PAHAM-PAHAM DALAM ISLAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN DALAM MASYARAKAT
Di dalam dunia yang
modern, ada satu konsep yang
kebanyakannya dipengaruhi oleh kekuasaan dari paham sekularisme dan ini sebagai
kebebasan
Diskusi tentang konsep
dari kebebasan di dalam Barat hari ini
sangat dipengaruhi oleh
dugaan Renaisance dan post-Renaisance manusia
bahwa sulit untuk
mempertimbangkan maksud dan arti dari kebebasan
dalam konteks suatu
peradaban yang tradisional seperti Islam.
(S.H.Nasr)
Islam yang ada di Indonesia ini sudah
sangat banyak dan bahkan tidak mampu untuk dihitung dengan jari. Yang sangat
memberikan pengaruh terhadap perkembangan aliran-aliran tersebut adalah adanya
Hak Asasi Manusia (HAM), ketika orang lain menyoroti mereka dan mengatakan
mereka telah mendirikan aliran sesat, mereka membantah dengan mengata-kan bahwa
itu hak kita masing-masing. Di Jawa banyak sekali aliran yang agak-agak
melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya dan di Jawa-lah tumbuh suburnya
aliran ini yang pada dekade-dekade tertentu akan menyebar ke berbagai.
Di Jawa
sangat banyak aliran yang menamakan diri Islam padahal mereka telah keluar dari
real ajaran Islam yang sebenarnya, yakni ajaran Islam yang pernah diajarakan
oleh Nabiullah Muhammad SAW
Banyak
sekali orang yang mengatakan dirinya sebagai ulama yang sangat pintar dalam hal
beragama. Akan tetapi, justeru mereka
inilah yang banyak sekali membuat umat
menjadi umat yang penuh dengan dilema dan penuh dengan tanda tanya, karena para
ulama yang mengaku pintar dalam hal beragama itulah yang sekarang mendirikan
aliran-aliran dalam Islam. Padahala pada saat ini umat sendiri sedang
menghadapi dilema yang begitu besar, karena perilaku para pengkhianat agama
atau kita sebut saja mereka sebagai pelacur dalam agama dan dan pada saat ini
umat selalu bertanya ”dari sekian banyak
aliran Islam yang tumbuh di Indonesia ini manakah yang benar-benar Islam”, umat
menjadi bingung dan penuh dengan dilema dan keresahan yang sangat menggugah
hati. Muhammadiyah mengatakan bahwa Muhammadiyahlah yang benar dan yang
menjunjung tinggi ajaran Islam, kemudian NU juga mangatakan bahwa NU-lah yang
benar-benar menjunjung tinggi ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Sekarang
sudah banyak sekali aliran seperti aliran Islam liberal, aliran Islam pluralis,
aliran Islam fundamntalis, aliran Islam modernis, dan banyak sekali.
Aliran-aliran ini selalu mencari kader yang akan melanjutkan perjuangan dan
yang akan menyebarkan aliran tersebut supaya dapat di terima oleh masyarakat
yang banyak dan supaya cepat berkembang di kalangan masyarakat dan yang menjadi
sasaran utamanya adalah masyarakat awam yang tidak terlalu mengetahui kebejatan
mereka. Ajaran-ajaran atau aliran-aliran yang sedang berkembang dalam
masyarakat Indonesia sekarang adalah sangat inheren dan sangat banyak macamnya
dan ini pulalah yang membuatnya menjadi semakin bingung dengan keadaan Islam
Indonesia, dan Indonesia yang katanya sebagai negara yang paling banyak
mayoritas Muslimnya.
A.
ALIRAN ISLAM LIBERAL/JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Paham
liberal dalam Islam adalah paham yang sangat kotroversial dengan Islam yang
telah diajarkan Rasulullah SAW. Karena
paham ini adalah paham yang dilain pihak mendukung atau mengatakan bahwa agama
yang selain agama Islam itu adalah benar. Padahal mereka ini telah berikrar dan
telah menyebut kalimat syahadat, yakni mengaku beragama Islam dan akan berjuang
membela Islam. Akan tetapi dilain waktu mereka ini pulalah yang mengatakan
bahwa agama yang selain Islam itu adalah benar dan bisa saja merekalah yang
akan masuk Syurga. Mereka ini adalah generasi yang memiliki sifat Al-Munafikin
yang sangat dilarang oleh Islam dan orang yang memiliki sifat ini diancam oleh
Allah SWT dengan azab Neraka.
Mereka ini
juga percaya terhadap bunyi ayat Al-Qur’an yang mengatakan: “Innaddi Na
Indallahal Islam” yakni “tidak ada agama lain yang diterima disisi Allah
kecuali Islam”. Dari sini kita dapat melihat bagaimana Allah itu mengecam
orang-orang yang telah meyakini agama yang bukan Islam. Akan tetapi, mereka ini
menganggap bahwa apa yang telah Allah sebutkan dalam Al-Qur’an dan apa yang
telah Allah beri batasan dalam Al-Qur’an itu tidak mereka pedulikan, padahal
mereka percaya akan hal itu, mungkin mereka akan menunggu azab dari Sang
Pencipta Langit dan Bumi yang Maha Agung dan Maha Penyayang.
Seperti
yang dikatakan oleh Agus Hasan Bashar. Beliau mengatakan bahwa Ulil Abshar
Abdalla beserta jaringannya yakni Jaringan Islam Liberal yang biasa kita kenal
dan biasa orang sebut dengan JIL, pernah menurunkan tulisan diharian Kompas
dengan judul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam. Tulisan tersebut telah
banyak menimbulkan reaksi karena bernada Makar dan Terror.
Berikut ini adalah konstribusinya Pak Agus Hasan Bashar dalam mengkritik
makalah tersebut[1]:
Pertama, Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “saya
meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “Organisme” yang hidup;
sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia.
Islam bukan sebuah “Monument” mati yang dapat dipahat pada abad ketujuh
masehi, lalu dianggap “Patung” yang indah yang amat menonjol saat ini
sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini”.
Menurut
Hasan Bashar, Ulil menggunakan pendekatan sosiologi yang menganggap Islam
sebagai fenomena sosial. Yang menurutnya Ulil mengikuti August Comte (seorang
Bapak Sosiologi Sekuler yang berasal dari Perancis) yang menganggap agama
sebagai fenomena sosial semata. Dengan demikian ajaran para Nabi ditafsirkan
sebagai ajaran yang bukan berasal dari Tuhan melainkan ajaran itu dibikin oleh
Nabi-Nabi itu sendiri yang merupakan manusia biasa. Ia lupa bahwa Islam
merupakan ajaran dan praktek Rasulullah SAW; Islam adalah wahyu yang bersifat
universal, yang menjadi model dan timbangan bagi praktek Islam sepanjang zaman.
Kedua, Ulil mengatakan, “Saya mengemukakan
sejumlah pokok pikiran dibawah ini sebagai usaha sederhana untuk menyegarkan
kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi “paket”
yang sulit didebat dan dipersoalkan”. Hasan Bashar mengatakan dengan lantang
bahwa, “dari dahulu orang-orang munafik selalu merusak, akan tetapi setiap kali
mereka mau merusak mereka berkata berniat baik dan untuk kebaikan. Allah
berfirman; “Dan apabila dikatakan kepada mereka: janganlah kamu membuat
kerusakan di muka Bumi ini, mereka akan menjawab: sesungguhnya kami orang-orang
yang mengadakan perbaikan. Ingatlah sesung-guhnya mereka inilah orang-orang
yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar[2].
Ketiga, selanjutnya Ulil mengatakan, “… Paket
tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, Take it or
leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi
kemajuan Islam itu sendiri”. Ulil lupa kalau Allah sendiri berfirman: “Maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir”[3].
Jaringan
Islam Liberal tampaknya bukan, merupakan nama baku dari satu kelompok Islam
yang tumbuh dalam lingkaran Islam Indonesia. Akan tetapi, hanyalah merupakan
satu kategori untuk memudahkan analisis. Islam liberal sendiri banyak sekali
yang pendapatnya saling berjauhan, bahkan ada yang saling menyalahkan satu
dengan yang lainnya dan mengkritik tajam antara yang satu dengan yang lainnya,
padahal sama-sama liberalnya. Islam liberal dimashurkan oleh para pakar Islam liberal
itu sendiri dengan pembaharuan bagi Islam.
Ali Abdul
Raziq dalam bukunya ”Al-Islam wa Ushulul Hukm (Islam dan dasar-dasar
hukum), yang menurut Hartono Ahmad Jaiz adalah merupakan telah melenceng dari
ajaran dan hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW dan telah ditetapkan
oleh Allah SWT. Abdu Raziq menulis buku ”Al-Islam wa Ushulul Hukm” dia
mempunyai alasan-alasan tertentu, diantara alasan-alasan tersebut adalah[4]:
v Syaikh Ali menjadikan syari’at Islam
sebagai syari’at rohani semata. Tidak ada hubungannya dengan pemerintahan dan
pelaksanaan hukum dalam urusan duniawi.
Padahal yang paling banyak dikemukakan dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah masalah pemerintahan dan masalah kemanusiaan.
Dalam Islam pemerintahan itu wajib untuk ditaati oleh rakyatnya. Akan tetapi,
kalau pememrintah tersebut lalim maka harus kita singkirkan dari kursi
kepemerintahannya, sebab kalau dia masih memegang pemerintahan, maka akan
terjadi penympangan yang sangat besar dan bahkan akan menjadikan negeri itu
menjadi negeri yang sangat miskin dan menjadi negeri yang diinjak-injak olah
negeri lainnya. Bahkan dia akan menjual semua aset penting negara kepada negara
lain. Contohnya, sekarang adalah pemerintahan yang terjadi di Indonesia,
pemerintahan sekarang telah menjual Indonesia kepada pemerintahan Barat dan
membuat politik Islam itu semakin kabur dalam pentas politik, kalaupun ada
yakni mereka yang memang telah menjadi ”pelacur” yakni ketika mereka menjadi
pemimpin mereka akan melacurkan agama dan akan melacurkan Islam. Sehingga Islam
menjadi agama yang paling hina dan paling miskin tanpa pemikir dan tanpa
landasan yang jelas.
v Syaikh Ali menganggap jihad Nabi SAW itu
untuk mencapai kerajaan. Zakat, Jizyah, Ghanimah, dan lain-lain yang termasuk
dalam ajaran atau syari’at Islam semuanya menurut Syaikh Ali adalah untuk
mencapai kerajaan, dengan demikian semua itu dianggap keluar dari syari’at
Islam.
v Berkenaan dengan anganggapannya bahwa
tatanan hukum di zaman Rasulullah SAW tidak jelas, meragukan, tidak stabil,
tidak sempurna dan menimbulkan berbagai tanda tanya. Kemudian ia menetapkan
bagi dirinya suatu mazhab. Dia kemudian mengatakan, ”Sebenarnya pewalian
Muhammad SAW atas segenap kaum mukminin itu adalah wilayah risalah, tidak
bercampur sedikitpun dengan hukum pemerin-tahan”.
Ini adalah pandangan seorang kafir yang
memang tidak tahu banyak hal tentang apa yang sebenarnya yang terkandung
didalam Kitabullah (kitab Allah/kitab Al-Qur’an), Al-Qur’an adalah kitab
yang sangat komplit dengan semua apa yang menjadi persoalan manusia dalam
kehidupannya. Kalau kita mengaku orang Islam kita harus dapat memahami apa yang
menjadi kandungan dalam isi Al-Qur’an, karena Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah
dua hukum yang menjadi pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari.
v Syaikh Ali juga menganggap bahwa tugas
Nabi SAW hanya menyam-paikan syari’at lepas dari hukum pemerintahan dan
pelaksanaannya. Kalau anggapan itu benar, maka itu menjadi penolakan semua
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang hukum dalam pemerintahan. Karena hukum
pemerintahan itu lebih banyak terdapat dalam Al-Qur’an, jika Syaikh Ali
mengatakan demikian , maka itu sangat berten-tangan dengan sunnah Rasulullah
SAW. Kalau kita menganggap demikian, maka kenapa kita mengatakan diri orang
Islam. Sedangkan kita tidak mengakui kenabian dan tidak mempercayai semua yang
telah dikatakan oleh Muhammad SAW.
v Syaikh Ali juga mengingkari kesepakatan
para sahabat Rasulullah SAW untuk mengangkat seorang Imam dan bahwa menjadi
kewajiban bagi umat Islam untuk mengangkat orang yang mampu mengurus
permasalahan Agama dan Dunia.
Dalam beberapa Haditsnya Rasulullah SAW besabda,
banyak yang mengemukakan tentang kesepakatan dan perlakuan Nabi pada saat
menjadi Imam masjid maupun ketika beliau memimpin umatnya kejalan yang benar.
Rasulullah bersabda dalam salah satu Haditsnya mengatakan; ”Barang siapa yang
mengingkari sunnahku, maka dia bukan dari umatku dan barangsiapa yang ingin
merusak namaku, maka dia bukan dari golonganku”. Apakah peringatan itu tidak
mempan pada diri kita sehingga kita harus mengingkarinya, dan Al-Qur’an sendiri
telah memberikan peringatan terhadap perilaku tersebut, Al-Qur’an mengata-kan
”barangsiapa yang mengingkari Allah dan Rasulnya, maka tempat-nya bersama
orang-orang yang berdusta dan orang-orang yang hina yakni di Neraka”. Apakah
kita tidak takut terhadap peringatan sekaligus ancaman Allah kepada kita, sehingga
kita dengan lancang mengatakan diri sebagai Nabi terakhir setelah Nabi
Muhammad. Padahal sudah sangat jelas tertera di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi
”yang mengata-kan dan bahkan kalimat tersebut tertulis di punggungnya
Rasulullah sendiri, yakni ”La Nabiu Ba’dah” yakni sudah tidak ada Nabi
setelahnya.
Sekarang ada yang namanya Nabi-nabi baru dan
aliran baru, yang tumbuh sangat subur di dunia ini lebih-lebih di Indonesia, di
Indonesia sendiri ada yang namanya, Ahmadiyah[5], Al-Qiadah Al-Islamiyah[6], Lia Eden[7], Qur’an Suci[8], dan lainnya. Semuanya
adlah aliran sesat yang banyak menyesatkan umat manusia khususnya umat Islam,
karena Islam adalah yang menjadi bagian utama dari penyerangan mereka dan
dengan lantang mereka mengatakan dirinya sebagai nabi yang turunkan oleh Allah
yang Maha Pencipta setelah Nabi Muhammad SAW belum lagi dalam Islam yang
sebenarnya ada yang namanya; Islam Pluralis[9], Islam Fundamentalis[10], Islam Sosalis, Islam
Militan, Islam Liberal[11], Islam Sekularis[12], dan lain sebagainya.
v Syaikh Ali juga tidak mengakui kalau
peradilan itu suatu tugas syari’at. Padahal kita semua mengetahui apa yang
memang menjadi cita-cita dan tujuan
daripada agama Islam, yakni ingin mendamaikan dunia dan menjadi khalifah
dimuka Bumi ini, yakni untuk menjaga kesejahteraan dunia, supaya tidak
berpecah-belah dan bermusuhan antara yang satu dengan yang lainnya.
v Syaikh Ali juga beranggapan bahwa
pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq an pemerintahan Khulafaurrasyiddin
sesudahnya adalah tidak lagi agamais. Pendapat yang seperti ini, adalah
pendapat seseorang yang sama sekali tidak beriman dan tidak mengakui kenabian
dan kerasulan Muhammad SAW beserta para sahabatnya. Padahal semua sahabat Rasulullah itu telah disebut
satu persatu dalam Al-Hadits dan bahkan dalam Al-Qur’an itu sendiri. Karena
hanya dua kitab ini saja yang menjadi pedoman kita selama hidup di dunia ini
dan yang insya Allah akan membawa kita kedalam Syurga. Dimana di situ tempatnya
orang-orang yang beriman dan para Nabi sebelum Nabi Muhammad.
B. ISLAM
PLURALIS DAN ANCAMANNYA TERHADAP KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA
Islam pluralis adalah aliran Islam yang
sekarang sedang marak-maraknya dibicarakan oleh banyak sekali kalangan. Aliran Islam
yang satu ini sangatlah tumbuh subur khusus di Indonesia pada saat sekarang.
Aliran ini pertama kali dikemukakan oleh Nurcholis Madjid, sang pemikirnya
Indonesia yang sudah terobsesi dengan pemikir-pemikir barat yang tidak pernah
mengenal yang namanya tuhan apalagi yang namanya Allah, jika ada seorang Muslim
yang mengambil patokan kepada orang yang seperti ini, maka dia harus
dipertanyakan tentang ke’Islam’annya. Nurcholis Madjid adalah alumni dari Barat
(Amerika, yakni di Chicago University), dimana mereka ini mempelajari
Islam kepada orang yang bukan Islam dan ini adalah hal yang sangat tidak masuk
akal dan bahkan sangat gila untuk kita lakukan. Pertanyaan yang kemudian muncul
dalam benak kita masing-masing adalah bagaimana bisa seorang yang bukan Muslim
mengajarkan kepada kita yang sejak kecil telah mengenal yang namanya Islam
tentang keislaman dan ketaqwaan yang begitu sempurna, sehingga kita diharuskan
untuk mengajarkannya kepada orang lain. Menurut penulis ini adalah orang-orang
yang sudah dan sangat terobsesi dengan para pemikir barat yang tidak
tahu-menahu tentang tuhan dan tentang keislaman.
Pluralisme dicirikan oleh
keyakinan-keyakinan seperti;
- Realitas fundamental yang bersifat jamak, yakni berbeda dengan dualisme (yang menyatakan realitas fundamental ada dua) dan monisme (yang menyatakan bahwa realitas fundamental hanya ada satu).
- Ada banyak tingkatan hal-hal dalam alam semesta yang terpisah, yang dapat diredusir, dan sifat yang ada pada dirinya adalah indepen-den.
- Alam semesta pada dasarnya tidak tertentukan oleh bentuk; tidak memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental.
Ada banyak
para filosofi yang memberikan definisi terhadap pluralisme dan banyak diantara
mereka yag menganut paham tersebut, paham ini sangat bagus bagi kalangan
orang-orang yang non-Islam. Ada bebepara filsuf yang memberikan pandangannya
masing-masing secara berbeda-beda sesuai dengan pemahaman yang mereka pahami
tentang paham tersebut dab sesuai dengan persepsi yang mereka pakai;
1. Menurut Anaxagoras yang memandang
pluralisme sebagai jumlah substansi-substansi yang berbeda secara kualitatifnya
sebagai tak ada batasnya.
2. Menurut Empedokles yang menyatakan bahwa
pluralisme itu adalah hanya ada empat substansi yakni; tanah, air, api dan
udara.
3. Herbert Spenser yang mendeskripsikan
ontologinya sebagai ”realisme pluralistik”, yang berarti realitas terdiri atas
unit-unit kualitatif sederhana yang oleh Herbert disebut dengan reals
(hal-hal). Semua ini membentuk sintesis-sintesis, yang mengarah ke Dunia yang
kita alami.
4. di antara para pemikir modern yang mengaku
dirinya pluralis antaranya William James. Ia menjelaskan pluralisme dunia dalam
konteks dominasi relasi-relasi eksternal.
5. Chang Tung-Sun, yang mengabungkan
unsur-unsur konstruksi-onalisme dan pluralisme, dan Chang manamakan doktrinnya
dengan pluralisme epistemologis.
Menurut,
Romo Benny Susetyo, Pr (Sekretaris Eksekutif Komisi HAK-KWI dan kehidupan
beragama di Indonesia). Pluralisme agama adalah hal yang sangat berbahaya bagi
sebuah agama, karena dengan adanya pluralisme inilah, orang yang kerjaannya
untuk memurtadkan umat akan sangat memberikan peluang. Sebab dengan mudah
mereka akan memarginalkan umat yang masih was-was terhadap pluralisme ini akan
datang dengan membawa teori-teori yang sangat bagus dan sangat dapat diterima
oleh akal sehat yang dapat membuat orang itu meninggalkan agama yang sedang
diyakininya, misalnya dengan membawa teori tentang tuhan dengan mengambil
patokan kepada para arsitek tuhan dari Barat yang memang tidak mempercayai
adanya tuhan dan mereka berani mengatakan, seperti yang dikatakan oleh Karl
Marx, ia mengatakan bahwa: “tuhan itu adalah konsep yang sangat menjijikkan”
dan Marx juga mengatakan bahwa “saya berjalan atau mengembara diatas bumi ini
setara dengan tuhan”. Apakah ini bahasanya orang yang memiliki keyakinan
terhadap tuhan?, bahasa ini hanya keluar dari mulut orang-orang yang tidak
percaya terhadap adanya tuhan atau yang biasa kita sebut dengan “orang-orang
Atheis”.
Orang-orang
pluralis ini akan selalu beruasaha untuk membuat orang atau umat itu supaya
meyakini apa yang menjadi argument daripada mereka. Sama seperti mendiang kita
sang pemikir ulung yang sangat berpengaruh di Indonesia yakni almarhum Nurcholis
Madjid, yang telah mendirikan salah satu perguruan tinggi[13] tempatnya orang-orang
pluralis yang sangat bias terhadap pembaharuan Islam. Mereka ini ingin
membaharukan Islam dengan pemikiran orang-orang barat.
Di dunia
ini sudah banyak sekali paham-paham sesat yang dapat membawa umat kejurang
pemurtadan. Dengan banyak paham yang lahir dari proses terbentuknya UU Hak
Asasi Manusia ini. mereka berpikir dengan adanya UU tentang Hak Asasi Manusia,
mereka dapat mendirikan aliran-aliran atau paham-pahamnya masing-masing tanpa
mengganggu yang lainnya, sehingga mereka medirikan paham-paham dan
aliran-aliran yang begitu banyak dan banyak pula di antara mereka yang sudah
dibayar oleh orang-orang barat untuk membuat umat Islam ini berpecah-belah dan
saling memusuhi. dan dari paham-paham yang begitu banyak itu, yang pada
akhirnya membuat umat gelisah dan mengalami dilema yang begitu besar dan
akhirnya umat tidak bisa lagi membedakan mana sebenarnya aliran atau paham yang
sesat diantara aliran dan paham yang begitu banyak
- Problem kehidupan beragama di Indonesia masih cukup banyak. Untuk menjalankan kehidupan beragama secara bersama-sama antarpemeluk dengan semangat toleransi tinggi masih menghadapi tantangan yang tidak kecil.
- Walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun prakteknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas "agamaku", "keyakinanku" justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan. pelanggaran kebe-basan beragama dan keyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori.
Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan
Bhinneka Tunggal Ika, namun praktek di lapangan tak seindah dan semudah
pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghambat
terwujudnya
:
- solidaritas,
- soliditas, dan
- toleransi antarumat beragama
- Salah satu persoalan mendasar dalam demokrasi Indonesia adalah kebebasan menjalankan ibadah dan keyakinan.
- Pada 2007 Serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap "sesat" dan kelompok agama lain terjadi. Sepanjang Januari-November, tercatat 135 peristiwa.
Kelompok Korban
- Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al Islamiyah yaitu 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan.
- Kelompok berikutnya adalah jemaat Kristen/Katolik yang mengalami 28 pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran.
Pada masa pemeritahan Orde Baru
banyak aksi perusakan tempat-tempat suci ataupun tempat beribadah, diantaranya;
perusakan Mesjid yang dilakukan oleh orang-orang kristen antara 15 Januari 1999- 26 Desember 2000 sebanyak 28
buah Mesjid yang tumbang pada rentang waktu yang sangat singkat itu, kita bisa
bayangkan bagaimana mereka merusakkan Mesjid tersebut dengan tanpa perasaan.
Akan tetapi pada itu juga terjadi perusakan Gereja yang dilakukan oleh kelompok
Muslim sejak Kemer-dekaan 1945
dan selama pemerintahan Megawati adalah
sebanyak 40 buah.
Angka Pelanggaran
- Pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah Negara.
- Sejumlah 92 pelanggaran dilakukan oleh Negara (commission) dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis atas mereka yang dianggap sesat
- Termasuk dalam tindakan langsung ini adalah dukungan dan pembenaran otoritas Negara atas penyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu.
- Sedangkan 93 tindakan pelanggaran lainnya terjadi karena Negara melakukan Pembiaran terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh warga atau kelompok.
Kegagalan
Negara dalam menghalangi pluralisme agama yang terjadi di Indonesia dan
mengakibatkan pengrusakan yang begitu banyak kerugian yang begitu besar. Dari
pengrusakan tersebut pemerintah harus dapat bertanggungjawab terhadap hal
tersebut. Karena semuanya berada dibawah naungan yang namanya Negara.
Sebenarnya bukan negara yang dipersalahkan, akan tetapi yang harus kita persalahkan
adalah mereka yang menjadi rezim yang duduk di lembaga pemerintah seperti
anggota Dewan dan sederetnya. Sekarang pemerintah Indonesia telah menjual
Indonesia kepada negara asing dengan harga Nol Rupiah. Kita dapat melihat
bagaimana Freeport dan Exxon Mobil manjarah habis sumber daya alam Indonesia
dengan buasnya, dan pemerintah tidak memiliki wewenang dalam hal itu dan bahkan
tidak mengetahui berapa banyak konsentrasi emas dan perak yang di ekspor oleh
perusahan asing yang namanya Freeport. Sedangkan Exxon Mobil menjarah habis
sumber daya gasnya Indonesia, Exxon Mobil ini telah menggantikan posisi
Pertamina. Seandainya Pertamina yang mengelolah semua tempat minyak, maka
keuntungan yang didapatkan oleh Indonesia sebesar 80%.
Penyerahan
otoritas negara kepada organisasi keagamaan negara dalam menilai sebuah ajaran
agama dan kepercayaan merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di
atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan. Padahal,
institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan
bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang.
Apa yang
dikatakan oleh Romo Benny Susetyo Pr, ”Dapat dilihat di sini negara telah
gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Negara, bahkan telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan
keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan melakukan persekusi massal
atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan”.
Kontradiksi
Peraturan, tidak ada peraturan yang di buat untuk menangani hal ini dari
pemerintah. Pemerintah cukup dengan mengatakan ”itukan haknya mereka, tidak
bisa kita gugat haknya orang”. Mereka pula mengatakan ”kalau kita gugat haknya
orang, maka kita akan dikenai oleh UU tentang hak asasi manusia, meskipun
mereka telah keluar dari real yang sebenarnya.
Dalam
konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah
dijamin, tapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan menghambat
umat untuk beribadah. Ada pengekangan
Pancasila
sendiri berada dimana ketika terjadi hal-hal yang demikian, apakah Pancasila
masih relevan dan masih konsisten tarhadap apa yang dikemukakannya dalam sila
pertama, Pancasila sendiri tidak berfungsi dalam upaya menghindari hal
tersebut, dan pancasila sendiri tidak mampu menjalankan apa yang memang sudah
ditulis dalam sila-silanya yakni sila pertama yang mengatakan ”ketuhanan yang
Maha Esa”. Akan tetapi, yang paling banyak tinggal di Indonesia ini adalah
orang-orang Atheis yang tidak memiliki tuhan dan tidak mempercayai adanya
tuhan. Sedangkan dalam sila tersebut mewajibkan penduduk Indonesia untuk
menganut agama masing-masing sesuai kepercayaannya. Akan tetapi bukan
Pancasilanya yang salah dan bukan Pancasila yang harus kita persalahkan, yang
harus bertanggung-jawab terhadap semua itu adalah pemerintah yang sangat
berwenang terhadap kehidupan masyarakat, apabila pemerintah itu benar-benar
ingin menciptakan pemerintah yang adil dan beradab dan sejahtera, maka
pemerintah itu harus konsisten terhadap pernyataan yang terdapat dalam sila
pertama Pancasila.
Menurut
Romo Benny Susetyo Pr, Negara telah gagal memberikan perlindungan dan
kesempatan yang adil bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinannya.
Jika demikian, lalu Pancasila untuk apa? Apa untuk gagah-gagahan saja? Untuk
apa para Founding Fathers merumuskan falsafah bangsa yang demikian berharga dan
terhormat itu jika dalam perilaku sehari-hari kita tidak bisa mempraktekkannya
dengan sepenuh hati ? meningan itu yang namanya Pancasila di bakar dan
dihilangkan dari peredarannya saja. Karena tidak memiliki fungsi yang begitu
penting pada saat ini, seharusnya sebagai negara yang berkesatuan yang
berlandaskan hukum, Indonesia harus mampu menangani yang namanya perbedaan
antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama yang lainnya. Karena hal yang
demikian telah tercantunm dalam UUD 1945 pasal 30 ayat satu dan dua. Bahwa
setiap warga negara diberikan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan
masing-masing sesuai dengan kepercayaan dan keyakinanya masing-masing pula.
Membuka Ruang Dialog
Walaupun
kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, itu belum berimplikasi
pada kebebasan asasi warga untuk beribadat. Beribadat, seperti kata Romo
Magnis, adalah hak warga paling asasi, dan hanya rezim komunis yang
melarangnya. Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam
beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih
manusiawi?
Kedewasaan Dalam Perbedaan
- Pemerintah berkewajiban untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama yang dianggap "lain".
- Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme. Itulah yang dimaui Pancasila. Dengan begitu kebijakan yang berpeluang untuk menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya yang lain perlu didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan kebijakan yang lebih adil dan mencerahkan.
- Buat apa mempertahankan sesuatu yang dianggap tidak adil?
Bagaimana DPR Merespon?
Komisi III
DPR belum bersikap dan bertindak sama sekali atas setiap peristiwa kekerasan,
diskriminasi, dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Adalah fakta
bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak konstitusional warga
yang dijamin oleh konstitusi. Karena itu, pengingkaran terhadap pemenuhan
hak-hak tersebut tidak hanya melanggar HAM, tapi juga melanggar konstitusi.
Pembatinan Pancasila
- Pancasila tidak dijadikan pembatinan nilai kehidupan bersama untuk mewujudkan bangsa yang beradab. Peradaban bangsa yang diukur dengan komitmen warga untuk mewujudkan nilai kemanusiaan dan keadilan tidak pernah berhasil.
C. RADIKALISME
AGAMA YANG TERJADI DI INDONESIA SERTA ANCAMANNYA
Islam Radikal yang ada di Indonesia dan sedang
mengalami perkembang-an yang begitu pesat. Kita sangat,
Sedangkan menurut Mohammed Arkoun[14] (1999), dalam M. Zaki
Mubarak. Melihat fundamentalisme Islam sebagai dua tarikan berseberangan,
yakni, masalah ideologisasi dan politis. Dan, Islam selalu akan berada di
tengahnya. Manusia tidak selalu paham sungguh akan perkara itu. Bahwa
fundamentalisme secara serampangan dipahami bagian substansi ajaran Islam.
Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan
aktivitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial dan politik.
Demikian juga dengan memahami perkembangan
fundamentalisme Islam. Tarikan politik dan sosial telah menciptakan bangunan
ideologis dalam pikiran manusia. Nyata, Islam tidak pernah menawarkan kekerasan
atau radikalisme. Persoalan radikalisme selama ini hanyalah permaianan kekuasaan
yang mengental dalam fanatisme akut. Dalam sejarahnya, radikalisme lahir dari
persilangan sosial dan politik. Radikalisme Islam Indonesia merupakan realitas
tarikan berseberangan itu.
Tepat di sinilah, buku Geneologi Islam Radikal
di Indonesia mengungkap realitas politisasi dan radikalisasi Islam. Zaki
membuat batasan antara Islam sebagai ajaran penuh damai dan Islam setelah
terkooptasi politik ke-Indonesia-an. Baginya, radikalisme merupakan persoalan
kompleksitas yang tidak berdiri sendiri. Hampir seluruhnya memiliki pendasaran
sangat politis dan ideologis. Layknya sebuah ideologi yang terus mengikat,
radikalisme menempuh jalur agama untuk dapat membenarkan segala tindakan
anarki. Maka, Islam tak sama dengan radikalisme.
Meski demikian, keberkaitan dengan kultur dan cara
berpikir, membuat Islam dan radikalisme tak mengenal ruang. Seakan melebur
dalam keberagamaan. Berawal dari memproduksi fanatisme, radikalisme masuk ke
dalam ajaran Islam hingga dianggap bagian dari Islam. Lalu, membentuk pemahaman
baru, bahwa Islam adalah agama kekerasan. Padahal, setiap agama memiliki
sejarah kelam tentang paham fundamental, radikal atau kekerasan. Islam adalah
satu di antara banyak agama dunia yang dituding penganjur paham fundamental.
Adalah keberimanan statis membuat radikalisme tak
lekang oleh zaman. Ber-Islam dengan iman statis kerapkali menampilkan
justifikasi hitam-putih hingga berlanjut pada pembelaan berlebihan terhadap
keyakinannya. Saat itu, paham radikal sedang menjadi ideologi mengikat bagi
kaumnya. Seperti dikemukakan Eric Hoffer tentang dogmatisme yang mencipta
ketundukan mutlak. Tak hanya berhenti pada cara berpikir, dogmatisme demikian
liarnya mencipta sikap pasrah.
Namun, Zaki tak mau berhenti di titik itu.
Menghadirkan fakta sejarah dari pascakemerdekaan sampai kini merupakan kekuatan
untuk mengungkap geneologi redikalisme Islam Indonesia. Buku ini mengungkap
tapal perjalanan kaum radikal; Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) dan Laskar Jihad sepanjang medio 2002, 2003 dan 2005 terutama
setelah reformasi.
1. Sejarah dan Kuasa
Sejarah radikalisme Islam Indonesia sudah ada
sejak dulu. Sejak Kartosuwirjo memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul
Islam (DI). Setelah DI, Komando Jihad (KOMJI) pada 1976 meledakkan tempat
ibadah. Pada 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Dan
tindakan teror oleh Pola Perjuangan Revolusioner Islam, 1978.
Teror perlahan memilihkan namanya sendiri untuk
Islam radikal, sekalipun belum ada istilah tepat untuk menyebut realitas macam
itu. Radikalisme merupakan sebentuk penguasaan tafsir atas Islam secara
tekstual. Juga, peradaban teks dengan memperjuangkan formalisasi syariat.
Militansi pun berlangsung dan memperkuat gerak Islam radikal di Indonesia.
Radikalisme Islam Indonesia lahir dari hasil
persilangan Mesir dan Pakistan. Nama-nama seperti Hassan Al-Banna, Sayyid Qutb
dan Al-Maududi terbukti memengaruhi. Pemikiran mereka membangun cara memahami
Islam ala garis keras. Setiap Islam disuarakan, nama mereka semakin melekat
dalam ingatan. Bahkan, sampai tahun 1970-1980-an ikut menyemangati perkembangan
komunitas usroh di banyak kampus atau organisasi Islam. Juga, FPI dan HTI.
Istilah radikalisme Islam kian menguat tak hanya
pada matra tekstualitas agama. Persentuhan dengan dunia kini, menuntut adanya
perluasan gerakan. Mulai dari sosio ekonomi, pendidikan hingga ranah politik.
Mungkin, di sinilah letak kekuatan radikalisme
Islam Indonesia. Semakin melekat dalam setiap segmentasi sosial, semakin susah
dibendung. Ia pandai membaca ruang sosial yang tak cepat lekang. Karena
memahami setiap ruang akan mengantarkan radikalisme mencipta mentalitas
kultural.
Dari sini, ideologi radikal tampak begitu dekat
dengan permainan kuasa. Menempuh jalur politik diyakini dapat mengantarkan
Islam pada kondisi lebih tinggi, yaitu, mimpi formalisasi syariat dan
terbentuknya negara Tuhan.
Sampai kini, kaum radikal terus berjuang untuk dua
hal itu, baik melalui lobi-lobi politik maupun fundamental-ideologis.
Ironisnya, Islam hanya dijadikan pendasaran politik kepentingan. Padahal, dalam
praktiknya, teror, anarki dan kekerasan secara bergantian dilakukannya. Tidak
ada batas baik-buruk, moral-amoral. Semuanya berjalan di tataran politik yang
menjauh dari Islam. Akhirnya, radikalisme kadang keliru dalam memahami Islam.
Antara fundamental-ideologis atau kuasa politik,
tak bisa menolak realitas pengeremangan Islam. Pemurnian Islam yang
dibayangkannya terjebak pada penistaan. Egoisme politik telah mengaburkan cara
beragama mereka. Dan, mimpi formalisasi syariat dengan tindak kekerasan hanya
menyudutkan Islam. Bahwa Islam sebentuk agama penganjur kedamaian sekaligus
keretakan sosial.
Memang, kaum radikal terus mengulang sejarah
politisasi agama yang berujung pada sebuah penistaan. Dalam Bukunya M. Zaki Mubarak mencontohkan, bagaimana
aksi teror Komando Jihad tahun 1976 hanya menyisakan keresahan sosial. Orang
tak lagi nyaman dalam beragama, sebab dihantui kecurigaan antarsesama.
Hingga penelitian ini selesai pada akhir 2005,
dogmatisme-ideologis dan permainan kuasa politik masih diminati oleh kelompok
Islam radikal Indonesia. Sama seperti meminati kekerasan di jalan Allah.
D.
HUMANISME YANG TERJADI DALAM ISLAM
Menurut Baedhowi, Mag, mengatakan bahwa[15] ”Saat ini dunia
memandang Islam sebagai agama yang anarkis, militan, eksklusif, fundamentalis,
dan banyak lagi sebutan untuknya. Anggapan itu diperparah dengan merebaknya
aksi-aksi teror, puncaknya saat peristiwa Word Treade Center di Amerika Serikat
(AS) pada 11 september 2001”. Perbuatan ini ditengarai para tokoh Islam;
Usama Bin Laden, dan kawan-kawan. Akibatnya, orang-orang non-Islam khususnya,
menjadi takut ketika mendengar nama Islam disebut. Tapi, apakah benar Islam
mengajarkan kekerasan?
Streotipe-streotipe yang dilekatkan kepada Islam
ini ditepis Muhammad Arkoun. Pemikir Islam kelahiran Tourit Mimoun, Kabilia, 28
Februari 1928 itu. Ia menilai, jauh hari Islam itu telah mengajarkan
nilai-nilai humanisme terhadap penganutya. Hanya, ada beberapa kecacatan,
khususnya para penganutnya, dalam memahami humanisme. Akibatnya, nilai-nilai
humanisme itu terkaburkan.
Arkoun membagi tiga kategori ketika memandang
humanisme dalam Islam. Pertama, Humanise Literer. Humanisme literer ini
terjadi di dunia Islam klasik sekitar abad ke-III-IV/IX-X H. Munculnya
humanisme itu ditandai memuncaknya semangat aristokrasi, uang dan kekuasaan.
Pada masa itu, orang-orang yang berbakat tidak bisa mengerjakan keinginan
bakat-bakat mereka kecuali di lingkungan istana raja-raja dan lingkungan
orang-orang kaya.
Humanisme masa itu mirip dengan adab atau
humanitas, yakni sebagai sebagai sebuah pengetahuaan dan kebudayaan yang
komplet, semangat dan gambaran ideal manusia tanpa dibatasi secara spesifik dan
kaku disiplin keilmuan. Namun, meski para tokoh humanisme literer (Adib) hidup
di dalam istana dan dekat dengan kekuasaan—menjadi sekretaris negara, dan duduk
di pemerintahan—peradaban Islamnya masih merupakan cerminan dari peradaban
masyarakat sipil (civil society), bukan militer. Hanya, humanisme itu
masih memiliki kelemahan.
Dari aspek epistimologinya, humanisme literer
membangun pola pikirnya hanya melalui dan berdasar literatur atau teks. Para
humanis literer juga banyak bergantung pada dan banyak di topang fasilitas para
penguasa (raja, aristokrat, penyandang dana dan sebagainya) sehingga sulit
bersikap obyektif. Selain itu, humanisme ini lebih terpaku pada persoalan yang
bersifat literalis-tekstualistis. Akibatnya, humanisme literer menjadi tidak
sadar akan faktor historisitasnya. Karena yang menjadi tolak ukur dan
standarisasinya pada persoalan literer atau teks tanpa menyadari
setting-historis dan konteks yang melatar belakanginya, sehingga humanisme ini
menjadi tidak kontekstual.
Kedua, Humanisme Relegius. Humanisme ini adalah sebuah konsepsi yang hendak
mengukur ketaatan keberagamaan atau kesalehan seseorang lewat pintu masuk dunia
mistik (tasawuf). Humanisme ini digambarkan sebagai sarana keyakinan dan
penaklukan terhadap nafsu (jihad al-akbar), rujukan tetap pada Tuhan,
dan rasa malu dalam aksi dan konsep, kepasrahan dan penghapusan keinginan yang
ditempatkan pada sebuah Keadilan yang tak dapat ditolak. Humanisme ini ternyata
juga memiliki kecacatan dalam pandangan Arkoun.
Dalam sejarah pemikiran ortodoksi, humanisme ini
sering menjadi eskapisme dari kenyataan politis yang cenderung mendukung faham
determinisme dalam teologi, sampai akhirnya sufisme dianggap sebagai agama masa
atau ordo-ordo sufisme. Arkoun secara empatis juga memahi bahwa humanisme
religius (sufisme), di satu sisi, memang telah mendorong manusia untuk
mendekati Tuhan tanpa perantaraan pastur-pastur dan sejenisnya, tetapi dalam
pandangan hukum-teologi dan sejenisnya ortodoksi (fukuha' wa mutakallimun)
kaum sufi dianggap telah terlalu jauh dalam keterpisahan spritual mereka dari
masyarakatnya, khususnya bagi mereka yang telah mencapai tingkat kesatuan
ekstasi (al-wahdah), dengan Tuhannya.
Ketiga, Humanisme Filosofis. Humanisme ini dalam gambaran Arkoun dilukiskan
sebagai menyatunya elemen-elemen dari kedua humanisme di atas (humanisme
literer, dan humanisme religius), tanpa dibedakan disiplin keilmuan yang lebih
jelas, dengan ketenangan yang lebih menghanyutkan dan mencemaskan, lebih
metodis, dan lebih solider terhadap kebenaran antara dunia, manusia, dan Tuhan.
Ia mengetengahkan seluruh pertanggungjawaban yang dapat dinalar dan seluruh
kecerdasan manusia secara otonom.
Humanisme ini yang sekarang disalahpahami
masyarakat muslim. Menurut Arkoun, humanisme ini memiliki otonomi kebebasan
yang besar kepada manusia untuk mengoptimalkan kecerdasannya tanpa didasari
rasa bertanggung jawab terhadap Tuhan, sebagaimana diungkapkan Abu Hayyan At-Tauhidi,
"manusia cenderung menjadi problem bagi manusia lain". Dari
pemaparan singkat di atas, dapat diketahui bahwa Islam adalah agama yang
mengajarkan nilai-nilai humanisme kepada penganutnya. Hanya, sering kali
penganutnya itu sendiri yang salah dalam memahami ajarannya.
Sekali lagi, ini menjadi bukti, bahwa Islam bukan
agama yang mendukung kekerasan anarkisme. Jika begitu, siapa yang perlu
disalahkan, umat Islam yang fatal memaknai ajarannya sendiri atau orang-orang
non-Islam yang tidak paham terhadap esensi Islam. Dapat dikatakan, dunia Barat
terlalu prematur mengklaim Islam dengan stereotipe-stereotipe yang sebetulnya
tidak obyektif.
[1] Agus Hasan Bashar dalam Ulil Abshar
Abdalla. Dkk, “Islam Liberal Dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana”,
Yogyakarta, Lembaga Study Al-Qur’an (eLSAQ) Press, 2007, Hlm: 170-188.
[2] Qs. Al-Baqarah Ayat 11-12
[3] Qs. Al-Kahfi, ayat 29.
[4] Hartono Ahmad Jaiz, ”Bahaya
Islam Liberal; Sekuler dan Menyamakan Islam Dengan Agama Lain”, Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar, 2002, Hlm: 31-33.
[5] Ahmadiyah adalah aliran Islam yang
telah mendunia yang didirikan oleh seorang pemikir gila yang berasal dari India
yang bernama ”Hazrat Mirza Gulam Ahmad” yang mengatakan dirinya baru saja
menerima wahyu dari Allah SWT dan telah dilantik oleh Allah menjadi Rasul
setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan dia sudah banyak sekali merubah
peraturan-peraturan yang ada di dalam syari’at Islam yang sudah di atur dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Aliran ini setelah masuk di Indonesia, ternyata banyak
sekali peminatnya dan paling subur tumbuh di Indonesia khususnya di Jawa, dan
paling banyak pengikutnya. Mirza Gulam Ahmad mengaku sebagai Rasulnya Allah
namun tidak pernah disebut namanya dalam Al-Qur’an dan mereka mencoba merubah
bunyi Syahadat dengan memasukkan namanya dan mengganti nama Muhammad dengan
namanya sendiri, misalnya; ”Ashadu Alla Ilaha Illallah Wa Ashadu Anna
Muhammadar Rasulullah”, digantikan dengan ”Ashadu Alla Ilaha Illallah Wa
Ashadu Anna Mirza Gulam Ahmad Rasulullah”. Mereka juga merubah bunyi
Al-Qur’an sebagiannya, namun mereka kewalahan di tengah jalan.
[6] Al-Qiada Al-Islamiyah adalah aliran
yang sangat subur tumbuhnya di Indonesia setelah Ahmadiyah. Al-Qiada
Al-Islamiyah didirikan oleh orang asli Indonesia yang bernama ”Ahmad Mussadeq”,
dia mengatakan dirinya baru saja menerima wahyu dari Allah SWT dalam mimpinya. Nabi
yang dari Yunani masih diragukan, kok muncul lagi Nabi di Indonesia. Dia
dilantik oleh Allah menjadi Rasul yang akan menggantikan Nabi Muhammad SAW dan
dia mengklaim dirinya sebagai Rasul terakhir sesudah kerasulannya Muhammad SAW.
Ahmad Mussadeq telah merubah bunyi kalimat Syahadat itu dengan memasukkan
namanya dari bunyi ”Ashadu Alla Ilaha Illallah Wa Ashadu Anna Muhammadar
Rasulullah”, yeng kemudian dia rubah menjadi ”Ashadu Alla Ilaha Illallah
Wa Ashadu Anna Ahmad Mussadeq Rasulullah” dan bunyinya ini tidak wajar dan tidak
bagus dan sangat jelek untuk di baca dan paling parah jeleknya untuk di dengar
dan dapat membuat kuping kita panas. Ahmad Mussadeq berusaha merubah isi
Al-Qur’an namun kewalahan di tengah jalan, sama seperti Mirza Gulam Ahmad,
apakah mereka tidak pernah membaca Al-Qur’an? Sehingga mereka tidak mengetahui
bahwa Al-Qur’an sendiri telah menantang Orang-orang Arab untuk membuat kitab
yang sama dengan bunyi Al-Qur’an, pertamanya Al-Qur’an (Allah) menantang mereka
untuk membuat yang sama seperti Al-Qur’an semuanya, akan tetapi mereka tidak
mampu untuk membuatnya, kemudian pada tahap yang kedua Allah menantang mereka
hanya membuat sepuluh surat yang sama dengan Al-Qur’an, tetapi mereka tidak
mampu juga, kemudian pada tahap yang ketiga Allah hanya menantang cuman membuat
satu surat yang sama seperti Al-Qur’an. Kita bisa bayangkan Orang Arab yang
ditantang padahal bahasanya Al-Qur’an itu adalah bahasa Arab. Yang menjadi
pertanyaan kita adalah kenapa mereka tidak mampu membikin yang serupa dengan
itu, itu karena Al-Qur’an adalah mukjizat dari Allah.
[7] Lia Eden adalah
salah satu dari beberapa aliran yang tumbuh subur di Indonesia khususnya di
Jawa, Lia Eden adalah aliran yang didirikan oleh seorang wanita yang berasal
dari Sulawesi, yang mengatakan bahwa dirinya telah menerima wahyu dari Jibril.
Padahal dalam Al-Qur’an tidak ada yang namanya Nabi wanita, akan tetapi yang
oleh orang gila dan tidak mempergunakan pikirannya dengan baik maka itu sah-sah
saja untuk di bentuk.
[8] Al-Qur’an Suci yakni Aliran yang
mengatakan bahwa Hadits bukanlah sumber hukum Islam, yang menjadi sumber hukum
Islam hanyalah Al-Qur’an dan mereka tidak mempercayai Hadits, ini namanya
keterlaluan, padahal telah dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa yang menjadi sumber
hukum Islam itu ada dua yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadits). Namun mereka
tidak mengakui Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an,
ini sangat keterlaluan sekali, mereka telah mengakui Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam.
[9] Aliran Islam
yang ini didirikan oleh Almarhum Nurcholis Madjid, yang membuat Indonesia
guncang sebab dia menganggap semua agama ini adalah benar, inilah manusia-manusia
yang akan dengan mudah untuk memurtadkan umat.
[10] Islam ini sangat
berbahaya, sebab aliran Islam ini diambil dari pergerakan keagamaan yang ada di
Barat.
[11] Islam ini pertama
kali dicetuskan oleh Ulil Abshar Abdallah dan kawan-kawannya dengan
diterbitkannya artikel yang berjudul "Menyegarkan
Kembali Pemikiran Islam", dan sangat dikecam oleh banyak kalangan,
mulai dari para cendekiawan sampai para ulama. Islam ini sangat tidak relevan
terhadap ajaran agama yang sebenarnya yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
[12] Aliran agama
yang satu ini sangat tidak relevan dan sangat kontradiksi dengan Islam, dan
Islam yang ada mulai pada masa pemerintahan Bani Umayyah, yang pertama kali
dibawa oleh Mustafa Kemal Pasha Attaturk dan sangat dikecam ulama pada masa itu
sampai sekarang, pada saat itu, dia mempropagandakan pengkudetaan pada Khalifah
Umar Bin Abdul Azis, yakni khalifah yang paling sederhana pada zaman modern.
[13] Perguruan tinggi
tersebut adalah diberi nama Universitas Paramadina Mulya (UPM), dalam perguruan
tinggi inilah lahirnya para pemikir-pemikir pluralis dan liberal, yang selalu
siap menggerogoti keberadaan agama di Indonesia, inilah universitas yang akan
menghabisi kehidupan beragama di Indonesia, jika saja universitas ini tidak
dinetralisir oleh para cendekiawan yang masih bagus prospek beragamanya. Dan
universitas ini sangat dekat dengan para pakar yang ada di Universitas Islam
Negeri (UIN) di seluruh Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar