MENANTI LAHIRNYA SANG SUPER MAN
Razikin Al-Ngali
Direktur Program Studi Agama
dan Peradaban Pusat Kajian Politik, Demokrasi Dan Perubahan Sosial
(PuKAP)-Indonesia
Hingar-bingar pesta demokrasi rakyat yang baru saja
berlangsung, yaitu pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD menyisakan 1001 macam
persoalan. Persoalan tersebut memunculkan interupsi dimana-mana yang dilakukan
oleh berbagai pihak, baik oleh Caleg, Partai Politik, LSM serta kelompok sosial
yang merasa dirugikan oleh proses demokrasi tersebut. Interupsi tersebut adalah
sebuah hal yang wajar terjadi dalam membangun kedewasaan berdemokrasi,
sepanjang interupsi tersebut tidak sampai menimbulkan radikalisasi politik. Apabila
radikalisasi politik terjadi, maka dikhawatirkan akan mengancam proses
demokrasi serta agenda yang lebih besar dan substansial.
Apabila kita mencoba menginventarisir problem demokrasi yang
kita hadapi saat ini, maka akan ditemukan berbagai persoalan, yakni: Pertama, persoalan Ekonomi yang telah
menciptakan kemiskinan sistematis, dengan tingkat inflasi yang ditandai dengan
menurunnya nilai tukar rupiah, naiknya harga barang (minyak dan sembako),
hilangnya aset negara (publik), kesenjangan ekonomi, serta ketergantungan/dependensi.
Kedua, persoalan Pendidikan:
Komersialisasi pendidikan serta kurikulum pendidikan yang belum mampu melahirkan
anak bangsa yang memiliki nalar kemandirian dan keberanian. Ketiga, Budaya dan Sosial: keterasingan (alienasi), hilangnya jatidiri bangsa
(krisis identitas), kemiskinan, pengangguran, individualisme, hedonisme,
pragmatisme, liberalisasi infotainment. Keempat,
Politik: Liberalisasi demokrasi (multi partai), kebijakan negara yang tidak
pro-rakyat, melemahnya kedaulatan negara, hukum bersifat materialis, kebebasan
pers. Kelima, Overload production: Membawa kepentingan pasar, memperluas cengkeraman
wilayah pasar yang berujung pada menuhankan pasar.
Super man sebagai solusi
Di tengah desakan masalah tersebut, pemilihan presiden
merupakan sebuah momentum strategis untuk menyeleksi perjalanan bangsa yang
memiliki kemampuan lebih yang dapat menjawab berbagai problem kebangsaan yang
kita hadapi sebagaimana diatas. Hanya
saja manusia unggul (super man)
memperlihatkan tanda-tanda kemunculannya. Akankah SBY, JK, dan Megawati hadir
sebagai setting sejarah yang dapat menjawab problematika kebangsaan hari ini?
Tidak dipungkiri, kalau politik adalah sebuah perjuangan
untuk mendapatkan kekuasaan, karena kekuasaan adalah sebuah bentuk aksentuasi
eksistensi manusia- dimana kelompok yang paling pantas untuk berkuasa dan berhak
untuk melanggengkan kekuasaannya—maka kekuatan adalah kebajikan yang utama, dan
kelemahan adalah keburukan yang memalukan.Yang baik adalah yang mampu
melangsungkan kehidupan, yang berjaya, dan menang, sedangkan yang buruk adalah
yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.
Politik adalah medan
laga tempat seluruh partai politik bertarung agar bisa terus melanggengkan
kekuasaan. Dan dalam pertarungan yang kita namakan Pemilu itu, tidak memerlukan
kebaikan melainkan kekuatan; yang dibutuhkan dalam politik adalah bukanlah
kerendahan hati melainkan kebanggaan diri, bukan altruisme, melainkan
kecerdasan yang tajam. Dan, hukum politik bukanlah hukum yang dibuat oleh
manusia, melainkan hukum sosial yang menguji kekuatan-kekuatan partikular itu
dalam proses sejarah politik.
Karena politik adalah merupakan arena bertarungnya
berbagai kekuatan, maka politik sebagai upaya untuk melakukan seleksi bagi
mereka yang disebut sebagai “elit” – untuk meminjam istilah Pareto dan Mosca - akan memberikan harapan, juga sekaligus menyimpan
sejumlah kegagapan.
Untuk konteks ini, Indonesia yang sedang dihadang oleh
berjuta krisis yang mengerikan, harus menerjemahkan teks demokrasi sebagai
loncatan untuk mengubah krisis itu menjadi peluang. Dengan demikian, pemilu
2009 adalah upaya untuk memperjelas loncatan itu untuk diarahkan menjadi kekuatan
demi masa depan Indonesia.
Tetapi, harus ada pilihan prioritas untuk melakukan
loncatan, agar bisa mengeluarkan Indonesia dari himpitan krisis. Salah satunya
adalah pintu Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 ini. Siapapun yang akan maju
dalam kompetisi politik, maka inilah yang disebut sebagai “aktor” dalam kajian
teori perubahan sosial. Sang “aktor” akan menentukan bagaimana masa depan suatu
krisis politik bisa diatasi.
Karena itu, Indonesia membutuhkan manusia-manusia unggul
(superman) untuk membawa keluar
Indonesia dari krisis. Hanya saja, ketika manusia unggul ini dicari, akan ada
banyak klaim yang bisa diumbar sebagai aktor manusia unggul. Namun, jarak
terentang begitu lebar saat fakta empirik dibincangkan. Lantas, ke mana
pencarian sebaiknya mulai dilakukan? Jika demikian, di mana manusia unggul diposisikan keberadaannya? Di antara
dua ekstrem yang menjadi pendulum metoda kekuasaan, manusia demokrat mesti
merumuskan posisi spektrumnya.
Dalil etik pertama menjadi
mufakat bagi banyak pemuka filsafat bahwa manusia demokrat menyediakan ruang
kebebasan untuk mengartikulasikan kehendak pribadi. Manusia berlaku rasional
dan memiliki kemampuan untuk menciptakan distingsi terhadap baik-buruk, juga
benar-salah. Sehingga, konsepsi dasar manusia demokrat sudah sejak awal
berhadap-hadapan dengan pretorian-militeristik yang mengharamkan sikap kritis
tumbuh dan berkembang untuk mempertanyakan ulang semua jenis dogma.
Pada skala makro, di mana
manusia hidup secara kolektif-kolegial, interaksi antarmanusia mengantar
kebebasan pribadi menjumpai kebebasan yang juga dimiliki orang lain
(lingkungan). Penafsiran atas kebenaran tak lagi menjadi otoritas
tunggal-monolitik, tetapi multi interpretasi di ruang tembus pandang. Pada
level inilah moralitas publik terbentuk, yang dalam perkembangannya
bertransformasi sebagai fakta sosial. Yang merupakan kesepakatan antarindividu
dengan berbagai pengalaman, norma, keyakinan, dan budaya masing-masing.
Konsensus mulai terbentuk, dan
muncullah hukum sebagai perangkat yang mampu memediasi kebebasan antar individu.
Jadi, hukum sama sekali tidak dimaksudkan untuk membabat kebebasan, tetapi
sebaliknya, sebagai ujung tombak yang menjaga kebebasan-sekaligus kesetaraan
dan solidaritas (Franz Magnis-Suseno: 1983). Hukum menciptakan pembatasan demi
menjamin kebebasan manusia yang tak terlanggar oleh kebebasan tanpa batas. Ia
mengatur ruang interaksi yang sehat agar kebebasan individu tak mencederai
kebebasan pihak lain.
Regulasi dasar ini dengan
sendirinya juga mengandaikan keberadaan lembaga publik (public agency)
yang memiliki kewenangan dan otoritas sah untuk mengimplementasikan ide dasar
hukum. Kehadiran negara menjadi relevan untuk memberi perlindungan terhadap
kemungkinan terjadinya pelanggaran yang diakibatkan oleh kebebasan tanpa batas.
Karena itu, gagasan hak
kepemilikan pribadi, misalnya, juga perlu disertai kewajiban subsidiaritas
negara terhadap warga. Yakni, sejenis kewajiban yang membuat negara harus
mengintervensi persoalan masyarakat akibat terganggunya ekuilibrium struktur
sosial seperti masalah kemiskinan, keadilan, dan kesejahteraan umum.
Negara tidak bisa menghindar
dari kewajiban memberi perlindungan kepada anggotanya akibat kebebasan yang
mengancam hak-hak hidup orang lain. Termasuk hak untuk hidup secara layak yang
amat mungkin terganggu oleh hak kepemilikan pribadi lewat penguasaan kapital
yang membabi buta. Juga oleh terjadinya kecenderungan eksploitasi kekayaan alam
oleh berbagai korporasi multinasional di level internasional.
Di ranah inilah agaknya
manusia demokrat me-mediasi semua kekuatan sosial politik dalam resultan yang
mengutamakan kepentingan publik. Hukum diutamakan, bukan bermaksud membabat
kebebasan, tetapi perlindungan sewajarnya terhadap prinsip keadilan sosial dan
kesejahteraan umum warga negara. Tentu tak mudah, karena sejak awal gangguan
pasti datang bertubi, terutama dari berbagai korporasi multinasional, yang
menyimpan misi pengerukan laba di balik slogan demokrasi dan kebebasan.
Pertanyaannya, akankah tiga
pasangan kandidat Capres/Cawapres pada Pemilu kali ini akan melahirkan
manusia-manusia unggul?. Siapakah diantara mereka yang akan menjadi manusia
unggul itu? Pasangan manakah yang akan bisa memutus rantai kemiskinan? Pasangan
yang manakah yang bisa memutus relasi subordinat dengan kekuatan kapitalisme
asing sebagai biang keladi kebangkrutan-demi-kebangkrutan di negeri ini? SBY,
JK dan Mega masing-masing mengklaim diri sebagai manusia-manusia unggul itu.
Sebab itulah, kita biarkan sejarah yang akan menentukkan ending-nya.
Mungkinkah Abraham Samad adalah sosok superman yang dinantikan kelahirannya....???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar