PELAKSANAAN
WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILU
Fatahullah Jurdi[1]
Abstrak
Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam
Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan
merinci sebagai berikut: (1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, (3) Memutus pembubaran partai politik, dan (4) Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta satu kewajibannya adalah Mahkamah
Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kata Kunci: Mahkamah Konsitusi, UUD 1945, Indonesia, dan Wewenang.
Pelanggaran Pemilu, Sengketa Pemilu dan Sengketa Hasil Pemilu
Pelanggaran Pemilu
Pelanggaran
Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang Pemilu yang dapat
diklasifikasikan menjadi 2 (dua) pelanggaran yakni pelanggaran pidana dan
pelanggaran administrasi.
Pelanggaran pidana adalah tindakan-tindakan yang menurut Undang-undang
Pemilu ditetapkan sebagai tindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara
dan/atau denda, sedangkan pelanggaran Administratif adalah
pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan
dalam Undang-undang Pemilu dan tidak didefinisikan sebagai tindakan kriminal
dan tidak berkaitan dengan hukuman dan/atau denda.
Konsekwensi
dari pelanggaran Administratif adalah tidak diikutsertakannya DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kab/Kota sebagai peserta Pemilu.
Pelanggaran Pemilu diselesaikan
oleh Panwaslu atau KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
Pelanggaran pemilu adalah
semua tindakan yang menurut Undang-undang pemilu telah keluar dari apa yang
telah digariskan oleh Undang-undang tersebut
Sengketa Pemilu
Adalah perselisihan antara
dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu
ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa
hukum atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu
pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak yang
lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu.
Ada beberapa pihak yang
ikut terlibat dalam sangketa Pemilu, yaitu diantaranya adalah:
- Penyelenggara Pemilu.
- Partai politik peserta Pemilu, yaitu Dewan Pimpinan Tingkat Nasional, Dewan Pimpinan Tingkat Propinsi, Dewan Pimpinan Tingkat Kab/Kota, dst.
- Peserta Pemilu perseorangan untuk pemilihan anggota DPD.
- Anggota dan/atau pengurus partai politik peserta Pemilu.
- Warga Negara yang memiliki hak pilih.
- Pemantau Pemilu.
Proses penyelesaian
sengketa pemilu di Panitia Pengawas Pemilu adalah sebagai berikut:
v Penetapan berkas laporan sebagai sengketa Pemilu oleh Panitia
Pengawas Penerima Laporan.
v Penyerahan berkas laporan sengketa pemilu oleh Pengawas Pemilu
penerima laporan kepada Pengawas Pemilu yang berwenang.
v Pengkajian dan pemeriksaan berkas laporan tentang sengketa pemilu
oleh Pengawas Pemilu yang berwenang.
v Pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa oleh Pengawas Pemilu yang
berwenang.
v Apabila pertemuan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan
mufakat tercapai, maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa
Pemilu Secara Musyawarah dan Mufakat.
v Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat, maka Pengawas Pemilu
yang berwenang menawarkan alternatif penyelesaian kepada phak-pihak yang
bersengketa, dan apabila disetujui, maka dituangkan dalam Berita Acara
Penyelesaian Sengketa Pemilu Melalui Alternatif Penyelesaian Pengawas Pemilu.
v Apabila tawaran alternatif penyelesaian tidak diterima oleh salah
satu atau kedua belah pihak yang bersengketa, maka Pengawas Pemilu memberikan
putusan final dan mengikat, yang dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian
Sengketa Pemilu Melalui Putusan Pengawas Pemilu.
Suatu sengketa pemilu yang ditangani
oleh pengawas pemilu telah selesai, apabila:
Ø
Dicapainya Musyawarah dan
Mufakat sebagaimana dimaksud dalam butir 5 (sebagaimana penjelasannya diatas)
yang ditandai dengan dibuatnya Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu secara
Masyawarah dan Mufakat.
Ø
Diterimanya Alternatif
Penyelesaian dari Pengawas Pemilu oleh pihak-pihak yang bersengketa sebagaimana
dimaksud dalam butir 6 yang ditandai dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa
Pemilu melalui Alternatif penyelesaian
Pengawas Pemilu.
Ø
Diberikannya Putusan Pengawas
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam angka 7 yang ditandai dengan Berita Acara
Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Putusan Pengawas Pemilu.
Adapun tenggang waktu yang
Penyelesaian Sengketa Pemilu di Panwaslu ini adalah sebagai berikut:
1. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama
3 (tiga) hari setelah laporan diterima.
2. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama
3 (tiga) hari setelah angka 1 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali
dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 1 (satu) dilakukan).
3. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 3 diselesaikan paling lama
3 (tiga) hari setelah angka 2 dilakukan.
4. Proses sebagaimana yang disebutkan pada angka 4 diselesaikan paling
lama 3 (tiga) hari setelah angka 3 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali
dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
5. Pertemuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 5 dilaksanakan paling
lama 3 (tiga) hari setelah angka 4 diselesaikan (untuk daerah yang sulit
sekali dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
6. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 5, 6, dan 7 diselesaikan
paling lama 14 (empat belas) hari setelah angka 5 dilakukan.
Permohonan sengketa
penyelesaian sengketa pemilu gugur[2],
apabila:
Ø Permohonan gugur bila pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir
dalam pertemuan pertama setelah 3 (tiga) kali dipanggil secara patut oleh
Pengawas Pemilu yang berwenang dalam Berita “Berita Acara Gugurnya Sengketa”.
Ø Permohonan penyelesaian sengketa pemilu dapat dicabut kembali
setelah pertemuan pertama, yang dituangkan dalam “Berita Acara Pencabutan
Permohonan Penyelesaian Sengketa Pemilu”.
Ø Permohonan yang gugur dapat diajukan kembali paling lama 7 (tujuh)
hari setelah terjadinya sengketa.
Sengketa Hasil Pemilu
Dalam
sejarah kehidupan ketatanegeraan Indonesia, Bangsa Indonesia telah melakukan 10
(sepuluh) kali Pemilihan Umum (1945-2010), dimana pemilihan umum itu merupakan
salah bentuk dari pesta demokrasi. Dalam waktu yang relatif cukup panjang
tersebut, segala bentuk kecurangan dan/atau manipulasi yang berujung pada
sengketa Pemilu, yang merupakan persoalan yang cukup mendasar dan menjadi
perhatian serius kita semua, mengingat asas Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas
dan Rahasia (LUBER) serta Jujur dan Adil (JURDIL) selalu saja diciderai dengan
tindakan-tindakan curang oleh Partai Politik tertentu yang menimbulkan
pelanggaran atau sengketa dalam menjalankan Pemilu tersebut.
Sengketa hasil pemilu
adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang berkaitan dengan hasil
Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi pada hasil pemilu.
Penyelesaian tentang
perkara sengketa hasil pemilu merupakan salah satu wewenang Mahkamah
Konstitusi. Dimana wewenang itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan
modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita
tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara
pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
Pasal 24C Undang-Undang
Dasar Negara Tahun 1945[3]
menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan
salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan
lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden,
Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY)[4].
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah
Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan Mahkamah
Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi
perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan Negara dan kehidupan
politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak
berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang
baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan
rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh
karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal
Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai
berikut:
- Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
- Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Secara khusus,
wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:
- Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;[5]
- Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;[6]
- Memutus pembubaran partai politik; dan[7]
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;[8]
- Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[9]
Dalam
beberapa wewenang tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan
setelah melakukan pengujian atas gugatan dan juga perkara yang masuk dalam buku
registrasi Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan putusan
selambat-lambatnya tiga hari setelah perkara tersebut masuk dalam buku
registrasi Mahkamah Konstitusi.
Kewajiban
dari Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.
Proses
Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pada Pasal 24C ayat (6)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memerintahkan penyusunan dengan segera
Undang-undang organik tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur hal-hal yang
bersifat teknis, administratif yang meliputi antara lain: prosedur pengangkatan
dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi dan
Ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi.
Menurut ketentuan Pasal 24
C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang selengkapnya menyatakan, sebagai
berikut:
“Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara
serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-undang”.
Para pihak yang dapat
berperkara atau legal standing untuk dapat mengajukan permohonan
perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam kewenangan Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU No. 24
tahun 2003 sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 04/PMK/2004, ditentukan sebagai berikut:
“Pemohon adalah: (i) Perorangan warga Negara Indonesia calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilihan Umum, (ii) Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, (iii) Partai Politik pserta Pemilihan Umum”,
Sedangkan selain dari 3 (tiga)
pihak diatas, maka tidak memiliki legal standing dan tentunya tidak berhak
untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah
Konstitusi, akan tetapi tidak semua sengketa yang berkaitan dengan pemilihan
umum berada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Karena bisa jadi sengketa
Pemilu tersebut masuk dalam kewenangan panitia pengawas Pemilu.
Permohonan sengketa pemilu
yang dapat diajukan kehadapan Mahkamah Konsitusi, adalah hanya dapat diajukan
penetapan hasil pemilihan umum yang ditetapkan secara nasional oleh Komisi
Pemilihan Umum, yang dapat mempengaruhi; (i) Terpilihnya calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), (ii) Penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menjadi
Presiden dan Wakil Presiden, (iii) Perolehan kursi yang dimenangkan oleh partai
politik peserta pemilihan umum disuatu Daerah Pemilihan.
Tiga poin yang dapat
mempengaruhi penetapan hasil pemilihan umum secara nasional diatas, merupakan
materi permohonan dan tentunya harus dipenuhi oleh setiap pemohon, sehingga
sengketa hasil pemilihan umum tersebut dapat dibawa kedepan persidangan
Mahkamah Konstitusi, dan apabila ke- 3 (tiga) poin tersebut tidak
terpenuhi, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun posisi Komisi Pemilihan Umum dalam hal ini, adalah menjadi pihak
termohon.
Prosedur Pengajuan Perselisihan
Para pihak atau yang
disebut sebagai pemohon yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang
sudah dipaparkan diatas, maka dapat mengajukan permohonan tersebut yang secara
administrasi ditujukan kepada bagian kepeniteraan Mahkamah Konstitusi, yang
memeriksa kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap dari pemohon,
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya
dalam 12 (dua belas) rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang
menjadi dasar permohonannya dan hal-hal lain yang diminta untuk diputuskan.
Untuk kepentingan itu,
sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh pasal 5 ayat (4) Peraturan Mahkamah
Konstitusi No.04/PMK/2004. tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa:
Permohonan diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua
belas) rangkap setelah ditandatangani oleh: (i) calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum atau kuasanya, (ii) pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum dan kuasanya, (iii) Ketua
umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan sejenisnya dari pengurus pusat partai
politik atau kuasanya.
Permohonan diatas harus
memuat antaranya:
Ø Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur,
agama, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor
telepon/faksimili/telepon seluler/email. Yang dihampiri dengan alat-alat bukti
yang sah, antara lain meliputi; foto copy KTP, terdaftar sebagai pemilih yang
dibuktikan dengan kartu pemilih, terdaftar sebagai peserta Pemilihan Umum (bagi
partai politik dan perseorangan calon anggota DPD).
Ø Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat
dilakukan melalui faksimili atau e-mail
dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud diatas sudah harus
diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktuu 3 (tiga) hari terhitung
sejak habisnya tenggat.
Ø Uraian yang jelas tentang; (i) Kesalahan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar
menurut pemohon, (ii) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan
suara yang benar menurut pemohon.
Ø Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung
permohonan tersebut, antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy
sertifikat hasil penghitungan suara, foto copy sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara dalam setiap jenjang penghitungan, atau foto copy dokumen-dokumen
tertulis lainnya dalam rangkap 12 (dua belas) setelah 1 (satu) rangkap dibubuhi
materai cukup dilegalisasi. Apabila pemohon berkehendak mengajukan saksi
dan/atau ahli, daftar dan curriculum vitae saksi dan/atau ahli dilampirkan
bersama-sama permohonannya.
Permohonan ini dapat
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam (tiga kali dua puluh
empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan
umum secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 jo Pasal 5 ayat (1)
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004. Namun, karena jangka waktu
pengajuan permohonan yang sangat singkat itu, maka cara pengajuannya juga
dimudahkan yaitu dapat melalui faksimili atau e-mail, dengan ketentuan bahwa
permohonan aslinya sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka
waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat waktu. Permohonan yang
masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera Mahkamah
Konstitusi.
Kewenangan Mahkamah
Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 UU tahun 2003, dimana dalam pasal
tersebut, diatur bagaimana tata tertib beracara di Mahkamah Konstitusi dan
bagaimana mengajukan perkara oleh para pemohon yang ingin mengajukan
permohonan, baik dalam kasus yang bersifat konstitusional maupun kasus sengketa
kewenangan antar lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam pelaksanaan
wewenangnya sebagai lembaga Negara yang memutuskan perkara ditingkat awal dan
pada tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan mengikat, Mahkamah
Konstitusi
[1]Adalah anak Pemikir Politik
Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar. Peneliti pada
Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)- Indonesia,
Aktifis Pro Demokrasi yang menjadi Anggota Pada Komunitas Indonesia untuk
Demokrasi (KID) Jogjakarta, Aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kom.
UIN Alauddin Makassar, Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kom. Ushuluddin
UIN Alauddin, Aktifis Hizbut Thahrir Indonesia Kota Makassar, Aktifis Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kom. UIN Alauddin Makassar, Mantan
Aktifis Iqro Club (IC) Kab. Bima, pendiri sekaligus ketua Umum Forum
Intelektual Muda Bima (2009-2014). Sedang aktif menulis berbagai Karya tulis
Ilmiah, Jurnal dan juga berbagai Artikel. Buku-buku yang sedang ditulis
antaranya, Ideologi dan Konstelasi Politik Islam Indonesia (2010), Ilmu
Politik: Suatu Pengantar Paling Komprehensif (Naskah Siap Terbit), Polical
Islamic: Pengantar Kepemikiran Politik Islam (Naskah Siap Terbit),
Perjalanan Politik Indonesia: Dari Orde Lama Sampai Pasca-Reformasi (naskah
siap terbit), Plesetan Ormas-Ormas Islam Indonesia (naskah siap terbit),
Kritikan Atas Kerja Dan Kajian Ormas-Ormas Islam Indonesia (naskah siap
terbit), Aib Kampus-Kampus Islam (naskah sedang ditulis),
Pengkhianatan Intelektual Ala Indonesia: Sebuah Pendekatan Ala Julien Benda (naskah
sedang ditulis). dapat dihubungi di email: Jurdifatahullah@rocketmail.com, Hp: 081 237 682
990.
[2] Untuk
penjelasan Lebih lanjut, lihat Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Umum No. 13
Tahun 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar