Senin, 26 Desember 2011

Prof. Dr. Mardjono Reksodiputro "Ilmu Kepolisian: Kajian Awal Pembangunan di Universitas Indonesia"


Teman Membangun Kajian Ilmu Kepolisian – Sekarang Mereka Sudah Tiada                         
(Mengenang Almarhum Jenderal (Pol) Kunarto Dan Jenderal (Pol) Momo Kelana)

OLEH:
PROF. DR. MARDJONO REKSODIPUTRO SH.,MH

Pertemanan saya dengan kedua Almarhum ini di mulai pada bulan Juli 1996, ketika itu saya mendapat tugas untuk membangun suatu program baru di Universitas Indonesia. Tugas itu datang dengan sangat tiba-tiba, disebuah rapat Dosen PTIK yang dipimpin Prof Awaloedin Djamin diumumkan bahwa Dep. Pendidikan & Kebudayaan serta Universitas Indonesia dan Mabes Polri telah sepakat untuk tahun itu memulai Program Kajian Ilmu Kepolisian sebagai program strata-2 (magister) bertempat di UI. Dan dalam rapat itu saya ditunjuk untuk memimpinnya. Pada mulanya saya ingin menolak, karena seperti pada tahun 1993 diminta memberi pidato Dies Natalis PTIK ke-47, pengumumannya datang secara mendadak dan tanpa konsultasi terlebih dahulu. Namun saya kemudian teringat akan usaha yang sejak tahun 1980 telah dilakukan oleh Prof Awaloedin Djamin (selaku Kapolri waktu itu), Prof Harsya Bachtiar (selaku Dekan PTIK) dan Mendikbud serta Rektor UI untuk meningkatkan kemampuan Polri, dan ahirnya penunjukan itu saya terima. Untunglah kepada saya diperbantukan Kol(Pol) Dra Ida Ayu Suntono,MSc sebagai Sekretaris Program.
Banyak yang membantu saya dalam tugas ini, dan tanpa mereka tidak mungkin Program Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (selanjutnya KIK-UI) menjadi seperti sekarang ini. Tulisan ini ingin mengenang pertemanan saya dengan Jenderal (Pol) Drs.Kunarto dan Jenderal (Pol) Drs Momo Kelana, SH – kedua-duanya baru-baru ini wafat -, dan bagaimana mereka membantu saya dalam membangun KIK-UI. Fokus saya adalah bagaimana mereka dengan pikiran dalam diskusi, dan tulisan dalam karangan mereka, membantu pengembangan KIK-UI.
Pendidikan saya ilmu hukum (UI,1961) dan kriminologi (UnPenna,1967) dan mengajar kriminologi di PTIK sejak 1981, tetapi terus terang saya tidak mendalami Ilmu Kepolisian. Kepada saya juga disodorkan struktur organisasi (3 program kekhususan) dan kurikulum 4 semester untuk MSi Ilmu Kepolisian. Saya kurang setuju dengan apa yang dirancang itu. Kemudian  dengan persetujuan Prof Awal, saya mulai melakukan perubahan dengan a.l diskusi-diskusi dengan Prof Parsudi Suparlan. Tetapi saya masih kurang puas, a.l karena tidak adanya buku-buku ilmu kepolisian mutahir yang dipergunakan sebagai bahan bacaan mahasiswa dan karena orientasi dalam program kekhususan Hukum Kepolisian terlalu meniru program fakultas hukum. Disinilah saya berkesempatan berdiskusi mendalam dengan dua mantan perwira tinggi kepolisian yang mempunyai perhatian besar untuk meningkatkan pengetahuan polisi Indonesia. Dengan Pak Momo saya sudah lama berkenalan,karena sama-sama mengajar di PTIK dan beberapa kali duduk bersama mengambil ujian srikpsi PTIK serta melalui buku beliau tentang “hukum kepolisian”. Tetapi dengan Pak Kunarto saya baru bertemu di KIK-UI, sebagai teman dosen. Saya heran melihat mantan Kapolri (1991-1993) dan kemudian jadi Wakil Ketua BPK-RI, begitu “low profile”.
Setelah saya selesai membahas pemahaman saya tentang isi dan tujuan kurikulum KIK-UI (yang disodorkan pada saya) dengan a.l Prof Awal, Prof Parsudi, Prof Tapiomas Ihromi dan Prof Miriam Budiardjo, maka saya ingin mendapat pandangan dari orang “praktek kepolisian”. Dengan Prof Awal dan Prof Parsudi dkk, saya membahas kurikulum berdasarkan buku Prof Harsya W.Bachtiar, Ilmu Kepolisian (terbit tahun 1994 - beliau wafat 18 Desember 1995). Atas dasar ini dibuat beberapa penyempurnaan kurikulum atas saran Pak Parsudi. Dengan Pak Momo saya diskusikan tentang pandangan saya mengenai hukum kepolisian, berdasarkan buku beliau Hukum Kepolisian (1994 – buku terahir adalah Konsep-Konsep Hukum Kepolisian, 2007).Kita juga membicarakan materi matakuliah Perkembangan Hukum Kepolisian dan Perbandingan Hukum Kepolisian. Saya merasa dapat meyakinkan beliau agar jangan terlalu mengacu pada hukum (tatanegara, administrasi negara dan acara pidana).Beliau a.l sepakat pentingnya aspek pertanggungjawaban kepolisian: pidana (a.l tentang HAM) dan perdata (ganti-rugi dalam melakukan “onrechtmatig overheidsdaad”- perbuatan melawan hukum oleh penguasa). Tutur-sapanya yang halus dan sopan membuat saya senang untuk berlama-lama berdiskusi dengan beliau, meskipun kemudian kita juga berbeda pendapat.
Perbedaan pendapat saya dengan Pak Momo berkisar pada materi muatan UU Kepolisian (waktu itu sedang dalam pembahasan) dan a.l menyangkut pemahaman tentang “diskresi kepolisian” (kemudian juga diuraikan dalam tulisan saya: “Undang-Undang Kepolisian: Siapa Takut?”). Berbeda pendapat dengan saya, beliau tetap yakin bahwa perumusan “diskresi” dalam UU Kepolisian itu sudah tepat. Menurut pendapat beliau memang seharusnya diberikan kewenangan luas bagi anggota polisi menafsirkan diskresi tersebut – pengalaman praktek beliau (sejak lulus PTIK 1971) adalah demikian.Usaha saya mengubah pendapat beliau tidak berhasil, beliau “keukeuh” (Sunda) pada pendapatnya. Tetapi dari beliau saya mendapat banyak masukan a.l tentang isi program kekhususan “teknologi kepolisian”. Sebagai sama-sama lulusan SMA Bag.B (PasPal),kita menyadari bahwa sulit mengharapkan di KIK-UI ini kita membuka pendidikan kepolisian untuk mengisi laboratorium forensik kepolisian.Diskusi yang kemudian berlanjut dengan Jenderal (Pol) Drs.Sujud Bin Wahyu (yang merupkan mahasiswa KIK-UI Angkatan-I) dan Pak Awal, mengakibatkan bahwa KIK-UI mengurungkan niatnya membuka pendidikan teknologi kepolisian. Dalam perkembangan selanjutnya program ini diganti dengan pengetahuan  di bidang “Manajemen Sekuriti”.
Saya mempunyai pengalaman yang lain dengan Pak Kunarto, dalam diskusi-diskusi dengan beliau saya mendapat kesan bahwa beliau sangat memperhatikan perlunya pemahaman etika pada anggota kepolisian (kemudian dalam tahun 1999, beliau menerbitkan buku tentang ini). Beliau juga sangat prihatin bahwa pengetahuan anggota kepolisian (termasuk mahasiswa KIK-UI) tentang bahan pustaka kepolisian sangat minim. Mengenai kedua hal ini kita sering berdiskusi. Saran beliau agar mahasiswa diwajibkan membaca bahan dalam bahasa Inggris dan kemudian menerjemahkannya, serta kemudian diterbitkan untuk keperluan intern, saya anggap tidak praktis dan berbahaya, kalau terjemahannya keliru dan tidak diperiksa oleh editor yang menguasai bahannya (tetapi saran ini ternyata dilaksanakan oleh Pak Parsudi untuk bahan metodologi penelitian kualitatif, dan berhasil baik).Dalam diskusi tersebut saya menunjukkan buku Mark Findlay dan Ugljesa Zvekic, Alternative Policing Styles-A Cross Cultural Study (di mana ada karangan saya tentang perkembangan Satpam di Indonesia).Yang menherankan saya adalah bahwa beberapa waktu kemudian oleh beliau buku tersebut telah “diterjemahkan” dan diterbitkan (1998). Bukan main cepatnya beliau bekerja dengan staf pribadinya di PT Cipta Manunggal.
Sebuah buku lain yang juga saya singgung dalam diskusi kita, juga kemudian “diterjemahkan” beliau, yaitu Fixing Broken Windows dari Kelling dan Coles. Kedua buku ini masih saya pergunakan hingga kini dalam perkuliahan di KIK-UI. Kemudian saya baru menyadari bahwa bukan hanya buku-buku ini yang diterbitkan beliau dan stafnya. Dalam tahun 1995 terbit buku Merenungi Kritik Terhadap Polri (2 jilid); dan dalam tahun-tahun berikutnya (1998-2002):Community Policing (saduran dari buku Robert R.Friedmann), Japanese Police System Today (saduran), Hukum Biru (saduran dari bahasa Belanda), Police For The Future (saduran), Above The Law: Police and the excessive use of force (saduran), Police Powers and Politics (saduran), dan berbagai buku lainnya ( menurut catatan Perpustakaan KIK ada 43 judul). Meskipun penerjemahan (sebenarnya lebih merupakan saduran) buku-buku ini belum sempurna, namun hasilnya membantu sekali bagi para mahasiswa terutama dalam membuka pemikiran mereka tentang bahan pustaka mengenai polisi. Bagi saya (dan mungkin juga Prof Parsudi Suparlan) yang ingin mengarahkan mahasiswa magister ilmu kepolisian untuk ke luar dari tema dan topik skripsi PTIK serta membantu membuka cakrawala mereka tentang berbagai masalah, konsep dan teori yang telah ditulis dalam bahan pustaka luar negeri mengenai kepolisian, buku-buku Pak Kunarto ini sungguh membantu. Sumbangan inilah yang akan selalu saya ingat, bagaimana dengan buku-bukunya Pak Kunarto telah membantu membentuk dan mengembangkan KIK-UI.
Kedua teman diskusi saya ini sekarang telah tiada, mereka telah menghadap pada Chaliknya. Bagi saya jasa mereka adalah pada sumbangan yang mereka berikan untuk turut membantu profesionalisme kepolisian, melalui pikiran-pikiran membentuk dan membangun KIK-UI. Mudah-mudahan para penerus beliau-beliau ini, baik sebagai dosen maupun sebagai mahasiswa serta alumnus KIK-UI, akan menyadari bagaimana hasil karya mereka telah menginspirasi pendidikan magister ilmu kepolisian sekarang dan juga untuk masa datang. Apa yang kita temui sekarang di KIK-UI adalah juga antara lain akibat buku-buku Pak Kunarto dan Pak Momo, dan apa yang akan kita lakukan kini dengan pengetahuan yang kita peroleh dari buku-buku itu, akan turut menentukan pendididkan kepolisian Indonesia di masa yang akan datang. Selamat jalan teman-temanku, jasa Anda akan tetap dikenang !
Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepadaNya jua kami akan kembali. Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan Ridho dan Di-Ridhoi. Amiin, Amiin, Ya Robbal’Alamiin !
   24 Oktober 2011,
Mardjono Reksodiputro
Mantan- Ketua Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian
Universitas Indonesia       
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar