Minggu, 13 Mei 2012

Pilkada dan Ruh Demokrasi Lokal

PILKADA DAN RUH DEMOKRASI LOKAL
Fatahullah Jurdi


Abstrak
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah awalnya mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian penyelenggaraannya diatur lagi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Di seluruh Indonesia dan dalam waktu dekat ada empat Kabupaten/Kota yang akan menyelenggarakan Pilkada pada tahun 2010 ini, dan Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara demokratis sebagaimana yang tersirat dalam Undang-undang.
Kata Kunci: Undang-Undang, Pemerintahan Daerah, Pilkada, Indonesia, Demokrasi.

A.    PENDAHULUAN
Pemililihan Umum merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas Negara dan pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa saja yang harus menjalankan dan disisi lain mengawasi pemerintahan Negara. Karena itu, fungsi utama bagi rakyat adalah ”untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil”.
Proses pemilihan pemimpin merupakan suatu kepastian dalam kehidupan berdemokrasi di suatu Negara yang bernama Indonesia. Kondisi di mana rakyat kini dapat memilih para pemimpinnya secara langsung merupakan kesepakatan politik yang telah terlembaga sebagai perubahan mainstream politik yang fundamental. Keinginan publik yang besar dan didukung pula oleh keinginan politik akhirnya pemilihan secara langsung juga dilaksanakan di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Dalam pemilihan pemerintah daerah sebuah institusi diharuskan mampu memberikan sebuah pendekatan institusional dan pendekatan kekerabatan terhadap apa yang menjadi kepentingan masyarakat daerah pada umumnya, itulah tercapainya sebuah demokrasi murni ala lokal.
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah awalnya mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian penyelenggaraannya diatur lagi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Dan itu sudah dijalankan diseluruh propinsi, kabupaten/kota diseluruh pelosok Indonesia dan sampai hari ini masih terus dilaksanakan. Ini berkat kerja keras yang dilakukan oleh para aktifis pendorong terjadinya reformasi tahun 1998 dan membuat bangsa ini, memasuki masa transisi ke demokrasi.
Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh seorang pemimpin yang dipilih secara langsung oleh warga negara yang bersangkutan, sesuai dengan cita-cita demokrasi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Dan nilai demokrasi tersebut sudah tercantum dengan jelas dalam Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
Dalam kondisi yang sedang terjadi di Indonesia, sebuah negara demokratis akan banyak sekali hambatannya. Menurut Daniel Sparringa . Dalam beberapa tesis tentang demokrasi beserta isu problematisnya dan perkembangannya di Indonesia dimulai pada saat runtuhnya rezim Orde Baru sampai 2008 (1998-2008), ia mengekemukakan, yakni; Ada beberapa hambatan dalam menciptakan negara demokratis dengan melihat kondisi yang sedang terjadi di Indonesia. Antaranya;
Pertama, Demokrasi adalah sebuah konsepsi politik dan sekaligus praktik sosial yang berkembang melalui sebuah proses sejarah yang panjang yang merepresentasikan sebuah dialektika di antara teks dan konteks.  Oleh karena itu, sebagai sebuah institusi, demokrasi adalah representasi dari sebuah siklus di antara pengalaman tekstual, pengalaman struktural, dan pengalaman kultural.
Isu-isu Problematis:
•    Kegagalan dalam memahami pentingnya konteks dari mana teks itu dilahirkan menghasilkan penafsiran dan praktik yang kadang menyesatkan;   
•    Demokrasi memerlukan kontekstualisasi yang memungkinkan berbagai prinsip yang bersifat universal itu dapat diperkaya, diperkuat, dan dibumikan oleh berbagai “pengaturan” dan “keteraturan” yang bersifat partikular dan lokal.  Tidak semua yang bersifat partikular dan lokal selalu bersesuaian dengan yang ajaran universal demokrasi.
•    Untuk memungkinkan demokrasi “bekerja” pada tingkat individual, diperlukan sebuah transformasi di tiga tingkat yang berbeda secara penuh: pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.  Dalam periode transisi, kesenjangan di antara ketiganya kerap sangat lebar.
Kedua, Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang mengintegrasikan cara (means), tujuan (goals), dan nilai-nilai (values) sebagai tiga entitas yang tidak terpisahkan—“MGV’s”
•    Sebagai cara, mekanisme, prosedur, atau protokol, demokrasi berkenaan dengan berbagai pilihan rasional tentang bagaimana individu atau kelompok mengorganisasikan cara (-cara) yang relevan untuk pencapaian sebuah atau lebih tujuan: dialog, musyawarah, demonstrasi, pawai, rapat akbar, menulis petisi, menulis ‘surat pembaca’, mengirim protes adalah beberapa contohnya.
•    Sebagai tujuan, demokrasi berkaitan dengan pencapaian keadilan dan kemakmuran (justice and prosperity);
•    Sebagai nilai-nilai dan etika, demokrasi berhubungan dengan pengikatan diri terhadap sejumlah nilai utama, di antaranya yang terpenting adalah non-violence, freedom and equality, pluralism, human rights, multiculturalism;
Isu Problematisnya di Indonesia:
Di Indonesia, terdapat kecenderungan yang kuat untuk menekankan demokrasi pertama-tama dan bahkan melulu sebagai cara daripada juga sebagai tujuan dan nilai-nilai. Kerapnya demonstrasi dan demonstrasi yang juga melibatkan kekerasan menghasilkan kepercayaan yang meremehkan manfaat demokrasi.
Ketiga, Transisi demokrasi akan selalu ditandai dengan berlangsungnya empat agenda utama berikut ini: 
(1). penegasan tentang pemisahan dan pembagian kekuasan di antara lembaga Judisial, Eksekutif, dan Legislatif (YEL). Walaupun terdapat beberapa varian tentang bagaimana tiga lembaga negara ini diatur, pada dasarnya pemisahan kekuasaan itu bermaksud untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan di satu lembaga, atau orang bahkan.  Dengan argumentasi semacam itu, dipercaya akan terjadi proses saling mengawasi sehingga kekuasaan akan memang dan sungguh digunakan untuk kemaslahatan kehidupan bersama.

Isu-isu Problematisnya di Indonesia:
•    Walaupun ajaran Trias Politica secara relatif memberikan definisi yang cukup jelas, dalam praktiknya di Indonesia pembagian mandat dan otoritas di antara ketiga lembaga itu lebih banyak ditentukan oleh negosiasi politik dan sejumlah asumsi kultural yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ajaran asalinya.
•    Tidak tersedianya pemahaman yang memadai tentang faham-faham dasar yang yang terkait dengan konstitusionalisme menyebabkan terjadinya keganjilan dalam pewacanaan publik dan pelembagaan ajaran demokrasi dalam konteks Trias Politica di Indonesia.
(2). pembagian kekuasaan di antara pemerintah pusat, regional, dan lokal.  Distribusi atau re-distribusi kekuasaan semacam ini, yang di Indonesia sering lebih dikenal dengan “otonomi daerah” itu, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil di samping pemikiran-pemikiran yang lebih pragmatis seperti efisiensi dan kemasukakalan.
Isu-isu Problematis yang terjadi di Indonesia:
•    “Otonomi daerah” menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah, terlepas, dari rasionalitas demokrasi;
•    “Otonomi daerah” menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang “ganjil”, “aneh”, “kontradiktif”, dan “paradoksikal”: berorientasi pada elite daripada massa; mendorong fenomena “local boss politics”, meluasnya korupsi dan misuse/abuse of power; dan bahkan menghasilkan politik identitas yang mengancam tidak saja HAM dan pluralisme namun juga multikulturalisme.
(3). pembagian kekuasan atas apa yang menjadi wilayah yurisdiksi negara (state) dan apa pula yang menjadi wilayah yurisdiksi masyarakat (civil society).  Negara  memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai pengaturan yang berkenaan dengan kehidupan bersama, dan, bila mana perlu, dapat menggunakan kekuatan paksa (coercive power) untuk menegakkan prinsip-prinsip yang diakui dalam kehidupan bersama itu.  Sering disebut, negara mengurus wilayah publik sementara masyarakat mengurus wilayah privat dan inter-privat. Masyarakat, oleh karena itu, memiliki, memelihara dan mengendalikan sepenuhnya berbagai ruang dan inter-relasi privat yang berkaitan dengan sistem produksi dan re-produksi biologis (misalnya perkawinan), sosial (misalnya pendidikan), ekonomi (misalnya pertukaran barang dan jasa), dan budaya (misalnya sistem kepercayaan dan adat). Walaupun di antara dua wilayah itu terjadi interaksi, dan oleh karena itu keduanya tak sepenuhnya terisolasi satu terhadap yang lain, dapat dikatakan masing-masing memiliki wilayah yang relatif otonom.

Isu Problematisnya di Indonesia:
Dalam praktiknya di Indonesia, terdapat kekaburan dan bahkan mungkin pengaburan batas wilayah publik dan privat. Selama hampir sepuluh tahun proses transisi ini, terdapat kecenderungan di antara keduanya untuk melampaui batas otoritas atau tidak melakukan kewajiban yang diharuskan oleh otoritas masing-masing.
(4). terjadinya proses pemisahan yang kian jelas di antara hak-hak individu dan kewajiban-kewajiban individu atas kehidupan komunal. Tersedianya kebebasan untuk berekspresi menurut keyakinan-keyakinan individual daripada pertama-tama atau semata-mata menurut keyakinan komunal merupakan satu proses sosial penting yang terjadi dalam transisi menuju masyarakat yang kian kompleks, plural dan demokratis.  Keabsahan hak-hak komunal atas individu selain dilakukan berdasarkan prinsip kesukarelaan juga tidak boleh berakibat pada dikurangkannya hak-haknya sebagai warga negara yang merdeka dan setara dan atau berakibat pada dihilangkannya, sebagian atau keseluruhan, kemampuannya dalam membuat keputusan berdasarkan prinsip self-determination.
Isu Problematisnya yang terjadi di Indonesia:
Ciri tradisional dalam masyarakat majemuk yang di antaranya menekankan kesetiaan dan kepatuhan tanpa batas terhadap adat, kepercayaan, dan tradisi kerap menyebabkan hilangnya kemerdekaan dan kesetaraan individu dalam kehidupan komunalnya.
Keempat, Demokrasi berevolusi dari awalnya yang hanya berhubungan dengan “ihwal memerintah” di tingkat negara (state) menuju ke wilayah yang juga berhubungan dengan “ihwal bertingkah” dalam masyarakat (civil society) dan “ihwal pengaturan produksi dan distribusi barang dan jasa” di lingkungan pasar.  Implementasi demokrasi di masing-masing “wilayah” memiliki masalah dan tantangan yang walaupun mungkin berhubungan namun dapat dibedakan secara distingtif.
Isu Problematisnya di Indonesia:
Secara umum, kita memiliki akumulasi pengetahuan dan best practices yang memadai untuk mengenali masalah-masalah mendasar dan mendorong perubahan di wilayah negara yang tercakup dalam konsepsi dan ageneda aksi “political reforms”.  Sebaliknya, kita tidak mempunyai modal pengetahuan dan pengalaman yang dapat dibandingkan untuk mendorong terjadinya transformasi sosial di tingkat masyarakat.  Sementara itu, terdapat kecenderungan ideologis yang kuat yang memandang program “liberalisasi pasar” sebagai agenda yang terpisah dan harus dipisah dari proses demokratisasi di Indonesia.
Kelima, Implementasi demokrasi berbasis hak asasi manusia (human rights based democracy) memprasyaratkan hadirnya negara dengan otoritas dan mandat yang kuat dalam melindungi, membela, dan mempromosikan hak asasi manusia.
Isu Problematisnya di Indonesia:
Dalam sepuluh tahun transisi demokrasi di Indonesia, otoritas dan mandat negara dalam melindungi, membela, dan mempromosikan hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh undang-undang dasar banyak dihalangi oleh melemahnya fungsi dan wibawa negara, oleh ketiadaan elemen-elemen strategis yang memadai di tingkat civil society untuk menjamin pluralisme, toleransi, dan multikulturalisme, serta tiadanya mekanisme yang efektif untuk memastikan terjadinya pertukaran barang dan jasa berdasarkan prinsip-prinsip pasar yang bebas dan adil.
Keenam, Perkembangan demokrasi di suatu negara merupakan fungsi dari berbagai tindakan—baik yang disadari maupun tidak (acknowledged and unacknowledged actions)—dan telah menghasilkan sejumlah konsekuensi—baik yang dimaksudkan begitu maupun tidak (intended and unintended consequences).
Isu-isu Problematis yang terjadi di Indonesia:
•    Kegagalan, sekurang-kurangnya ketidakcermatan, dalam menginden-tifikasikan acknowledged and unacknowledged actions serta intended and unintended consequences mengaburkan penilaian yang jernih terhadap capaian kolektif (collective achievements) di negeri ini selama sepuluh tahun terakhir ini, dan telah menyebabkan bercampuraduknya keputusasaan dan kepercayaan yang berlebihan kepada jalan pintas sebagai jalan keluar dalam menciptakan masa depan yang lebih baik itu.
•    unacknowledged actions dan unintended consequences yang dihasilkan oleh perkembangan selama sepuluh tahun terakhir ini telah mendorong berkembangnya kepercayaan bahwa demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia lebih banyak menghasilkan halangan dan bahkan ancaman terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketujuh, Demokrasi hanya mungkin menghasilkan sistem politik yang stabil dan berkelanjutan apabila perkembangan dalam setiap tahapnya ditandai oleh hadirnya keseimbangan di antara keluasan partisipasi (quantity of partisipation) dan kualitas wacana (quality of discourse) tentang demokrasi dan kaitannya dengan HAM, pluralisme, multikulturalisme, dan sejumlah tema strategis lainnya seperti kebebasan dan keadilan, gender, dan lingkungan hidup.
Isu-isu Problematis pada Indonesia:
•    terdapat kecenderungan yang kuat di Indonesia untuk secara berlebihan menggunakan indikator kuantitas partisipasi sebagai ukuran kemajuan demokrasi dengan ongkos kian berkurangnya ruang bagi pengembangan wacana demokrasi.
•    Pengutamaan pada kuantitas partisipasi telah mengakibatkan tersingkirnya perdebatan intelektual tentang isu-isu strategis di sekitar demokrasi dan tema-tema relevan lainnya.
•    Arah dan perkembangan demokrasi di masa depan dapat secara serius terancam oleh rejim mayoritas yang dihasilkan oleh proses-proses yang difasilitasi oleh keluasan partisipasi.
Kedelapan, Berkembangnya kepercayaan secara berlebihan terhadap kekhususan (specifity) dan keunikan (uniqueness) yang melekat dalam konstruksi politik tentang Indonesia dan atau ke-Indonesia-an dapat menghasilkan argumentasi yang menyesatkan tentang gagasan-gagasan universal negara bangsa (nation-state), demokrasi, dan HAM.  
Isu Problematisnya di Indonesia:
Adalah jelas bahwa setiap bangsa selalu memiliki berbagai kekhususan dan keunikan—baik yang dihasilkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, budaya, sejarah maupun kombinasi di antara berbagai faktor itu.  Walaupun demikian, peneguhan secara keliru terhadap kedua konsep itu dapat mendorong berkembangnya pemikiran dan atau kepercayaan sempit yang memberi jalan bagi para elite dan eksponen tradisional lainnya untuk menghasilkan doktrin-doktrin ortodoks yang tidak saja berbeda namun juga mengandung pertentangan secara diametral dengan konsepsi dan praktik demokrasi.
PROSPEK PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA
Pemilu yang LUBER dan Jurdil mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan pada asaas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil:
1.    Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara;
2.    Umum berarti pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia , yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga Negara yang sudah berumu 21 (dua puluh satu) tahun berhak di-pilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial;
3.    Bebas berarti setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya;
4.    Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan papun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun;
5.    Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum; penyelenggaraan/pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
6.    Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Pemilihan umum yang LUBER dan Jurdil dibutuhkan semua pihak, baik itu pemerintah, partai politik, masyarakat, serta kalangan internasional. Hal ini mengingat pemilihan umum akan menghasilkan para wakil rakyat, yang akan membetuk pemerintahan yang ebrkuasa secara absah. Ini berarti pemilihan umum berfungsi pula sebagai sarana untuk melakukan pengertian pemeritnahan secara wajar dan damai. Keabsahan pemerintah dan pergantian pemerintah secara wajar dan damai hanya dapat dijamin jika hasil Pemilu dapat diterima dan dihormati oleh pihak yang menang maupun pihak yang kalah, serta rakyat dan dunia internasional pada umumnya.
Hasil Pemilu yang diterima dan dihormati semua pihak hanya bisa diperoleh melalui penyelenggaraan Pemilu yang LUBER dan Jurdil dapat menghasilkan kepastian dan ketenangan yang akan menjadi landasan kuat bagi terciptanya stabilitas dalam tatanan demokrasi. Pemilu yang LUBER dan Jurdil juga akan dapat mengurangi, atau bahkan menghilangkan kecurigaan, prasangka, maupun tuduhan-tuduhan dari suatu pihak lain yang terlibat langsung dalam proses Pemilu.
Untuk mewujudkan Pemilu yang LUBER dan Jurdil, dibutuhkan persyaratan minimal, diantaranya adalah:
•    Peraturan perundangan yang mengaatur Pemilu harus tidak membuka peluang bagi terjadinya tindak kecurangan maupun menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu;
•    Peraturan pelaksanaan Pemilu yang memuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan Pemilu harus tidak membuka peluang bagi terjadinya tindak kecurangan maupun menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu;
•    Badan/lembaga penyelenggara Pemilu harus bersifat mandiri dan independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau partai politik peserta Pemilu baik dalam hal kebijakan maupun operasionalnya, serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kreadibilitasnya tidak diragukan;
•    Panitia Pemilihan Umum di tingkat nasional maupun daerah harus bersifat mandiri dan independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau partai politik peserta Pemilu baik dalam hal kebijakan maupun operasionalnya, serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kreadibilitasnya tidak diragukan. Keterlibatan aparat pemerintahan dalam kepanitiaan Pemilu sebatas pada dukungan teknis operasional dan hanya bersifat administratif;
•    Partai politik peserta Pemilu memiliki kesiapan yang memadai untuk terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu, khususnya yang berkaitan dengan kepanitiaan Pemilu serta kemampuan memper-siapkan saksi-saksi di tempat-tempat pemungutan suara;
•    Lembaga/organisasi/jaringan pemantauan Pemilu harus terlibat aktif dalam setiap proses dan tahapan Pemilu disemua tingkatan diseluruh wilayah pemilihan untuk memantau perkembangan penyelenggaraan Pemilu;
•    Anggota masyarakat luas baik secara perorangan dan kelompok, maupun yang berhimpun dalam organisasi-organisasi kemasyara-katan harus aktif dalam memantau setiap perkembangan penyelenggaraan Pemilu di daerahnya masing-masing;
•    Insan pers dan media massa harus memberikan perhatian secara khusus pada setiap perkembangan penyelenggaraan Pemilu, supaya setiap perkembangan yang ada dapat segera dapat diberitakan kepada anggota masyarakat luas;
•    Memupuk kesadaran politik setiap warganegara supaya semakin sadar akan hak politiknya dalam Pemilu dan semakin memiliki kematangan dan kedewasaan politik sehingga tidak mudah untuk dipaksa, diancam, dibeli, maupun dipengaruhi dengan cara-cara yang tidak wajar untuk memilih, atau berbuat kecurangan yang menguntungkan, pihak-pihak tertentu.
KONSTRUKSI SISTEM PEMILU DI  INDONESIA
Dalam setiap sistem politik yang demokratis, seperti yang ditulis oleh Samuel Huntington, selalu mempersoalkan sumber kekuasaan (sources of authority) yang melandasi sebuah pemerintahan baru terbentuk, untuk tujuan apa kekuasaan itu di tetapkan (purpose of authority) dan prosedur apa yang memberikan legalitas terhadap kekuasaan tersebut (procedural of authority). Dalam masyarakat transisi, Pemilu merupakan sebuah konsensus bersama untuk menjawab persoalan sumber kekuasaan, tujuan kekuasaan, dan prosedur yang melegalisasi kekuasaan itu sendiri. Dalam kontes ini, ada tiga nilai utama yang diajukan oleh Samuel Huntington  dalam Gregorius Sahdan yang dimiliki oleh Pemilu pada saat itu: Pertama, Pemilu sebagai “tanda” berakhirnyna rezim non-demokratik (the inaguration non-democratic). Pelaksanaan Pemilu bertujuan untuk “pelembagaan demokrasi” dan pembangunan kembali kohesi sosial yang telah retak yang disebabkan oleh tarik menarik dukungan dan penolakan antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat. Kedua, Pemilu memiliki makna pelantikan pemerintahan baru atau pemerintahan atau rezim demokratik (the inaguration of the democratic rezime) menggatikan pemerintahan otoriter yang telah tumbang. Variabel-variabel pengukur Pemilu disini adalah sejauh mana partisipasi berbagai kelompok sosial, individu, dan masyarakat secara umum terlibat di dalam Pemilu, dan apakah hak-hak politik masyarakat enar-benar dijamin dengan kejuju-ran, kebebasan dan keadilan dalam Pemilu atau apakah Pemilu dijalan-kan dengan demokratis atau tidak untuk membedakannya dengan Pemilu yang terjadi sebelumnya. Ketiga, dalam era transisi, Pemilu merupakan perwujudan dari konsolidasi sistem demokrasi (the consolidation of the democratic system) yaitu suatu usaha untuk menjaga secara ketat kembalinya rezim status quo untuk menduduki kursi kekuasaan.
Kalau kita berbicara tentang pemilu, kita akan berbicara tentang bagaimana rakyat (masyarakat), sebenarnya saya tidak suka membawa rakyat, karena menurut saya semuanya ini adalah masyarakat dan tidak ada yang membedakannya dan menurut saya tidak ada rakyat. Sebab sebutan rakyat itu hanyalah kepada orang-orang yang tertindas. PEMILU (Pemilihan Umum) adalah bagaimana semua masyarakat itu memberikan suara atau hak untuk memilih seorang pemimpin yang akan memimpin mereka dengan adil, bertanggung-jawab, dan dapat memakmurkan kehidupan dalam masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (PEMILU), pada bab 1 (pertama) pasal 1 ayat I-VIII, dijelas bagaimana PEMILU itu dijalankan, siapa saja yang bekerja dalam kepengurusanya dan apa saja yang menjadi agenda dalam menjalankannya serta siapa saja yang dapat memberikan hak pilih.
1.    Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut PEMILU adalah sarana pelaksa-naan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2.    Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota selanjutnya secara berturut-turut disebut DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
3.    Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU adalah lembaga yang bersifat Nasional, tetap dan mandiri, untuk menyelenggarakan PEMILU.
4.    Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana PEMILU di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari KPU.
5.    Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan Luar Negeri, Panitia Pemungutan Suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri yang selanjutnya disebut PPK, PPLN, PPS, KPPS, dan KPPSLN.
6.    Pengawas PEMILU adalah Panitia Pengawas PEMILU, Panitia Pengawas PEMILU Provinsi, Panitia Pengawas PEMILU Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas PEMILU Kecamatan yang melakukan pengawasan terhadap seluruh proses penyelenggaraan PEMILU.
7.    Penduduk adalah Warga Negara Republik Indonesia yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia atau di Luar Negeri.
8.    Pemilih adalah Warga atau penduduk yang berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) Tahun atau yang sudah pernah kawin.
EKSISTENSI PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
Pemerintahan daerah di Indonesia khususnya mengenai hubungan eksekutif dengan legislatif daerah (penggunaan istilah legislatif daerah terhadap DPRD oleh karena mengacu pada fungsi legislasi yang dijalankannya) dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya, senantiasa menjadi topik yang menarik dan aktual untuk dikaji hingga saat ini. Ditelaah dari sudut hukum tata negara, maka masalah pemerintahan daerah berpangkal pada konsep tentang bentuk negara. Disatu sisi jika ditelaah dari sudut kajian Hukum Administrasi Negara, hal tersebut menarik karena berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan baik itu kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, maupun pelaksanaan kewenangan dari institusi/lembaga pemerintahan daerah yang ada (eksekutif dengan legislatif daerah). Pada sisi yang lain bila ditelaah dari sudut politik, maka konsep pemerintahan daerah sangat berkaitan dengan konstruksi tentang keadilan politik dan demokrasi.
Masalah pemerintahan daerah ini semakin aktual untuk dilakukan pengkajian, oleh karena beberapa hal :
Pertama, penyelenggaraan pemerintahan daerah berkaitan dengan pergeseran bentuk dan sistem pemerintahan. Sesuai periodenya, maka muncul tiga gelombang bentuk otonomi daerah, masing-masing periode 1945-1949 (periode negara kesatuan), periode 1949-1950 (periode bentuk negara serikat), dan periode 1950 sampai sekarang (periode negara kesatuan).
Kedua, pergeseran sifat dan bobot demokrasi setiap rezim. Aspek ini memiliki pengaruh yang tidak kecil, bahkan sangat menentukan. Rezim liberal akan membekali pemerintahan daerah dengan sejumlah kewenangan untuk mengurus urusan-urusan pemerintah, sehingga memiliki keleluasaan yang cukup, dibanding rezim sosialis atau otoriter. Kasus Inggeris misalnya, memperlihatkan perbedaan yang nyata antara pemerintahan daerah Scotlandia dengan Irlandia Utara (John Kingdom, dalam J.A. Candller, 1993:1).
Selama setengah abad lebih bangsa ini seolah menjadi bangsa yang selalu gagal memanfaatkan sejarah untuk meraih apa yang diimpikannya. Rakyat seakan tidak pernah mendapatkan apalagi diberi ruang untuk mengekspresikan kebebasan yang seharusnya dimiliki sebagai rakyat dari suatu negara yang merdeka. Pengalaman sebagai suatu bangsa selama 50 tahun lebih seharusnya mampu menghasilkan pengetahuan dan pemahaman yang lebih cerdas tentang bagaimana menghadirkan kedaulatan rakyat, memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menjadi subjek atas dirinya dan menjadi pemilik dari republik ini. Di dalam pandangan Andrew Mac Intyre dalam (Disertasi Madjid H. Abdullah, 2007:16) dinyatakan bahwa:
“Orde baru telah dengan sangat kuat menerapkan pelaksanaan pemerintahan dengan sistem yang sangat sentralistik dan tertutup bagi akses rakyat untuk berpartisipasi di dalamnya. Orde baru adalah sebuah orde yang tertutup, dengan tingkat distorsi yang tidak kecil. Kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), tak pelak merupakan produk dari ketertutupan sistem itu. Karena ketertutupan itulah yang menjadi ciri menonjol dari eksekutif daerah Indonesia dari pusat sampai daerah, maka tidak diperlukan data empiris untuk mendiskripsi tingkat ketepatannya” .
Kebijakan pemerintah pusat memberikan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah menurut  Mardiasmo, (2002:96), adalah:
    “merupakan langkah yang strategis dalam dua hal; Pertama, otonomi daerah merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi, khususnya globalisasi di bidang ekonomi, dengan maksud memperkuat basis ekonomi kerakyatan di daerah yang pada gilirannya diharapkan mampu menghantarkan bangsa ini dalam mewujudkan masyarakat pada kondisi kesejahteraan”.
Selanjutnya sesuai dengan penjelasan Pasal 18 Undang-undang Dasar (selanjutnya disingkat UUD) 1945, yang mengatur bahwa: Negara Indonesia adalah suatu “eenheidstaat”, maka Indonesia tidak akan/ tidak dibenarkan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Dengan demikian kemungkinan yang ada bagi Indonesia hanya membagi wilayahnya kedalam daerah yang lebih kecil dalam bentuk daerah provinsi dan daerah provinsi ini kemudian yang dibagi lagi kedalam daerah-daerah yang lebih kecil lagi dalam bentuk daerah kabupaten/kota. Hal ini mengisyaratkan keleluasaan sebagai cermin kekuasaan yang bersifat desentralisasi dengan kekuasaan pemerintah pusat sebagai cermin dekonsentrasi yang ada di daerah.
Keberadaan Undang-undang (selanjutnya disingkat dengan UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah merupakan pengganti Undang-undang (selanjutnya disingkat UU) No. 22 Tahun 1999, sedangkan Undang-undang (selanjutnya disingkat UU) No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Daerah adalah pengganti Undang-undang (selanjutnya disingkat UU) No. 25 Tahun 1999. Kedua undang-undang tersebut lahir dengan dijiwai dan dilandasi oleh UUD 1945, khususnya Pasal 18, dan kedua undang-undang itu pulalah yang kemudian melahirkan dan memberi kewenangan kepada daerah khususnya daerah kabupaten/ kota yang lebih besar ketimbang kewenangan yang dimiliki oleh daerah sebelum lahirnya kedua undang-undang tersebut.    
Kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 yang mengusung (mendrive) otonomi daerah harus dimaknai sebagai sebuah cara menghadirkan dan mewujudkan kedaulatan rakyat, menjadikan rakyat sebagai subjek dalam konteks negara dan bangsa Indonesia yang plural. Hal tersebut bermakna bahwa otonomi daerah merupakan pengakuan terhadap kekuasaan (dispersed of power), mengingat pemusatan (sentralisasi) kekuasaan berpotensi menjadi tirani, otoriter, dan eksploitatif. Secara ekonomi menuntut adanya distribusi kekayaan yang adil dan proporsional, dan secara sosiokultural menghendaki kebebasan ekspresi kultural dan kekhasan masing-masing daerah.
Ketentuan rumusan Pasal 10 ayat (3) tersebut di atas memberi makna bahwa selain urusan/kewenangan tersebut di atas adalah merupakan urusan/kewenangan pemerintahan daerah, dengan demikian maka pelaksanaan otonomi daerah, tidak lagi hanya otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Akan tetapi otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab akan memberikan kepercayaan bagi daerah otonom untuk mengelola kewenangan yang lebih besar dan lebih luas, terutama pada daerah kabupaten dan kota.
Kewenangan mengatur urusan rumah tangga daerah tersebut melekat pada eksekutif (Pemda) dan DPRD, sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah pemegang fungsi legislatif di daerah.
Di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah batas-batas kewenangan, fungsi dan tugas antara pihak eksekutif dalam hal ini Pemda yang diwakili oleh Bupati (Eksekutif daerah) dengan pihak legislatif daerah dalam hal ini DPRD telah diatur sedemikian rupa di dalam suatu aturan main yang telah disepakati yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Daerah, tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom dan berbagai aturan-aturan lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah diatur tentang tugas, fungsi dan kewenangan dari kedua institusi tersebut, dimana antara eksekutif dengan legislatif daerah secara eksplisit, jelas dan gamblang dibahasakan oleh undang-undang tersebut bahwa keduanya adalah merupakan dua lembaga mitra yang terpisah dan berkedudukan sederajat dimana antara satu dengan yang lainnya tidak ada yang di atas dan tidak ada yang di bawah, sehingga kembali di Pasal  19 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 diatur, bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah Pemda (eksekutif) dan DPRD (legislatif). Jadi kedua lembaga tersebut merupakan suatu lembaga yang harus saling menjadi mitra kerjasama. Berbeda halnya dengan apa yang diatur di dalam undang-undang sebelumnya, dimana eksekutif daerah tampak dengan jelas sangat mendominasi lembaga legislatif daerah di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Praktek pelaksanaan otonomi daerah baik berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 maupun berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tersebut khususnya menyangkut kewenangan yang ada pada eksekutif dengan legislatif daerah di dalam pelaksanaannya oleh pihak penyelenggara pemerintahan daerah baik itu oleh pihak eksekutif maupun oleh pihak legislatif daerah telah mengalami berbagai bentuk penyimpangan.  Penyimpangan terhadap undang-undang tersebut tampak mewujud di dalam berbagai bentuk atau perilaku dari kedua pihak penyelenggara pemerintahan di daerah tersebut. Bentuk penyimpangan terhadap pelaksanaan otonomi daerah baik berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 ada yang dilakukan secara kelembagaan dan ada pula yang dilakukan secara perorangan oleh oknum-oknum yang berada di kedua institusi pemerintahan daerah (eksekutif dengan legislatif daerah). Salah kaprah di dalam memaknai desentralisasi dan atau otonomi daerah oleh penyelenggara pemerintahan daerah (eksekutif dengan legislatif daerah), begitu mudah ditemukan.
Salah satu bentuk terjadinya pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan yang termuat di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 adalah mengenai hubungan eksekutif (Pemda) dengan legislatif (DPRD) di era otonomi luas mencuat dengan munculnya ketidakharmonisan/ ketidaksinergisan hubungan, terutama hubungan dalam kaitan pelaksanaan wewenang/ kewenangan diantara kedua pilar pemerintahan di daerah tersebut. Ketidakharmonisan/ ketidaksinergisan itu muncul akibat otonomi luas berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 yang diinterpretasikan secara keliru oleh sebagian besar anggota legislatif daerah (DPRD) sebagai sebuah pengakuan secara yuridis dominasi legislatif daerah terhadap eksekutif daerah, dimana pihak eksekutif daerah dianggap selama ini lebih mendominasi proses penyelenggaraan pemerintahan daerah ketimbang legislatif daerah (DPRD).
Fenomena munculnya arogansi legislatif daerah (DPRD) kabupaten/ kota diduga disebabkan oleh besar/ luasnya kewenangan yang dimilikinya, namun kewenangan yang besar itu tidak dibarengi dengan SDM yang berkualitas (rendahnya taraf pendidikan anggota legislatif) ditambah lagi dengan mencuatnya fenomena arogansi yang didasari oleh sikap primordialisme yang tinggi yang dikemas dalam slogan putera daerah.
Penyimpangan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tersebut adalah dalam bentuk penyimpangan yang didasarkan pada interpretasi dan pemahaman yang keliru pula oleh oknum-oknum baik yang berada di eksekutif maupun yang berada di pihak legislatif daerah terhadap wewenang dan kewenangan yang dimiliki kedua institusi tersebut (Pemda dan DPRD).
Bentuk lain dari penyimpangan terhadap pelaksanaan otonomi daerah yang bersumber dari kekeliruan dalam menafsirkan dan memahami kewenangan adalah fakta yang terjadi di beberapa daerah kabupaten khususnya di Sulawesi Selatan. Di dalam realitasnya tampak dengan kasat mata dimana pihak eksekutif daerah (Bupati/ Kepala Daerah) dan pihak legislatif daerah (DPRD) melakukan “perselingkuhan” atau konspirasi yang bersifat simbiosis mutualis yang sifatnya negatif demi kepentingan kelompok/partai para elit eksekutif daerah di eksekutif pemerintahan daerah dengan elit politikus di legislatif daerah (DPRD) dalam rangka mencari keuntungan kelompok, yang pada gilirannya sangat merugikan  masyarakat di daerah. Kondisi yang demikian akan semakin menjauhkan tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah itu sendiri. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi logis dari saling ketergantungan antara pihak eksekutif dengan pihak legislatif di daerah.
Data lain yang peneliti peroleh, bahwa berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilaksanakan oleh Kompas tentang opini publik terhadap kinerja dan citra lembaga legislatif daerah (DPRD) di mata masyarakat pada akhir tahun 2006 (Harian Kompas Edisi, 18 Desember 2006), hasilnya menunjukkan bahwa 75,4% responden menilai kinerja dan citra lembaga legislatif daerah (DPRD) buruk, dan hanya 19,1 responden yang menilai kinerja dan citra lembaga legislatif daerah (DPRD) itu baik. Sebelumnya jajak pendapat yang sama dilaksanakan oleh Kompas pada Januari tahun 2006 menunjukkan hasil bahwa 69,3% responden menilai kinerja dan citra lembaga legislatif daerah (DPRD) buruk, dan hanya 25,9% responden yang menilai kinerja dan citra lembaga legislatif daerah (DPRD) baik. Selanjutnya hasil jajak pendapat yang sama yang juga dilaksanakan oleh Kompas pada Maret 2006 menunjukkan hasil bahwa 35,3% responden menilai kinerja dan citra lembaga legislatif daerah (DPRD) kita baik, dan sebanyak 56,0% responden menilai kinerja dan citra lembaga legislatif daerah (DPRD) buruk.
Selanjutnya data lain yang peneliti peroleh yang juga dalam bentuk hasil jajak pendapat yang juga dilaksanakan oleh Kompas pada akhir tahun 2006 tentang kiprah lembaga legislatif daerah (DPRD) di mata masyarakat (Kompas Edisi 18 Desember 2006), dimana hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa kiprah lembaga legislatif daerah (DPRD) kita dalam menyuarakan aspirasi rakyat menunjukkan bahwa pada awal tahun 2006 sebanyak 73% responden menyatakan tidak puas, dan pada akhir tahun 2006 sebanyak 82,8% responden menyatakan tidak puas terhadap kiprah anggota legislatif daerah (DPRD) dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
Hasil penelitian tentang citra lembaga Legislatif Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) khususnya periode 1999-2004 yang hasilnya sungguh memilukan dapat kita simak dalam BN Marbun, (1983:251-252) yang menyatakan, bahwa:
“citra lembaga legislatif daerah (Provinsi dan Kabupaten/ Kota) periode Tahun 1999-2004 telah meninggalkan cacat/ pelanggaran hukum yang tidak ada bandingannya dalam sejarah legislatif daerah Indonesia, terutama korupsi. Ia telah melakukan korupsi ratusan milyar jumlahnya dan tersebar hampir merata di lembaga legislatif daerah seluruh Indonesia. Daftarnya cukup mengagetkan, baik dari jumlah yang terlibat, jumlah daerah, dan jumlah uang yang dikorupsi. Sejak Tahun 2001-2005 kasus korupsi lembaga legislatif daerah hampir merata di seluruh Indonesia. Daftar lembaga legislatif daerah yang bermasalah yang sebahagian kasusnya sudah divonis, tersangka, sedang diperiksa, sedang diadili, mulai dari DPRD Kota Banda Aceh, DPRD Kabupaten Simalungun, DPRD Di lokasi penelitian, DPRD Lampung, DPRD Tanjung Pinang, DPRD Bengkulu, DPRD Sumatera Selatan, DPRD Banten, DPRD Tangerang, DPRD Jawa Barat, DPRD Kota Depok, DPRD Kota Bogor, DPRD Kabupaten Ciamis, DPRD Kabupaten Tasikmalaya, DPRD Kabupaten Cianjur, DPRD Kota Cirebon, DPRD Kabupaten Garut, DPRD Kabupaten Lebak, DPRD DI Yogyakarta, DPRD Jawa Tengah, DPRD Malang, DPRD Bali, DPRD Kabupaten Tapin (Kalsel), DPRD Kota Pontianak, DPRD Kabupaten Singkawang, DPRD Kabupaten Kutai Timur, DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara, DPRD Kalimantan Timur, DPRD Minahasa, DPRD Kota Kendari, DPRD Sulawesi Selatan, DPRD Kota Kupang, DPRD Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain.”  
Salah satu aspek utama yang hendak dibangun dalam konteks otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 adalah terciptanya suatu kondisi dimana terjadi perimbangan kekuasaan di daerah di dalam bentuk check and balances antara eksekutif daerah (Pemda) dengan legislatif daerah (DPRD) yang meskipun tidak diatur secara tersurat tentang prinsip check and balances akan tetapi tersamar di dalam prinsip kesetaraan dan kemitraan, karena selama ini sebelum otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 peran dan fungsi lembaga legislatif daerah hanya sebatas lembaga “rubber stamp” (tukang stempel). Selain itu bandul kewenangan selama ini berada di pihak eksekutif daerah yang pada gilirannya menempatkan eksekutif daerah pada kedudukan yang istimewa (executive heavy). Masalah yang sama muncul ketika UU No. 32 Tahun 2004 dilaksanakan dimana kondisi menjadi terbalik, yakni bandul kewenangan kini bergeser dari executive heavy menjadi legislative heavy, padahal seperti yang diuraikan di atas bahwa idealnya antara kedua lembaga tersebut tercipta suatu hubungan kewenangan dalam bentuk checks and balances (dalam UU No. 32 Tahun 2004 dikenal dengan istilah kesetaraan dan kemitraan).
PROSPEK PELAKSANAAN PILKADA DAN PERGULATAN MEMBANGUN DEMOKRASI LOKAL YANG BAIK
Dalam menyiasati demokrasi lokal yang lebih baik, sebuah institusi Negara diharapkan mampu memberikan konstribusi yang baik bagi terciptanya sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik dan lebih mapan demi kebaikan bersama dan kepentingan bersama.
Dalam tatanan sosial yang baik, sebuah institusi pemerintah harus memberikan konstribusi yang baik terhadap masyarakat yang ada disekitar wilayah kepemimpinannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh para penulis pemantau demokrasi lokal dan jalannya pilkada yang terjadi dalam kehidupan daerah. Banyak yang berpendapat, bahwa persoalan demokrasi dan kelembagaan civil society ditingkat lokal, masih merupakan persoalan yang perlu diperhatikan agar bangunan fondasi masyarakat yang kuat dapat terwujud, ruang-ruang partisipasi masyarakat lokal juga dapat tersedia dengan baik dan memadai . Ada pula yang berpendapat ”bahwa dalam kehidupan lokal, perlu adanya demokrasi partisipatif yang memberikan ruang dan kebebasan bagi masyarakat lokal untuk bisa berpasrtisipasi secara penuh terhadap apa yang menjadi kepentingan bersama dilingkungan lokal daerah tersebut” .
Selain faktor teknis penyelenggaraan dan masalah anggaran, masih ada sejumlah masalah substansial yang membayangi pelaksanaan Pilkada yangdilaksanakan di Indonesia 2010. Pertama, dari segi institusional terlihat partai-partai di daerah tidak berubah dari statusnya sebagai cabang dan secara fungsional hanya berperan sebagai replikasi kepentingan dari partai (elite) pusat. Dalam konteks ini, calon kepala daerah yang akan dipilih rakyat boleh jadi bukanlah orang yang berasal dari ’bawah’. Kemunculannya yang dimungkinkan melalui pencalonan oleh partai di daerah biasanya direduksi dengan surat rekomendasi berupa ‘titipan’ nama-nama calon oleh elite partai pusat. Dalam kondisi seperti ini, Pilkada  langsung oleh rakyat menjadi tak sepenuhnya bermakna, karena mereka memilih orang yang tidak diproses melalui kelembagaan arus bawah partai.
Kedua, dari aspek budaya tampaknya masyarakat pemilih di pedesaan masih merefleksikan  Tipe Budaya Politik Subjek atau Kaula dalam terminologi Almond dan Verba (1984). Dalam tipe ini masyarakat patuh dan ikut serta dalam Pilkada karena dianggap sebagai kewajiban semata atau  akibat adanya kontrol sosial. Sebagian besar rakyat memang berduyun-duyun mendatangi  bilik suara, walau tidak memahami visi, misi, dan rencana strategis sang kandidat. Mereka tidak tertarik  lagi dengan materi kampanye yang disodorkan, tidak begitu kenal calonnya dan tidak perduli dengan hasil Pilkada nanti. Hal itu dilakukan semata-mata menghindari kontrol sosial dan kecemasan yang muncul karena melanggar norma yang sudah mapan di masyarakat.
Ketiga, kecenderungan praktik politik uang. Dalam kondisi tingkat pendidikan yang masih rendah, tingkat kemiskinan yang masih tinggi dan mulai munculnya  ‘budaya’ memberi dari pasangan calon dan ‘budaya’ menerima dari rakyat dalam setiap kunjungan kampanye. Hal ini mengakibatkan pengambilan keputusan dalam memberikan pilihan saat Pilkada tidak lagi bersifat rasional. Ada lebih banyak pertimbangan praktis pragmatis jangka pendek dalam hal pengambilan keputusan saat pencontrengan.
Keempat, perlu diwaspadai kemungkinan terjadi gejolak massa dan konflik karena sikap penolakan massa simpatisan pendukung atas kekalahan salah satu pasangan calon. Hal ini karena ketidakpuasan pada mekanisme pemilihan maupun hasil akhir kompetisi. Kecenderungan berbagai  gejolak massa dan  konflik sejatinya merupakan potret tahap perkembangan dari kedewasaan politik  masyarakat pemilih. Perbedaan afiliasi dan orientasi politik yang berujung pada gejolak massa dan konflik itu memunculkan fragmentasi politik yang tidak saja merendahkan kualitas pilihan, tetapi juga berpotensi  memperdalam disintegrasi dan instabilitas lokal.
Dalam empat faktor tersebutlah, suatu daerah akan memiliki nilai substansial demokrasi ala lokal yang sangat sarat dengan berbagai masalah kekerabatan dan demokrasi religius sebagaimana yang dialami Bima dan daerah disekitarnya di NTB. Dimana telah terbentuk yang namanya demokrasi religius yang memberikan ruang lebih baik bagi terciptanya nilai-nilai agama dalam kehidupan lokal yang lebih baik dan lebih mapan untuk menghadapi arus globalisasi dan pasar bebas yang kian mencekik dan membuat berantakan kehidupan bumi ini.
Menurut Wayan Gede Saucana , Ada sejumlah prasyarat yang mesti dipenuhi agar  Pilkada 2010 nanti juga bisa memperkuat legitimasi demokrasi lokal. Pertama, rakyat semestinya otonom dari ekspansi dan pemaksaan baik oleh tim sukses, kandidat maupun parpol pengusung pasangan calon dalam pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, pemberian suara dan penghitungan suara.  Segala bentuk partisipasi politik rakyat dalam setiap tahapan Pilkada tersebut murni berasal dari kesadaran sendiri dan tidak ada campur tangan serta mobilisasi dari pihak lain.
Kedua,  adanya akses pemilih, sebagai salah satu prasyarat keberadaan masyarakat sipil dalam mengetahui dan memahami siapa figur yang akan dipilih dan apa yang akan dilakukannnya nanti seandainya terpilih. Dengan begitu masyarakat pemilih sudah dapat mengetahui dan memahami dengan baik track record, kapabilits, visi, misi, program dan rencana strategis masing-masing kandidat yang akan dipilihnya.
Ketiga, berkembangnya arena kompetisi yang sehat dimana masing-masing pasangan calon kepala daerah bisa mengatur diri mereka sendiri dengan tetap mengembangkan saling pengertian yang mutual diantara mereka. Penggunaan cara-cara intimidasi, paksaan, money politics, dan berbagai jenis sumbangan berlabel ‘dana bantuan’ oleh pasangan calon  sejatinya tidak sejalan dan menghambat tujuan legitimasi demokrasi lokal.
Keempat, birokrasi, TNI-Polri, Pers dan KPUD  tetap bersikap netral dan adil terhadap semua pasangan calon. Semua institusi ini tidak boleh memihak walaupun mantan pimpinannya atau salah satu anggota korps-nya ikut berkompetisi dalam Pilkada Indonesia.
Kelima, kompetisi antar kandidat bisa dimaknai sebagai pencarian solusi bersama, yang di dalamnya tidak saja berisi kesiapan saat memperoleh kekuasaan (konsekuensi kemenangan), tetapi juga rela menerima kekalahan (prinsip toleransi) dan (yang terpenting) mau membangun daerah bersama-sama. Setiap pasangan calon kepala daerah dan wakilnya tidak hanya siap menang, tetapi juga siap kalah. Pasangan tersebut, baik yang menang maupun yang kalah selanjutnya diharapkan tetap mengembangkan sikap dialog, negosiasi, komunikasi, kerjasama dan saling pengertian yang mutual demi keberlanjutan  pembangunan bangsa mendatang.
Pilkada Sebagai Kuburan Bagi Pendusta Politik
Dalam berbagai kajian dan hasil riset yang dilakukan oleh para peneliti, baik peneliti independent maupun peneliti yang ada dalam situasi institusi, menyimpulkan ada berbagai kejanggalan proses pilkada yang terjadi selama dijalankannya pilkada, mulai dari Orde Lama Hingga Sekarang. Pilkada menjadi tempat atau kuburan bagi pendusta politik baik nasional, lebih-lebih lokal yang menjadi tempat terjadinya.
Dari berbagai hasil survey dan riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independent seperti Demos, AT Center dan yang lainnya, kehadiran pemilihan langsung pimpinan daerah (gubernur dan bupati) disambut hangat oleh masyarakat, kedatangan Pilkada dinilai oleh masyarakat sebagai langkah awal tumbuhnya akar demokrasi. Dengan adanya Pilkada, masyarakat berasumsi dapat memberikan pilihannya sesuai dengan hati nurani dan akal sehatnya. Pada titik kesadaran politik seperti ini, partisipasi masyarakat terhadap politik masih sangat kuat.
Kepercayaan dan partisipasi masyarakat terhadap politik Pilkada mulai berubah ketika Mendagri gagal memperjuangkan konsep calon indepent pada Pilkada. Partisipasi politik masyarakat semakin menurun bersamaan dengan menguatnya issue bahwa yang tidak menghendaki adanya “pintu independent” adalah para aktivis partai.
Praktek  aktor elit politik semacam ini dapat menciptakan situasi apolitik bagi masyarakat sipil. Sikap anti politik dan melihat politik sebagai ranah yang tabu dan kotor, penuh dengan hujatan, korup dan perebutan kursi kekuasaan belaka, menjalar pada pemikiran masyarakat adalah akibatnya yang paling buruk. Bagaimana tidak, investasi dan cost politik yang terlanjur ditebarkan oleh calon kepala daerah, bukanlah “biaya hangus” yang direlakan begitu saja oleh kandidat, apalagi kalau calon itu benar-benar terpilih menjadi kepala daerah, tentu saja sang kepala daerah akan berusaha mengembalikan investasi politiknya dan harus membayar jasa-jasa para pendukungnya. Semua tingkah ini pasti tidak akan memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Suasana inilah yang dapat mendorong gejala depolitisasi menjadi permanent, dan akan menjauhkan masyarakat dari partisipasi politik.
Karena praktek politik yang sembrono yang dimainkan elit politik, rakyat dimarjinalkan dari arena politik, terjadi apa yang disebut dengan subjective dissatisfaction, rakyat digiring untuk mengikuti kehendak elit politik, akibatnya muncul gejala political efficacy, karena pertanyaannya, apakah kalau masyarakat ikut, apakah partisipasi itu akan dapat mengubah keadaan? Inilah sejumlah problem yang dimunculkan oleh elit politik dalam proses pertumbuhan demokrasi.
Kalau masalah yang muncul ini direspon secara pasif oleh rakyat, maka ruang politik yang juga menjadi area public hanya akan digenggam oleh secuil elit politik. Oleh karena itu masyarakat tidak boleh membiarkan suasana buruk ini mengembang lebih nyata dan besar, akan tetapi harus direspon dan dilawan dengan kesadaran politik untuk mengambil bagian dalam proses politik. Partisipasi politik itu bisa dibuktikan dengan berbagai cara, antara lain adalah dengan memberikan hak suara pada Pilkada.
Paling tidak ada dua scenario yang dapat menjadi pilihan rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi elit dalam arena politik, khususnya Pilkada. Pertama, jika kita mengacu pada pemilihan umum 2004, reaksi rakyat terhadap partai dan elit politik (partai 5 besar) sangatlah nyata. Semua partai politik mengalami penurunan perolehan suara dibanding dengan pemilu 1999, kecuali partai Golkar yang mengalami sedikit peningkatan kuantitas pemilih, akan tetapi secara prosentasi partai Golkar juga mengalami penurun yang signifikan. Penurunan yang paling drastis dimotori oleh PDIP, kemudian disusul PPP, PKB dan PAN. Kalau diteliti lebih jauh, pemilu 2004, bukan dimenangkan oleh partai Golkar (21,58%), akan tetapi dimenangkan oleh perlawanan rakyat terhadap elit politik, dengan sikap apolitik yang diwujudkan dengan gerakan Golput (memilih untuk tidak memilih 23,34%). Bahkan pada pemilihan presiden putaran pertama, tingkat perlawanan rakyat bertambah menjadi 31,05 persen, dan Golput pada putaran kedua berkisar 34-40 persen.
Skenario Kedua, rakyat melakukan perlawanan langsung dengan berpartisipasi memberikan hak suaranya sesuai dengan hati nuraninya di bilik suara pada Pilkada. Masyarakat tentu saja memiliki catatan dan informasi yang detail mengenai kandidat kepala daerah dan partai yang mendukungnya. Skenario ini lebih mungkin terjadi pada Pilkada di Sulsel, mengingat masyarakat pemilih memiliki jarak emosional yang dekat dengan calon kepala daerah. Hal lain yang bisa mendorong pemilih untuk berpartisipasi dan memiliki kesadaran politik pada Pilkada di Sulsel adalah kesempatan bagi rakyat untuk mengakhiri riwayat para; pendusta politik, politisi ingkar janji, politisi opurtunis, para rent-seekers, politisi yang berkolaborasi dengan para elit oligarkis dan tidak berpihak kepada rakyat, yang menggunakan uang sebagai alat propaganda politik.
Kepercayaan seorang penduduk terhadap seorang elit, sudah semakin kecil, sebab apa yang menjadi kepentingan elit tidak sama dengan kepentingan seluruh masyarakat yang memberikan amanah kepadanya. Elit politik sering kali mengkhianati rakyat yang telah memberikan amanah sepenuhnya kepada mereka, mereka menafikan semua yang menjadi kepentingan rakyat secara umum yang memberikan amanah dan seluruh harapannya kepada mereka yang mengaku diri sebagai wakil rakyat atau penyambung lidah rakyat.
Dengan adanya pilkada memberikan kewenangan kepada masyarakat daerah untuk menentukan jalan baru bagi terciptanya demokrasi lokal yang berbau perdamaian dan religius dengan mengandalkan nilai kerjasama yang baik dan kerukunan antar warga masyarakat yang masih sangat kental dalam tradisi dan budaya yang berkembang.
KEDUDUKAN dan KEWENANGAN EKSEKUTIF serta LEGISLATIF DAERAH MENURUT UU NO. 32 Tahun 2004
Pemberian kewenangan kepada daerah kabupaten/kota didasarkan pada teori sisa (residu theori/aftrek theorie). Artinya, kewenangan Kabupaten/ Kota adalah sisa kewenangan selain yang diberikan kepada Pemerintah Pusat dan Provinsi. Sifat residual otonomi daerah menyebabkan kewenangan daerah sangat luas sebagaimana digariskan oleh Pasal 1 Tap MPR Nomor: XV/MPR/ 1998 bahwa “penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuasaan dengan daerah”.
Implementasi teori sisa ini terlihat dalam ketentuan Bab III Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang pembagian urusan pemerintahan.
Mengacu kepada kewenangan yang dapat diselenggarakan oleh Kabupaten/kota, terdapat sejumlah kewenangan tertentu yang wajib dilaksanakan yaitu: perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencana-an, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah sosial; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitasi pembangunan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 14 ayat 2).
Pokok-pokok pembagian kekuasaan dan kewenangan di suatu negara di atur dalam konstitusi negara yang bersangkutan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. UUD 1945 sebelum diamandemen, menggunakan prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) di antara lembaga tinggi negara. Bukan menggunakan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). Konsekuensi logisnya adalah terjadi saling pengaruh mempengaruhi antara satu kekuasaan dengan kekuasaan lainnya, dan bahkan sampai terjadi tumpang tindih antara kekuasaan satu lembaga dengan lembaga lainnya. Kekuasaan membentuk UU yang sebenarnya menjadi kekuasaan hakiki dari lembaga legislatif  berada di tangan Presiden (Pasal 5 ayat 1 UUD 1945). Akibatnya selama Indonesia merdeka, Presiden menjadi sangat berkuasa dan cenderung menjadi otoriter.
Sistem semacam itulah yang kemudian melatar belakangi lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 dimana kewenangan menetapkan Peraturan daerah berada di tangan eksekutif daerah (Pasal 25 point (c) UU No. 32 Tahun 2004). Sedangkan legislatif daerah memiliki hak untuk mengajukan rancangan peraturan daerah (Pasal 44 ayat (1) point (a) UU No. 32 Tahun 2004).
Dengan adanya amandemen pertama kali UUD 1945 – terutama Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka kekuasaan membentuk UU dipegang oleh legislatif (DPR). Sedangkan Presiden (eksekutif) berhak mengajukan RUU kepada DPR. Ketidakserasian antara UUD 1945 yang sudah direvisi dengan beberapa undang-undang pelaksanaannya menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai hubungan yang tidak harmonis antara eksekutif dengan legislatif di daerah.
Pendulum pembagian kekuasaan antara eksekutif daerah dengan legislatif daerah yang ideal berada pada titik keseimbangan (equilibrium). Dalam bahasa lain, pembagian kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif daerah hendaknya bersifat “check and balances”, dalam arti saling mengontrol dan bersifat seimbang.
Kedudukan dan Kewenangan Eksekutif Daerah (Kepala Daerah)
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 24 ayat (2), mengatur bahwa ; Eksekutif daerah (Kepala Daerah) untuk Provinsi disebut Gubernur, untuk Kabupaten disebut Bupati, dan untuk Kota disebut Walikota.
Berbicara mengenai kedudukan eksekutif daerah/ Kepala Daerah, dapatlah diuraikan dari penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang eksekutif daerah (Kepala Daerah) (angka 5), yang mengatur, bahwa :
“Eksekutif daerah di samping sebagai pimpinan pemerintahan, sekaligus adalah pimpinan daerah dan pengayom masyarakat sehingga Eksekutif daerah harus mampu berfikir, bertindak, dan bersikap dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat umum dari pada kepentingan pribadi, golongan, dan aliran kepercayaan. Oleh karena itu, dari kelompok atau etnis, dan keyakinan manapun Eksekutif daerah harus bersikap arif, bijaksana, adil dan netral”.
Dari uraian di atas diketahui bahwa eksekutif daerah (Kepala Daerah) mempunyai tugas yang sangat berat dalam kerangka NKRI hal ini tergambar dalam Pasal 25 UU No. 32 Tahun 2004, bahwa eksekutif daerah (Kepala Daerah) mempunyai tugas dan wewenang:
a.    Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b.    Mengajukan rancangan Perda;
c.    Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d.    Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e.    Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f.    Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g.    Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di samping itu eksekutif daerah (Kepala Daerah) juga mempunyai kewajiban sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2 UU No. 32 Tahun 2004, yaitu :
Ayat (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, eksekutif daerah (Kepala Daerah) mempunyai kewajiban:
a.    Memegang teguh dan mengamalkan  Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.    Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c.    Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
d.    Melaksanakan kehidupan demokrasi:
Yang dimaksud dengan “kehidupan demokrasi” dalam ketentuan ini antara lain penyerapan aspirasi, peningkatan partisipasi, serta menindak lanjuti pengaduan masyarakat.
e.    Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
f.    Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g.    Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
h.    Melaksanakan tata pemerintahan yang bersih dan baik;
i.    Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah;
j.    Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah;
k.    Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan rapat paripurna dprd.
Yang dimaksud dengan rapat Paripurna DPRD dalam ketentuan ini adalah rapat paripurna yang diselenggarakan setelah 3 (tiga) bulan terpilihnya pasangan calon eksekutif daerah (Kepala Daerah) dan wakil eksekutif daerah (Kepala Daerah).
Ayat (2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), eksekutif daerah (Kepala Daerah) mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat”.
Mengacu pada ketentuan pasal di atas, maka dapat dijelaskan, bahwa:
1.    Eksekutif daerah (Kepala Daerah) dalam menjalankan kewajibannya harus menciptakan stabilitas (pertahanan dan keamanan) di daerah yang dipimpinnya, agar NKRI dapat terpelihara keutuhannya.
2.    Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam sistem hukum kita harus kita perhatikan dalam penerapan otonomi daerah, supaya terdapat penyetaraan di bidang hukum antara satu daerah dengan daerah yang lain.
3.    Otonomi daerah lahir karena keinginan yang begitu kuat dari rakyat untuk hidup mandiri tanpa intervensi dari pemerintah pusat, makanya rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus dilibatkan dalam pemberdayaan daerah tempat tinggalnya, walaupun dalam penentuan kebijakan, mereka menyerahkan kepada DPRD sebagai wakilnya namun aspirasi dari rakyat tidak boleh diabaikan.
4.    Sebagai Kepala Eksekutif di daerah seorang Eksekutif daerah (Kepala Daerah) harus menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah digariskan dan berada dalam kewenangannya sebagai kepala eksekutif daerah.
5.    Esensi dari pemberian otonomi daerah adalah pemberdayaan daerah, pemerataan pendapatan dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat sehingga perekonomian yang selama ini terpusat kini dapat dijangkau oleh rakyat di daerah sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya yang ada di daerah.
6.    Ini harus menjadi perhatian utama bagi Eksekutif daerah (Kepala Daerah), karena bagaimanapun juga pemberian otonomi daerah dapat menumbuhkan sentimen-sentimen kedaerahan, fanatisme daerah yang dapat menimbulkan instabilitas keamanan.
7.    Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Eksekutif daerah (Kepala Daerah) berdasarkan persetujuan DPRD harus mencerminkan kemampuan daerah yang bersangkutan dan harus memperhatikan aspirasi masyarakat di daerah tersebut, jangan sampai pembuatan suatu Peraturan daerah bertentangan dengan perasaan hukum masyarakat, apabila terjadi Peraturan daerah itu tidak akan berlaku efektif.
Pemberian kebebasan dalam istilah otonomi dalam arti bertanggung jawab atas pengaturan dan pengurusan pemerintahan daerah mempunyai sifat mendorong untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan sendiri. Jalannya otonomi akan sangat bergantung pada dinamika aspirasi masyarakat sebab hal ini sesuai dengan makna otonomi daerah itu sendiri.
Mengacu pada uraian di atas dapat kita pahami bahwa eksekutif daerah (Kepala Daerah) dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Dan ini merupakan tugas dan tanggung jawab yang berat, tak heran jika eksekutif daerah (Kepala Daerah) dituntut persyaratan kualitas yang cukup banyak.
Kedudukan dan Kewenangan Legislatif Daerah (DPRD)
Kedudukan legislatif daerah (DPRD) dalam hubungannya dengan fungsi yang dimilikinya, perlu diuraikan untuk memperjelas faktor korelasi antara kedudukan legislatif daerah dalam mempengaruhi lahirnya sejumlah hak dan fungsi lembaga legislatif daerah, karena jika dicermati terjadinya perubahan kedudukan lembaga legislatif daerah sangat menentukan lahirnya hak/ kewenangan dan fungsi lembaga legislatif daerah.
Dinamika pertumbuhan dan pergeseran kedudukan lembaga legislatif selama ini selalu berkaitan dengan perubahan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan di daerah. Perubahan kedudukan lembaga legislatif merupakan konsekuensi logis dari ide dasar Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu mengenai pembentukan pemerintahan daerah beserta badan permusyawaratan yang mendampinginya.
Produk hukum yang turut mempengaruhi dan mengatur pemerintahan daerah beserta lembaga legislatif daerah di Indonesia sejak tahun 1945 sampai sekarang adalah, sebagai berikut:
1.    Undang-undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah;
2.    Undang-undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah;
3.    Undang-undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok Pemerintahan Daerah;
4.    Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintahan Daerah;
5.    Undang-undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
6.    Undang-undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
7.    Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah; dan
8.    Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Di dalam setiap perubahan undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang otomatis mengatur tentang badan legislatif daerah, titik sentralnya mencakup peranan dan ruang lingkup tugas serta kewenangan lembaga legislatif daerah. Pergeseran dan perubahan ini merupakan gambaran proses perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia sejak tahun 1945 sampai sekarang. Semua peraturan atau undang-undang yang menyangkut pemerintahan daerah dirumuskan dan dikeluarkan dalam rangka mewujudkan cita-cita pembentukan daerah yang otonom sebagai wujud pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 19 ayat (2), Pasal 40, dan Pasal 41 tersirat bahwa DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah oleh karena mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi mana sama dengan jenis fungsi yang dimiliki DPR sebagai Badan Legislatif di tingkat pemerintahan pusat. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah terpisah dari pemda sebagai Badan Eksekutif Daerah, bahwa kedudukan lembaga legislatif daerah sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah kabupaten/ kota. Ketentuan seperti itu sesungguhnya ingin menguatkan (memberdayakan) lembaga legislatif daerah, sebagai institusi demokrasi terdepan dalam lingkup pemerintahan Kabupaten/ Kota.
Rumusan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut di atas, kemudian dipertegas kembali oleh UU No. 32 Tahun 2004 dalam rumusan ketentuan Pasal 40, sebagai berikut, “DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
Di dalam kedudukannya sebagai badan legislatif daerah, DPRD bukan lagi bagian dari pemerintah daerah (eksekutif daerah) tetapi telah menjadi mitra sejajar bagi pemerintah daerah, sementara itu yang dimaksudkan dengan pemda (eksekutif daerah) adalah Eksekutif daerah (Kepala Daerah) beserta perangkat daerah lainnya. Bahkan dalam hal-hal tertentu melalui mekanisme yang telah diatur dalam undang-undang, lembaga legislatif daerah berwenang mengusulkan pemberhentian eksekutif daerah (Kepala Daerah), bila memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 UU No. 32 Tahun 2004.
Jika disimak UU No. 32 Tahun 2004, khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka tampaklah bahwa undang-undang ini cukup memenuhi patokan demokrasi, yang mana telah ada sharing power atau pendistribusian kewenangan antara pihak eksekutif dengan pihak legislatif. Di dalam mewujudkan suatu otonomi yang luas juga tersedia mekanisme check and balances yang memberikan kedudukan penting kepada rakyat melalui wakil-wakilnya yang ada di lembaga legislatif daerah dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah, di samping rakyat di daerah rakyat juga memiliki posisi kunci dalam menentukan kebijakan daerah sesuai dengan kebutuhannya, serta pertanggungjawaban pengelolaan pemerintahan di daerah dapat transparan kepada publik.
Berkaitan dengan kedudukan lembaga legislatif daerah, A. Pangerang, menyatakan, bahwa:
“Kedudukan dan hubungan kewenangan/kekuasaan antara lembaga legislatif daerah dengan eksekutif daerah dapat dijelaskan dalam hal hubungan kewenangan/kekuasaan yang sifatnya vertikal dan hubungan kewenangan/ kekuasaan yang sifatnya horizontal” .
Mahfud. MD, berpendapat, bahwa :
”Secara umum undang-undang yang baru ini telah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan undang-undang No. 5 Tahun 1974 seperti yang ditandai oleh ketentuan bahwa lembaga legislatif daerah (DPRD) mempunyai kewenangan untuk menentukan sepenuhnya eksekutif daerah (Eksekutif daerah (Kepala Daerah)) karena pilihan terbanyak oleh legislatif daerah harus disahkan oleh Pusat tanpa alternatif lain. Sejalan dengan itu legislatif daerah bukan lagi menjadi bagian dari Pemerintah Daerah melainkan ditetapkan sebagai lembaga legislatif daerah yang berwenang meminta dan menilai keterangan laporan pertanggungjawaban eksekutif di daerah. Sistem otonomi yang dianut adalah otonomi luas, sebab hanya ada lima urusan yang secara mutlak diurus oleh Pusat yaitu moneter dan fiskal nasional, hubungan luar negeri, pertahanan dan kemanan, agama, dan yustisi” .
Di dalam hal hubungan kewenangan/ kekuasaan yang sifatnya vertikal, maka kedudukan kedua lembaga tersebut sangatlah berbeda, dimana legislatif daerah berkedudukan sebagai lembaga daerah yang lebih tinggi karena dapat mengontrol (control function) eksekutif daerah sedangkan eksekutif daerah berkedudukan sebagai lembaga yang berada di bawah kontrol lembaga legislatif daerah. Sebagai lembaga daerah yang kedudukannya lebih tinggi, maka legislatif daerah mempunyai kekuasaan dalam hal pengawasan dan meminta pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan daerah sedangkan eksekutif daerah (Kepala Daerah) mempunyai kekuasaan sebagai pelaksana seluruh kebijaksanaan yang telah diputuskan atau diterima oleh lembaga legislatif daerah. Sedangkan dalam hubungan kewenangan/kekuasaan secara horizontal, maka lembaga legislatif daerah dengan eksekutif daerah mempunyai kedudukan sebagai mitra (partner) dalam pembuatan Perda (termasuk penyiapan APBD), kedua lembaga tersebut mempunyai kewenangan/ kekuasaan yang sama dalam kedua hal tersebut, dalam arti lembaga legislatif daerah dapat merancang pembuatan Perda atau APBD dengan menggunakan hak inisiatifnya (legislative function and budgeting function) sedangkan eksekutif daerah dapat pula melakukan hal yang sama dengan mengandalkan stafnya sesuai dengan bidang kerjanya/ kegiatan masing-masing.
Kalau kita mengacu pada ketentuan Pasal 42 UU No. 32 Tahun 2004, maka fungsi lembaga legislatif daerah secara garis besarnya dapat dibagi kedalam empat fungsi utama, yaitu:
1.    Fungsi memilih;
2.    Fungsi mengatur dan menetapkan;
3.    Fungsi pengawasan;
4.    Fungsi aspirasi.
Jika keempat fungsi utama tersebut berjalan dengan baik dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan di daerah, maka jalan menuju demokratisasi di negeri ini insya Allah akan dapat terwujud, sehingga kedudukan lembaga legislatif daerah yang sekarang bukanlah merupakan bumerang atau momok bagi eksekutif daerah, tapi hal tersebut merupakan semata-mata wujud nyata dari kekuatan kedaulatan rakyat dalam mengawasi, mengontrol kinerja lembaga eksekutif daerah di dalam menjalankan pemerintahan di daerahnya.
Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Daerah Dalam  Berbagai Undang-Undang Pemerintahan Daerah   
1.    Menurut UU No. 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah
Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan UUD 1945 untuk pertama kalinya oleh PPKI sebagai landasan konstitusional ketatanegaraan. Pada saat itu struktur dan sistem ketatanegaraan RI masih sangat sederhana bahkan banyak yang belum terbentuk kecuali Presiden dan Wakil Presiden.
Struktur dan sistem pemerintahan daerah di Indonesia pada awal kemerdekaan masih sangat sederhana yaitu terdiri dari Provinsi, Keresidenan, Kooti, dan Kota di tambah lembaga Komite Nasional Daerah (KND) yang di tingkat Pusat dikenal dengan Komite Nasional (KN).
Kedudukan dan fungsi KND dalam membantu Kepala Daerah dengan KN, yaitu sementara waktu menjalankan fungsi legislatif, yaitu melakukan perancangan Peraturan Daerah dan APBD.
Menurut Juanda bahwa :
“Di dalam UU No. 1 Tahun 1945 Kepala Daerah sebagai pejabat pusat di daerah, juga sebagai Kepala Badan Legislatif Daerah (KND) dan Badan Eksekutif Daerah yang mempunyai kedudukan yang sangat dominan untuk mengendalikan pemerintahan daerah otonom agar berjalan sesuai dengan kebijaksanaan pusat. Hubungan antara KND dengan Badan Eksekutif Daerah dikepalai oleh Kepala Daerah. Dengan demikian di dalam UU ini kecenderungan penyelenggaran pemerintahan daerah sangat sentralistik” . 
2.    Menurut UU No. 22 Tahun 1948 Tentang Pokok Pemerintahan Daerah
Undang-undang ini menghendaki suatu Pemerintahan Daerah yang bersifat kolegial dan tidak menghendaki adanya dualisme dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Artinya adalah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah itu haruslah sepenuhnya dijalankan oleh Pemerintahan Daerah sebagai Badan Pemerintahan yaitu DPRD dan DPD. Kepala Daerah tidak merupakan suatu organ yang berdiri sendiri terlepas dari pada DPRD dan DPD dan tidak diperkenankan menjalankan pemerintahan sendiri.
Jadi di dalam UU ini DPRD dengan Kepala Daerah masih merupakan satu kesatuan dan tidak dipisahkan. Meskipun di dalam Pasal 5 ayat 4 dari UU ini diatur bahwa “DPRD berhak mengajukan usul kepada yang berwajib agar Kepala Daerah diberhentikan”.
3.    Menurut UU No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Di dalam undang-undang ini status Kepala Daerah di samping sebagai alat pemerintah pusat juga sebagai alat pemerintah daerah. Namun dalam keberadaannya Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat lebih menonjol dibanding sebagai alat pemerintah daerah.
Sebagai alat pemerintah daerah, Kepala Daerah bertindak sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, baik di bidang urusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun di bidang tugas pembantuan dalam pemerintahan (medebewind). Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif, Kepala Daerah tidak lagi bersifat kolegial, akan tetapi bersifat tunggal.
Oleh karena itu Kepala Daerah dapat melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah termasuk mempunyai kewenangan untuk menangguhkan atau membatalkan keputusan DPRD yang dipandang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jadi di dalam UU ini Kepala Daerah mempunyai kewenangan yang dominan dari kewenangan DPRD, sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dominasi Kepala Daerah sangat kuat.
4.    Menurut UU No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Undang-undang ini masih menempatkan Kepala Daerah (eksekutif daerah) pada posisi yang dominan dari DPRD (legislatif daerah). Hal ini dapat diketahui dari Kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Daerah baik sebagai alat pemerintah pusat maupun sebagai alat pemerintah daerah.
Salah satu kewenangan Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat yang menunjukkan dominasinya terhadap DPRD adalah “kewenangan melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah”. Sedangkan salah satu kewenagan Kepala Daerah sebagai alat pemerintah daerah yang menunjukkan dominasinya terhadap DPRD adalah “kewenangan meminta pertanggungjawaban Pimpinan DPRD bersangkutan atas pelaksanaan tugasnya”.
Jika kewenangan Kepala Daerah di atas dicermati, maka UU ini seolah-olah memformat hubungan Kepala Daerah dengan DPRD yang menempatkan kedudukan DPRD di bawah Kepala Daerah. 
5.    Menurut UU No. 32 Tahun 2004
Salah satu dimensi yang paling penting dari perubahan setelah diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 adalah menyangkut hubungan antara eksekutif dengan legislatif di daerah yang berpeluang sangat dinamis. Hubungan ini bernuansa baru yang berbeda sama sekali dengan apa yang telah berlangsung selama ini sekitar 25 tahun berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974. Jika dahulu legislatif daerah (DPRD) merupakan satu kesatuan dengan eksekutif daerah (Kepala Daerah) beserta perangkatnya, maka di dalam sistem baru ini hal itu tidak dijumpai.
    Di dalam Pasal 19 ayat (2) secara tegas diatur, bahwa: “Penyelenggara Pemerintahan daerah adalah Pemerintah daerah dan DPRD”. Sementara itu dalam Pasal 24 ayat (1) yang mengatur, bahwa: “Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut eksekutif daerah (Kepala Daerah).”
Dalam Penjelasan Umum atas UU No. 32 Tahun 2004 angka 4 tentang Pemerintahan Daerah pada paragraf ke 3 dijelaskan, bahwa:
“Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang Setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan Kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung dan bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.”  
Dari kedua ketentuan di atas, mengandung makna bahwa dalam menjalankan pemerintahan daerah “kedudukan” di antara kedua lembaga tersebut bersifat “sejajar dan sekaligus menjadi mitra”. Ketentuan ini merupakan hal yang konkrit sebagai indikasi adanya misi demokrasi di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Hubungan dalam konteks kemitraan tidak ada pihak yang direndahkan atau ditinggikan, semua pihak mempunyai kedudukan yang sejajar baik  di dalam membuat maupun melaksanakan keputusan. Apapun konsekuensi yang timbul dari suatu keputusan/kebijakan dari buah kemitraan merupakan tanggungjawab bersama.
Legislatif daerah secara “dejure” menempati posisi yang sangat kuat dan setara dengan kekuasaan eksekutif daerah. Sedangkan secara “de facto” masih harus kita buktikan di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah, apakah lembaga ini benar-benar mampu menciptakan checks and balances dengan pihak eksekutif daerah. Sehingga segala sesuatunya terpulang kembali kepada legislatif daerah itu sendiri untuk mampu tidaknya memainkan peranan yang diharapkan oleh warga masyarakat.
    A. Pangerang, menjelaskan:
“bahwa kedudukan dan hubungan kekuasaan antara legislatif dengan eksekutif daerah (khususnya Eksekutif daerah (Kepala Daerah)) dapat dijelaskan dalam:
a. Hubungan kekuasaan/ kewenangan yang sifatnya vertikal;
b. Hubungan kekuasaan/ kewenangan yang sifatnya horizontal.
Pengertian hubungan yang sifatnya vertikal adalah bahwa legislatif daerah berkedudukan sebagai lembaga daerah yang tertinggi (control function), sedangkan eksekutif daerah (Eksekutif daerah (Kepala Daerah)) berkedudukan sebagai lembaga yang berada di bawah legislatif daerah (lembaga yang dikontrol). Sebagai lembaga daerah yang tertinggi legislatif daerah mempunyai kekuasaan dalam hal pengawasan dan meminta keterangan laporan pertanggung-jawaban atas jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan eksekutif daerah mempunyai kekuasaan sebagai pelaksana seluruh kebijaksanaan yang telah diputuskan atau diterima oleh legislatif daerah.
Sedangkan hubungan yang sifatnya horizontal berarti dapat diartikan bahwa antara legislatif dengan eksekutif daerah mempunyai kedudukan yang sederajat, yaitu sebagai mitra atau partner dalam pembuatan Perda dan menyiapkan RAPBD. Baik legislatif maupun eksekutif daerah mempunyai kekuasaan yang sama dalam kedua hal tersebut, artinya legislatif daerah dapat merancang pembuatan Perda atau APBD dengan menggunakan hak/ kewenangan inisiatifnya, sedangkan eksekutif daerah dapat melakukan hal yang sama dengan mengandalkan staf-staf yang dipimpinnya sesuai dengan bidang dan spesialisasinya masing-masing” .    
Legislatif daerah di dalam melaksanakan fungsinya  memiliki hak-hak dan kewajiban, yang antara lain merupakan hak kontrol terhadap pihak eksekutif. Pasal 43 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 di dalam ayat (1) ditegaskan, bahwa legislatif daerah (DPRD) secara institusional mempunyai hak, antara lain :
a.    Hak Interpelasi
Yang dimaksud dengan “hak Interpelasi” dalam ketentuan ini adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada eksekutif daerah (Kepala Daerah) mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berimplikasi luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara.
Legislatif daerah dalam melaksanakan tugasnya berhak/ berwenang meminta keterangan kepada eksekutif daerah tentang kebijakan dan sesuatu hal yang ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintah dan pembangunan. Sekurang-kurangnya 1/5 (seperlima) dari anggota legislatif daerah yang tidak hanya berasal dari satu fraksi berhak meminta keterangan kepada pemerintah daerah. Permintaan keterangan difasilitasi oleh pimpinan legislatif daerah kepada eksekutif daerah, selanjutnya pemerintah daerah diminta untuk memberikan keterangan. Pembicaraan mengenai jawaban pemerintah daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna dengan memberikan kesempatan kepada pengusul maupun anggota legislatif daerah lainnya untuk memberikan pandangan. Atas pandangan pengusul dan anggota legislatif daerah lainnya, eksekutif daerah memberikan jawaban. Sekurang-kurangnya ½ (seperdua) ditambah 1 (satu) orang anggota legislatif daerah yang tidak hanya terdiri  dari satu fraksi. Legislatif daerah dapat menyatakan pendapat terhadap jawaban eksekutif daerah.
b.    Hak Angket (Penyelidikan)
Yang dimaksud dengan “hak Angket” dalam ketentuan ini adalah pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu eksekutif daerah (Kepala Daerah) yang penting dan strategis serta berimplikasi luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Legislatif daerah di dalam melaksanakan fungsi pengawasannya mempunyai hak untuk mengadakan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu dari eksekutif daerah (Kepala Daerah) yang penting dan strategis serta berimplikasi luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud di atas dilakukan setelah diajukan hak interpelasi dan mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota legislatif daerah (DPRD) dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota legislatif daerah (DPRD) yang hadir. Terhadap penggunaan hak angket ini lembaga legislatif daerah (DPRD) harus membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi di lembaga legislatif daerah (DPRD) yang bekerja di dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.
Panitia angket di dalam bekerja dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselediki serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki. Selanjutnya kepada setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa oleh panitia angket wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam hal seseorang sudah dipanggil patut oleh panitia angket secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud di atas, maka panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.
c.    Hak/ Kewenangan mengajukan pernyataan pendapat
Hak mengajukan pernyataan pendapat adalah hak Legislatif Daerah (DPRD) untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan eksekutif daerah (Kepala Daerah) atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Hak Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Eksekutif daerah (Kepala Daerah) di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Legislatif daerah (DPRD) dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Eksekutif Daerah (Kepala Daerah) di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Laporan keterangan pertanggungjawaban yang dimaksud adalah laporan keterangan pertanggungjawaban yang disampaikan oleh Eksekutif Daerah (Kepala Daerah) setiap tahun dalam sidang Paripurna Lembaga Legislatif Daerah (DPRD) yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas otonomi dan tugas pembantuan.
Selanjutnya di dalam Pasal 44 ayat (1) diatur dengan tegas bahwa, anggota legislatif daerah (DPRD) dalam menjalankan tugasnya mempunyai hak, sebagai berikut:  
“a. Mengajukan rancangan Perda;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administrasi”.
Mencermati substansi dari UU No. 32 Tahun 2004 di atas, khususnya yang menyangkut tentang hubungan Eksekutif dengan Legislatif Daerah, maka tampak tergambar dengan jelas seperti apa model desentralisasi pemerintahan daerah yang sedang dipraktekkan saat ini.
Peter Holland, (1999:2001), melukiskan kondisi desentralisasi di Indonesia di bawah Soeharto, dengan segala problemnya secara transparan. Di bawah kajiannya yang bertemakan Regional Government and Central Authority in Indonesia, Holland melukiskan tesis Vatikiotis, yang menegaskan apa yang dapat diharapkan dari begitu ketatnya kontrol pusat kepada daerah pada masa itu. Efektivitas macam apakah yang dapat dicapai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah? Demikian juga dengan efisiensi macam apakah yang dapat dicapai dengan pemerintah daerah di bawah kontrol pusat yang demikian ketat? Jelaslah bahwa desentralisasi, pada dasarnya mengandung tujuan untuk mencapai efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada tujuan itulah, memberi ruang, bahkan menjadi sarana untuk memperbaiki tata pemerintahan. Pada level itu terletak perpaduan fungsional antara densentralisasi dengan penciptaan suatu pola hubungan eksekutif dengan legislatif daerah yang sinergis dan akuntabel.
Bila digali dan ditelusuri ketentuan yang mengatur tentang kewenangan DPRD dan Kepala Daerah di berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 sebagaimana di uraikan pada bagian terdahulu, maka hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis yaitu¬:
1.    Hubungan pemilihan;
2.    Hubungan perundang-undangan;
3.    Hubungan anggaran;
4.    Hubungan pengawasan;
5.    Hubungan pertanggungjawaban; dan
6.    Hubungan administrasi.
Hubungan pemilihan adalah hubungan yang erat kaitannya dengan pelaksanaan wewenang Legislatif daerah (DPRD) sebagai Wakil Rakyat memilih Kepala Daerah atau istilah lama Dewan Pemerintah Daerah sebagai badan yang bertanggung jawab melaksanakan pemerintahan sehari-hari. Hubungan dalam bentuk ini merupakan hubungan yang paling awal terjalin antara Legislatif Daerah dengan Eksekutif Daerah (Kepala Daerah) sebagai perwujudan dari sistem perwakilan. Hubungan ini sifatnya sepihak atau satu arah.

Penutup
Pilkada

DAFTAR PUSTAKA
Abshar-Abdallah, Ulil. Dkk, 1999, Memilih Partai Medambakan Presiden: Belajar Berdemokrasi di Ufuk Millenium, Rosda Karya, Bandung.
Arifin, M.Si., Dr. Indar, 2010. Birokrasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial Politik;  Telaah Teoritik dan Nilai-nilai Kearifan Lokal Wajo Abad XV-XVI Dalam Relevansi Kekinian “Maradeka To’wajoe ade’Nami Na Popuang” (Tradisi Pemerintahan Demokratis Ke Good Governance). Pustaka Refleksi. Makassar.
Dharmawan, HCB. Dkk, 2004, Sang Kandidat: Analisis Psikologi Politik Lima Kandidat Presiden dan Wakil Presiden RI Pemilu 2004, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Harian Kompas Edisi, 18 Desember 2006.
Harian Fajar edisi Senin, 14 Juni 2004, hal. 1 yang bertajuk “Korupsi di DPRD Naik 100 persen.
Huntington, Samuel, (1991), The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth century, University Of Oklahoma Press.
John, Kingdom (ed J.A. Candler, 1993, Local Government in Liberal Democracies, Routledge, London.
Juanda. 2004. “Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Eksekutif daerah (Kepala Daerah)”, PT. Alumni, Bandung.
Jurdi, Syarifuddin, 2008, Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi di Bima; Membangun Demokrasi Kultural Yang Berbasis Religius. CNBS. Yogyakarta.
Librayanto, Romi, 2009, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia; Kekuasaan Presiden; Antara “Tak Terbatas” dengan “Tidak Tak Terbatas”, PuKAP-Indonesia, Makassar.
Abdullah, Madjid H., 2007. Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik, Disertasi Pascasarjana Unhas, Makassar.
Mahfud. MD, (1999:. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.
________________. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Gama Media. Yogyakarta.
Mallaranggeng, Andi. Dkk, 1999, Transisi Demokrasi: Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Jakarta.
Nadir, Ahmad, 2005, Pilkada Langsung Dan Masa Depan Demokrasi: Studi atas artikulasi politik nahdliyyin dan dinamika politik dalam Pilkada langsung di kabupaten Gresik Jawa Timur, Averroes Press, Malang.
Nasution, A, H, (1998), Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai, Grafitti, Jakarta.
Nursal, Adman, 2004, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pangerang, Andi. 1999. Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan Di Daerah, Disertasi, Pascasarjana Unpad, Bandung.
Saucana, Wayan Gede, 2010, Pilkada 2010 Dan  Legitimasi Demokrasi Lokal,  dalam http://wgsuacana.wordpress.com/2010/09/06/pilkada-2010-dan-legitimasi-demokrasi-lokal/. Diakses pada tanggal 01 Oktober 2010.
Sahdan S. Ip, Gregorius, 2004, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Pondok Edukasi, Yogyakarta.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah;
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok Pemerintahan Daerah;
Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dengan Daerah.
Wijoyo, ST, Andysastro, (2003), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003: Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Karina Anfaka Perdana, Surabaya.
Yusuf, Saifullah dan Fahruddin Salim, (2000), Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi, Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Jakarta.


1 komentar: