PERAN
GENERASI MUDA DALAM RANAH KEHIDUPAN SOSIAL-POLITIK
KATA PENGANTAR
Assalamu
Allaikum. Wr. Wb.
Puja dan Puji syukur kita panjatkan kehadirat
Allah SWT atas limpahan rahmat,
hidayah
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Karya
tulis dengan judul “Peran Generasi Muda Dalam Ranah Kehidupan Sosial-Politik” dibuat
untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Indonesia Young Generation Idea Award Tingkat
Nasional yang diselenggarakan oleh Komunitas
Indonesia Young Generation bekerjasama BEM KEMA UNPAD pada Tahun 2010.
Penyusunan karya tulis
ini merupakan sesuatu hal yang penulis anggap penting, karena melihat banyaknya
peran generasi muda dalam menciptakan perubahan sosial, lingkungan sosial, dan
lain sebagainya, yang tidak terpisahkan dari berbagai fenomena yang tengah
terjadi dan berbagai trend yang tengah ada. Tulisan ini akan berusaha untuk
memberikan beberapa masukan bagi kita untuk selanjutnya akan dikaji lebih
lanjut tentang peran anak muda dalam kehidupan sosial, baik perannya dalam
menciptakan perubahan sosial, lingkungan sosial yang baik dan buruk, serta berbagai
fenomena yang lainnya.
Akhir kata,
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan sumbangsihnya selama karya tulis ini dibuat, terutama kepada :
1.
Yang terhormat,
tercinta dan terrindukan selalu
kedua orang tua penulis, Jurdi
dan Imroh yang telah membesarkan dan mendidik penulis,
serta selalu memberikan motivasi bagi penulis dan masukan yang begitu berharga
sebagai orang tua yang baik dan memberikan perhatiannya terhadap anak-anaknya.
2.
Yang terhormat
Bapak Rektor beserta jajaran Pembantu Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
3.
Yang terhormat
Bapak Dekan dan segenap jajaran Pembantu Dekan serta
dosen-dosen Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, yang telah banyak memberikan
masukan dan pemahaman baru bagi perkembangan pemikiran penulis.
4.
Yang terhormat
Kakanda-kakanda penulis, Kak Fajlurrahman Jurdi yang telah memberikan jalan
bagi penulis untuk bisa menulis dan menuangkan ide lewat tulisan, kak Halimah
Jurdi yang selalu memberikan support yang membangun bagi penulis, kak Heriman
Jurdi yang selalu membuka jalan pemikiran baru bagi penulis.
5.
Kepada kakak-kakak
penulis, kak Sitaman-kak Natsir, kak Syarifuddin-kak Salma Amda, kak
Heriman-kak Fuji, kak Fajlurrahman, kak Halimah, beserta adik-adik sang
motivator bagi penulis Furqan, Nur Hadiah dan M. Al-Amien. Serta Nenek penulis
yang paling penulis sayangi Ina Ndo.
6.
Kepada
Teman-teman yang ada di IMM, Anci, Imti, Mawar, kak Razikin Al-Ngali, dll. IRM.
HMI Ragend, Busman, Amir, dll. Teman-teman di PMII Samsul Rizal, Jusman, dll.
KAMMI Makassar, LDK Al-Jami’. GMKI Makassar, Hizbut Thahrir Makassar, Wahdah
Islamiyah Makassar, Ikhwanul Muslimin, dll. Teman-teman di lakon-lakon
Organisasi lokal, F-UMA IMBI, Forum Mahasiswa Lambu (Formal), Forum Mahasiswa
Soromandi (Formasi), Al-Musafir Ngali, Komunitas Mahasiswa Bima (KMB), Himpunan
Mahasiswa Bima (HMB), dan lain-lain yang tidak mampu disebutkan satu persatu.
7.
Kepada teman-teman
penulis yang ada di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (Al-Farisy, Munasirah,
dll), Fakultas Syari’ah dan Hukum (Saehuddin, Nia, dll), Fakultas Adab dan
Humaniora (Khairuddin, Ilham, dll), Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (Sahlan,
Ibrahim, dll), Fakultas Kesehatan (Kalisom, Darty, dll), Fakultas Sains dan Teknologi
(Ardiansyah, dll), dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (Mahfud, Sunarti, dll)
UIN Alauddin Makassar. Dan nama-nama
yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan mereka semua, amiiiiiiiin.
Wassalamu Allaikum. Wr. Wb.
Makassar, 07 Februari 2010
PENULIS
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL
...................................................................................... i
LEMBAR
PENGESAHAN
.......................................................................... ii
KATA
PENGANTAR
.................................................................................. iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ..................................................... 2
a. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2
b. Kegunaan
Penulisan .................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Intelektual, Inteligensia dan
Cendekiawan .................................... 3
B. Generasi Muda dan
Perubahan Sosial-Politik ................................. 5
BAB III METODOLOGI PENULISAN
A. Tekhnik Penulisan ............................................................................ 8
B. Sistematika Penulisan ...................................................................... 8
C. Tekhnik
Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................. 8
BAB IV PEMBAHASAN
A. Generasi
Muda Sebagai Penentu Masa Depan Bangsa .................. 9
B. Generasi
Muda dan Kepemimpinan Nasional ............................... 11
C. Perubahan
Sosial dan Politik Dalam Kehidupan Masyarakat ....... 21
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
................................................................................... 25
Saran ............................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 26
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................
ABSTRAK
“Peran Generasi Muda Dalam Ranah
Kehidupan Sosial-Politik”, karya Fatahullah Jurdi, Mahasiswa Pemikiran
Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar.
Tujuan dari penulisan karya ini adalah untuk
mendapatkan gambaran tentang bagaimana terjadinya perubahan sosial dalam
masyarakat yang diupayakan melalui gerakan sosial, khususnya gerakan anak-anak
muda yang memiliki nilai sosial lebih tinggi dan lebih mapan untuk melakukan
perubahan. Generasi muda telah melakukan upaya penciptaan masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera demi tercapainya bangsa dan Negara yang maju.
Dalam karya
tulis ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui metode penelitian
kepustakaan (library research), yaitu buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah,
media massa, dan situs internet. Data yang diperoleh biasa disebut data sekunder, kemudian
data tersebut di olah dengan teknik content analysis untuk menghasilkan
kesimpulan. Penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam
menganalisis data dengan maksud untuk menjelaskan bagaimana upaya yang dilakukan oleh anak-anak muda
Indonesia dalam menciptakan perubahan sosial baik dalam lingkungan kekuasaan,
maupun dalam lingkungan masyarakat selebihnya.
Kesimpulan penulis dalam karya tulis ini adalah
bahwa, salah satu cara untuk memperkuat agar Negara dapat maju yakni
dengan melakukan perubahan dalam masyarakat atau lebih tepatnya menyadarkan
masyarakat supaya dapat mengetahui hak dan kewajiban mereka sebagai warga
Negara dengan cara mencerdaskannya dalam semua hal, terutama dalam memilih
pemimpin yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa kedepannya dan memilih
pemimpin yang mampu membawa perubahan dan memajukan Negara dan Bangsa ini serta
menyelamatkan Negara ini dari kehancuran, baik dalam wilayah politik maupun
dalam wilayah-wilayah pengetahuan yang lainnya. Dan Pemimpin yang seperti
inilah yang diharapkan untuk memimpin Negara antah-barantah seperti Indonesia.
Kata kunci : Politik,
Perubahan Sosial, Anak Muda, dan Indonesia
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebagai
anak pemikir politik, saya akan membahas bagaimana terjadinya perubahan yang
diciptakan oleh mereka yang menamakan diri intelektual. Sebagaimana kita
pahami, bahwa intelektual itu adalah orang yang memiliki nilai social yang
lebih tinggi, mereka sebagai tonggak utama ideology suatu bangsa dan menjadi
batu pijakan bagi masyarakat dalam menghukumi sebuah pemerintahan yang sudah
tidak pantas lagi memimpin suatu bangsa.
Anak
muda melakukan yang tetrbaik dalam menciptakan sejarah baru bagi Indonesia, mereka
banyak sekali melakukan hal-hal yang menurut rakyat sangat istimewa dalam
menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik bagi suatu bangsa. Suatu bangsa
akan konyol jika semua generasi mudanya bermental inlander atau
bermental budak, jika generasi mudanya bermental inlander, maka secara otomatis
generasi tuanya akan ikut dan pasti akan layu dalam menciptakan perubahan
sosial, sebab generasi mudanya tidak ada yang mendukunya untuk melakukan
perubahan yang mereka inginkan.
Keinginan
menciptakan perubahan sosial, akan tercapai jika semua generasi muda yang ada
dalam suatu bangsa sadar akan kewajibannya sebagai generasi yang akan
melanjutkan kepemimpinan bagi terciptanya masa depan bangsa yang lebih baik dan
lebih maju. Sebagaimana ungkapan yang Soekarno atau yang biasa disapa Bung
Karno, Presiden pertama Indonesia, dia mengatakan, berikanlah aku 10 anak muda,
maka akan aku goyangkan dunia ini. Ungkapan ini yang membuktikan bahwa betapa
kuatnya generasi muda itu, jika mereka sadar akan kewajibannya sebagai generasi
penerus.
B. Rumusan
Masalah
Ada
beberapa rumusan masalah yang hendak
penulis angkat dalam karya tulis ini. Dan harus mengenai apa yang
menjadi pembahasan para judul yang saya ambil yakni masih tetap dalam lingkaran
bagaimana kekuatan generasi muda dalam menciptakan perubahan sosial politik
dalam masyarakat di sebuah Negara yang antah-barantah seperti Indonesia.
Beberapa rumusan masalah ini di buat untuk bagaimana supaya kita dapat
mengetahui apa saja yang menjadi pembahasan dalam karya tulis ini.
a. Bagaimana
kerja generasi muda sebagai penentu masa depan suatu Bangsa?
b. Bagaimanakah
Relasi Antara Generasi Muda dengan Kepemimpinan Nasional ?
c. Bagaimanakah
terjadi Perubahan Sosial dan Politik dalam kehidupan Bermasyarakat dalam
wilayah Negara Indonesia ?
C. Tujuan
dan Kegunaan Penulisan
Beberapa
kegunaan dalam proses penulisan
a. Tujuan
penulisan
Beberapa
tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah;
1. Supaya
saya sebagai penulis dan juga untuk kita semua, dapat mengetahui bagaimana cara
kerja generasi muda Indonesia dalam menciptakan perubahan di Negara Indonesia.
2. Untuk
mengetahui bagaimana kerja para intelektual Indonesia dalam mencerdaskan
kehidupan masyarakat.
3. Agar
kita mengetahui apa dan bagaimana proses terjadi perubahan sosial politik itu
dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
b. Kegunaan
penulisan
Beberapa
kegunaan dalam proses penulisan karya tulis ini yakni:
a. Bagaimana
tulisan ini menjadi batu analisis bagi kita semua untuk lebih memahami
bagaimana generasi masa depan bangsa yang baik.
b. Memberikan
teori-teori dan membahas apa saja yang generasi muda dengan kehidupan sosial
politik di Indonesia secara lugas dan singkat.
c. Memberi
kajian terhadap fenomena yang terjadi seputar masalah perubahan sosial
dimasyarakat.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Intelektual dan Inteligensia
Istilah
intelektual pertama kali diperkenalkan Clemenceau dengan istilah “Les
Intellectuels” dan dipakai secara luas di Prancis pada 1898 sebagai
resonansi dari “Manifesto Intelektual” (Manifeste Des Intellectuel)
yang dibangkitkan oleh “Kasus Dreyfus”[1].
Pada 1896, Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudi dalam dinas ketentaraan
Prancis dituduh telah melakukan spionase dan dicopot pangkatnya oleh sebuah
pengadilan militer dan dihukum penjara seumur hidup. Sebagai protes atas
kesewenang-wenangan keputusan pengadilan itu, Emile Zola, seorang novelis
populer yang terkenal, menerbitkan sebuah surat terbuka di halaman muka sebuah
koran kecil terbit di Paris, yangn menuduh para anggota dinas ketentaraan
Prancis telah merekayasa bukti, memanipulasi, dan menutup-nutupi fakta-fakta
kasus tersebut. Surat itulah yang kemudian dikenal dengan “Manifeste Des
Intellectuels” (Manifesto Para Intelektual).
Pada
tahap-tahap awal kemunculannya, intelektual menunjuk pada sebuah kelompok
dengan misi yang diproklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah nurani bersama
atas persoalan-persoalan politik yang mendasar. Namun, dalam perkembangan
berikutnya, definis-definisi dari intelektual menjadi berlimpah dan beragam.
“Setiap definisi yang mereka ajukan”, kata Zygmunt Bauman, “Sesungguhnya
Merupakan sebuah upaya untuk menarik garis batas identitasnya masing-masing.
Setiap batasan membelah wilayah menjadi dua sisi: disini dan disana, di dalam
dan di luar, kita dan mereka”[2].
Menurut pendapat Eyerman, dari beragam definisi tersebut bisa dikelompokkan
menjadi dua kategori. Yang pertama, definisi yang menginterpretasikan
intelektual dalam kerangka karakteristik-karakteristik personal, seperti
“seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain” atau mereka
“yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya”[3]
juga mengikuti dan mengembangkan definisi semacam ini. Yang kedua, definisi
yang mengaitkan istilah tersebut dengan suatu struktur dan fungsi sosial
tertentu. Definisi seperti ini, dapat diajukan, misalnya seperti yang diajukan
oleh Seymour Martin Lipset yang mendefinisikan para intelektual sebagai orang
“yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankan kebudayaan”[4].
Berbeda
dengan intelektual, intelegensia tampil lebih awal sebagai sebuah bentuk strata
sosial. Strata sosial ini muncul di Polandia dan Rusia pada masa kekuasaan
Peter Agung (Peter the Great)—tetapi baru mendapatkan bentuknya pada tahun
1860-an. Strata ini terdiri dari lapis masyarakat yang lebih terdidik, tetapi
berbeda dengan kalangan terdidik lainnya dari kelas atas. Elemen pembentuk utama
dari strata yang sedang menanjak ini adalah pendidikan dan orientasinya pada
kebudayaan Eropa, terutama pada bidang pengetahuan teknis dan sains, yang
melampaui pengadopsian perilaku dan tata krama Eropa yang telah lama dilakukan
oleh pada Bangsawan.[5]
Tidak
seperti di Polandia dan Rusia, dalam masyarakat-masyarakat pasar bebas di Eropa
Barat, orang-orang terdidik tidak membentuk sebuah strata tersendiri.
Dikebanyakan masyarakat pasar bebas Barat, orang-orang terdidik (para
intelektual) tampil sebagai sebuah bagian organik dari kelas-kelas yang ada. Mereka
boleh jadi menjadi bagian dari kelas atas, menengah dan bahkan proletar[6].
Oleh karena itu, menjadi seorang intelektual dalam masyarakat-masyarakat Eropa
Barat sama sekali tidak mengubah ikatan kelas atau kesadaran kelas seseorang.
Namun, di Polandia dan Rusia, intelegensia membentuk sebuah stratun yang
berdiri sendiri dengan mengandaikan adanya sebuah identitas kolektif yang
memancar dari karakteristik-karakteristik psikologis, perilaku, gaya hidup,
status sosial, sistem nilai dan panggilan historis bersama[7].
Kepemimpinan
strata inio dipegang oleh sekelompok relatif kecil pemimpin moral dan
intelektual. Menurut Gella “Keyakinan-keyakinan, sikap-sikap moral dan perilaku
politik dari para pemimpin ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh para anggota
komunitas inteligensia”[8].
Namun, pada umumnya seorang anggota biasa dari strata inteligensia
mempertahankan identitas kolektif inteligensia dengan menirukan perilaku, dan
peling tidak secara verbal, norma-norma dasar serta orientasi nilai dari para
(pemimpin) “intelektual” dari strata ini. Jadi singkatnya, strata inteligensia
ini memiliki intelektual-intelektualnya sendiri yang menjalankan peran sebagai
perumus dan ertikulator identitas kolektif.
Dalam
konteks Indonesia, bagaimana kita membumikan istilah “inteligensia” dan
“intelektual” dalam sebuah formasi sosial dan konteks historis Indonesia?
Memang benar bahwa peran intelektual atau fungsi sosial spesifik dari para
pemikir (people of ideas) di kepulauan ini telah sejak lama dijalankan oleh
pandita, resi, kiai ataupun ulama. Namun, pengunaan istilah “intelektual” dan
“inteligensia” serta istilah turunannya daalam konteks Indonesia modern merujuk
pada sebuah formasi sosial dan trayek historis yang spesifik, yang muncul
sebagai akibat dari diintrodusirnya sistem pendidian Barat di Negeri ini – pada
awalnya dilakukan oleh para misionaris Barat dan pemerintah penjajahan Belanda,
lalu kemudian oleh lembaga-lembaga sosial yang lain.
B. Moralitas Generasi Muda
Sekarang kita menyadari bagaimana moralitas
generasi-generasi penerus Islam, yang sekarang semakin mengalami demoralisasi
yang begitu memprihatinkan. Kita bisa melihat bagaimana sikap generasi Islam
ketika mereka menyambut yang namanya hari-hari besar Agama, mereka menyambutnya
bukan dengan pesta keimanan, tetapi justru dengan pesta minuman-minuman,
perjudian, perzinahan dan lain sebagainya. Apakah sikap generasi yang seperti
ini, yang kita harapkan untuk masa depan Islam yang lebih cerah dibanding
dengan yang sekarang. Dan keadaan yang
seperti inilah yang sangat diharap oleh orang-orang Barat, karena dengan moral
generasi yang semakin amburadur dan semakin tidak relevan bagi umat seperti
saat sekarang, itu sangat bermanfaat bagi Barat untuk mempengaruhi pola
pemikirannya, supaya para generasi inilah yang akan menghancurkan umatnya
sendiri dan Barat tidak capek-capek untuk turun tangan sendiri. Karena sudah
ada pecundang yang menjalankan misi mereka untuk menghancurkan umat Islam. Dan
anehnya, para pecundang ini meneriakkan yang namanya Islam dengan sepenuhnya
padahal mereka tidak lebih dari seorang pecundang yang kehilangan moral dan
kewibawaan. Dan sekarang mereka mencari popularitas ditengah masyarakat yang tidak
tahu kebejatan mereka, dan inilah sifat pecundang yang sebenarnya.
Generasi Islam sekarang sedang diambang kepunahan dan
hanya kesadaran disetiap individu-lah yang menentukan semua yang akan terjadi
kedepan, dan peran diantara individu-individu inilah yang sangat menentukanya.
Apakah akan hancur atau malah mampu menguasai dunia ini tanpa ada yang dapat
menyainginya? Pertanyaan ini akan terjawab ketika para generasi telah sadar
bahawa umat mereka sedang mengalami dilema yang sangat mengguncangkan hati.
Saya sendiri menyaksikan bagaimana moral generasi Islam
yang berada dikampus-kampus Islam, yang kehidupannya sudah seperti kehidupan binatang yang tidak bisa membedakan
mana kesucian dan mana lumpur dosa. Saya sendiri menyaksikan bagaimana moral
mereka ketika mereka menyambut yang namanya Bulan Ramadhan, bahkan ketika
berada dalam Bulan yang suci ini, generasi Islam yang memakai kerudung dudk
berdua-dua-an dan saling memegang tangan padahal belum ada yang dihalalkan bagi
mereka (belum melakukan akad menikah) dan ketika mereka mengendarai motor atau
lagi bonceng pakai motor itu seperti satu orang, padahal itu adalah dua insan
yang berlainan jenis, padahal yang perempuannya memakai kerudung , yaitu tanda
bahwa dia adalah orang Islam. Sekarang kerudung sudah dijadikan sebagai simbol
untuk melakukan kemaksiatan dan untuk menghancurkan Islam sendiri. Apakah kita
sebagai orang Islam tidak marah dan kecewa terhadap sifat generasi kita yang
sekarang menjadikan semua pakaian Muslim ataupun Muslimah sebagai simbol untuk
melakukan kemaksiatan.
Moral anak bangsa sekarang, adalah moral-moral yang sudah
dirasuki oleh moral iblis dan bahkan sudah dikuasai oleh iblis Alaihilla’nah.
Apabila anak-anak Indonesia sampai kedepannya tetap menjadi anak-anak yang
bermoral demikian maka, jangan harap bangsa ini menjadi bangsa yang sejahtera
dan damai. Sebab anak mudanya sudah menjadi manusia yang bukan manusia lagi,
mereka akan menjadi manusia yang seperti binatang yang tidak bisa membedakan
mana kesuciab dan mana lumpur dosa, pekerjaan mereka hanyalah berbuat dosa
tanpa merasa bersalah. Inilah anak-anak yang tidak kita harapkan untuk lahir di
dunia ini, mereka lahir hanya untuk membawa aib bagi keluarga dan membawa
kemudlaratan terhadap bangsa, apalagi bangsa yang antah-barantah seperti
Indonesia.
Penulis sangat berharap banyak dari generasi bangsa
Indonesia sekarang ini, harapan penulis, supaya mereka sadar bahwa mereka punya
tanggung jawab besar terhadap keberlangsungan hidup bangsa ini. Jangan sampai
menjadi manusia yang hanya membawa kemurtadan dan kehancuran bagi negara dan
bangsa.
BAB III
METODE
PENULISAN
A. Tekhnik
Penulisan
Metode
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
teknik pengumpulan data melalui metode penelitian kepustakaan (library
research), yaitu buku-buku (terutama buku-buku
karangan anak-anak muda yang telah melakukan berbagai upaya dalam menciptakan
perubahan sosial), jurnal-jurnal
ilmiah, media massa, dan situs internet. Data yang diperoleh biasa disebut data sekunder, kemudian data tersebut
diolah dengan teknik content analysis untuk menghasilkan kesimpulan.
B.
Sistematika
Penulisan
Bab
1 : Pendahuluan,
yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan dan kegunaan penulisan.
Bab
2 : Tinjauan
Pustaka, yang mencantumkan sumber-sumber terkait tentang Generasi Muda Dalam
Ranah Kehidupan Sosial-Politik yang
diperoleh dari literatur-literatur yang telah dikumpulkan.
Bab
3 : Metode Penulisan, disajikan dengan
menggunakan teknik pengu-mpulan data, sistematika penulisan, dan analisis data.
Bab
4 : Pembahasan, berisi analisis permasalahan
berdasarkan data dan telaah pustaka yang diuraikan secara sistematis.
C.
Teknik
Pengumpulan dan Pengolahan Data
Penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam menganalisis data
dengan maksud untuk bagaimana menjelaskan tentang Generasi Muda Dalam
Ranah Kehidupan Sosial-Politik bagaimana generasi
muda ini mengatasi persoalan bangsa yang kian semakin kompleks dengan berbagai
bangsa yang kian hari semakin tidak menentu.
BAB
IV
PEMBAHASAN
A. Generasi
Muda Sebagai Penentu Masa Depan Bangsa
Penentu baik dan buruknya masa depan suatu Bangsa adalah
berada ditangan anak muda, sebagaiamana yang diungkapkan oleh Bung Karno dalam
sebuah pidatonya, mengatakan ”berilah aku sepuluh anak muda, maka aku akan
menguasai dunia”. Inilah ungkapan yang menandakan bahwa betapa pentingnya peran
anak muda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di Dunia ini banyak sekali anak muda akan tetapi yang
memiliki jiwa Intelektual sangat sedikit, khususnya Intelektual Islam. Dan
hampir semuanya bergulat dipentas politik bahkan membawa politik Islam itu
menyebar ke Negara-negara lain, bahkan ke Negara termaju didunia. Akan tetapi,
ketika mereka berada dinegara termaju dunia yang kita tahu adalah negaranya
orang-orang Barat yang sangat membenci Islam dan mereka saat sekarang sedang
memikirkan bagaimana caranya supaya Islam ini hancur dan tidak pernah lagi
muncul di pentas peradaban dunia. Banyak sekali para generasi Islam ini yang pergi
mencari ilmu ataupun yang melanjutkan studinya dinegara-negara Barat, dan
mereka menulis tesis ataupun disertasi yang membahas tentang Islam, yang pada
akhirnya orang-orang Barat tahu kelmahan Islam ini seperti apa dan dan keadaan
Islam saat sekarang bagaimana, yang ketika mereka pulang ke negara mereka
masing-masing sudah membawa pandangan mengenai baiknya peradaban Barat dan
bagusnya cara hidup mereka yang pada akhirnya dia juga ingin menerapkannya di
Negara-nya
Orde Baru dapat dikelompokkan kedalam beberapa bentuk
menurut teori kenegaraan yang pada prinsipnya tidak berbeda. Riswanda Imawan (1997: 33-36; Thaba, 1996: 53-69)
membagi teori Negara Orde Baru kedalam beberapa istilah. Pertama,
Negara Integralistik. Paham ini menekankan pada kekuasaan negara yang mutlak
atau paham totalitarian, sebab kedaulatan negara diatas kedaulatan rakyat. Kedua,
Beamstenstaat, berupaya untuk menyehatkan sistem demokrasi yang modern,
efisien dan efektif dalam ramgka menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat
pembangunan ekonomi. Ketiga,Negara Pasca-Kolonial, yaitu bahwa negara
bekas jajahan yang sesudah kemerdekaan berubah secara sosial, politik, dan
ekonomi, terkooptasi kedalam bekas penjajahannya dalam hal yang sama. Keempat,
Patrimonialisme Jawa. Kelima, Negara Otoriter birokratik rente yang
ditandai dengan sifat sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat mencapai
tujuan, partisipasi masyarakat dibendung, pembangunan ekonomi dilakukan secara
top down, ideologi yang digunakan bersifat teknokratis-birokratis. Keenam,
Rent Capitalism State, Negara diandaikan sebagai sesuatu yang
mandiri (otonom) yang didasarkan pada pertimbangan rasionalitas ekonomi dengan
cara menekan kerugian untuk memperoleh keuntungan yang besar, termasuk dengan
cara yang tidak demokratis.
Ketujuh, Bureaucratic Polity, yaitu sistem politik dimana kekuasaan dan partisipasi
politik dalam membuat keputusan terbatas, sepenuhnya pada penguasa negara,
terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Tidak ada
partisipasi masyarakat, yang ada hanya mobilisasi massa untuk melaksanakan
keputusan yang sudah diambil. Kedelapan, Bureaucratic Authoritarianism.
Legitimasi politik rezim diletakkan pada basis-basis tertentu seperti ekonomi,
militer, birokrasi, dan budaya. Kesembilan, Negara Birokratik Otoriter
Korporatis. Negara dipimpin militer, perusahan besar mempunyai hubungan khusus
dengan negara, massa dimobilisasi, adanya tindakan represif untuk mengendalikan
oposisi, dan pembuat kebijakan adalah teknokrat-birokrat
Kesepuluh,
Negara Militer Rente. Negara berupaya dengan bantuan militer untuk mematikan
kelompok oposan. Pusat-pusat birokrasu yang didukung militer sanggup
mematahkan, memanipulasi, melawan atau kalau perlu memodifikasi dan membuat
Undang-Undang yang baru, dimana pihak oposisi sangat kecil kemungkinannya untuk
bisa mengajukan tuntutan. Kesebelas, Bureaucratic Capitalist State.
Negara menjadi alat kelompok dominan untuk mempertahankan sumber daya ekonomi[9].
Sebagaimana ungkapan yang dipaparkan oleh M. C Donald,
dia mengatakan ”Selama rakyat diorganisir . . . seb. Karena massa, dalam
kerangka waktu historis adalah kerumunan agai massa, mereka kehilangan
identitas dan kualitas sebagai manusia didalam ruang: orang dalam jumlah besar
yang tidak mampu mengekspresikan dirinya sebagai umat manusia karena mereka terikat satu sama lain
bukan sebagai individu atau anggota masyarakat- sebenarnya mereka tidak terikat
satu sama lain, kecuali untuk hubungan yang berjarak, abstrak, dan tidak
manusiawi: sebuah pertandingan sepak bola atau pasar tradisional dalam kasus
sebuah kerumunan, sebuah sistem produksi industrial, sebuah partai, atau negara
bagian dalam kasus massa. Manusia adalah sebuah atom soliter, seragam, dan tidak
bisa dibedakan dari ribuan maupun jutaan atom lain yang menyusun “kerumunan
kesepian” yang David Reismen disebut sebagai masyarakat mereka. Namun demikian,
rakyat atau orang-orang adalah sebuah komunitas, artinya sekelompok individu
yang terkait satu sama lain dikarenakan
kepentingan, pekerjaan, tradisi-tradisi, nilai-nilai, maupun
sentimen-sentimen yang sama[10].
B. Generasi
Muda dan Kepemimpinan Nasional
Kalau
kita melihat kembali konsep kepemimpinan yang dicerminkan oleh Rasulullah. Maka
ada beberapa konsep kepemimpinan yang diterapkan oleh
Nabi Muhammad SAW dan para khalifah yang memang menjadi contoh bagi umat
sesudahnya[11];
Pertama,
Bertakwa kepada Allah SWT. Bertakwa kepada Allah merupakan landasan
pokok (prinsip utama) dari kepemimpinan Rasulullah SAW. Mengapa takwa itu menjadi landasan utamanya, karena akan
lahir sebuah sistem masyarakat yang tidak mengenal perbedaan antara satu dan
yang lainnya. Sebab kepemimpinan itu dijalankan dengan benar-benar berdedikasi
kepada masyarakat, juga dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Kedua, siddiq
(berkata benar atau jujur) seperti gelar yang diberikan kepada Abu Bakar
Khalifah yang pertama. Setiap Muslimdiperintahkan untuk senantiasa berlaku
siddiq (jujur) atau berkata benar. Seperti yang dikatakan oleh beliau dalam
Haditsnya yang berbunyi: “qulil haqqa walau kanna muran” (berkatalah yang benar
meskipun itu pahit atau berteriaklah jika itu benar). Apalagi kalau dia
adalah seorang pemimpin, karena setiap kata-katanya mengikat banyak orang.
Ketika seorang pemimpin berjanji, maka dia berjanji dengan orang banyak, dan
apabila janji (amanah) itu tidak mampu dia jalankan (dia tepati), maka amanah
itu ia pertanggung-jawabkan dihadapan sejarah, umat dan lebih-lebih dihadapan
Allah SWT.
Dia akan disebut-sebut oleh orang sepanjang sejarah
sebagai pemimpin yang tidak memiliki tanggungjawab terhadap rakyat yang menjadi
tanggungannya. Penulis menyarankan; ”apabila kita sudah mengetahui diri kita
tidak mampu menjalankan hal tersebut atau tidak mampu menjalankan roda
pemerintahan dengan baik, maka kita jangan pernah bermimpi untuk menjadi
pemimpin sebelum kita mampu memimpin keluarga kita, saya yakin kita mengetahui
semua apa tanggungjawab seorang pemimpin, pemimpin itu adalah amanah rakyat
banyak yang harus kita perjuangkan dan setiap kita berjanji dengan rakyat harus
kita tepati dengan baik, misalnya kita berjanji untuk kesehatan gratis,
pendidikan gratis, dan lain sebagainya, kalau memang kita tidak mampu
menjalankan hal tersebut janganlah kita berjanji yang demikian”.
Ketiga, Tabligh
(menyampaikan). Sebagai seorang pemimpin hendaknya komunikatif, atau terampil
dalam menyampaikan hal-hal yang tengah terjadi didalam masyarakat. Seorang
pemimpin harus selalu berkomunikasi dengan masyarakat dalam menyampaikan
berbagai persoalan yang dihadapinya, sehingga persoalan-persoalan yang muncul
tidak disembunyikan, agar mampu dicarikan akar permasalahannya sehingga dapat
dipecahkan secara bersama-sama dan dicarikan solusi yang tepat. Begitu pula
dengan posisi yang ditempati oleh politisi Islam. Dan harus dipahami bahwa ia
wajib menyampaikan dakwah dan kebenaran Islam dalam posisi dan kedudukannya
sebagai penguasa.
Dalam berpolitik seorang Muslim harus berdakwah dan
bukan berarti menjadikan mesjid sebagai panggung untuk berpolitik, karena saya
lihat politisi kita sekarang menjadikan mesjid sebagai panggung politik, itu
namanya politisi yang bodoh yang tidak tahu tempat untuk melakukan proses
politik, sehingga mesjid tempat kita beribadah dijadikan tempat untuk
berpolitik. Oleh karena itu, politik memang harus dipandang sebagai salah
satu jalur dan media dakwah yang sangat penting dan strategis. Dalam melakukan
dakwah untuk mengubah persepsi keliru bahwa, “politik memang kotor” tersebut,
bisa dilakukan dengan lisan (Da’wah bil lisan atau da’wah bilisanial-maqal)
maupun dengan suri tauladan (Da’wah bil hal atau tepatnya da’wah bil lisani
al-hal). (Hajriyanto Y. Tohari, Ibid: 239).
Keempat, Fathonah (cerdas dan cakap). Seorang pemimpin jelas dituntut
memiliki kecerdasan dan kemampuan yang memadai dalam kepemimpinannya, melebihi
kecerdasan yang dimiliki oleh masyarakat yang dipimpinnya, sehingga tidak
menyebabkan wibawanya turun dihadapan masyarakat. Seorang pemimpin tidak boleh
mengandalkan secara terus-menerus kecerdasan orang-orang yang ada disekitarnya
(pembantu-pembantunya), karena pada saat tertentu, seorang pemimpin harus
menangani masalah yang timbul didalam masyarakat, atau keputusan-keputusan
politik dengan cepat.
Kelima, Amanah (kepercayaan). Dalam perspektif Islam, kepemimpinan ituhakikatnya adalah
melaksanakan Amanah Allah SWT dan kemanusiaan. Maka bukan saja
mempertanggung-jawabkannya didunia ini, tetapi juga diakhirat kelak, kecuali
itu kepemimpinan yang seyogyianya atas orang yang berhak lantaran memang mampu
melaksanakannya (amanah itu), sehingga layak menerima/ mendapatkanya.
Keenam, Adil. Seorang pemimpin tidak boleh menunjukkan kepemim-pinannya hanya baik dan
menguntungkan atas Diri, Keluarga, maupun suatu kelompok (partai) semata.
Melainkan harus benar adil dan memihak pada siapa yang benar meskipun yang
salah itu adalah anaknya sendiri. Seorang pemimpin tidak boleh menempatkan
rakyat sebagai obyek kekuasaan, sementara para elit politik ditempatkan sebagai
pelaku utama yang akan memerankan segala hal. Sehingga semuanya diputuskan
secara sepihak tanpa mempedulikan suara rakyat dan tidak mendengarkan jeritan
nurani rakyat. Para Koruptor kelas kakap dibiarkan berkeliaran tanpa sedikitpun
disentuh oleh Hukum, sedangkan jika rakyat mencuri ayam saja ditahan minimal
2 bulan dalam penjara, mereka yang mengambil uang rakyat bermilyar-milyar itu
tidak pernah disentuh oleh yang namanya hukum, rakyat selalu berteriak dan
bertanya dimanakah Hukum dinegeri antah-barantah ini?. Keadilan
tidak menjadi landasan utama bertindak bagi elit-elit politik Islam saat ini,
yang menjadi landasan utamanya sekarang adalah kekayaan mereka tidak pernah
memikirkan rakyat. Sehingga penyimpangan terjadi dimana-mana, seperti korupsi
yang kini terjadi di berbagai institusi pemerintahan, itu karena mereka
melupakan ajaran Islam yang melarang berbuat curang dan membenci orang yang
tidak memiliki sifat amanah dan menjadi pecundang dipentas politik.
Ketujuh, Bersahaja. Seorang pemimpin hendaknya berpola hidup sederhana,
yaitu menghidari perilaku serakah dan menumpukkan Harta, seperti perilaku para
pemimpin kita sekarang, yang membuat Allah sangat membencinya.
Setelah kita melakukan identifikasi realitas politik yang
dipersentuhkan dengan idealitas Al-Qur’an, maka ditemukan beberapa dimensi
perilaku elit politik yang bertentangan dengan Al-Qur’an, dimana mereka suka
saling menuding ketika berkampanye, saling menghina dan mencaci diantara
sesama. Di samping itu kemunafikan elit politik ketika berkampanye merupakan
realitas politik yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Menurut para pakar
sosial-politik, kemunafikan dan kedustaan yang terjadi dipentas politik itu
adalah sebuah keniscayaan, sebab, ketika kita kembali ketujuan awal dari
politik adalah kepenntingan atau kekuasaan, ”tidak ada saudara dan sahabat
sejati dalam pentas politik, yang ada hanyalah kepentingan dan kekuasaan sejati”.
Ini adalah ungkapan yang sangat pas untuk dikatakan ketika kita berbicara
tentang politik beserta para aktor-aktornya. Mereka bisa saja menghalalkan
segala cara untuk mencapai hasrat kekuasaannya dan untuk memenuhi
kepentingannya.
Ada tiga prinsip kekuasaan Ulama yang diajukan atau yang
ditemukan dalam konsep Al-Maududi tentang Teo-Demokrasi. Al-Maududi
adalah pendiri Jama’at-I Islami Pakistan, dalam karyanya: The Political
Theory of Islami yaitu:
1.
Tidak ada orang, kelas
atau kelompok, bahkan semua warga negara secara keseluruhan, dapat mengklaim
kekuasaan. Hanya Allahlah penguasa yang sesungguhnya; selain-Nya hanyalah
mahluk yang diciptakan oleh-Nya
2.
Allah adalah pemberi
Hukum yang sesungguhnya dan kekuasaan legislasi yang absolut hanya ada
pada-Nya. Orang-orang yang beriman tidak membuat aturan dengan benar-benar
beba, juga tidak dapat memodifikasi hukum apapun yang telah diturunkan oleh
Allah, bahkan jika ada keinginan untuk
memberlakukan hukum seperti itu atau mengubah huukum tuhan tersebut dengan
bulat.
3.
Sebuah
Negara Islam harus didasarkan pada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah para
Nabi-Nya. Pemerintah yang menjalankan Negara seperti itu layak dijadikan
sebagai contoh bagi Negara lain yang ada didunia ini dan layak untuk ditaati
dalam kapasitasnya sebagai suatu agen politik yang dibentuk untuk menerapkan
hukum Allah dan hanya sejauh itu negara bertindak. Kalau Negara itu tidak
menghiraukan hukum yang telah diwahyukan Allah, perintah-perintahnya tidak
mengikat orang-orang yang beriman[12].
Menurut Nawawi (anank.wordpress.com) Terdapat 5
kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik:
1.
Kapabilitas
Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan
SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal
oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika
datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi
pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang
kemudian menghidupkan negara.
2.
Kapabilitas
Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian
rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang
diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula
dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3.
Kapabilitas
Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu
dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering
memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka
kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat
terkekang.
4.
Kapabilitas
simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif
membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan
yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5.
Kapabilitas
responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output,
output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau
adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas
responsif.
6.
Kapabilitas
dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam
dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki
kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam
kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower)
memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada
negara-negara berkembang.
Beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk
mengukur kaum intelektual genuine adalah sebagai berikut;
1.
Berperan
untuk mendorong terjadinya demokratisasi. Kaum intelektual genuine dalam
upaya ini tidak turun ke jalan untuk mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi
lebih kepada tawaran-tawaran politik terhadap Negara yang bersifat konseptual
sehingga ada sinergitas antara posisi kaum intelektual dengan negara. Tetapi
mereka bisa menjaga jarak, dimana posisi yang harus dimasuki dan dimana posisi
yang tidak dimasuki, sehingga kaum intelektual adalah merupakan mereka yang
lahir dengan kesadaran politik yang matang;
2.
Berusaha
untuk meningkatkan proses partisipasi dalam masyarakat. Demokrasi hanya bisa
terbangun jika partisipasi bisa dilakukan, dan partisipasi akan terwujud jika
masyarakat mampu di sadarkan secara politik. Ketika varian utama dalam politik
demokratis yakni kompetisi, kontestasi dan partispasi adalah merupakan agenda
penting yang harus dilakukan oleh kaum intelektual genuine. Selama ini oposisi untuk membangun demokrasi hanya
dimaknai jika mengambil posisi frontal terhadap Negara. Sehingga mereka yang
melakukan gerakan pembebasan dan membentuk masyarakat supaya menjadi
intelektual adalah mereka yang disebut sebagai intelektual genuine;
3.
Mempertahankan
identitas kebangsaan. Ciri khas seorang intelektual genuine adalah memiliki
identitas kebangsaan dan rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka mempertahankan
identitas aslinya sekalipun proses globalisasi sedang mengancam eksistensi
identitas kebangsaanya;
4.
memiliki
rasa nasionalisme yang kuat, sebagai bentuk rasa kecintaannya terhadap
identitas kebangsaan, maka nasionalisme adalah merupakan persoalan penting yang
di jaga oleh kaum intelektual genuine. Seluruh model keaslian bangsa
menjadi penting di jaga, karena itu merupakan bentuk kecintaan terhadap nation.
Bangsa bukan hanya sekumpulan orang yang hidup bersama dan memiliki sejarah
yang uniform, tetapi bangsa juga adalah kesatuan misi untuk berjalan
beriringan untuk membangun masa depan yang lebih cerah;
5.
Menjaga
budaya bangsa, sekaligus budaya politik. Kehancuran bangsa Indonesia saat ini
adalah akibat berkumpulnya otak-otak serakah yang melakukan kejahatan atas nama
rakyat. Budaya politik kleptokrasi, patrimonial dan selalu mengkhianati audiens
politik adalah budaya politik yang harus di sucikan kembali oleh kaum intelektual
genuine sehingga Indonesia tidak menjadi sarang para dedengkot politik
yang selalu membawa rakyat sebagai kuda tunggangan. Sikap politik kaum
intelektual genuine tidak memandang negara sebagai musuh, sekalipun
mereka menganggap elit politik sebagai biang keladi dari kemerosotan moral
bangsa, sikap mereka adalah melakukan politik korektif secara ilmiah, karena
mereka yang disebut genuine masih cinta terhadap musyawarah, cinta
terhadap demokrasi dan menginginkan negara dibangun bukan atas nama kebencian,
tetapi harus melalui kerja sama yang erat antara berbagai pihak yang terlibat
di dalamnya;
6.
Melakukan
upaya pemberdayaan. Model pendekatan yang paling penting dari seorang
intelektual genuine adalah berusaha untuk menjadikan masyarakat sebagai
subyek pembangunan. Penempatan masyarakat sebagai obyek yang dilakukan selama
Orde Baru misalnya, tidak bisa dibiarkan secara berketerusan, karena dapat
menciptakan masyarakat kerdil dan menganggap bahwa bangsa ini adalah milik
penguasa. Pikiran permisif, pesimis yang kemudian berakibat melahirkan ironi
dalam negara demokrasi ini, harus diretas melalui upaya pemberdayaan. Kalau
demonstrasi dan gerakan protes adalah upaya untuk menggerakkan massa untuk
melawan Negara dan ini cenderung dilakukan oleh kaum intelektual organik, maka
kaum intelektual genuine harus memikirkan bagaimana masyarakat bukan di
gerakkan, tetapi mereka sendiri yang akan bergerak secara sadar untuk membangun
negara-nya atau untuk melawan negara, jika negara mengalami collaps;
7.
Gerakan
paradigmatik, yaitu merubah cara berpikir masyarakat yang dihinggapi oleh
sindrom ketakutan menjadi sumber perlawanan dan dari rasa inferior menjadi
superior;
8.
Mendidik
massa supaya menjadi warga negara. Massa. Ketika Eep Saifullah Fatah
menyampaikan di Taman Budaya Surakarta, Sabtu, 1 Januari 2000 mengatakan, “maka
yang saya inginkan di abad baru ini adalah berubahnya kita sebagai massa
menjadi warga negara. Perubahan inilah yang menjadi pekerjaan besar kita
sepanjang abad baru ini. Pertama-tama, ini adalah pekerjaan kita
sendiri-sendiri. Baru kemudian, ia menjadi pekerjaan kelompok, dan pekerjaan
bangsa”. Karena itu, kata Fatah, saya ingin agar di abad baru ini kita
meneguhkan komitmen untuk membongkar tirani di kepala kita masing-masing. Mari
kita merdekakan diri kita sendiri. Pemerdekaan diri sendiri inilah yang kelak
akan menjadi modal sungguh besar untuk memerdekakan kita sebagai masyarakat dan
sebagai bangsa.
Akhir-akhir
ini sering kita dengar slogan ‘Saatnya kaum muda memimpin, atau ‘perlunya
kepemimpinan orang muda’ atau ada yang agak ekstrim, ‘kaum muda berkuasa kaum
tua tersingkirkan.’ Wacana ini digelindingkan bak bola salju. Mulai dari
dikusi, seminar, kajian, penelitian, debat sampai beberapa partai yang akan
bertarung dalam kontes pemilu 2009 nanti pun mengusung tema ini.
Wacana
ini patut diapresiasi, anak-anak muda negeri ini mulai sadar, bangsa ini perlu
pemikiran dan semangat segar. Historis bangsa ini lahir dan terbentuk dari
peran kaum muda dan tuanya. Ini terlihat dari Gerakan Jong Ambon, Jong
Sumatera, Jong Java, pada masa pra kemerdekaan, lalu disusul oleh Tan malaka,
Moh. Syahril, Soekarno, Moh Hatta dsb.
Fenomena
bangsa yang sudah merdeka 63 tahun, 100 tahun kebangkitan Nasionalnya, 10 Tahun
Reformasi, membuat agenda mengusung kepemimpinan kaum muda dapat dilihat dari
dua sudut pandang.
Pertama,
Politik. Ketika pelaksanaan pemilu 2004, rakyat mengharapan SBY-JK, dapat
membuat bangsa ini bisa menampilkan wajah aslinya sesuai skogan kelak, ia bisa
mensejaterakan rakyatnya, membebaskan rakyatnya dari kemiskinan dan kebodohan.
Supermasi hukum ditegakkan, pelanggaran HAM diadili. Penangkapan para koruptor
kelas kakap, pembelian kembali asset-aset bangsa yang sempat tergadaikan bahkan
dijual dengan harga murah, ibarat seperti kain bekas yang tidak layak
pakai.
Pembenahan
sektor ekonomi, ketimpangan sosial, menjadi harapan baru untuk dapat di
selesaikan. Memang ada sedikit persoalan yang coba mulai dibenahi oleh
pemerintah, tetapi secara empiris, itu sebuah pengkiatan terhadap rakyat.
Beberapa kebijakan pemerintah seperti menaikkan harga BBM dan harga sembako
kian melambung. Daya beli masyarakat kecil menurun, biaya sekolah dan kesehatan
yang terus mahal.
Yang
paling menyedihkan, DPR tercoreng dengan korupsi, Mahkamah Agung dengan isu
suap serta yang paling menyita perhatian banyak khalayak terlibatnya dua
menteri Kabinet SBY-JK yang namanya disebut masuk dalam daftar penerima dana
BLBI. Hal ini jadi bola kristal terbangunnya image masyarakat yang tidak
percaya lagi kepemimpinan bangsa kepada kaum tua.
Kedua,
dari sudut pandang budaya, watak kebudayaan nasional kita bagi suatu Negara pun
menjadi cair. Dengan kencangnya transpormasi informasi. Akulturasi budaya yang
didorong oleh kekutan global tersebut telah menjadi tatanan peradaban dan
tradisi kehidupan Negara-negara ketiga.
Dalam
aspek sosial budaya, kepentingan individu menjadi aspek yang selalu harus
diprioritaskan dalam segala hal. Kepentingan komunal menjadi hal kuno yang
tidak digunakan lagi. Cara fakir ini pernah dikemukakan oleh Adam Smith dengan
mengatakan, sikap altruis (mementingan kepentingan orang banyak) adalah bentuk kegagalan
bagi suatu Negara.
Ini
luput dari kacamata kaum tua, sehingga akhir-akir ini setiap individu saling
berkompetisi, tidak lagi mengidahkan norma, etika dan aturan yang berlaku.
Sehingga dengan ketertutupan hati nurani yang dibungkus sikap tamak materi,
maka porak-porandalah tatanan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban yang telah
kita bangun selama ini.
Prof.
Dr. Syafi’i Ma’arif bilang, bangsa ini sudah di ambang kehancuran dan tuna
keadaban yang tidak mengenal lagi nilai-nilai moralitas. Melihat dua fenomena
dan potret bangsa tadi, sudah selayaknya bagi kita yang muda untuk mengusung
dan memformulasikan kembali aras pemikiran dan menyatakan siap tampil dalam
ranah kehidupan bangsa ini.
Kegagalan
masa lalu kita niatkan untuk tidak akan terulang bagi generasi yang akan
datang. Walau untuk membenahi negara dan daerah yang multikrisis ini tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan, namun dengan langkah antisipatif dan
mempersiapkan generasi muda yang lebih matang, akan relative membuka jalan bagi
kebangkitan bangsa dan daerah ini kedepan. Bukankah kaum muda Indonesia telah
menujukkan kiprahnya dalam menentang katidakadilan di negara ini? Maka sebagai
kalangan muda, mau tidak mau sekarang kita harus mempersiapkan diri untuk
menjadi ikon bangsa dan daerah ini ke depan.
Kita
persiapkan untuk agenda kepemimpinan kaum muda, Pertama, Jadilah
generasi muda yang cakap ilmu dan kemantapan iman. Jika kedua unsur ini tidak
lagi terbentuk dalam jiwa generasi muda sekarang, tentu dampak kehidupan
masyarakat kedepan jauh akan lebih parah dari sekarang. Untuk meraih kemajuan
banga ini, bukanlah dengan mengangan-angankannya saja, tapi dengan ilmu.
Keunggulan ilmu tidak dapat dirasakan apabila tidak dilandasi dengan iman.
Kedua,
kedewasaan mental dan kearifan global. Ini bagian dari skill anak muda kita
yang juga harus dapat diciptakan melalui budaya bangsa ini. Ini tercermin dari
sikap mau berdialog, bersikap pluralistik, dan berlaku toleran sekaligus mampu
menjalin kerjasama dengan berbagi pihak.
Ketiga,
melihat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, maka bagi kaum muda dituntut
untuk memiliki penghayatan keagamaan yang substantive yang tidak mudah terjebak
dalam aras formalistik dan simbolik. Karena kejumudan pikiran kian menjauhkan
bangsa ini dari kemajuan. Pemahaman agama harus mampu diciptakan ke arah yang
lebih toleran, progressive dan terbuka.
Jadikan
acuan kedepan untuk mepersiapkan kaum muda yang kuat dan layak jual di pentas
nasional dan dunia, karena Islam mengajarkan pada umatnya, “agar setiap manusia
harus khawatir jika meninggalkan generasi muda yang lemah mentalnya,” Karena
hari esok bukanlah untuk generasi tua hari ini, melainkan buat generasi muda
sekarang dan yang akan datang. Semangat kaum muda adalah semangat
perubahan.
Regenerasi
dan pembeliaan perlu dilakukan. Maksud pembelian disini bukan terpaku pada umur
saja, tetapi ia boleh tua asal memiliki progresivitas seperti anak muda.
Kategori muda memiliki dua arti, yaitu, dari segi umur dan pemikiran meminjam
Istilah Ridho Alhamdi “muda tidak mesti anti tua.”
C. Perubahan
Sosial dan Politik Dalam Kehidupan Masyarakat
Ada beberapa landasan dalam melakukan perubahan sosial: Pertama,
Realitas. Realitas merupakan hal yang pertama sekali dalam melakukan suatu
perubahan. Karena berangkat dari realitas inilah semua persoalan mampu
dipetakan. Tanpa melakukan pembacaan terhadap realitas, kita akan kehilangan
identitas dalam melakukan gerakan. Karena gerakan apapun yang kita desain dan
bangun, harus berangkat dari realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Paradigma ini sangat penting untuk dibangun, dumaknai dan diapresiasi, demi
melihat sebuah perubahan yang responsif dan partisipatif.
Oleh karena itu, A.N Whitehead menekankan sifat prosesual
seluruh realitas: “alam adalah struktur dari prosesyang berkembang. Realitas
adalah proses”. Perubahan senantiasa terjadi dialam semesta. Selanjutnya ia
mengatakan: “kehidupan manusia berubah dari hari ke hari; wujud lahiriahnya
adalah sama. Perubahan adalah konstan, dan kadang-kadang kelihatan.
Konstalasinya tak nampak berubah sama sekali, meskipun kita tahu bahwa
konstalasinya itupun berubah. Apakah perubahan terjadi dalam satu menit ataukah
dalam milyaran tahun, itu hanya lah persoalan pengukuran manusia belaka . . .
perubahan adalah konstan, apakah kita ukur dengan menit atau milyaran tahun,
kita sendiri adalah bagian dari perubahan itu.
Pemikiran ini merupakan perlawanan dari determinisme yang
menganggap bahwa alam yang terbentang adalah susunan dari benda yang mati.
Padahal semua yang ada di alam akan mengalami perubahan, dan itu adalah
pertanda bahwa alam itu berubah dan mengalami pergeseran. Karenanya ia
mengatakan, bahwa manusia/individu merupakan bagian dari perubahan.
Kedua,
adalah Tindakan. Manusia melakukan aktivitas dan bertindak tentu akan
melahirkan perubahan. Entah ia sadar atau tidak bahwa tindakan yang dia lakukan
itu telah melahirkan perubahan. Seorang manusia, dalam melakukan aktifitas
apapun, tentu akan melahirkan suatu perubahan entah dia sengaja atau tidak,
akan tetap berimplikasi pada perubahan. Oleh sebab itu, setiap tindakan manusia
tentu mendatangkan perubahan, baik dalam skala besar maupun kecil. Ia mewabah
pada tindakan manusia, aktivitas, dan perilaku yang dilakukan oleh manusia.
Sehingga setiap perubahan yang terjadi merupakan implikasi dari tindakan yang
dilakukan oleh manusia itu sendiri- dan itu kembali memperkuat bahwa realitas
manusia adalah bagian dari perubahan.
Ketiga,
ide baru yang muncul sebagai Determinisme dari teori yang ada. Ini merupakan
bagian dari landasan perubahan sosial. Ide merupakan gagasan-gagasan brilian
yang mendekonstruksi ide yang telah ada, atau sebagai antitesa dari konsep yang
telah mapan, sehingga konsep yang ada tadi mengalami perubahan, bukan hanya
secara konseptual tetapi juga paradigma. Jadi dalam melakukan perubahan perlu
ada ide, di mana ia lahir sebagai antitesa dari ide yang ada. Misalnya,
sekarang banyak pembongkaran terhadap teori-teori atau ide-ide lama yang
dilakukan oleh banyak pakar, seperti pembongkaran Mansour Fakih terhadap
dusta-nya pembangunan dinegara-negara dunia ketiga yang dilanggengkan oleh
rezim-rezim politik yang berkuasa, pembongkaran yang dilakukan oleh Harun Yahya
terhadap The Origin of Species yang ditulis oleh Charles Darwin, merupakan ide
yang brilian yang ternyata mampu menyentakan alam bawah sadar masyarakat, bahwa
hegemoni teori-teori barat kemudian mampu dibongkar kedustaannya. Disinilah
terjadi perubahan paradigma karena adanya ide yang lahir sebagai antitesa dari
ide yang telah ada sebelumnya.
Keempat,
dependensia. Yaitu ketergantungan antar berbagai pihak yang menyebabkan pihak
yang tergantung itu harus menyikuti keinginan pihak yang menggantungnya. Teori
dependensia ini sebenarnya di gunakan oleh Teotonia Dos Santos dalm melihat
ketergantungan negara-negara dunia ketiga dalam menata perekonomian mereka
terhadap negara-negara dunia pertama.
