Jumat, 24 Februari 2012

PANDANGAN POLITIK INDONESIA MASA DEPAN

PANDANGAN POLITIK MASA DEPAN
(Sebuah Refleksi)






Dalam memahami tentang perilaku politik masa depan, kita harus lebih memahami bagaimana politik pada masa kini. Politik Indonesia pada hari ini adalah politik yang untuk melakukan pembodohan kepada masyarakat, sehingga mereka menganggap masyarakat sebagai sebuah mainan yang sangat bagus untuk dimainkan. Dalam pandangan politik, kehidupan suatu bangsa sangat bergantung kepada bagaimana keadaan kehidupan sosial politiknya. Apabila kehidupan sosial politiknya seimbang dan berkembang dengan pesat, maka secara tidak langsung kehidupan dalam suatu bangsa juga akan mengalami hal yang sama.
Perilaku politik elit juga menentukan apa yang akan menjadi kebijakan masa depan suatu bangsa. Politik pada saat ini adalah politik pembaptisan yang selalu melakukan pembodohan terhadap rakyat, dengan selalu melakukan mobilisasi terhadap massa  serta dengan melakukan penjemputan terhadap massa, dirumah-rumah massa untuk mendapatkan tiket kepentas politik. Akan tetapi, setelah mereka mendapatkan tiket kepentas politik tersebut, maka massa yang mereka kumpulkan tadi, mereka abaikan begitu saja, sehingga massa tersebut kebingungan dan tidak tahu jalan pulang kerumah masing-masing (tersesat). Tersesatnya massa yang dimobilisasi ini, diibaratkan dengan tersesatnya orang yang sementara ada dalam hutan belantara yang begitu luas, sehingga menemukan jalan keluar adalah hal yang sangat tidak mungkin, kecuali kembali menyadari
Untuk memperbaiki kehidupan politik masa depan, sebuah bangsa harus mampu keluar daripada apa yang telah menjadi sejarah kelamnya pada masa lalu, sehingga dia akan mampu membuat perubahan baru bagi terjadinya suksesi kepemimpinan nasional, sebagaimana ungkapan yang pernah dilontarkan oleh Yuddi Krisnandi dalam sebuah debat, yakni debat kandidat presiden pada tahun 2008 digedung Mulo Ujung Pandang. Dalam debat tersebut, semua bakal calon (balon) Presiden memiliki keyakinan untuk mengubah masa depan Indonesia, ada yang berkeyakinan untuk mengubahnya dari segi pertanian, yakni dengan meningkatkan hasil pertanian masyarakat, itulah yang menjadi rencana masa depan dari Marwah Daud Ibrahim, dia juga berkeyakinan akan ada Indonesia baru tahun 2042 yakni satu abadnya Indonesia. Sedangkan Rizal Ramli berkeyakinan bahwa dia akan mengeluarkan Indonesia dari jeratan para kapitalisme serta melakukan revolusi terhadap birokrasi dan memberantas korupsi mulai dari akar-akarnya, intinya dia akan membersihkan Indonesia dari aibnya, sehingga Indonesia dengan tenang menatap masa depannya dengan lebih bersemangat. Lain dengan apa yang menjadi rencana dari Bambang Sulistomo, dia berkeyakinan untuk mengubah Indonesia dari segi budaya dan mempertemukan antara suku dan ras, supaya tidak akan ada lagi yang namanya stratifikasi sosial dalam masyarakat, karena stratifikasi akan membawa dampak yang sangat besar dalam memperjuangkan masa depan suatu bangsa dan sangat berpotensi menciptakan kecemburuan sosial.
Dalam kajian politik, masa depan suatu bangsa harus mampu mengubah masa lalunya yang kelam menjadi masa depan yang sangat cerah. Dalam kehidupan suatu bangsa politik adalah merupakan rangkaian yang menjadi batu pijakan bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera bagi masyarakat.
Politik suatu bangsa merupakan bagian dari kehidupan dan perkembangan suatu bangsa.
Dalam pandangan politik, suatu bangsa akan maju, ketika bangsa tersebut mampu memperjuangkan kehidupan politik dengan lebih baik. Kehidupan politik suatu bangsa akan baik jika para elit politik yang berada dipentas politik berpikir dewasa. Bangsa yang tidak mengontrol kehidupan politiknya, akan semakin jauh masuk dalam jurang kehancuran dan akan membawanya kedalam alam kubur baru yang dapat membuatnya menjadi mayat yang semakin lama, semakin busuk dan bahkan orang jijik mendekatinya.
Apabila dalam suatu bangsa tidak ada kelas yang menjadi oposisi atau pengontrol sosial yang dapat memberikan pemahaman baru bagi masyarakat tentang apa dan bagaimana perilaku elit politik dan bagaimana keadaan politik pada saat sekarang?. Kelas oposisi adalah kelas yang akan memberikan pemahaman yang lebih baik masyarakat dan mereka kapan saja bisa memberikan kritikan kepada penguasa yang tidak memihak pada masyarakat, sehingga mereka akan dengan sendirinya sadar, bahwa ada satu kelas yang menjadi pengontrol dalam kehidupan dan dalam cara mereka memimpin negeri ini, apalagi negeri yang antah barantah seperti Indonesia, yang biasa saya sebut sebagai negeri yang sedang menghadapi sakaratul maut atau negeri yang sedang berada diujung tombak kehancuran.
Kelompok sosial adalah kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kesejahteraan sosial, mereka akan melakukan upaya-upaya intelektual untuk meruntuhkan stratifikasi sosial yang tengah berkembang dimasyarakat pada saat sekarang, entah karena adanya perbedaan etnis, etnik, ras, suku, agama, dan kelas. Banyak sekali perbedaan sosial yang dapat menciptakan stratifikasi sosial yang pada akhirnya dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bebal terhadap para penjahat, mereka yang menjadi aparat atau lembaga Negara yang bertugas untuk menjaga kehidupan hukum dan politik yang sedang bergolak pada saat sekarang dan menjadi bagian dari perkembangan bangsa hanya bisa melihat dan membicarakan yang tidak jelas arahnya. Tanpa mencari solusi untuk menanggulangi apa yang tengah terjadi dalam kehidupan tersebut.
Mereka hanya menjadi penonton terbaik dan bahkan mereka menutup mata dan telinganya ketika ada kejadian aneh yang menimpa bangsa ini. Bangsa yang tanpa arah ini, dibuat lebih tanpa arah lagi oleh mereka yang menjadi aparat penegak hukum yang diharapkan untuk memperbaiki bangsa ini. Mereka justeru mendatangkan masalah baru bagi bangsa ini, yakni masalah-masalah yang sangat sebenarnya tidak ada, mereka mengada-adanya dengan menyebarkan berbagai isu yang tidak ada sama sekali realitasnya dalam kehidupan ini.
Para penegak hukum Indonesia sekarang sedang enak-enaknya memberikan tontonan yang menarik kepada masyarakat, bagaimana sebenarnya perilaku mereka, serta bagaimana sebenarnya kinerja mereka dalam menyelesaikan setiap sengketa yang muncul di Indonesia. Sebagaimana yang biasa saya sebut dalam berbagai kesempatan dan dalam beberapa tulisan yang pernah saya tulis, bahwa aparat hukum yang ada negeri ini adalah keparat yang tidak pernah mampu menyelesaikan masalah, jangankan masalah yang sangat besar, masalah yang sangat kecil saja mereka tidak mampu menyelesaikannya, ini adalah sebuah cara kerja yang sangat tidak bagus untuk dicerminkan oleh aparat lembaga Negara, apalagi Negara yang antah barantah seperti bangsa Indonesia yang sampai hari ini tidak mampu keluar dari lingkaran setan korupsi dan penjajahan mental.
Untuk memajukan dan mensejahterakan bangsa ini, kita harus menyikuti apa yang sering diungkapkan oleh para aktifis dalam setiap aksi perlawanannya, yakni bangsa ini harus ganti rezim ganti sistem. Inilah jalan satu-satunya yang dapat menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan sejahtera.
Bangsa ini adalah bangsa yang sangat kerdil dengan kehidupan hukum dan politiknya, meski pada masa awal berdirinya Indonesia berjuang untuk mempertahankan kehidupan sosial politik.
Dalam kehidupan sekarang, ketika kita membuka-buka canel televisi kita masing-masing, kita akan menemukan berbagai hal yang merupakan salah satu dari praktek kehidupan sosial politik kita. Yakni berbagai kejadian yang tengah menimpa bangsa bebal seperti Indonesia. Indonesia akan keluar dari semua itu, apabila Indonesia mengikuti apa yang menjadi harapan dari semua aktifis yang hari ini berteriak untuk kemanusiaan, yakni Indonesia harus mampu mengganti rezim ganti sistem, cuman itu yang perlu dilakukan jika menginginkan Indonesia berubah dan lebih maju. Sekarang Indonesia mendapatkan gelar yang cukup bagus dan cukup strategis dan bahkan cukup dikhianati yakni diberikan gelar sebagai sarang terorisme. Dihampir semua canel televisi yang kita buka, akan ada berita yang memberitakan tentang bagaimana terjadinya praktek terorisme dan kekerasan yang sering mereka tontonkan, inilah sebenarnya aib yang dimiliki oleh para elit politiknya Indonesia. Indonesia adalah Negara yang memiliki para elit politik yang selalu mencerminkan kehidupan pembodohan dan pengkhianatan.
Kehidupan Indonesia sekarang adalah diibaratkan dengan kehidupan seorang bayi yang tanpa ibu yang menangis meronta-ronta. Indonesia telah dikuasai oleh alam angan-angan yang selalu membawa kita kedalam alam kehidupan tanpa kejelasan atau yang biasa saya sebut dengan dunia khayalan, yang terjebak pada kehidupan material semata.
Indonesia adalah suatu bangsa dimana sarang kekerasan politik serta terorisme politik itu dipraktekkan. Indonesia juga adalah Negara yang menampung kanibal-kanibal, predator-predator, mafia-mafia, pelacur-pelacur, gorila-gorila, serta germo-germo politik yang semakin menjadi-jadi dengan semua praktek yang mereka cerminkan. Di Indonesia ada yang disebut sebagai calo-calo politik yang akan meng-obral politik itu dalam berbagai hal, baik yang baik itu sendiri dan lebih-lebih yang buruk dan pengkhianatan selalu menjadi cerminan dalam melakukan praktek tersebut.
Apabila kedepannya kehidupan bangsa Indonesia masih sama seperti yang sekarang tengah terjadi, maka jangan ada yang berharap untuk perbaikan Indonesia kedepannya. Yang ada hanyalah keburukan dan semakin masuknya Indonesia kedalam jurang kehancuran yang kian mencekamnya.
Indonesia sangat berpotensi menjadi Negara yang paling maju untuk kalangan Asia bahkan dunia, sebab Indonesia sangat kaya akan sumber daya alamnya. Kita bisa membayangkan bagaimana banyaknya kekayaan Indonesia yang ada di Freeport dan juga Exxon Mobil serta perusahan luar yang lainnya yang tidak kalah ganasnya dengan kedua perusahan terbesar Amerika ini.
Apabila kebijakan ekonomi Indonesia berpihak kepada masyarakat bawah, atau kelas bawah, maka akan ada keseimbangan dalam kehidupan ini. Apabila keseimbangan itu telah ada, maka kesejahteraanlah yang menjadi masa depan Indonesia kedepannya. Masyarakat Indonesia sangat mengharapkan kehidupan kesejahteraan itu menjadi kehidupan yang lebih bermanfaat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi masa depannya.
Ekonomi Indonesia telah dijual oleh penguasa kepada pemerintah asing atau yang lebih tepatnya kepada para korporatokrasi asing, yang kian membuat mata dan telinga serta tubuh kita terserang penyakit aneh.
Bangsa ini diibaratkan telah dijual sebagian wilayahnya oleh penguasa kepada korporatokrasi asing dengan harga yang sangat murah dan bahkan tanpa harga, yakni ketika kita menghitung pembagian keuntungan yang menjadi perjanjian dalam kontrak dagang tersebut, Indonesia sebagai Negara yang punya sumber daya alam hanya mendapatkan 30 % dari 100 % keuntungan yang didapat, sedangkan yang 30 % ini tidak cukup untuk mencicipi utang luar negerinya Indonesia yang sudah hampir ratusan milyar dollar AS, ini adalah sebuah perjanjian yang sangat tidak kita harapkan untuk terjadi. Perjanjian tersebut tidak pernah diketahui oleh masyarakat.
Dan paling lucu-nya lagi, pemerintah Indonesia tidak pernah mengetahui berapa konsentrasi emas, tembaga dan timah yang dibawah keluar oleh Freeport, jangankan pemerintah pusat, pemerintah daerahnya saja tidak mengetahui hal tersebut. Saya menduga ada semacam perjanjian terselubung yang dilakukan pemerintah kita dengan para korporatokrasi asing ini, sehingga mereka saling menutupi aib sesamanya. Ada semacam pengkhianatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan para korporatokrasi asing tersebut.
Pemerintah Indonesia membela-belai dirinya, supaya dapat melanjutkan kontrak dagang yang sudah sangat lama dan terasa sekali penjajahannya, yakni kontrak dagang dengan Exxon Mobil yang sampai saat ini masih tentramnya menjarah habis sumber minyak bumi Indonesia. Saya menganalisis tentang kebijakan tersebut, seandainya pemerintah memberikan wewenang kepada Pertamina untuk mengelolah lahan blok cepu, maka Indonesia akan dengan cepat dapat membayar utang luar negerinya dan Indonesia akan dapat keuntungan besar. Akan tetapi, yang oleh pemerintah Indonesia yang bermental inlander sekarang kewenangan tersebut diberikan kepada Exxon Mobil yang merupakan perusahan penjajah yang selalu ingin menjarah habis sumber daya alamnya dan keuntungan yang didapat Indonesia hanyalah nol besar. Inilah bentuk pengkhianatan tersebut.
Sebagaimana ungkapan yang pernah dilontarkan oleh berbagai aktifis di Indonesia dalam mengkritik cara kerja para penguasa, bahwa pemerintahan dituntut bertanggungjawab atas semua yang tengah terjadi dalam kehidupan bangsa ini. Sebagaimana yang terjadi sekarang, yakni kasus Skandal Bank Century yang sudah sangat lama sekali dibicarakan. Akan tetapi hasil yang dicapai masih kabur dan bahkan masih jauh dari harapan.
Banyak sekali pemikir-pemikir luar negeri yang mengatakan bahwa Negara yang paling kritis dan Negara yang paling banyak para intelektual dan pemikirnya adalah Negara Indonesia dan ini sangatlah diakui oleh berbagai pemikir yang ada diberbagai Negara. Ketika saya mendefinisikan apa yang menjadi realitas dalam kehidupan Indonesia, maka saya cukup dengan mengatakan Indonesia ini adalah Negara yang sangat komplit dengan berbagai fenomena dan kejadian yang kompleks terjadi di dunia. Misalnya kekerasan, Indonesia disebut sebagai sarangnya terorisme, kemudian kekritisannya dicerminkan lewat aksi-aksi yang dilakukan oleh mereka dalam setiap protesnya terhadap kebijakan penguasa yang selalu sepihak dan tidak pernah memihak pada rakyat bawah.
Mari kita kembali berbicara tentang kelas oposisi yang menjadi titik acuan perubahan atau lebih bagusnya adalah gerakan sosial dan antek-anteknya. Dalam kehidupan suatu bangsa, jika tidak memiliki kelas oposisi dan kelas gerakan sosial sebagai pengontrol kehidupan sosial politik, maka yakinlah akan kehancuran bangsa tersebut, sebab penguasanya akan semakin menjadi-jadi dengan berbagai kebijakan gilanya yang tidak pernah lagi memihak kepada rakyat bawah dan penguasa juga akan semakin otoriter, karena tidak adanya kelas yang akan menjadi pengontrol terhadap kebijakan tersebut.
Kelas oposisi adalah merupakan kelas yang akan memperjuangkan kepentingan masyarakat dengan mengontrol kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kelas oposisilah yang menjadi batu pijakan bagi kita, ketika kita ingin menghukumi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kelas oposisi biasanya lahir dari rival politiknya pemerintah, yang akan mengontrol jalannya pemerintahan dengan baik serta kelas yang akan menghukumi pemerintah ketika melakukan pelanggaran atau pengkhianatan kepada Negara.
Kelas oposisi menjaga dan mengawal jalannya demokrasi di dalam suatu bangsa, apalagi bangsa yang sedang berkembang seperti Indonesia. Kelas oposisi akan semakin kuat jika didukung dengan apa yang namanya sebagai oposisi binner, dengan selalu mengadakan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pernah berpihak pada masyarakat bawah.
Gerakan Oposisi Di Indonesia
Dengan menggunakan pendekatan modernisme kultural, analisis gerakan oposisi di Indonesia sedikit menarik, karena komunitas yang lahir sebagai kekuatan oposisi adalah komunitas yang memang lahir dari frustasi sosial terhadap posisi negara dan kebanyakan adalah generasi yang dibesarkan oleh anak kandung budaya politik patrimonial dan gerontokrasi.
Oposisi bukanlah penentang an sich. Oposisi bukan pula sekedar pihak yang menyatakan ketidaksetujuan. Oposisi bukan pula tukang teriak semata-mata. Oposisi bukanlah kalangan yang melawan secara membabi buta. Oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan tetapi sambil menggarisbawahi dan menyokong segala sesuatu yang dianggap benar. (Eep Saifullah Fattah; 1999). Oleh karena itu oposisi tidak semestnya melahirkan emosi sosial yang “membakar” nalar keberpihakan hingga titik “dengusan nafas” yang tanpa jelas arahnya. Oposisi adalah komitmen intelektual untuk keluar dari pemasungan politik yang tiranik sambil mendukung kebijakan yang pro demokrasi. Oposisi tidak anarkis, sporadis dan membunuh etika gerakan. Karena bisa jadi gerakan-gerakan sporadis dan anarkis itu melahirkan sikap arogansi sosial yang pada akhirnya bukan lagi menempatkan rakyat sebagai entitas yang diperjuangkan, tetapi rakyat adalah “tumbal” dari hasrat gerakan sosial tersebut.
Perilaku gerakan oposisi di Indonesia pasca reformasi tidak lagi menciptakan konsolidasi gerakan yang kuat, karena cenderung partikular dan bias identitas. Gerakan oposisi bukan lagi murni sebagai oposisi dalam termminologi kajian akademik – apalagi ditempatkan dalam posisi seperti yang dikatakan oleh Eep di atas – tetapi oposisi yang lahir adalah oposisi yang kehilangan ruh, tanpa ”nalar”, kering intelektual karena tidak pernah melakukan kajian tentang teori-teori gerakan sosial – utamanya ilmu-ilmu perubahan sosial – sehingga seringkali melakukan pendekatan sosial secara nihilistik, deterministik dan tidak menjaga naluri komunitarianisme kultural masyarakat sebagai basis kekuatan gerakan.
Akibatnya, hampir semua gerakan sosial yang muncul pasca reformasi politik di Indoensia, tidak sepenuhnya mampu memperlihatkan dirinya sebagai kekuatan   gerakan sosial yang tangguh, karena watak yang dikembangkan sangat heuristik, sporadis, anarkis dan tidak menghargai ”naluri realitas sosial”, sehingga obyektivisme entitas yang diperjuangkan tidak pernah jelas dan tuntas.
Watak sporadisme gerakan sosial di Indonesia akhir-akhir ini adalah karena kehabisan energi dan hampir semua aktornya mengalami ”frustasi sosial”. Frustasi sosial ini muncul karena empat hal; pertama, kekuatan negara jauh lebih besar dan tangguh dari pada kekuatan yang dimobilisasi oleh gerakan oposisi; kedua, gerakan oposisi kehilangan identitas dalam menafsirkan arah perjuangan gerakanyya. Ketiga, hampir semua elemen pro-demokrasi sebagai kekuatan oposisi tidak mampu terkonsolidasikan dengan baik; keempat, sporadisme oposisi ditumpas oleh sporadisme negara yang jauh lebih kuat. Sehingga kata Eep (1999:189), Radikalisme masyarakat sebagai jalan demokratisasi merupakan tindakan bunuh diri. Ketika radikalisme itu muncul, ia tinggal menunggu radikalisme Negara yang sangat ”efektif”. Radikalisme masyarakat juga terbukti dengan gampang bisa mengurangi posisi moral gerakan pro-demokrasi dari luar Negara. Radikalisme itu justru menambah berlipat-lipat legitimasi bagi negara untuk mengendalikan proses sosial dan politik dalam masyarakat.
Gerakan oposisi di Indonesia saat ini mengalami defisit legitimasi sosiologis, karena bangunan ideologi gerakan yang dilakukan masih banyak melahirkan watak heroisme yang ”miskin komitmen”. Sehingga tidak sedikit elemen-elemn pro-demokrasi yang begitu bersemangat muncul, lalu tiba-tiba hilang dari arus sosial yang sedang bergolak – apalagi arus sosial tersebut diciptakan sendiri – hanya karena mendapatkan sogokan dari institusi tempatnya melakukan protes perlawanan. Gerakan seperti ini sesungguhnya lahir dari ”miskin komitmen” dan hilangnya moralitas gerakan oposisi dalam menafsirkan ideologinya.
Gerakan-gerakan sosial seperti ini adalah gerakan sosial yang frustasi dan bingung, karena merasa tidak ada pekerjaan, maka demonstrtasi dijadikan proyek, yakni proyek jual beli massa. Mereka tidak hanya ”membunuh oposisi” tetapi juga melakukan pengkhianatan terhadap gerak dialektis sejarah yang sedang dibentuk wataknya dalam proses transisi sosial-politik negara-bangsa. Arus-arus gerakan sosial yang bergolak, sepenuhnya dikendalikan dan direkayasa sedemikian rapi, sehingga watak pragmatisme dan oportunisme sosial tidak bisa sepenuhya dimengerti di tengah arus pergolakan massa yang frustasi tersebut. Teriakan-teriakan revolusi, yel-yel reformasi, ”sumpah serapah” perubahan, ”muncrat” di mulut mereka, padahal sesungguhnya mereka tidak lebih dari sekawanan penjahat yang sedang menjambret massa demi kepentingan pribadinya.
Komunitas yang frustasi ini muncul di berbagai kampus-kampus dan organisasi buruh yang mengumpulkan massa. Kampus, sebagai simpul demokrasi tidak bisa sepenuhnya dipercaya sebagai komunitas intelektual. Karena kampus menyimpan sejumlah manusia yang bersisi sejuta wajah dan karakter. Karakter komunitas kampus yang sangat banyak tersebut dipengaruhi oleh latar ideologi yang telah menjadi pilihannya gerakannya, sehingga kesadaran sosial yang terbangun dipengaruhi kuat oleh indoktrinasi ideologis yang digenggamnya tersebut. Akhirnya gerakan kampus tidak lagi menyatu dalam sebuah komunitas intelektual, tetapi gerakan kampus menyatu secara partikular dalam sebuah komunitas ideologis yang telah terbingkai. Praktis, pada saat yang sama, gerakan kampus terbengkalai dalam komunitas-komunitas kecil ideologi gerakan – sehingga mereka yang tidak masuk dalam simpul ideologi gerakan tersebut menjadi tumbal bagi gerakan kampus yang tergabung dalam komunitas ideologi tersebut. Namun bukan berarti mereka tidak memiliki ideologi, karena secara tidak sadar, mereka yang berada pada posisi tersebut berada pada komunitas ideologi pragmatisme dan hedonisme yang tanpa di sadari.
Sementara gerakan-gerakan kiri sosialis yang mencoba memobilisasi massa buruh dan rakyat miskin tidak mampu melakukan transformasi tujuan gerakan dan prospek masa depan transisi kepada masyarakat. Kalau gerakan mobilisasi massa berhasil, maka gerakan sosial dianggap telah selesai dan massa kemudian digerakkan secara ”brutal” untuk melawan negara. Mereka tidak sadar, bahwa brutalisme negara akan sangat berbahaya ditengah resistensi massa yang dimobilisasi tanpa kesadaran.
Kekalahan gerakan oposisi seperti ini melahirkan sikap anomali dari masyarakat, karena mereka menyaksikan kerusakan akibat brutalisme yang tanpa alasan tersebut. Akhirnya masyarakat yang di harapkan sebagai kekuatan potensial dalam melakukan gerak opoisi tidak lagi simpati, justru muncul sikap antipati terhadap gerakan sosial yang muncul.
Oposisi Mahasiswa; Sebuah Sketsa Teror Politik
Menurut Arbi Sanit dalam Fadli, Fahruz Zaman (1999) ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kema-syarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelo-mpok masyarakat yang memperoleh pendi-dikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, maha-siswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.
Menyimak ulang gerakan mahasiswa saat ini bukan hanya pertanyaan yang harus diajukkan, tetapi juga gugatan-gugatan harus segera diluncurkan, karena gerakan mahasiswa yang muncul sudah bukan lagi gerakan yang humanis-liberatif-responsif, tetapi gerakan yang lahir adalah gerakan yang mengandalkan emosi brutal dan tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat. Gerakan mahasiswa–kalau kita mau jujur – sudah bukan lagi gerakan yang harus di sandangnya–karena selain pincang, juga tersimpan sejuta borok sosial yang mesti dibenahi secara bersama-sama. Saya tidak ingin menga-takan semua gerakan mahasiswa dalam konteks ini, tetapi kalau kejujuran intelektual yang dibangun, sudah semestinya kadalaeskop gerakan anarkisme sosial harus ditinggalkan. Karena akhirnya gerakan mahasiswa sudah bukan lagi gerakan untuk mengawal rezim politik, tetapi gerakan maha-siswa telah menjadi teror politik yang sangat menakutkan bagi entitas lain, karena siapa dan apa saja yang ada di hadapanya akan dilibas selama itu menghalangi ”hasrat” gerakan yang sedang dilakukannya. Gerakan sosial yang telah menjelma menjadi teror sosial dan teror politik adalah merupakan bahaya yang sangat mengkhawatirkan dalam proses pengawalan Negara. Teror politik, sebagaimana yang dikatakan oleh Baudrillars dalam; The Transparensi Of Evil (1995) jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan bentuk kekerasan politik lainnya. Bahkan secara lebih jauh, Jean Baudrillards dalam Fatal Strategis (1990) mengatakan, bahwa terror menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari politik, ketika politik itu dikendalikan oleh hawa nafsu (desire). Mesin politik seperti itu menjelma menjadi mesin a sosial; sebuah mesin politik yang melenyapkan didalam dirinya batas-batas politik (political principles), aturan main politik (political rules), etika dan norma-norma politik (political ethics). Didalam transpolitik, lanjutnya, tidak ada batas antara politik dan terror, antara penguasa dan penjahat, antara politikus dan mafia-politik bercampur baur dengan kekerasan, kekuasaan tumpang tindih dengan kegilaan, demokrasi tumpang tindih dengan anarki.
Gerakan mahasiswa cenderung revivalistik dan membuat garis demarkasi antara dirinya dengan Negara. Negara adalah musuh sehingga dia (negara) harus ditempatkan sebagai “musuh bersama” bagi gerakan-gerakan pro-demokrasi untuk dihancurkan. Gerakan mahasiswa kemudian terlalu memfokuskan diri dan menghabiskan energi untuk mengutuk dan membongkar masa lalu dan masa yang sedang di alami oleh rezim tanpa ada tawaran politik yang jelas. Proses pembongkaran terhadap realitas sosial masa lalu hanya menghabiskan energi, karena itu, yang paling penting adalah mengusung masa depan demokrasi dan sistem politik alternatif jauh lebih bermakna dari para menciptakan anarkisme sosial.
Proses pembangkangan dari mahasiswa memang tidak bisa kita kutuk secara berlebihan, namun tidak bisa juga dibiarkan melampaui batas-batas kewajaran hingga menciptakan dekonstruksionisme sosial. Karena warga Negara bukan hanya mahasiswa, tetapi masyarakat juga adalah warga Negara, oleh karena itu moral-masyarakat harus diperhatikan dalam proses pembangkangan sosial mahasiswa.
Teror politik sebagai tindakan brutal dan sporadisme akan mendekonstruksi bangunan-bangunan politik dan ideologi demokrasi. Karena akan memunculkan tindakan tirani terhadap siapa saja yang dianggap bertentangan dengan hasrat dan kepentingan politik yang sedang dijalankan – termasuk kepentingan gerakan sosial. Oleh karena itu gerakan mahasiswa yang sporadis adalah merupakan salah satu bentuk “terror” politik dan “tirani oposisi yang brutal” bahkan bisa dianggap sebagai mesin-mesin antidemokrasi, karena brutalisme tidak pernah mendapatkan legitimasi dalam pergulatan rezim demokrasi manapun.
Dalam konteks sporadisme massa mahasiswa yang melakukan gerakan oposisi ini Suwarno Adiwijono (Fadli; 1999:197) mengatakan bahwa para aktivis mahasiswa sebagai pelopor gerakan moral reformasi, harus mau mengubah aksi dan strategi perjuangan. Aksi demo, baik ditunggangi pihak lain maupun ketidak-mampuan mengendalikan emosi massa, cenderung mencemaskan dan dianggap mengganggu atau bahkan mengundang antipati masyarakat. Lebih lanjut Adiwijono mengatakan, apabila hal ini tidak di evaluasi dan terus dipaksakan, bisa malah counter-produktive dan menghasilkan reaksi balik yang menyedihkan: munculnya penilain dikala-ngan masyarakat awam, bahwa aksi demo mahasiswalah penyebab semakin terpuruknya krisis ekonomi; khusunya jika aksi demo tersebut di ikuti dengan kerusuhan massal, anarkisme, pembakaran, penjarahan dan berbagai tindakan sadisme.
Semua proses perlawanan yang diikuti dengan anarkisme sosial tersebut adalah merupakan gerakan oposisi yang salah pemaknaan, karena makna otentisitas oposisi yang sesungguhnya ternodai oleh arus emosi massa yang membludak tanpa kompromi hingga akhirnya mengubur moralitas gerakan dalam museum sejarah. Radikalisme dan sporadisme dalam bentuk apapun dan atas nama siapapun tidak bisa dimaafkan, karena ini merupakan bentuk ”pemerkosaan” terhadap hakikat demokrasi yang lebih substansial. Karena kalau itu yang terjadi, siapa yang mau diperjuangkan oleh mahasiswa, dan apa yang akan mereka perjuangkan.
Ada beberapa aktifis yang selalu menentang kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada masyarakat bawah seperti, Sri Bintang Pamungkas, Arief Budiman, Amien Rais, Adnan Buyung Nasution, Jimly Asshiddiqie, dan lain sebagainya yang tidak mampu disebutkan satu persatu. Mereka inilah orang yang akan dapat mengubah wajah Indonesia ini kedepannya. Mereka inilah yang selalu meneriakkan suara rakyat, yang selalu menjerit kesakitan karena perbuatan dan kebijakan yang diambil oleh mereka yang berkuasa.
Rakyat selalu menjerit kesakitan sebab kebijakan yang diambil oleh penguasa adalah kebijakan sepihak yang tidak meminta pendapat dari masyarakat yang akan menjadi objek dalam kebijakan yang diambil tersebut. Mereka hanya melihat bagaimana mereka dapat menarik keuntungan yang sangat besar dalam kebijakan yang mereka ambil tersebut, kalau saya menyebutnya sebagai ‘penjualan tanpa kesepakatan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar