Sabtu, 12 November 2011

SENGKETA PEMILUKADA DAN PENYELESAIANNYA DI INDONESIA



SENGKETA PEMILUKADA DAN PENYELESAIANNYA DI INDONESIA
(Sebuah Penegakkan Nilai-Nilai Demokrasi Lokal Murni)

Fatahullah Jurdi[1]

Abstrak
Sebuah demokrasi yang murni akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan memberikan hak penuh kepada masyarakat untuk berpatisipasi dalam semua kebijakan yang diambil. Dengan adanya Pilkada memberikan ruang yang lebih baik dan lebih luas bagi terciptanya demokrasi lokal yang murni. Sebuah sengketa Pilkada akan memberikan pelajaran yang lebih baik bagi seluruh elit politik lokal. Sengketa Pilkada akan diselesaikan dimeja Mahkamah Konstitusi (yang dulunya diselesaikan dimeja Mahkamah Agung, setelah amandemen Undang-undang tahun 2003 dibentuklah Mahkamah Konstitusi, maka semua perkara ketatanegaraan dibawa kemeja Mahkamah Konstitusi.
Kata Kunci; Demokrasi, Pilkada, Mahkamah Konstitusi


A.    PENDAHULUAN  
Dalam suatu perkembangan berdemokrasi di daerah tumbuh luar biasa sejak lahirnya kebijakan otonomi daerah. Seluruh kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sesuai dengan amanat undang-undang yang lahir di era reformasi – kecuali jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Di beberapa daerah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melahirkan ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas hasil Pilkada tersebut ke pengadilan dengan alasan yang beragam.
Dan hal tersebut di Maluku Utara dan daerah lainnya misalnya, penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah telah menimbulkan kekacauan dan berakhir dengan menyisakan sejumlah permasalahan. Bahkan, pihak KPUD Maluku Utara dipandang tidak mampu melaksanakan pemilihan Kepala Daerah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hasil penghitungan suara yang diperoleh masing-masing calon kepala daerah menimbulkan kontroversi. Akibatnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat mengambil alih peran untuk melakukan penghitungan ulang.
Intervensi KPU Pusat berawal dari keterangan KPU Provinsi Maluku Utara (Malut) dengan KPUD Kabupaten/Kota Malut terkait kesimpangsiuran penandatanganan dua dokumen. Ada dua dokumen sertifikat perhitungan suara yang sama, tetapi dengan angka perhitungan yang berbeda. Hal ini nampak aneh karena sudah jelas angkanya berbeda tetapi penandatanganannya sama.[2] Buah intervensi tersebut menghasilkan penetapan hasil pemilihan kepala daerah Maluku Utara oleh KPU Pusat dan membatalkan penetapan KPUD Provinsi Maluku Utara.
Secara teoritis, intervensi pusat kepada daerah memang dapat dibenarkan yaitu apabila terjadi kemacetan dalam proses demokrasi. Kemacetan demokrasi dimaksud adalah kondisi apabila elit daerah, baik eksekutif (birokrat) maupun legislatif (politisi), melakukan konspirasi dengan mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat daerah untuk kepentingan kelompok elit itu sendiri. Apabila hal itu yang terjadi, maka campur tangan pusat, baik pemerintah pusat maupun pimpinan pusat partai politik dapat dibenarkan dengan argumen untuk melindungi kepentingan rakyat.[3]
Dalam soal pengambilalihan, KPU Pusat menggunakan Pasal 122 ayat (3) UU No 22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak dapat menjalankan tugasnya, tahapan penyelenggaraan Pemilu untuk sementara dilaksanakan oleh KPU setingkat di atasnya. Persoalannya, KPU Provinsi Maluku Utara berhasil menjalankan tugasnya, bahkan sudah mengumumkan pemenang Pilkada. Jadi, tidak ada kriteria yang membuktikan bahwa KPU Provinsi Maluku Utara tidak dapat menjalankan tugasnya, karena telah dibuktikan dengan selesainya semua tahapan Pilkada sampai dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi Maluku Utara No. 20/Kep/PGWG/2007 pada tanggal 16 November 2007, KPUD Malut telah menetapkan pasangan Thaib-Abdul sebagai pemenang pilkada Gubernur Malut.
Pasal 122 ayat (3) di atas sebenarnya memberikan celah kepada KPU Pusat untuk mengambil alih tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten. Tetapi, pengaturannya tidak jelas. Tidak dijelaskan secara rinci dalam kondisi dan alasan apa KPU Pusat dapat mengambil alih tugas KPUD ter`sebut. Apakah dapat dibenarkan apabila KPU Pusat bersandar pada Pasal 122 ayat (3) untuk mengambil alih kewenangan KPUD dan melakukan rekapitulasi suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dengan alasan rapat pleno KPUD Maluku Utara beberapa kali mengalami deadlock (jalan buntu). Jelas bahwa dalam persoalan ini KPU Pusat bertindak atas dasar pertimbangan dan penafsiran sendiri sebab tidak ada satu pasal pun dalam UU No 32 Tahun 2004, PP No 6 Tahun 2007 dan UU No 22 tahun 2007 yang memberikan kewenangan kepada KPU Pusat untuk mengadakan rekapitulasi ulang, apalagi menetapkan pasangan calon terpilih Gubernur/Wakil Gubernur.
B.     PEMBAHASAN
1.      Urgensi Pilkada Langsung di Indonesia
Pilkada langsung merupakan mekanisme demokrasi dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah di mana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya. Sebab, sebagus apapun sebuah negara yang ditata secara demokratis, tidak akan dianggap benar-benar demokratis manakala pemimpin-pemimpinnya tidak dipilih secara bebas oleh rakyatnya sendiri. Pemilihan selalu dijadikan tolak ukur untuk menentukan sebuah negara demokratis atau tidak. Demokrasi memang tidak semata-mata ditentukan oleh ada tidaknya pemilihan oleh rakyat atas pemimpin-pemimpinnya. Pemilihan memerlukan perangkat lain untuk mendukung proses pemilihan.[4]
Sejalan dengan sistem demokrasi perwakilan, maka secara kelembagaan perlu ada badan perwakilan rakyat daerah yang dibentuk secara demokratik. Demikian pula penyelenggaraan pemerintahannya harus dijalankan secara demokratik yang meliputi tata cara penunjukan pejabat, penentuan kebijakan, pertanggungjawaban, pengawasan, dan lain-lain. mekanisme pemerintahan harus dilakukan dengan tata cara yang demokratik pula.[5]
Axel Hadenis[6] mengatakan bahwa suatu pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah langsung, disebut demokratis kalau memiliki “makna”. Istilah “bermakna” merujuk pada tiga kriteria, yaitu (1) keterbukaan, (2) ketepatan dan (3) keefektifan pemilu. Ketiga kriteria tersebut harus dipenuhi bukan hanya pada saat pemungutan suara saja, melainkan juga sewaktu dilakukan kampanye dan penghitungan suara.
Keterbukaan mengandung tiga maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka bagi setiap warga Negara (universal suffrage, atau hak pilih universal), ada pilihan dari antara alternatif-alternatif politik riil (para calon yang berkompetisi), dan bahwa hasilnya tidak ditentukan sebelumnya. Akses warga yang terbuka berarti hak pilih benar-benar bersifat universal. Seluruh warga Negara dijamin memiliki hak pilih tanpa diskriminasi. Bukan merupakan kontroversi atau kontradiksi apabila hak untuk memilih dibatasi dengan syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi warga, seperti usia, kesehatan jasmani dan rohani, domisili, dan lamanya bermukim. Keterbukaan juga berarti persamaan nilai suara dari seluruh warga Negara tanpa terkecuali. Prinsip yang biasa digunakan adalah one person, one vote, one value.
Kriteria mengenai ketepatan bertujuan pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye dan prosedur pemilu dalam pengertian lebih ketat, yaitu semua calon harus mempunyai akses yang sama kepada media negara dan swasta berdasarkan standar-standar hukum yang sama. Aparat negara harus netral secara politis pada saat meyelenggarakan Pilkada.
Kedaulatan rakyat mengandung di dalamnya pengertian bahwa Pilkada langsung harus ”efektif”. Itu berarti jabatan kepala eksekutif atau anggota legislatif harus diisi semata-mata dengan pemilu. Prinsip efektifitas Pilkada langsung dilanggar apabila akses pada posisi pusat kekuasaan diatur sebagian saja atau sama sekali tidak diatur oleh pemilu, melainkan semata-mata pengangkatan/penunjukan. Kriteria itu lebih lanjut mensyaratkan bahwa sistem bahwa Pilkada langsung harus mampu untuk menerjemahkan preferensi pemilih menjadi kursi. Hal itu mengukur tingkat disproporsionalitas sistem Pilkada langsung.
Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa pemilihan Kepala Daerah secara langsung tidak dengan serta merta menjamin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi pada tingkat lokal membutuhkan berbagai persyaratan. Dalam perspektif itu, efektifitas sistem Pilkada langsung ditentukan oleh faktor-faktor atau sebutlah prakondisi demokrasi yang ada di daerah itu sendiri. Prakondisi demokrasi tersebut mencakup kualitas pemilih, kualitas dewan, sistem rekruitmen dewan, fungsi partai, kebebasan dan konsistensi pers, dan pemberdayaan masyarakat madani, dan sebagainya.
Pilkada langsung tidak dengan sendirinya menjamin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri, tetapi jelas membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses itu berarti berfungsinya mekanisme check and balances. Dimensi check and balances meliputi hubungan Kepala Daerah (KDH)/Wakil Kepala Daerah (WKDH) dengan rakyat; DPRD dengan rakyat; KDH/WKDH dengan DPRD; DPRD dengan KDH/WKDH tetapi juga KDH/WKDH dan DPRD dengan lembaga yudikatif dan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat.[7]
Tujuan utama Pilkada langsung adalah penguatan masyarakat dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi di tingkat lokal dan peningkatan harga diri masyarakat yang sudah sekian lama dimarginal. Selama ini, elit politik begitu menikmati kue kekuasaan. Tak mudah bagi mereka, khususnya anggota DPRD, merelakan begitu saja kekuasaan tersebut untuk dibagi-bagikan dengan rakyat walaupun rakyatlah penguasa kedaulatan dalam arti sesungguhnya.[8]
2.      Penyelesaian Sengketa Pilkada
Putusan sengketa Pilkada akan diselesaikan di meja Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, setelah ada amandemen Undang-undang Dasar 1945 dan sudah beberapakali dilakukan amandemen tersebut. Maka secara tidak langsung memberikan legitimasi kuat terhadap Mahkamah Konstitusi untuk mengadili setiap perkara ketatanegaraan yang mengalami sengketa diwilayah Negara Indonesia, Indonesia memiliki jendela hukum yang bikameral bukan unikameral dan lebih kepada multirateral.
Banyak kasus sengketa pilkada yang lain terjadi di Indonesia baru-baru ini, misalnya yang terjadi di Sulawesi Selatan.[9] Sengketa yang berujung pada putusan MA tersebut diputuskan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di daerah pemilihan Kabupaten Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja. MA menengarai telah terjadi penggelembungan suara di beberapa daerah tersebut. Namun, putusan PK dari MA menyatakan hakim keliru menerapkan hukum dalam sengketa pilkada Sulsel. Disebutkan, yang berwenang untuk memutuskan dilakukan perhitungan suara dan pemungutan ulang adalah panitia pemilih kecamatan (PPK), penggelembungan jumlah daftar pemilih tetap pada hakikatnya menjadi wewenang Panitia Pengawas Pemilihan untuk menanganinya. MA memutuskan menolak keberatan yang disampaikan pasangan calon gubernur Amin Syam dan calon wakil gubernur Mansyur Ramly. Putusan yang dikeluarkan melalui rapat permusyawaratan MA itu dipimpin langsung Ketua MA, Bagir Manan, tertanggal 18 Maret 2008. Dengan demikian, pasangan pemenang Pilkada Sulsel ditetapkan kepada Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang (Sayang) yang terpilih pada November 2007.
Berbeda dengan sengketa pilkada Depok.[10] Awal konflik pilkada Depok ketika salah satu pasangan dari lima pasangan, yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 11 Juli 2005 dengan menggugat KPU Kota Depok. Alasannya, terdapat kesalahan perhitungan suara sehingga pasangan itu dirugikan. Sebelumnya, KPU Depok mengumumkan hasil perhitungan suara pilkada 2005. Pasangan Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra meraih 232.610 suara atau 43,90 persen, disusul pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad 206.781 suara (39,03 persen), Yus Ruswandi-Soetadi Dipowongso 34.096 (6,44 persen), Abdul Wahab Abidin-Ilham Wijaya 32.481 suara (6,13 persen) dan Harun Heryana-Farkhan 23.850 (4,5 persen).
Pada 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan No 01/Pilkada/2005/PT Bandung yang mengabulkan permohonan dari pemohon dan menyatakan batal hasil perhitungan suara 6 Juli 2005 serta menetapkan jumlah perhitungan suara yang benar, yaitu suara Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad menjadi 269.551, sedangan suara Nur Mahmudi Isma’il turun menjadi 204.828. Keputusan ini-pun menganulir kemenangan pasangan Nur Mahmudi-Yuyun W  dan memenangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin.
Atas putusan PT Jabar tersebut, KPU Depok menolak dan mengajukan memori Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 16 Agustus 2005. Pada 8 September 2005 MA mengumumkan pembentukan Majelis PK perkara sengketa Pilkada Depok dan menetapkan lima hakim agung. MA akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan PK dari KPU Depok, membatalkan putusan PT Jabar di Bandung tanggal 4 Agustus 2005, dan menolak keberatan dari permohonan Badrul Kamal-Syihabuddin  ihwal pilkada Depok. Dengan putusan MA ini berarti Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra sah dan punya kekuatan hukum yang tetap sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pada 3 Januari 2006, pasangan Badrul Kamal mengajukan permohonan keberatan atas putusan MA ke Mahmakah Konstutusi (MK). Oleh MK, sengketa (pilkada) ini merupakan wewenang MA.
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa penyelesaian sengketa pilkada diserahkan melalui proses hukum di Mahkamah Agung di satu sisi. Sementara, di sisi lain putusan sengketa pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung di beberapa daerah menuai kontroversi. Sebagai contoh, putusan sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara (Malut) dan pilkada Depok yang berbuntut kontroversi tersebut menunjukkan ketidakjelasan putusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal putusan itu seharusnya mencerminkan penyelesaian terakhir sengketa pilkada.
Harapan adanya putusan hukum yang mengikat dan bisa dihormati semua pihak yang bersengketa nampaknya sulit dicapai. Putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan dilakukannya pilkada ulang atau perhitungan ulang hasilnya digugat lagi. Tentu saja persoalan akan bertambah runyam. Wajar apabila banyak orang yang menggugat putusan MA. Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik terhadap MA agak rendah, dan banyak pihak yang berkeinginan agar penyelesaian sengketa pilkada dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi.
Setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, telah memungkinkan MK untuk memutus perselisihan hasil pilkada. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu. Permasalahannya adalah apa konsekuensi yuridis perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu?.
a.      Mahkamah Konstitusi Dan Penyelesaian Sengketa Pilkada
1.      Rancangan Baru Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pilkada
MK kerja sama dengan sejumlah fakultas hukum di daerah. MK menyediakan perangkat teleconference untuk memudahkan pihak berperkara. Tempatnya, di ruang pengadilan semu masing-masing fakultas hukum.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan kultur yang sedang ia coba bangun di MK adalah kultur akademis. Ia mengungkapkan tugas seorang hakim konstitusi hanya tiga. Membaca sebanyak-banyaknya, berdebat sekeras-kerasnya, dan menulis sesering mungkin, tuturnya beberapa waktu lalu. Latar belakang sejumlah hakim konstitusi memang mendukung hal tersebut. Mereka adalah pengajar di sejumlah perguruan tinggi, bahkan tak sedikit yang menyandang gelar guru besar ilmu hukum.   
Proyek teranyarnya kembali menegaskan bahwa MK merupakan lembaga negara yang academic oriented. Dalam proyek penempatan teleconference, MK tak melakukan kerja sama dengan lembaga penegak hukum lain. Tapi justru melakukan kerja sama dengan Dekan Fakultas Hukum dari 33 Provinsi. Kerja sama ini terkait tugas MK dalam menyelesaikan sengketa perselisihan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serta pemilihan umum (Pemilu).  
Jimly berharap kerja sama ini akan membuat peradilan menjadi efektif dan efisien. Kalau ada sidang, (pihak berperkara,-red) tak perlu ke Jakarta, jelasnya di Jakarta, Jumat (20/6). Nantinya, tambah Jimly, persidangan tetap dilakukan di MK tetapi untuk pembuktian atau mendengarkan keterangan saksi maupun ahli bisa dilakukan di masing-masing daerah.
Lebih lanjut, Jimly menegaskan upaya ini merupakan bentuk pengajaran dalam memanfaatkan teknologi informasi. Mahasiswa juga akan mendapatkan manfaatnya. Selain bisa merasakan suasana sidang sesungguhnya, peralatan teleconference ini bisa juga menjadi multifungsi untuk kuliah online yang sedang dirintis Jimly. Apalagi, dana yang dikeluarkan juga tak terlalu mahal. Hanya 250 juta per alat (teleconference,-red), ungkap Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar.
Uniknya, lokasi yang dijadikan tempat teleconference adalah ruang sidang pengadilan semu (mootcourt) di fakultas hukum tersebut. Ruang itu akan disulap menjadi ruang sidang yang nyata, tak lagi semu. Nantinya bisa jadi ruang pengadilan MK, jelas Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Indonesia ini.
Penggunaan teleconference ini memang bukan hal yang baru di MK. Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar menyatakan pada penyelesaian perselisihan hasil Pemilu 2004, MK telah menggunakan metode ini. Kala itu, MK meminjam fasilitas yang dimiliki Mabes Polri untuk melakukan pemeriksaan jarak jauh melalui video conference terhadap saksi-saksi yang ada di daerah.  
Namun, kebijakan MK ini bukan tanpa kekurangan. Sengketa Pilkada dan Pemilu yang sering menyulut kerusuhan bisa berkembang ke kampus. Bila pada Pemillu 2004, proses aman-aman saja tak lain karena tempat persidangan teleconference dilakukan di sejumlah Polres. Jimly bukan tak tahu hal ini. Karenanya, ia meminta agar hal ini dibahas dalam Rapat Koordinasi MK, Dekan Fakultas Hukum dan Pusat Kajian Konstitusi di Jakarta, 20-22 Juni 2008.
2.      Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada
Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman, yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.[11] Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah dirubah menjadi pemilihan umum kepala daerah. Bab I Pasal 1 UU No. 22 tahun 2007 mempunyai maksud bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, apabila pemilihan kepala daerah masuk rezim pemilu maka penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Perubahan UUD 1945. Persoalannya, UU No 32 tahun 2004 masih mengatur perselisihan hasil pilkada menjadi kewenangan Mahkamah Agung sehingga perlu adanya regulasi lebih lanjut untuk mempertegas pengaturan mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Melalui UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa pilkada telah dialihkan dari MA ke MK. Peralihan locus penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Bunyi Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tersebut dari sudut legal drafting menimbulkan persoalan. Pertama, menurut Jimly Asshiddiqie,[12] Pasal 236C mempunyai penafsiran ganda. Frase “paling lama” dalam kalimat tersebut praktiknya bisa lebih cepat (satu atau dua hari, pen), apalagi latar belakang munculnya Pasal itu semata-mata hanya ingin memberi waktu persiapan kepada MK. Misalnya, apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak disahkan UU No. 12 tahun 2008 MK sudah siap, maka perselisihan hasil pilkada dapat langsung ditangani oleh MK. Penafsiran kedua, maksud “paling lama” adalah sebelum 18 bulan. Artinya, meskipun MK sudah mempunyai persiapan yang matang, sengketa tersebut tidak serta merta atau belum dapat dialihkan. Untuk memastikan mana yang benar, maka penafsiran ganda tersebut dapat dibawa ke MK untuk judicial review. Namun demikian, hal ini kemungkinannya kecil karena sulit mencari alasan konstitusionalnya. Untuk itu, Jimly mengembalikan persoalan ini kepada pembentuk undang-undang yaitu Presiden dan DPR.
Hal senada juga dikatakan oleh Bagir Manan[13] bahwa kata ”paling lama” itu bisa jadi besok. Seharusnya isi pasal itu bukan menggunakan frase ”paling lama” 18 bulan, melainkan dijelaskan dengan kalimat, semua sengketa pilkada yang sudah diselesaikan oleh MA, kemudian sengketa yang baru ditangani oleh MK. Dengan demikian, sebuah undang-undang akan memberikan kepastian dan konsisten.
Kedua, sebuah pasal dalam undang-undang akan tetap dinyatakan berlaku apabila dalam undang-undang perubahannya tidak secara tegas dinyatakan telah dihapus atau diubah dengan rumusan pasal yang baru. UU No 12 Tahun 2008 tidak mengubah Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan dasar kewenangan MA untuk memutus sengketa pilkada. Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 berbunyi: “Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”.
Pola pikir anggota DPR dalam membahas undang-undang tersebut keliru karena lebih mengedepankan proses peralihan dibandingkan dasar hukum utamanya, yakni Pasal 106. Hal tersebut akan menimbulkan kontradiksi substantif di dalam UU Pemda terbaru karena di satu sisi memuat teknis pengalihan tetapi di sisi lain justru ”menjamin” kondisi awalnya tetap ada. Untuk mempertegas atau memberikan kapastian hukum tentang kewenangan penyelesaian sengketa pilkada masuk dalam wewenang MK dapat dilakukan pertama, diatur kembali dalam UU pilkada secara tersendiri dan menyatakan Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tidak berlaku atau; kedua, dapat dimasukkan ke dalam UU MK yang sekarang sedang direvisi.
Beralihnya penyelesaian sengketa pilkada ke MK akan membawa harapan baru karena penyelesaian oleh MK relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti. Hal ini dibuktikan dari pengalaman MK dalam menangani sengketa pemilu. Namun demikian, yang perlu dipikirkan adalah, apabila dalam suatu kasus yang telah diputus ternyata terdapat bukti baru, apakah MK akan membuka upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana pranata di MA? Di samping itu, beberapa pasal yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Pemilihan Umum perlu dilakukan perubahan misalnya, Bab I Pasal 1 dapat ditambah dengan norma yang berbunyi “Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota”. Bab III tentang Tata Cara Mengajukan Permohonan, Pasal 5 ayat (2) seharusnya ditambah huruf (d) yang berbunyi “calon kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Bab II Pasal 3 ditambah dengan huruf (d) “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Pasal 4 ditambah dengan huruf (d) yang berbunyi “terpilihnya calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.
UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 telah membawa perubahan besar terhadap penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Perubahan itu antara lain dialihkannya penanganan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK. Hal ini merupakan penegasan tentang masuknya pilkada dalam rezim pemilu.
Adanya perubahan tersebut telah menimbulkan banyak persoalan sehingga terdapat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah. Beberapa pekerjaan rumah tersebut antara lain: Pertama, Pasal 22E UUD 1945 yang menjadi sandaran hukum penyelenggaraan pemilu sebaiknya dilakukan perubahan sehingga berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala daerah dan Wakil Kerpala Daerah”.
Kedua, tentang peran regulasi pemerintah dalam pilkada. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana tidak dilakukan perubahan. Padahal, apabila pilkada sudah beralih ke rezim pemilu, PP tersebut mutlak tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Empat pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang tidak ikut direvisi yaitu: Pasal 65 ayat (4) yang berbunyi ”Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; Pasal 98 ayat (3) yang menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai, pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”; Pasal 94 ayat (2) yang menyatakan bahwa “tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; dan Pasal 114 ayat (4) yaitu “tata cara untuk menjadi pemantau pemilih dan pementauan pemilihan serta pencaburan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Ketiga, tentang pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, mekanisme pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama dengan usul DPRD dan kedua tanpa usul DPRD. Persoalan akan muncul pada pemberhetian kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui cara yang pertama. UU No. 32 tahun 2004 Pasal 29 jo Pasal 123 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menegaskan bahwa “pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya”.
Banyaknya persoalan yang ditimbulkan akibat adanya perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, adalah sebuah keniscayaan untuk segera diterbitkannya UU Mahkamah Konstitusi yang baru dan UU Pilkada yang nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan pilkada di seluruh Indonesia. Pengaturan lebih lanjut dalam kedua UU tersebut diharapkan dapat mengantipasi berbagai kendala yang mungkin muncul.
Sebagaimana yang ungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD mengatakan, pihaknya sudah siap menghadapi berbagai sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar pada tahun 2010.
“Kami siap menghadapi sengketa Pilkada pada 2010, meski Pilkada itu akan dimajukan, dilakukan sesuai waktu yang telah diagendakan, atau harus ditunda,” kata Mahfud dalam pertemuan dengan Komisi III di Gedung MK di Jakarta, Selasa (26/1).
Mahfud memaparkan, MK mengetahui bahwa terdapat 244 Pilkada yang rencananya akan digelar pada tahun 2010 dan diprediksi sekitar separuh dari jumlah tersebut akan dipersengketakan atau diperkarakan ke MK.
Ia juga mengemukakan, MK sejak 2009 mulai melakukan terobosan hukum seperti memerintahkan pemilu ulang di sejumlah daerah karena ditemukan pelaksanaan prosedur pemilihan yang telah cacat sejak awal.
Ketua MK juga memahami bahwa pada saat ini masih terdapat perbedaan pendapat antara pemerintah yang tetap ingin melangsungkan Pilkada pada 2010 dan sejumlah anggota DPR yang mengingingkan agar Pilkada ditunda terlebih dahulu karena masih terdapat permasalahan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Namun, Mahfud meyakini Mahkamah Konstitusi akan selalu siap menghadapi perkara sengketa hasil Pilkada kapanpun Pilkada itu dijadwalkan untuk diselenggarakan.
Pada 2010 akan diselenggarakan 244 Pilkada yang terdiri dari tujuh pemilihan gubernur, 163 pemilihan bupati, dan 33 pemilihan wali kota.
Ketujuh provinsi yang akan menyelenggarakan Pilkada adalah Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau (Kepri).
b.      Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi
Bila persoalan teknis hampir beres, MK masih punya segudang pekerjaan yang harus dilakukan. Diantaranya, adalah mempersiapkan hukum acara terkait kewenangan MK dalam memutus sengketa perselisihan hasil Pilkada. Kewenangan baru saja diberikan dengan keluarnya UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Revisi UU Pemda itu memang telah mengalihkan sengketa Pilkada dari MA ke MK.   
Mukhtie menyatakan saat ini MK telah menyiapkan draft Peraturan MK tentang penyelesaian perselisihan hasil penghitungan suara Pilkada. Ia mengatakan walau UU MK dan Revisi UU Pemda belum mengatur hukum acaranya, tapi pada dasarnya tata caranya hampir sama dengan perselisihan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Rancangan Hukum Acara Perselisihan Hasil Pilkada
Versi Mukhtie Fadjar

a)  Pemohonnya adalah pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah;
b) Termohonnya adalah KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota;
c)  Objek yang diperselisihkan adalah penetapan hasil penghitungan suara pilkada yang dilakukan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota;
d)  Tenggat pengajuan keberatan 3x24 jam setelah KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan hasil penghitungan suara pilkada;
e)   Tenggat penyelesaiannya oleh MK untuk memutus perselisihan hasil pilkada adalah 14 hari kerja sejak permohonan keberatan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Sumber: Naskah Pidato Mukhtie dalam rapat koordinasi MK, Dekan FH, dan Pusat Kajian Konstitusi
Sedangkan Jimly menawarkan penyelesaian sengketa hasil pilkada ala MK yang berbeda dengan yang dilakukan MA sebelumnya. Pertama, bila di MA ada pemisahan Pilkada Kabupaten/Kota yang diselesaikan di Pengadilan Tinggi dan Pilkada Gubernur di MA, maka di MK berbeda. Karena tak punya cabang di daerah, maka MK akan menyelesaikan semua sengketa hasil pilkada langsung dari Jln. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta.
Kedua, Jimly berjanji akan memanggil semua pihak terkait untuk didengar keterangannya. Kalau di MA, contoh Jimly, saat sengketa pilkada Depok yang diajukan oleh Badrul Kamal, pihak terkait Nurmahmudi Ismail tak dipanggil oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Nurmahmudi hanya mengirim surat saja.
Namun, nanti di MK akan berbeda. Bahkan, Jimly mengatakan tak hanya pihak yang vis a vis bersaing saja yang dipanggil, tapi semua pasangan yang ikut proses pilkada. Kalau ada lima pasangan akan kita panggil semua, tambahnya. Ia beralasan bila ada suara yang dibatalkan, maka akan mempengaruhi perolehan semua pasangan.
Jimly memang harus berusaha seadil mungkin. Kalau di MA masih dikenal upaya peninjauan kembali (PK), maka di MK tak ada upaya itu. Sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Ketika diketok palu, putusan harus dianggap sudah benar. Tinggal laksanakan. Kalau tak puas silahkan mengadu ke Allah SWT, pungkasnya.
3.      Permasalahan Mengenai Demokrasi di Indonesia
Sebaimana yang dikatakan oleh Diskusi mengenai demokrasi, orang bisa berdebatan panjang lebar, yang diperdebatkan bisa konsep, bentuk, tujuan, kepentingan, praktek yang sedang berlangsung sampai dengan harapan-harapan yang digantungkannya. Untuk itu, tulisan ini mencoba membahas tentang demokrasi yang meliputi tiga hal: 1. Tinjauan selintas perkembangan konsep demokrasi, 2. Bagaimana harapan-harapan terhadap demokrasi, dan ke. 3 tentang bagaimana demokrasi dalam kenyataan sedang berlangsung.. Demokrasi merupakan suatu konsep pemikiran yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam suatu lingkungan suatu budaya masyarakat. Untuk itu pembahasan demokrasi akan lebih bermakna jika didasarkan pada konteks budaya, dalam hal ini bagaimana demokrasi yang berlangsung di Indonesia.
Kemudian mengenai harapan yang dimaksud dapat merupakan harapan dari orang, kelompok, bangsa, atau harapan dari demokrasi itu sendiri dalam rentang perkembangan. Untuk mendapatkan konsep harapan terhadap demokrasi dalam konteks Indonesia, maka harapan itu dapat didapat dari dokumen hasil pemikiran dari founding fathers, kemudian juga yang tercantum dalam dasar negara tentunya juga dalam rentang perkembangan. Demikian pula mengenai kenyataan, dapat diperoleh mengenai kenyataan masa lampau, kenyataan atau realitas pada masa kini sebagaimana yang sedang berlangsung, dan mungkin juga kenyataan yang diharapkan pada masa yang akan datang.
Dikenal bermacam-macam istilah demokrasi, dan dalam sejarah demokrasi di Indonesia dikenal demokrasi Parlementer, demokrasi Terpimpin, demokrasi Pancasila, dan mungkin juga demokrasi (era) Reformasi.
Menurut asal usulnya "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasar prosedur mayoritas. Demokrasi langsung (direct democracy) pada negara-kota Yunani Kuno dapat berlangsung efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas, serta jumlah penduduk yang sedikit, dan itupun hanya berlaku untuk warga negara resmi, dimana sebagian besar penduduk merupakan budak yang tidak mempunyai hak membuat keputusan politik. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi bersifat demokrasi berdasar perwakilan (representative democracy).
Dalam khazanah studi-studi demokratisasi, Samuel Huntington dalam studinya tentang “gelombang demokratisasi ketiga”,[14] menggambarkan bahwa demokratisasi pada tingkatan yang paling sederhana mensyaratkan terjadinya tiga hal, yaitu (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim demokratis; (3) pengkonsolidasian  rezim demokratis itu. Alfred Stepan menyebutkan bahwa transisi demokrasi dari rezim otoriter ada tiga model kemungkinan[15]: (1) penjajahan dari luar dan peperangan internal; (2) tranformasi internal dari elit rezim otoriter menuju rezim demokratis; (3) kekuatan internal kelompok oposisi yang menumbangkan kekuasaan otoriter yang berkuasa.
Demokrasi mencakup beberapa azas, nilai dan menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Demokrasi disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh UNESCO bahwa demokrasi mengandung ambiguity mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan idee, atau mengenai keadaan kultural serta historis yangmempengaruhi istilah, idee dan praktek demokrasi. Secara garis besar aliran pikiran yang dinamakan demokrasi dapat dikelompokkan ke dua aliran besar, yaitu demokrasi konstitusional dan kelompok aliran yang menamakan dirinya “demokrasi” yang pada hakekatnya mendasarkan dirinya pada komunisme.
Sementara Samuel Huntington menyebutkan bahwa ada tiga kemungkinan model demokratisasi, yaitu (1) Transformasi (reforma), yaitu demokratisasi terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi. (2) Replacement (ruptura), yaitu demokratisasi terjadi ketika kelompok oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan rezim otoriter tumbang atau digulingkan. (3) Transplacement (ruptforma), yaitu demokratisasi terjadi sebagai sebuah hasil tindakan bersama antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi.
Dengan demikian, demokratisasi memiliki dua aspek, yaitu transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi.[16] Transisi demokrasi adalah titik awal antara rezim otoritarian dengan rezim  demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama, yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi.
Proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi.[17] Konsolidasi demokrasi juga dipahami  sebagai sebuah proses panjang yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi secara berkelanjutan.[18]
Dalam konsolidasi demokrasi diawali dengan negosiasi (transaksi) politik yang hendak mempromosikan sistem atau aturan main baru ketimbang merusak sistem lama. Struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan, diinternalisasikan dan bahkan diabsahkan dalam proses konsolidasi. Akhirnya  proses konsolidasi akan menghasilkan penetapan sistem demokrasi secara operasional dan ia akan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat. Karena itu, konsolidasi demokrasi tidak hanya merupakan proses politik yang  terjadi pada level prosedural dan lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi yang terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan, dan lainnya menganggap bahwa tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan (democracy as the only game in town), dan tidak ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim terhadap tindakan yang sudah dipilih secara demokratis.
Proses konsolidasi demokrasi jauh lebih kompleks dan panjang setelah transisi. Karena itu, studi-studi tentang konsolidasi demokrasi juga jauh lebih kompleks dan bervariasi ketimbang studi  transisi. Studi-studi konsolidasi demokrasi, menurut Goran Hyden, memiliki empat pendekatan.[19] Pertama, pendekatan agen-elite yang memfokuskan studinya pada interaksi elite politik, baik pemimpin, penyelenggara negara maupun politisi. Menurut pendekatan ini, elite harus mempunyai sikap, pilihan, tindakan dan keyakinan yang kuat pada demokrasi serta saling membangun konsensus bersama untuk konsolidasi demokrasi.
Kedua, pendekatan teori budaya politik. Pendekatan ini selalu menekankan bahwa budaya politik demokratis (toleran, egalitarian, kompromis, akomodatif, kompeten) sebagai prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi. Pendekatan teori budaya politik ini memiliki dua fokus, yaitu relasi horisontal antar-warga masyarakat dan relasi vertikal antara elit-massa atau pemerintah-rakyat. Secara horisontal, demokrasi mengajarkan tentang pluralisme, yaitu semangat hubungan yang menghargai perbedaan dan melewati batas-batas etnis, agama, daerah, bahasa dan unsur-unsur primordial lainnya. Secara vertikal, demokrasi mengajarkan bahwa relasi pemerintah dengan rakyat atau antara  elite dengan massa bukan berdasar kepada klientelisme, paternalisme atau patrimonialisme, namun berdasar kepada prinsip kewarganegaraan.
Ketiga, pendekatan pembangunan ekonomi dan demokrasi. Pendekatan ini memiliki dua pandangan yang berbeda. Pada satu sisi, terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berperan sebagai penopang tumbuhnya demokrasi. Namun pada sisi lain justru sebaliknya, terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan munculnya rezim otoriter-birokratis, yaitu pertumbuhan ekonomi justru ditopang oleh keberadaan rezim otoriter-bikroratis.
Keempat, pendekatan struktur-massa,  yaitu pendekatan yang lebih fokus kepada gerakan-gerakan sosial dalam masyarakat dalam proses demokrasi. Pendekatan ini memfokuskan diri untuk mengkaji peranan  civil society dalam proses demokratisasi.
Sependapat dengan Goran Hyden, Larry Diamond berpendapat bahwa terdapat empat pendekatan dalam studi-studi konsolidasi demokrasi, yaitu (1) pendekatan aktor elite; (2) pendekatan  institusional; (3) pendekatan budaya politik; dan (4) pendekatan yang barhaluan kepada masyarakat (civil society).[20] Pendekatan institusional, menurut Larry Diamond, yaitu pentingnya institusionalisasi politik dalam proses konsolidasi demokrasi. Pendekatan ini merupakan bagian dari tiga tugas dalam konsolidasi demokrasi : pendalaman demokrasi, institusionalisasi politik dan mengontrol kinerja rezim. Pendalaman demokrasi membuat struktur-struktur formal demokrasi menjadi lebih liberal, akuntabel, representatif dan aksesibel.[21]
Institusionalisasi politik melibatkan konvergensi yang mapan pada tingkat aturan dan prosedur dalam persaingan dan aksi politik.[22] Konsolidasi demokrasi harus mampu melakukan penguatan tiga tipe institusi politik, yaitu Aparat Administrasi Negara (birokrasi); institusi representasi dan penyelenggaraan demokrasi (partai politik, parlemen dan sistem pemilihan umum); dan struktur-struktur yang  menjamin akuntabilitas horisontal, konstitusionalisme, dan pemerintahan berdasar hukum (sistem peradilan dan lembaga pengawasan). Institusionalisasi politik ini adalah upaya memperkuat struktur demokrasi representatif dan  pemerintahan formal, sehingga menjadi lebih koheren, kompleks, otonom, mudah beradaptasi, dan karenanya lebih kapabel, efektif, berharga, dan mengikat.
Proses konvergensi elite dalam konsolidasi demokrasi tidak sekedar untuk mencapai kesepakatan atau untuk mengakhiri konflik di antara mereka, tetapi juga menjadi bagian dari proses institusionalisasi politik, yang di dalamnya mencakup agenda rekonstitusi maupun penciptaan prosedur kelembagaan baru yang kondusif bagi demokrasi. Institusionalisasi politik pada dasarnya hendak melakukan reformasi sistemik institusi politik, prosedur dan aturan main yang lebih cocok dengan demokrasi.
Setidaknya ada tiga sasaran dalam melakukan institusionalisasi politik, yaitu (1) Institusi Eksekutif-Negara (lembaga kepresidenan, sistem pemerintahan, birokrasi dan militer); (2) Institusi Perwakilan (parlemen, partai politik dan pemilihan umum); dan (3)  Lembaga Peradilan dan sistem hukum. Dalam konteks ini, para pemimpin politik melakukan  crafting yang didukung oleh partisipasi dan konsultasi publik, untuk membuat sistem baru yang dituangkan dalam konstitusi atau perundang-undangan. Tujuan institusionalisasi politik ini adalah membuat institusi politik menjadi lebih akuntabel, transparan, terkontrol, responsif, partisipatif, dan berpijak pada rule of law.
Urgensi rekonstitusi (amandemen konstitusi) dalam konsolidasi demokrasi adalah bahwa norma-norma konstitusional baru yang dihasilkan dari konsolidasi konstitusional, hadir  pada langkah awal dalam proses konsolidasi demokrasi.[23] Norma-norma itu memberi petunjuk pola-pola perilaku formal dalam konstestasi politik, yang dikembangkan dan dinegosiasikan dalam proses transisi, dan memantapkan standarisasi penyelenggaraan kekuasaan. Kegiatan merancang konstitusi baru (rekonstitusi atau amandemen konstitusi) terjadi pada bagian awal konsolidasi demokrasi, dan mulai memberi kesempatan pada konsolidasi level berikutnya. Bahkan konstitusi baru yang telah terbentuk akan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik. Pada akhirnya, implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi politik.
Sejarah demokrasi yang pernah berlangsung di Indonesia menghadapi permasalahan yakni bagaiamana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat keidupan ekonomi, di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pokok masalahnya adalah menyusun suatu sistim politik dengan kepemimpinan cukup kuat untuk membangun ekonomi, serta dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktatur. Sejarah perkembangan demokrasi Indonesia, dapat dikemukakan sbb:
1.      Masa Demokrasi Parlementer, 1954-1959, yang dikenal juga dengan masa demokrasi (konstitusionil) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai- partai.
2.      Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, yang dalam banyak aspek menyimpang dari demokrasi konstitusionil yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3.      Masa Demokrasi Pancasila, sejak 1965 sampai reformasi yang merupakan demokrasi konstitusionil yang menonjolkan sistim presidensiil.
4.      Masa Demokrasi Pancasila, era reformasi yang masih dan sedang berjalan merupakan demokrasi konstitusioniil, presiden dipilih langsung oleh rakyat, sistim presidensiil “terbatas”. (Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 ”Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan. Rakyat”, dan dalam Undang-Undang Dasar setelah amandemen pasal 5 ayat 1 berbunyi ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”) Ada perubahan dari memegang kekuasaan membentuk undang-undang bergeser ke berhak mengajukan rancangan undang-undang).
5.      Arus demokratisasi di Indonesia agaknya berjalan begitu cepat. Terhitung sejak turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998 atau yang disebut dengan era reformasi, serangkaian peristiwa politik menandai transisi menuju demokrasi di Indonesia. Pengalaman Indonesia yang berada dalam kungkungan rezim otoriter selama kurang lebih 32  tahun tentu saja sedang mencari pola demokratisasi yang tepat untuk dipraktekkan. Penyelenggaraan Pemilu 1999 di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie sebagai awal dimulainya transisi demokrasi, hingga sekarang sedang terjadi proses demokratisasi besar-besaran di wilayah pemerintahan Indonesia. Hasil Pemilu 1999 berupa lahirnya kelembagaan perwakilan rakyat (MPR) yang kemudian melanjutkan agenda demokratisasi ini melalui serangkaian amandemen konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dimulai pada tahun 2003 hingga sekarang.[24]

C.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan berubahnya rezim pemilihan kepala daerah menjadi rezim pemilihan umum, maka penyelesaian sengketa pilkada yang semula menjadi kewenangan Mahkamah Agung beralih ke Mahkamah Konstitusi sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan tersebut tentunya mengakibatkan banyaknya persoalan yang semestinya perlu ada pengaturan lebih lanjut baik dalam UU Mahkamah Konstitusi maupun UU Pemerintahan Daerah. Ada baiknya jika pengaturan tentang Pilkada diatur tersendiri dan dikeluarkan dari UU Pemerintahan Daerah. Dan dengan adanya pemilihan kepala daerah tersebut, membuat demokrasi lokal semakin menjadi kenyataan, bukan lagi angan-angan dan khayalan.

Daftar Pustaka

Abdul, Mukthie Fadjar, 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta.
Aguero, Felipe, 1995,  Soldiers, Civilians, and Democracy: Post-Franco Spain in Comparative Perspective, Baltimore : The John Hopkins University Press.
Asshiddiqie, Jimly, 2005. ”Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden,” Jurnal Unisia No 51/XXVII/I/2004.
_______________, 2006. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar demokrasi, SerpihanPemikiran Hukum, Media dan HAM, Cetakan Kedua, Jakarta, Konstitusi Press.
Ari, Pradhanawati (Penyunting), 2005. Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Cetakan Pertama, Surakarta, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP)
Gaffar Karim, Abdul, (Editor), 2005. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Cetakan I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Bagir, Manan, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. III, Yogyakarta, FH UII Press.
Diamond, Larry, 2003, Developing Democracy Toward Consolidation, Yogyakarta : IRE.
di Palma, Giuseppe, 1997, Kiat Membangun Demokrasi: Sebuah Esai tentang Transisi Demokrasi,  Jakarta : Yayasan Sumber Agung.
Higley, John and Richard Gunther (eds.), 1992,  Elites and Democratic Consolidation in Latin America and Southern Europe, (Cambridge : Cambridge University Press).
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/07/Sorotan/sorot01.htm
http.www. hukumonline.com, diakses tanggal 01 Oktober 2010.  
Huntington, Samuel P., 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta : Grafiti.
Hyden, Goran, 2002, “Development and Democracy : An Overview”, dalam Ole Elgstrom and Goran Hyden (eds.), Development and Democracy: What Have We Learn and How?, (London : Routledge).
Joko, J. Prihatmoko, 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Cetakan I, kerja sama Pustaka Pelajar Yogyakarta dengan LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang,
Koran Sindo, 23 November 2007
Kompas cibermedia 26 juli 2006
Liddle, R. William, 2002, “Indonesia’s Democratic Transition : Playing by the Rules”, dalam Reynolds, Andrew, (ed.), 2002,  The Architecture of Democracy : Constitutional Design, Conflict Management, dan Democracy, ((Oxford : Oxford University Press).
Maruarar, Siahaan, 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, Konstitusi Press.
Morison, 2005. Hukum Tata Negara Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta.
Ni’matul, Huda, 2005, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Przeworski, Adam, et.al. (eds.), 1999, Democracy, Accountability and Representation, (Cambridge : Cambridge University Press).
Republik Indonesia,Undang-Undang No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
______________,Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
______________,Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan.
______________,Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah. 
______________­­,Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Schedler, Andreas, 1998, “What is Democratic Consolidation?”, Journal of Democracy, No. 2.
Stepan, Alfred, 1993, “Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi : Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan Komparatif”, dalam Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter and Laurence Whitehead (eds.), 1993, Transisi Menuju Demokrasi : Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta : LP3ES), hlm. 104-143.
UUD 1945 Setelah Perubahan
Whitehead, Laurence, 1989, “The Consolidation of Fragile Democracy”, dalam Robert Pastor (ed.), Democracy in the Americas, (New York : Holmes), hlm.30.



[1]Adalah anak Pemikir Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar. Peneliti pada Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)- Indonesia, Aktifis Pro Demokrasi yang menjadi Anggota Pada Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) Jogjakarta, Aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kom. UIN Alauddin Makassar, Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kom. Ushuluddin UIN Alauddin, Aktifis Hizbut Thahrir Indonesia Kota Makassar, Aktifis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kom. UIN Alauddin Makassar, Mantan Aktifis Iqro Club (IC) Kab. Bima, Aktifis Lembaga Dakwah Kampus (LDK Al-Jami’) UIN Alauddin, Aktifis Gerakan Rakyat Daerah (GARDA) Kota Makassar. Pendiri sekaligus ketua Umum Forum Intelektual Muda Bima (2009-2014). Sedang aktif menulis berbagai Karya tulis Ilmiah, Jurnal dan juga berbagai Artikel. Buku-buku yang sedang ditulis antaranya, Ideologi dan Konstelasi Politik Islam Indonesia (2010), Ilmu Politik: Suatu Pengantar (Buku Pegangan Kuliah Anak-Anak Fisipol) (Naskah Siap Terbit), Political Islamic: Pengantar Kepemikiran Politik Islam (Naskah Siap Terbit), Sejarah Politik Indonesia Modern: Dari Orla, Orba, Reformasi Sampai Pasca-Reformasi hingga Sekarang (naskah siap terbit). dapat dihubungi di email: Jurdifatahullah@rocketmail.com, Hp: 081 338 769 613.
[2] Koran Sindo, 23 November 2007.
[3] Abdul Gaffar Karim (Editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 185.
[4] Jimly Asshiddiqie,”Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden,” Jurnal Unisia No 51/XXVII/I/2004, hlm. 10.
[5] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. III, (Yogyakarta, FH UII Press, 2004), hlm. 59.
[6] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta, kerja sama Pustaka Pelajar dengan LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang, 2005), hlm. 112-115.
[7] Joko Prihatmoko, Pilkada Langsung Solusi Kemacetan Demokrasi, dalam Ari Pradhanawati (Penyunting), Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Cetakan Pertama, (Surakarta, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP), 2005), hlm. 176.
[8] Ibid., hlm. Viii.
[10] kompas cibermedia 26 juli 2006
[11] UU Mahkamah Konstitusi No. 24 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1). Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), hlm.3-4
[12]Mengkritisi revisi UU Pemda dari Ilmu Peraturan Perundang-undangan”, http.www. hukumonline.com, diakses tanggal 5 Mei 2008
[13] Ibid.
[14] Samuel P. Huntington, 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta : Grafiti).
[15] Alfred Stepan, 1993, “Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi : Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan Komparatif”, dalam Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter and Laurence Whitehead (eds.), 1993, Transisi Menuju Demokrasi : Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta : LP3ES), hlm. 104-143.
[16] Giuseppe di Palma, 1997, Kiat Membangun Demokrasi : Sebuah Esai tentang Transisi Demokrasi,  (Jakarta : Yayasan Sumber Agung).
[17] Laurence Whitehead, 1989, “The Consolidation of Fragile Democracy”, dalam Robert Pastor (ed.), Democracy in the Americas, (New York : Holmes), hlm.30.
[18] Andreas Schedler, 1998, “What is Democratic Consolidation?”, Journal of Democracy, No. 2.
[19] Goran Hyden, 2002, “Development and Democracy : An Overview”, dalam Ole Elgstrom and Goran Hyden (eds.), Development and Democracy : What Have We Learn and How?, (London : Routledge), hlm. 2.
[20] Larry Diamond, 2003, Developing Democracy Toward Consolidation, (Yogyakarta : IRE).
[21] Adam Przeworski et.al. (eds.), 1999, Democracy, Accountability and Representation, (Cambridge : Cambridge University Press).
[22] John Higley and Richard Gunther (eds.), 1992,  Elites and Democratic Consolidation in Latin America and Southern Europe, (Cambridge : Cambridge University Press).
[23] Felipe Aguero, 1995,  Soldiers, Civilians, and Democracy: Post-Franco Spain in Comparative Perspective, (Baltimore : The John Hopkins University Press).
[24] Lihat : R. William Liddle, 2002, “Indonesia’s Democratic Transition : Playing by the Rules”, dalam Andrew Reynolds (ed.), 2002,  The Architecture of Democracy : Constitutional Design, Conflict Management, dan Democracy, ((Oxford : Oxford University Press), hlm. 373-399.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar