat menggali segala potensi yang dimilikinya.
Sebelumnya terlebih dahulu penulis memperlihatkan berbagai fenomena yang secara historis dapat menggambarkan jalannya pemerintahan. Praktek yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah telah membawa pada kecemasan baru tentu saja akan mengandung beberapa harapan. Bagi kalangan birokapakah memang terdapat landasan yang kokoh untuk menduga bahwa transformasi rezim secara kuat ditentukan oleh sejumlah kondisi ekonomi, social, atau politik, aperti MPR harus mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bukan pada penguasa, kebebasan dalam segal kelambanan dalam proses pengambilan keputusan di daerah. Dan boleh jadi otonomi daerah yang sementara dijalankan sekarang ini akan membawa pada suatu keadaan, dari harapan akan terjadi percepatan pelayanan kepada masyarakat, kepada keterpurukan yang bisa saja terjadi oleh berbagai kepentingan antara tarik-menarik pihak birokrat pemerintahan dengan kalangan politisi yang menurut anggapan sementara orang telah “menjadi raja baru” di daerah masing-masing, karena kekuasaan yang begitu dominan berada dalam wilayah legislatif.
Ide otonomi daerah yang berkembang saat ini telah terjebak pada pemikiran bahwa kebijakan otonomi daerah terancam kegagalan oleh karena terjadinya tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada di daerah maupun di pusat. Konflik kepentingan yang terjadi dalam level kehidupan manapun apalagi hal itu terjadi dalam wilayah perebutan  kekuasaan menjadi hal yang biasa, dan hal itu merupakan konsekuensi logis dari adanya transformasi penyelenggara pemerintahan, dan oleh karenanya pengelolaan konflik hanya sebagian dari isue yang harsu difikirkan dalam melansir kebijakan otonomi daerah. Yang pasti pemikiran kita mengenai arah kebijakan otonomi daerah harus diarahkan pada terjadinya transformatif  pola penyelenggaraan pemerintahan kearah yang desentarlisasi. Oleh karena itu setiap kebijakan otonomi daerah harus dijadikan instrumen untuk mencapai tujuan yaitu antara kemungkinan kita mencapai tujuan yang mendasar yaitu menyediakan basis untuk mengelola kepentingan publik secara lebih baik yaitu untuk mencapai idealitas masyarakat yang adil dan makmur.
Undang-undang otonomi daerah memformat ulang pola penyelenggaraan pemerintahan. Dalam konteks ini otonomi daerah sebagai autarkhi, artinya hanya difahami sebagai proses pelepasan diri dari keterikatan yakni sebuah bentuk intepretatif untuk memikirkan diri sendiri sekaligus menolak keperluan untuk memikirkan orang lain termasuk barangkali kerjasama. Maka kemudian lahirlah semangat “lokalisme” sebagai konsekuensi dari pemaknaan otonomi daerah dalam corak tersebut diatas. Dalam hal lain kebijakan otonomi daerah justru terseret pada kecendrungan-kecendrungan yang esesif dalam memaknai peran yang seharusnya dimainkan oleh aktor lokal.
Muncul antusiasme dalam menyambut otonomi daerah terutama daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, akan membawa pada kristalisasi “lokalisme”,memunculkan pula keinginan untuk mendirikan unit-unit pemerintahan baru baik pada tingkat propinsi maupun  Kota dan Kabupaten. Hal tersebut dapat dimaknai, bahwa memang selama tiga dekade pemerintahan otoriter birokratik yang juga militeristik, telah membawa masyarakat pada jurang kesenjangan yang begitu lebar antara pemerintahan daerah yang satu dengan yang lain, dan lebih menyedihkan lagi adalah mereka yang kaya dengan potensi sumber daya alamnya yang tertinggal, serta terjadi pula kesenjangan pendapatan dan bahkan telah mebciptakan kemiskinan yang besar dan tingkat ketergantungan daerah kepada pusat yang tinggi, artinya daerah hanya mendapatkan belas kasihan dari pemerintah pusat.
Menyinggung apa yang sementara dialami oleh daerah Dompu yang secara potensi barangkali kurang sumber daya alamnya atau setidaknya belum sempat dieksplorasi dengan baik, maka menjadi keharusan bagi komponen elit pemerintahan baik yang ada di parlemen ataupun yang ada di birokrasi pemerintahan untuk melakukan networking dengan pihak-pihak luar yang dapat membantu percepatan perbaikan nasib masyarakat. Secara tidak disadari perdebatan yang terjadi antara keharusan untuk memperbaiki harapan tingkat kehidupan masayarakat, sebagaimana yang dialami oleh pemerintah Kabupaten Kutai yang telah membebaskan SPP mulai dari tingkat dasar sampai menengah dan untuk satu tahun kedepan membebaskan SPP semua Mahasiswa yang kuliah disana, serta akan diberikan intensif masing-masing kurang lebih 300.000,- sampai lima ratus ribu kepada semua pegawai negeri yang ada di daerahnya, serta diberikan kepada masing-masing kepala sekolah sepeda motor (Baca: Kompas 1-06-01)
Birokrasi Korporatif
Runtuhnya pemerintahan negara-negara komunis Eropa Timur yang sangat otoriter, jatuhnya pemerintahan Marcos di Filipina serta runtuhnya rezim Orde Baru (Orba) Indonesia yang merupakan simbol dari otoritarianisme birokrasi selama 32 tahun di negeri ini, dimulai dari demonstrasi Mahasiswa serta berbagai kritik sosial yang berkembang selama berkuasanya rezim tersebut. Era reformasi seperti yang sementara kita alami sekarang ini merupakan sesuau yang dianggap dapat memberikan keleluasaan bagi setiap kita untuk mengembangkan mekanisme baru bagi pelaksanaan pemerintahan. Pemerintahan transisi B.J.Habibie telah memulai dengan membuat Undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan Pemerintahan Pusat-Daerah melalui UU No. 22 dan UU No. 25.
Instrumen politik yang dipandu oleh UU tersebut berimplikasi pada mekanisme pelaksanaan pemerintahan. Penekanan yang hendak di introduksi dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan posisi politik aparatur pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat. Hal ini menurut penulis menjadi menarik untuk diberikan ilustrasi yang secara konsepsional akan dapat membantu dalam memahami fenomena yang terjadi dalam wilayah kehidupan sosial politik lokal, terutama daerah-daerah semacam Dompu atau daerah yang dalam kategori pusat sebagai daerah yang memiliki kekurangan sumber daya
Otonomi Daerah (Otda) menjadi wahana bagi terciptanya sebuah mekanisme demokrasi pada level daerah. Pemberdayaan masyarakat menjadi keharusan bagi terciptanya pemerintahan yang bertanggungjawab. Demokrasi merupakan pemerintahan kerakyatan, atau seperti dikatakan oleh Abraham Lincoln, goverment of the people, by the people, for the people. Dalam sistem ini pemegang kekuasaan haruslah bertanggungjawab pada rakyat dan memerintah atas nama rakyat. Kekuasaan diperoleh melalui kompetisi lewat mekanisme pemilihan yang bebas dan terbuka, karena itupula setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kekuasaan yang demokratis.
Dalam berbagai literatur admininstrasi negara klasik dikenal dengan dikotomi antara politik dan birokrasi (Wilson, 1887). Politik berurusan dengan pengambilan kebijakan sementara admininstrasi berurusan dengan implementasi kebijakan. Birokrasi sebagai lembaga implementasi, sistem dan prosedurnya harus dikembangkan secara efisien, antara lain dengan struktur birokrasi yang hirarkhis, aturan-aturan yang berlaku secara impersonal, juga sistem pengembangan karir yang dapat menjamin pengembangan profesionalisme aparatur pemerintahan secara memadai. Karena politik merupakan lembaga pengambil kebijakan publik yang dapat mengikat semua warga masyarakat, maka setiap kebijakan itu harus di orientasikan pada kepentingan rakyat. Birokrasi harus berkembang sesuai dengan watak khas yang dimilki oleh demokrasi dan bukan menjadi sesuatu yang berlawanannya. Menurut Muhadjir Darwin, dalam demokrasi mempunyai watak populis sedangkan birokrasi berwatak hierarkis. Nilai yang dimiliki dominan dalam demokrasi adalah keadilan, sementara dalam birokrasi nilai yang dominan adalah efisiensi. Demokrasi ditegakkan atas dasar nilai kesamaan (equity) dan persamaan hak, dan pengambilan keputusan bersifat participatory. Keputusan dan kebijakan yang diambil berwatak politisi merupakan pengejewantahan dari tuntutan rakyat, dan politisi harus mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambil kepada rakyat darimana kekuasaan mereka berasal. Sebaliknya birokrasi ditegakkan atas dasar perbedaan status dan peranan (spesialisasi dan hierarkis), arus keputusan dan perintah mengalir dari atas (manajer/ pimpinan) kebawah (bawahan/pengikut) dan arus pertanggungjawaban mengalir dari arah yang sebaliknya.
Sekarang ini kita dihadapkan pada perkembangan dan perubahan lingkungan yang pesat sekali, informasi yang datang dengan leluasa baik melalui media massa ataupun lewat internet. Perkembangan sains dan teknologi canggih terus mewarnai kehidupan kita belakangan ini. Dalam konteks ini, kalau birokrasi tidak melakukan perubahan atau revitalisasi diri, maka birokrasi akan digulung oleh perubahan itu sendiri. Artinya kalau rakyat dan masyarakat secara keseluruhan telah banyak mengalami perubahan dan dinamis sementara birokrasi publik tidak berubah dan senantiasa mempertahankan stabilitasnya, maka rakyat akanmeninggalkannya ataupun akan mencari alternatif pelayanan birokrasi yang lain dan tidak mau tahu lagi dengan apa yang diperbuat oleh birokrasi publik.
Ada beberapa perubahan yang memperlihatkan kinerja dan perbaikan birokrasi kita, seiring dengan kehendak zaman yang semakin maju. Otonomi daerah yang bisa menjadi alat yang signifikan  bagi perbaikan kinerja birokrasi kita selain tuntutan zaman yang semakin berubah dan terus mengalami kemajuan dalam segala aspek kehidupan, maka menjadi semakin kuat untuk mendorong partisipasi dan perbaikan kinerja aparatur pemerintahan. Birokrasi pada level Daerah sebagai ujung tombak bagi pelayanan kepada publik harus diorientasikan kepada pelayan umum yang memadai.
Pada masa depan dan mulai dari sekarang, peranan dan fungsi aparatur pemerintahan akan mengalami pergeseran, dan pergeseran itu memperlihatkan ciri-ciri seperti berikut ini :
•    Pemerintah yang katalik yang berfungsi sebagai fasilitator, bukan lagi sebagai implementor tunggal,
•    Pemerintah yang sinergik yang mampu melihat kelemahan sendiri dan kebaikan pihak lain dan kemudian mengupayakan perbaikan yang lebih komprehensif dan produktif.
•    Pemerintah dari suatu masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat bukan hanya untuk mengatur saja.
•    Pemerintah yang kompetitif yang mampu mengenergized semangat kompetitif dalam pelayanan publik
•    Pemerintah yang lebih di dorong oleh misi yang jelas, bukannya sekedar birokrasi yang mendasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis,
•    Pemerintah yang berorientasi kepada pengaruh ketimbang mengutamakan kekuasaan saja,
•    Pemerintah yang menekankan dan mengutamakan adanya demokrasi dan keleluasaan bagi setiap daerah otonom ketimbang yang menekankan peranan hierarkis dari atas,
•    Pemerintah yang lebih fleksibel dan mengurangi kekakuan aturan yang mengikat daripada menekankan hierarki mekanikal yang tradisional.
Ciri-ciri semacam ini sudah harus menjadi kenyataan pada semua level pemerintahan mulai dari pusat hingga daerah otonom yang langsung bersentuhan dengan pelayanan kepada publik. Dengan ciri itupula birokrasi diBima bisa berkembang sesuai dengan konsep dasar dan semua aparatur harus bekerja diatas landasan ketulusan dan keikhlasan, tanpa ada ketulusan dan keikhlasan berarti konstruksi Ikhlas yang dibangun oleh Pak Zainul Arifin menjadi kabur, dan boleh jadi yang tulus-ikhlas nanti hanya Bupati-nya saja sementara aparatur dibawahnya bekerja tanpa mencontoh atasannya.
Pemerintahan Yang Bersih
Politik perkoncoan yang dibangun selama rezim Orde Baru telah menciptakan budaya tersendiri dikalangan birokrasi kita, terutama perilaku para birokrat yang kerapkali tidak menjadi pelayan bagi masyarakatnya dan birokrat yang memperkaya diri, upaya menciptakan pemerintahan yang bersih (Clean Goverment)  masih jauh dari harapan, ketika tidak ada reformasi menyeluruh dalam segala aspek yang bersentuhan langsung dengan birokrasi pemerintahan. Hal yang lazim dan mungkin dianggap menjadi kebiasaan bagi para birokrat adalah korupsi, sebab korupsi tidak hanya menggelapkan uang rakyat dari kas negara atau daerah, tetapi harus dimaknai pada level lain.
Pada dasarnya korupsi itu dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni korupsi ekstortif, korupsi manipulatif dan korupsi nepotistik (baca Joe Krieger, The oxford Companion to Politics of the World, 1993), ketiga jenis korupsi tersebut masih merajalela. Extortive Corruption merujuk pada situasi dimana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atau perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya. Dalam konteks ini  kita bisa ambil contoh, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery) kepada pejabat tertentu agar mendapat izin usaha, perlindungan terhadap usahanya dan lebih celaka lagi perlindungan terhadap pelanggaran yang dilakukannya (apalagi usaha itu berlawanan dengan budaya masyarakat seperti istilah kolusi antara bandar kupon putih dengan oknum aparat kepolisian) atau juga bisa dengan tender sebuah proyek supaya memenangkan tender, jumlah sogokannya sangat tergantung dengan besarnya usaha ataupun yang ditenderkan.
Manipulative Corruption merujuk pada usaha kotor yang dilakukan seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya. Kita bisa umpamakan, seorang atau sekelompok konglomerat memberi uang pada Bupati atau Gubernur, agar peraturan-peraturan yang dibuat dapat menguntungkan mereka. Tidak menjadi soal bagi mereka apakah peraturan daerah (perda) yang dibuat merugikan rakyat banyak, itu bukan urusan mereka yang koruptor tersebut.
Nepotistic Corruption merujuk pada keperluan istimewa yang diberikan pada anak-anak, keponakan atau saudara dekat pejabat dalam setiap eselon. Dengan preferential treatment para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat dapat menangguk keuntungan yang besar, korupsi nepotistik seringkali melanggar atauran main yang telah berlaku umum, pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak dapat dihentikan, karena dibelakang korupsi model ini telah berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum.
Ada pula korupsi subversif, model ini lebih dikenal dengan cara mencuri barang dan kekayaan yang dimiliki oleh daerah atau negara, yang biasa melakukan ini adalah para pejabat pemerintahan dengan cara menyalahgunakan wewenang dan jabatan yang mereka miliki. Korupsi ini biasanya dianggap sebagai model yang subversif atau destruktif terhadap negara, karena negara telah dirugikan secara besar-besaran.
Dalam kerangka yang positivistik berdasarkan realitas empirik yang berkembang dalam masyarakat dengan memperbandingkan dengan berbagai variabel yang lain, Bupati sebagai pemimpin pemerintahan di daerah hendaknya berupaya yang serius untuk menciptakan aparatur pemerintahan yang bersih bebas KKN, dan bebas dari segala ‘virus’  sebagimana yang telah diungkapkan diatas. Pergantian pejabat dilingkungan pemerintah daerah, harus memperhitungkan kapabilitas dan akseptabilitas serta kredibilitasnya, dan bukan berdasarkan hubungan kekrabatan, pertemanan, apalagi mencerminkan gambaran tentang ungkapan-ungkapan tersebut diatas.
Nasehat Bagi Birokrat
Dalam sebuah riwayat dikisahkan seorang  alim yang hendak menjadi Birokrat, namun orang alim itu gagal menjadi birokrat sebagaimana yang di cita-citakannya, dan dia kemudian mengisi kehidupannya dengan menjadi guru privat yang memberikan pelajaran kepada generasi muda kelas bawah, dengan harapan agar mereka yang suatu saat mendapatkan karier di pemerintahan akan lebih berhasil menanamkan gagasan moralitasnya. Kisah seperti ini dapat kita lihat pada Kong Hu Cu yang juga gagal menjadi birokrat dan kemudian  menjadi guru. Dalam tradisi kekaisaran Cina, bahwa seseorang yang ingin berperan dalam pemerintahan harus lebih dahulu melewati ujian-ujian pamong praja, dan bahan dalam ujian tersebut bersumber pada ajaran Kong Hu Cu begitupun bagi seorang kaisar yang hendak naik tahta.
Inspirasi dari ajaran Kong Hu Cu ini sebetulnya mengandung makna yang cukup baik untuk diteladani oleh para birokrat dalam menjalankan amanat rakyat. Kong Hu cu walaupun bukan seorang Muslim tetapi ada beberapa hal yang dapat diambil sebagai inspirasi bagi pelaksanaan pemerintahan birokrasi, diantara nasehatnya adalah : Pertama, keteladanan Moral, dan atas dasar itu rakyat harus mematuhi segala perintahnya. Pemerintah harus dapat dipercaya sepenuhnya oleh rakyat. Dalam Analects diceritakan bahwa Tzu kung bertanya kepada Kong Hu Cu tentang pemerintahan, kemudian di jawab:
Pemerintahan adalah (1) cukup makanan, (2) cukup senjata dan (3) kepercayaan dari rakyat. Kemudian Tzu kung bertanya ‘andaikata anda tidak mempunyai alternatif kecuali melepaskan salah satunya, mana yang pertama-tama anda lepaskan ?’ Kong Hu Cu menjawab ‘senjata’. Tzu-kung bertanya ‘andaikata sama sekali tidak mempunyai pilihan kecuali mengorbankan satu dari dua yang tersisa, mana yang akan anda lepaskan ?’ kemudian Kong Hu Cu menjawab ‘makanan’. Sejak dahulu kematian dialami semua orang, tetapi suatu masyarakat tanpa kepercayaan kepada para penguasanya tidak akan bertahan
Nasehat tersebut menekankan pada pentingnya dukungan dari rakyat atau adanya kepercayaan dari rakyat pada pemerintah dalam sebuah negara ataupun daerah, kepercayaan itu dapat diperoleh ketika para penguasa dapat memenuhi kebutuhan ekonomi atau lebih sering disebut dengan kemakmuran ekonomi
Dalam konteks pelaksanaan pemerintah sangat dibutuhkan adanya kerjasama yang baik antara sesama aparat pemerintah dan lebih dari itu semua adalah terjadi suatu mekanisme dialogis yang dibangun dengan masyarakat dalam berbagai kesempatan. Hal inipula yang akan dapat membawa suatu etos kerja yang akan terlihat pada watak yang rajin, suka bekerja keras, ulet, ramah tamah, tidak mementingkan diri sendiri, dapat merasakan penderitaan orang lain, dan selalu mengadakan introspeksi diri secara terus menerus. Pada kesempatan lain sang Empu (Kong Hu Cu)  kembali memberikan nasehat pada kaum birokrat dengan kata-kata yang cukup mengesankan :
Untuk memimpin sebuah negeri dengan seribu kereta perang, sang penguasa harus menghadapi setiap urusan dengan penuh perhatian disamping harus jujur. Ia harus mempraktekkan ilmu ekonomi dalam perbelanjaan, dan mencintai semua orang, serat memperkaya rakyat sesuai dengan musim
Kepemimpinan seorang birokrat yang baik baru bias dikatakan berhasil apabila mampun mengandaikan kebajikan dan bahkan akan lebih berhasil lagi daripada pendekatan-pendekatan hukum yang berbagai peraturan  yang kaku. Dalam hal ini nasehatnya :
Apabila anda memimpin rakyat dengan bantuan peraturan dan memelihara keretiban dengan bantuan hukuman, mereka akan kehilangan hati nurani dalam usaha untuk menghindari aturan dan hukuman tersebut. Bila anda memimpin mereka dengan menggunakan kebajikan dan mempertahankan ketertiban di antara mereka dengan upacara keagamaan , mereka akan mempunyai suara hati dan memperbaiki diri.
Atas dasar ketauladanan dan moralitas kaum birokrat yang begitu tinggi dengan selalu berusaha dengan serius untuk memperbaiki nasib dan masa depan warga masyarakat yang mereka pimpin, maka akan sulit bagi rakyat untuk tidak mematuhi segala apa yang diharapkan oleh mereka yang sementara memerintah. Artinya, bila seorang birokrat menginginkan sebuah kebaikan maka rakyat pun akan menjadi baik, sifat seorang pemimpin seperti angin, dan sifat rakyat seperti rumput, jadi angin berhembus maka rumput akan selalu merunduk
Kedua, Humanisme. Dalam hal ini perlu ada penekanan pada sikap humanistik bagi seorang  birokrat, sebab hanya birokrat yang humanistislah yang dapat berhasil dalam tugas-tugas kepemimpinannya,  dalam hal ini ada dua nasehatnya yang paling menonjol :
Jangan lakukan pada orang lain yang kamu sendiri tidak menyukainya. Maka tidak akan ada kebencian terhadapmu, baik dalam keluarga maupun dalam negara.
Orang yang human yang menginginkan dirinya diakui, melihat bahwa orang lain diakui, dan yang menginginkan dirinya berhasil, melihat bahwa orang lain itu berhasil. Mampu menggunakan perasaan sendiri sebagai penuntun, dapat disebut sebagai seni humanitas
Sikap seorang pemimpin atau birokrat  yang merakyat (tidak elitis) dan dekat dengan semua kalangan (komponen masyarakat) dan tidak hanya pihak-pihak tertentu, hal ini akan dapat memudahkan segala urusan yang berhubungan dengan tugas dan tanggungjawab para birokrat tersebut. Humanisme lebih mencerminkan nilai-nilai keagamaan sebagimana juga Nabi Muhammad yang dijuluki dengan gelar ‘Rahmatan Lil’alamin’, sebuah gelar yang mencerminkan sikap dan tingkah laku Nabi yang membumi
Ketiga, Pentingnya Upacara Keagamaan, upacara keagamaan memegang peranan penting dalam keberhasilan seorang pemimpin, sebagaimana nasehat sang empu berikut ini
Apabila pemerintah menyenangi upacara keagamaan, rakyat akan mudah diperintah. Bila seorang penguasa mengerti upacara keagamaan .........
Pentingnya upacara keagamaan sebetulnya merupakan sebuah refleksi yang begitu inheren dalam masyarakat yang sangat dekat dengan nilai-nilai moral keagamaan, sehingga dengan jalan demikian rakyat akan sangat percaya kepada sang pemimpin. Namun yang juga patut di ingat jangan sampai simbolisasi keagamaan tersebut dijadikan alat justifikasi berbagai kebijakan publik yang mengikat semua warga masyarakat.
Masyarakat Yang “Partisipatif”
Dalam sebuah masyarakat yang mulai mempersoalkan baik dan buruk suatu tingkah laku, maka penyimpangan moralpun akan semakin tanpak dengan jelas, apalagi yang melakukan itu adalah mereka yang telah mendapat legitimasi dari rakyat untuk menjadi pemimpin. Akhir-akhir ini kita tidak bisa pungkiri, bahwa praktek yang tidak bermoral itu sudah begitu besar dilakukan oleh manusia, mulai dari mereka yang tidak mengerti sama sekali tentang konsepsi moralitas sampai kepada yang sudah sangat fasih membicarakan moralitas, mulai dari rakyat kecil hingga orang-orang yang dianggap terhormat pada level elitis ditengah-tengah masyarakat.  Konsep kebaikan dan keburukan kerap-kali di ingat oleh Allah dam kitab sucinya Al-Qur’an, supaya kita menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar (amar ma’ruf nahi mungkar). Rasulullah  pun berkata bahwa :
     “ aku diutus kepermukaan Bumi ini untuk memperbaiki akhlaq al-Karimah”
Dari pernyataan Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya tersebut tercermin sebuah akhlak yang mulia dan sikap kemanusiaan yang tinggi yang telah dicontohkan oleh Nabi bagi sebuah konstruksi peradaban, tidak mengherankan kalau banyak Ilmuwan barat menganggap Nabi Muhammad telah meletakkan sesuatu yang bermamfaat bagi pembangunan peradaban di dunia Islam dan malah mengalahkan peradaban yang telah ada sebelum kedatangan Islam.
Itulah  sebabnya catatan tentang Islam yang pernah diberikan oleh B.A Hashmi, Mantan Wakil Rektor Universitas Karachi, pakistan menjadi sangat penting untuk dikutip disini (lihat harahap, 1997). Menurutnya :
kita agak terlambat menyadari dan mengapresiasikan bahwa moralitas kita, konsep Islam kita, sejak Adam hinggah Nuh, sejak Nuh hingga Ibrahim, dan sejak Ibrahim hingga nabi terakhir Muhammad SAW, tumbuh berkembang semakin kuat, dan Islam tidak lain adalah versi terakhir dari ekspresi yang paling matang tentang nilai yang mutlak itu
   
Setiap manusia yang telah tertanam dalam dirinya sebuah nilai-nilai keagamaan yang mulia dan derajat tertinggi, maka akan teraktualisasi dalam setiap aktifitas kesehariannya, tidak pernah terpengaruh oleh berbagai godaan yang dianggapnya tidak produktif, apalagi perbuatan itu sama sekali tidak mencerminkan moralitas yang terkandung dalam kita Suci Ilahi. dalam hidupnya mereka ini akan senantiasa memikirkan kewajiban mereka dan tidak terlalu menuntut hak-hak apa yang harus mereka peroleh dari setiap pekerjaannya. Apabila diberi kesempatan untuk memimpin suatu negeri maka mereka selalu mendahulukan kepentingan masyarakat, mengingat dalam diri mereka sudah tertanam moralitas yang inheren dalam dirinya, tanpa terpengaruh dengan realitas empiris global yang  terjadi disekitarnya. Bukan berarti tidak sama sekali mengakui kemajuan zaman tetapi kehati-hatian bertindak.
Dalam al-Qur’an telah diuraikan bahwa masyarakat menjadi dua sebagimana dipakai oleh Nabi. Pertama adalah masyarakat badui atau masyarakat nomaden yang kehidupannya mengembara dan praktis belum membentuk suatu masyarakat yang menetap (salah satu ciri masyarakat yang hidup dalam suatu batas wilayah tertentu karena itu merasa dirinya satu atau menyatu). Kedua, adalah masyarakat Madani,yang telah menetap disuatu tempat tertentu dan merasa dirinya menjadi bagian dari suatu kesatuan, atau polis-polis dalam masyarakat yunani kuno
Istilah masyarakat madani atau yang sering juga digunakan dengan istilah asing yaitu civil society yang merupakan masyarakat yang hidup dalam dan memiliki budaya politik atau budaya kekuasaan (civilized political community), sehingga dapat dikatakan, bahwa ada sebuah mekanisme kekuasaan pemerintahan yang mengatur kehidupan masyarakat, dan hal tersebut biasa disebut dengan negara. Negara atau daerah yang telah diberi kewenangan baik secara politik maupun menurut aturan budaya yang berlaku berdasarkan kesepakatan bersama warga masyarakat membentuk suatu institusi yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dengan memulai dari penciptaan mekanisme hukum dalam pengaturan sosial dan ekonomi, diluar atau atau tidak merupakan bagian dari negara.
Adam Ferguson dalam bukunya yang termasyhur (Essay on the History of Civil Society) dan menjadi rujukan para ilmuwan sosial kita dalam memahami konsep civil society, menjelaskan beberapa ciri civil society. Pertama, masyarakat yang hidup di kota (kosentrasi pemukiman) dan cara hidup orang kota. Dalam kerangka ini civil soceity menjadi kuat dan prospeknya menjadi baik untuk konteks daerah dalam kaitannya dengan otonomi sekarang ini, ketika komunitas perkotaan hidup di atas kaedah yang dapat meningkatkan partisipasinya dalam pengembangan daerah, dan bukan menjadi merasa terasing  (aliensai) dengan lingkungannya. Kedua, memiliki kode hukum atau perundang-undangan sebagai dasar pergaulan sosial, ekonomi dan politik. Kewenangan yang telah ada pada daerah harus dioptimalkan untuk memperkuat serta melibatkan partisipasi masyarakat dengan adanya peraturan daerah yang dapat mengatur kelangsungan bagi berbagai proses sosial, ekonomi dan politik lokal.
Ketiga, memiliki perilaku berdasarkan kesopanan dengan mempertimbangkan yang patut atau tidak patut dilakukan, menghindarkan diri dari sikap dan perilaku yang tercela, memnghormati orang lain dan memperhalus ucapan dalam berbicara dengan orang lain pada saat-saat tertentu. Ketika aparat pemerintahan yang ada di daerah dengan penuh kesadaran menghayati apa yang terkandung dalam konsep Ikhlas agamais yang telah dicanangkan oleh bupati Bima sekarang ini misalnya, maka sesuatu yang sangat positif  bagi perbaikan aparatur pemerintahan. Keempat, melakukan kerjasama antara sesama warga masyarakat berdasarkan aturan-aturan dan pranata-pranata yang telah disepakati bersama.
Dengan demikian, masyarakat Madani adalah masyarakat yang berkeadaban atau berbudaya, masyarakat yang mampu mengatur dirinya sendiri, atau juga di masa lalu sering disebut dengan masyarakat kota yang memiliki pola hidup dan sifat-sifat perkotaan (urbanity), sejalan pula dengan pengertian al-madinah  atau kota dan al madinah al munawwarah, kota cahaya yakni sebuah kota yang terbentuk diatas landasan ‘konstitusi madinah’ (Piagam Madinah). Masyarakat Madani tidak dimaksudkan sebagai lawan dari negara (state) tetapi harus dipahami dalam konteks yang seimbang sebagai kelembagaan masyarakat diluar state atau mereka yang independen dan terlepas dari kekuasaan negara.  
C.    PERILAKU ELIT POLITIK LOKAL
Perilaku elit politik lokal itu masih berpegang teguh pada prinsip politik yang baik dan benar, meski agak dibelokkan oleh para elit politik nasional yang super jahannam sekarang ini. Elit politik Indonesia sekarang, adalah elit politik yang super jahannam, yang hanya ingin mencari keuntungan pribadi atau kesejahteraan pribadi, bukan kesejahteraan untuk rakyat sebagaimana yang khittahkan dalam pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Dalam setiap butir pancasila, itu mengandung prinsip Negara yang sangat demokratis. Apabila Indonesia mampu merealisasikan apa-apa yang ada dalam sila pancasila, maka Indonesia dengan sendirinya akan menjadi Negara demokratis yang menganut demokrasi sejati, dan akan melampaui demokrasinya Negara yang lebih dahulu mengenal demokrasi seperti Amerika Serikat yang sampai sekarang masih menganut demokrasi sebagian. Pancasila Indonesia adalah prinsip demokrasi sejati. Supaya pancasila Indonesia tidak menjadi panca yang sial, maka diharapkan kepada elit politik untuk bagaimana supaya setiap butir atau sila pancasila dapat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

D.    ISLAM DAN PERILAKU ELIT POLITIK
Fenomena politik yang berkembang belakangan ini memberitahukan kepada opini umum, bahwa sementara terjadi “perkelahian” diantara sesama elit-elit politik Islam, demikian komentar banyak kalangan ilmuwan di negeri ini ketika menyaksikan banyak peristiwa politik yang berkaitan dengan umat Islam. Konflik yang melanda partai Islam tesebut terlepas dari adanya kepentingan-kepentingan tertentu menyertainya yang jelas hal ini memberikan citra tersendiri bagi eksistensi Islam sebagai sebuah pedoman hidup atau ideology Islam dan umat Islam secara keseluruhan. Citra itu dapat diekspresikan secara beragam oleh mereka yang memang melihat elit Islam yang menggunakan Islam sebagai simbol perjuangan politik; pertama, ada yang menganggap bahwa Islam itu bukan merupakan  agama perdamaian, bukan agama yang penuh kasih-sayang, bukan pula agama kemanusiaan yang bersifat universal, anggapan ini banyak dikembangkan oleh mereka yang memang anti terhadap Islam sebagai sebuah agama dan umat Islam. Kedua, Islam hanya menjadi simbol manipulasi politik elit dalam meraih kepentingan kekuasaan mereka tanpa ada perhatian yang serius terhadap citra buruk Islam dikalangan luar Islam, pandangan ini berkembang dalam komunitas Islam yang memang sejak dari awal tidak menyukai partai politik yang memakai simbol keagamaan, selain tidak relevan lagi dalam kehidupan Indonesia modern tetapi juga menyebabkan citra Islam  dalam kehidupan politik menjadi tidak berarti. Ketiga, bahwa konflik politik dikalangan elit Islam dapat dipahami sebagai bentuk artikulasi nilai-nilai Islam yang masing-masing kelompok bersandar diatas kebenaran masing-masing, kelompok ketiga ini menganggapnya secara positif, karena memang Islam itu adalah agama multi-interpretatif. Keragaman bentuk artikulasi politik elit Islam itu tidak dapat pula mengabaikan dimensi perebutan pengaruh politik dan kekuasaan terhadap massa Muslim yang memang mayoritas di negeri ini.
Partai Islam adalah partai politik yang selain menggunakan simbol-simbol Islam juga dengan tegas mencantumkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partainya “beraqidan dan berazaskan Islam”, berarti partai Islam itu merupakan partai politik yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perjuangannya untuk menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat. selain itu terdapat pula partai politik yang secara mayoritas konstituennya adalah kaum muslimin atau partai politik yang lahir dari rahim organisasi massa Islam, tetapi tidak mencantumkan Islam dalam azas partainya.
Pada dasarnya pandangan politik elit Islam mengalami fase yang berbeda, dari fundamentalis ke pragmatis atau reformistis dan toleran terhadap dinamika politik umat sesuai dengan perkembangan perubahan zaman yang semakin cepat. Seperti praktek-praktek ajaran Islam yang memberi toleransi terhadap niali-nilai budaya yang telah hidup di masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam murni sesusai dengan petunjuk al-qur’an dan Sunnah. Dalam wilayah politik, elit Islam Indonesia secara umum memilih sikap moderat-akomodasional terhadap kekuasaan dan sangat jarang diketemukan sikap yang fundamentalisme radikal atau konfrontatif, karena baginya setiap perjuangan selalu dalam wilayah yang konstitusional sesuai dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Namun tidak dapat di nafikan, bahwa beberapa kelompok Islam lainnya yang secara exstra parlementer kelihatannya memunculkan bentuk gerakan yang berbeda dengan kebanyakan komunitas Islam. Oleh pihak luar Islam dianggap kelompok tersebut sebagai kaum fundamentalisme-radikal, kerapkali juga mereka diberi label sebagai kelompok konfrontatif, atau bahkan istilah teorisme .
Gagasan mengenai konsep civil society atau yang lebih sering dan mudah dipahami oleh komunitas Muslim dengan istilah masyarakat madani atau masyarakat utama atau juga masyarakat Islam dimaksud adalah masyarakat yang beriman dengan sistem kelembagaan yang mampu menegakkan kebaikan (amar ma'’uf/humanisasi) dan mencegah yang buruk (nahyi munkar/liberalisasi) dan berorientasi kepada nilai-nilai keummatan (al-khair).
Agenda politik elit Islam barangkali melupakan hal-hal yang seharusnya menjadi fokus perhatiannya, politik tidak bisa dipisahkan dengan dakwah, maka semestinya partai politik tidak hanya sekedar menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan politik  tetapi juga harus menjadi wadah untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dan wadah dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Kalau elit Islam hanya memikirkan kekuasaan melalui partai politik yang dengan jelas mencantumkan Islam sebagai landasan perjuangannya, maka harus juga memikirkan bagaimana umat Islam dapat beragama dengan baik dan diberdayakan secara social, ekonomi dan politik.
Klaim politik di sementara elit Islam dengan simbol-simbol Islam yang “suci”, tetapi perilaku dan tindakan politik para elit yang ikutserta didalamnya sangat tidak mencerminkan makna dari simbol-simbol suci Islam tersebut. Seharusnya yang perlu mendapat perhatian dikalangan elit Politik Islam adalah mengedepankan nurani dan moralitas Islam-nya dalam kehidupan politik praktis dan bukan semata-mata orientasi untuk mendapat kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan dengan jalan yang bertentangan dengan moral/akhlak Islam
Menurut Vilfredo Pareto dan Mosca dalam kehidupan real politics selalu ada dua kelompok elit minoritas bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, yang pertama, mereka yang mempertahankan jabatan politik dan kedua mereka yang berusaha memperolehnya. Dua kelompok elit ini akan selalu berusaha untuk mendapatkan kekuasaan dan inilah yang kemudian melanggengkan kelas-kelas sosial berdasarkan pengaruh, kekuasaan dan kekayaan sebagaimana Karl Marx kemukakan tentang dua kelas yaitu borjuasi dan proletariat. Kaum elit lebih banyak menitik-beratkan kepada elit politik dan pemerintah karena dianggap penting dari segi sosial dan sejarah, karena elit politik merupakan unsur-unsur yang tetap dan terus ada dalam masyarakat.
Realitas politik Islam belakangan ini mengisyaratkan kepada adanya nafsu kekuasaan di sementara elit, apakah itu ingin mempertahankan pengaruh politiknya dengan tetap menjadi pemimpin dalam partai politik, ataukah upaya untuk mendapatkan kekuasaan politik bagi yang lain?. Yang jelas fenomena ini menggambarkan citra yang berbeda mengenai Islam, padahal Islam selain sebagai agama kemanusiaan yang bersifat universal, Islam juga merupakan agama yang mengajarkan kasih-sayang, kedamaian dan apabila ada yang berbeda faham diselesaikan melalui jalur musyawarah atau ishlah.
Oleh karena itu diperlukan kearifan dan ketawadduhan para pemimpin politik untuk mengedepankan moral dan akhlak Islam dalam berbagai langkah dan tindakan politik, mengingat dominesi kehidupan  yang cukup sementara ini diusahakan untuk menyebarkan kedamaian dan kasih-sayang, segala sesuatu yang berada diluar diri kemanusiaan kita pada prinsipnya hanyalah sebuah pemberian yang kapan saja akan sangat mungkin diambil kembali oleh yang lebih berkuasa. Jadi kekuasaan yang kita miliki sangat relatif dan bersifat sementara, sedangkan keluhuran budi pekerti dan akhlak yang mulia merupakan sesuatu yang “abadi’, tidak saja dicintai oleh Allah tetapi sesama manusiapun menyukai orang-orang yang sabar dan kesalehannya dimanifestasikan pada kecintaan akan kedamian.
Para pemimpin Islam baik yang berada dalam partai politik maupun diberbagai orma keagamaan diharapkan dapat memerankan sifat-sifat yang menyejukkan dan mendamaikan suasana yang lebih kondusif ditingkat masyarakat. Partai politik hanyalah sebuah alat untuk mencapai kekuasaan yang kelak diabadikan demi kemaslahatan umat dan bangsa. Pemikiran ini menjadi lebih penting untuk diuraikan demi sebuah peradaban yang lebih baik yaitu peradaban khairah umah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar