Selasa, 06 Desember 2011

MENANTI LAHIRNYA SANG SUPERMAN KEBENARAN


MENANTI LAHIRNYA SANG SUPER MAN
Razikin Al-Ngali

Direktur Program Studi Agama dan Peradaban Pusat Kajian Politik, Demokrasi Dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia
Hingar-bingar pesta demokrasi rakyat yang baru saja berlangsung, yaitu pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD menyisakan 1001 macam persoalan. Persoalan tersebut memunculkan interupsi dimana-mana yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh Caleg, Partai Politik, LSM serta kelompok sosial yang merasa dirugikan oleh proses demokrasi tersebut. Interupsi tersebut adalah sebuah hal yang wajar terjadi dalam membangun kedewasaan berdemokrasi, sepanjang interupsi tersebut tidak sampai menimbulkan radikalisasi politik. Apabila radikalisasi politik terjadi, maka dikhawatirkan akan mengancam proses demokrasi serta agenda yang lebih besar dan substansial.
Apabila kita mencoba menginventarisir problem demokrasi yang kita hadapi saat ini, maka akan ditemukan berbagai persoalan, yakni: Pertama, persoalan Ekonomi yang telah menciptakan kemiskinan sistematis, dengan tingkat inflasi yang ditandai dengan menurunnya nilai tukar rupiah, naiknya harga barang (minyak dan sembako), hilangnya aset negara (publik), kesenjangan ekonomi, serta ketergantungan/dependensi. Kedua, persoalan Pendidikan: Komersialisasi pendidikan serta kurikulum pendidikan yang belum mampu melahirkan anak bangsa yang memiliki nalar kemandirian dan keberanian. Ketiga, Budaya dan Sosial: keterasingan (alienasi), hilangnya jatidiri bangsa (krisis identitas), kemiskinan, pengangguran, individualisme, hedonisme, pragmatisme, liberalisasi infotainment. Keempat, Politik: Liberalisasi demokrasi (multi partai), kebijakan negara yang tidak pro-rakyat, melemahnya kedaulatan negara, hukum bersifat materialis, kebebasan pers. Kelima, Overload production: Membawa kepentingan pasar, memperluas cengkeraman wilayah pasar yang berujung pada menuhankan pasar.

Super man sebagai solusi
Di tengah desakan masalah tersebut, pemilihan presiden merupakan sebuah momentum strategis untuk menyeleksi perjalanan bangsa yang memiliki kemampuan lebih yang dapat menjawab berbagai problem kebangsaan yang kita hadapi sebagaimana  diatas. Hanya saja manusia unggul (super man) memperlihatkan tanda-tanda kemunculannya. Akankah SBY, JK, dan Megawati hadir sebagai setting sejarah yang dapat menjawab problematika kebangsaan hari ini?
Tidak dipungkiri, kalau politik adalah sebuah perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan, karena kekuasaan adalah sebuah bentuk aksentuasi eksistensi manusia- dimana kelompok yang paling pantas untuk berkuasa dan berhak untuk melanggengkan kekuasaannya—maka kekuatan adalah kebajikan yang utama, dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan.Yang baik adalah yang mampu melangsungkan kehidupan, yang berjaya, dan menang, sedangkan yang buruk adalah yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.
Politik adalah medan laga tempat seluruh partai politik bertarung agar bisa terus melanggengkan kekuasaan. Dan dalam pertarungan yang kita namakan Pemilu itu, tidak memerlukan kebaikan melainkan kekuatan; yang dibutuhkan dalam politik adalah bukanlah kerendahan hati melainkan kebanggaan diri, bukan altruisme, melainkan kecerdasan yang tajam. Dan, hukum politik bukanlah hukum yang dibuat oleh manusia, melainkan hukum sosial yang menguji kekuatan-kekuatan partikular itu dalam proses sejarah politik.  
Karena politik adalah merupakan arena bertarungnya berbagai kekuatan, maka politik sebagai upaya untuk melakukan seleksi bagi mereka yang disebut sebagai “elit” – untuk meminjam istilah Pareto dan Mosca -  akan memberikan harapan, juga sekaligus menyimpan sejumlah kegagapan.
Untuk konteks ini, Indonesia yang sedang dihadang oleh berjuta krisis yang mengerikan, harus menerjemahkan teks demokrasi sebagai loncatan untuk mengubah krisis itu menjadi peluang. Dengan demikian, pemilu 2009 adalah upaya untuk memperjelas loncatan itu untuk diarahkan menjadi kekuatan demi masa depan Indonesia.
Tetapi, harus ada pilihan prioritas untuk melakukan loncatan, agar bisa mengeluarkan Indonesia dari himpitan krisis. Salah satunya adalah pintu Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 ini. Siapapun yang akan maju dalam kompetisi politik, maka inilah yang disebut sebagai “aktor” dalam kajian teori perubahan sosial. Sang “aktor” akan menentukan bagaimana masa depan suatu krisis politik bisa diatasi.
Karena itu, Indonesia membutuhkan manusia-manusia unggul (superman) untuk membawa keluar Indonesia dari krisis. Hanya saja, ketika manusia unggul ini dicari, akan ada banyak klaim yang bisa diumbar sebagai aktor manusia unggul. Namun, jarak terentang begitu lebar saat fakta empirik dibincangkan. Lantas, ke mana pencarian sebaiknya mulai dilakukan? Jika demikian, di mana manusia unggul diposisikan keberadaannya? Di antara dua ekstrem yang menjadi pendulum metoda kekuasaan, manusia demokrat mesti merumuskan posisi spektrumnya.
Dalil etik pertama menjadi mufakat bagi banyak pemuka filsafat bahwa manusia demokrat menyediakan ruang kebebasan untuk mengartikulasikan kehendak pribadi. Manusia berlaku rasional dan memiliki kemampuan untuk menciptakan distingsi terhadap baik-buruk, juga benar-salah. Sehingga, konsepsi dasar manusia demokrat sudah sejak awal berhadap-hadapan dengan pretorian-militeristik yang mengharamkan sikap kritis tumbuh dan berkembang untuk mempertanyakan ulang semua jenis dogma.
Pada skala makro, di mana manusia hidup secara kolektif-kolegial, interaksi antarmanusia mengantar kebebasan pribadi menjumpai kebebasan yang juga dimiliki orang lain (lingkungan). Penafsiran atas kebenaran tak lagi menjadi otoritas tunggal-monolitik, tetapi multi interpretasi di ruang tembus pandang. Pada level inilah moralitas publik terbentuk, yang dalam perkembangannya bertransformasi sebagai fakta sosial. Yang merupakan kesepakatan antarindividu dengan berbagai pengalaman, norma, keyakinan, dan budaya masing-masing.
Konsensus mulai terbentuk, dan muncullah hukum sebagai perangkat yang mampu memediasi kebebasan antar individu. Jadi, hukum sama sekali tidak dimaksudkan untuk membabat kebebasan, tetapi sebaliknya, sebagai ujung tombak yang menjaga kebebasan-sekaligus kesetaraan dan solidaritas (Franz Magnis-Suseno: 1983). Hukum menciptakan pembatasan demi menjamin kebebasan manusia yang tak terlanggar oleh kebebasan tanpa batas. Ia mengatur ruang interaksi yang sehat agar kebebasan individu tak mencederai kebebasan pihak lain.
Regulasi dasar ini dengan sendirinya juga mengandaikan keberadaan lembaga publik (public agency) yang memiliki kewenangan dan otoritas sah untuk mengimplementasikan ide dasar hukum. Kehadiran negara menjadi relevan untuk memberi perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran yang diakibatkan oleh kebebasan tanpa batas.
Karena itu, gagasan hak kepemilikan pribadi, misalnya, juga perlu disertai kewajiban subsidiaritas negara terhadap warga. Yakni, sejenis kewajiban yang membuat negara harus mengintervensi persoalan masyarakat akibat terganggunya ekuilibrium struktur sosial seperti masalah kemiskinan, keadilan, dan kesejahteraan umum.
Negara tidak bisa menghindar dari kewajiban memberi perlindungan kepada anggotanya akibat kebebasan yang mengancam hak-hak hidup orang lain. Termasuk hak untuk hidup secara layak yang amat mungkin terganggu oleh hak kepemilikan pribadi lewat penguasaan kapital yang membabi buta. Juga oleh terjadinya kecenderungan eksploitasi kekayaan alam oleh berbagai korporasi multinasional di level internasional.
Di ranah inilah agaknya manusia demokrat me-mediasi semua kekuatan sosial politik dalam resultan yang mengutamakan kepentingan publik. Hukum diutamakan, bukan bermaksud membabat kebebasan, tetapi perlindungan sewajarnya terhadap prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan umum warga negara. Tentu tak mudah, karena sejak awal gangguan pasti datang bertubi, terutama dari berbagai korporasi multinasional, yang menyimpan misi pengerukan laba di balik slogan demokrasi dan kebebasan.
Pertanyaannya, akankah tiga pasangan kandidat Capres/Cawapres pada Pemilu kali ini akan melahirkan manusia-manusia unggul?. Siapakah diantara mereka yang akan menjadi manusia unggul itu? Pasangan manakah yang akan bisa memutus rantai kemiskinan? Pasangan yang manakah yang bisa memutus relasi subordinat dengan kekuatan kapitalisme asing sebagai biang keladi kebangkrutan-demi-kebangkrutan di negeri ini? SBY, JK dan Mega masing-masing mengklaim diri sebagai manusia-manusia unggul itu. Sebab itulah, kita biarkan sejarah yang akan menentukkan ending-nya.
Mungkinkah Abraham Samad adalah sosok superman yang dinantikan kelahirannya....???



Tidak ada komentar:

Posting Komentar