Kenapa dependensia dapat melahirkan perubahan sosial?
Kita secara praktis bisa berpikir, karena ketergantungan ini menyebabkan pihak
yang bergantung harus ikut pad pola struktur minimal-meniru-pihak yang
menggantungnya. Dalam perekonomian misalnya, Indonesia adalah negara yang
menggantungkan diri pada negara-negara Barat, karena sekarang Barat sedang
berada pada posisi diatas dalam hal pembangunan ekonomi, maka ia menjadikan
negara-negar berkembang menggantungkan perekonomiannya pada mereka. Sehingga
pembangunan perekonomian dinegara-negara berkembang merupakan copian dari negar-negar maju tersebut. Disini
perubahan terjadi, tetapi bergantung pada rekayasa entitas lain, bukan murni
lahir dari komunitas setempat. Oleh sebab itu, perubahan terjadi sangat
tergantung pad kemurahan hati entitas yang menggantungnya tersebut, sehingga
aktivitas ekonomi katakanlah mengalami semacam modifikasi.
Kelima,
adalah Dialektika, sebagaimana yang telah diajukan diatas, bahwa dialektika
berpotensi melahirkan perubahan sosial. Bahkan melalui dialektika-lah,
kemungkinan besar perubahan sosial itu akan terjadi. Apa yang terjadi dalam
rentang sejarah kemanusiaan, perubahan senantiasa terjadi akibat dari proses
dialektika. Jika bukan karena dialektika, tidak bisa mengecam manis dan
pahitnya berIslam. Melalui Islam yang dikembangkan oleh Muhammad (Rasulullah)
SAW kita mampu menemukan jati diri kemanusiaan kita[13].
Menurut Piotr Sztompka, perubahan sosial dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, tergantung dair sudut pengamatan . apakah dari sudut
aspek, fragmen, atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan karena keadaan
sistem sosial itu tidak sederhana, tidak berdimensi tunggal, tetapi muncul
sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen sebagai berikut
ini:
1.
Unsur-unsur
pokok (misalnya, jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka)
2.
Hubungan
antar unsur (misalnya, ikatan sosial, loyalitas,, ketergantungan, hubungan
antar individu, integrasi)
3.
Berfungsinya
unsur-unsur didalam sistem (misalnya, peran pekerjaan yang dimainkan oleh
individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban
sosial)
4.
Pemeliharaan
batas (misalnya, kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota
sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip rekruitmen dalam
organisasi, dan sebagainya)
5.
Subsistem
(misalnya, jumlah dan jenis seksi, segmen atau divisi khusus yang dapat
dibedakan)
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Untuk menutup karya
tulis ini, ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis tarik pembahasan tentang
Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator, antaranya adalah:
a. Intelektual
adalah seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain” atau
mereka “yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya”dan Inteligensia
adalah merupakan strata sosial.
b. Generasi
muda tidak seharusnya terjebak pada arus kepemimpinan yang yang dicerminkan
oleh mereka yang berkuasa, dia harus mampu bercermin kepada apa yang pernah
dicerminkan oleh Rasulullah SAW sebagai tauladan bagi umat manusia.
c. Generasi
muda sebagai penopang perubahan sosial yang akan terjadi dalam suatu masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dialah sebagai batu tonggak perubahan
itu, maka dia harus menciptakan perubahan sosial yang lebih baik.
2. Saran
Sedangkan untuk memberikan saran
atau rekomendasi dalam karya tulis ini, maka ada beberapa saran yang dapat
penulis ajukan dalam memperkuat peran dan generasi muda dalam kehidupan sosial
politik dalam menjalankan kewajibannya sebagai generasi masa depan bangsa, yang
akan melakukan berbagai hal yang akan menciptakan perubahan itu, yakni;
1. Untuk
memperkuat peran generasi muda dalam ranah kehidupan sosial politik, maka
generasi muda harus mampu membawa dirinya menjadi intelektual sejati, bukan
intelektual-intelektualan, atau intelektual mainan.
2. generasi
muda harus mampu menafsirkan sifat kepemimpinan yang dicerminkan oleh mereka
yang memimpin kepada masyarakat, supaya masyarakat tahu bahwa kepemimpinan dia
ini begini dan lain sebagainya, bukan sebagai pelicin yang selalu menutupi
sifat kepemimpinan pemimpin tersebut.
3. generasi
muda harus mampu menciptakan perubahan sosial yang lebih baik, jika pemimpin
memang sudah tidak layak untuk memimpin suatu bangsa, maka sebagaimana ungkapan
yang selalu dilontarkan oleh sang aktifis yang tidak pernah takut terhadap
semuanya (Prof. Dr. Ir. Sri Bintang Pamunkas).
[1] Yudi Latif, “Inteligensia
Muslim dan Kuasa: Genealogi inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20”,
Bandung, Mizan Pustaka. 2005. Hlm: 20.
[2] Zygmunt Bauman, “Legislators
and Interpreters: On Modernity, Post-Modenity and Intellectuals”, Oxford,
Polity Press. 1989.
[3] L. Coser, “Men Of
Ideas”, New York, Quil. 1965. Lihat pula, Michael Walzer, “The Company
of Critics”, London, Peter Halban. 1989. Lihat pula, Paul Johnshon, “Intellectuals”,
London, Weindenfeld & ANU Press. 1998.
[4] Seymuor Martin
Lipset,”Democracy In Plural Societies”, New Haven, Yale University.
1960.
[5] A. Gella, “An
Introduction to the Sociology of the Intelligentsia”, dalam “The
Intelligentsia and Intellectuals: Theory, Method, and Case Study”, ed.A.
Gella, London, Sage Publications Ltd. 1976, Hlm: 9-32.
[6] Genealogi Konraad
& Szelenyi I., “The Intellectual on the Road to Class Power”, terjm.
A. Arato dan R.E. Allen, Sussex, Harvester Press. 1979. lihat pula, A. Gella, “An
Introduction to the Sociology of the Intelligentsia”, dalam “The
Intelligentsia and Intellectuals: Theory, Method, and Case Study”, ed.A.
Gella, London, Sage Publications Ltd. 1976, Hlm: 9-32.
[7] A. Gella, “An
Introduction to the Sociology of the Intelligentsia”, dalam “The
Intelligentsia and Intellectuals: Theory, Method, and Case Study”, ed.A.
Gella, London, Sage Publications Ltd. 1976, Hlm: 9-32.
[8] A. Gella, “An
Introduction …….. ibid. 13.
[9] . Syarifuddin Jurdi;
(Sejarah Wahdah Islamiyah: Sebuah Geliat Ormas Islam di Era Transisi,
Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2007, Hlm: 46-48)
[10]. D . McDonald; “A
Theory of Mass Culture”, dalam B. Rosenberg dan D. White [Editor] Mass Culture, Glencoe, free press, 1957, Hlm:
69. Seperti yang dikutip dalam Dominic Strinati; ”Popular
Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer”, Bandung, Mizan
Media Utama [MMU], 2004, Hlm: 15.
[11]. Fajlurrahman Jurdi,
“Aib Politik Muhammadiyah”, Yogyakarta, Juxtapose, 2007, Hlm: 87-90.
yang dicetak miring dari penulis.
[12]. A’bul A’la
Al-Maududi, “Political Theory of Islam.”Islam: Its Meaning and Message”, Edited By Kurshid Ahmad. London: Islamic
Council of Europe, 1976, Hlm: 271. Lihat
pula Saiful Mujani, “Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan
Partisipasi Politik Di Indonesia Pasca-Orde Baru”, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2007, Hlm: 61.
[13].
Fajlurrahman Jurdi; ”Aib Politik
Muhammadiyah”, Yogyakarta, Juxtapose, 2007, Hlm: 96-99.
[14].
Piotr Sztompka; ”Sosiologi Perubahan Sosial”, Jakarta, Prenada Media,
2004). Lihat pula Fajlurrahman Jurdi; ”Aib Politik Muhammadiyah”,
Yogyakarta, Juxtapose, 2007, Hlm: 100-101.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar