SENGKETA PEMILUKADA DAN PENYELESAIANNYA
DI INDONESIA
(Sebuah Penegakkan
Nilai-Nilai Demokrasi Lokal Murni)
Fatahullah Jurdi[1]
Abstrak
Sebuah
demokrasi yang murni akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan memberikan
hak penuh kepada masyarakat untuk berpatisipasi dalam semua kebijakan yang
diambil. Dengan adanya Pilkada memberikan ruang yang lebih baik dan lebih luas
bagi terciptanya demokrasi lokal yang murni. Sebuah sengketa Pilkada akan
memberikan pelajaran yang lebih baik bagi seluruh elit politik lokal. Sengketa
Pilkada akan diselesaikan dimeja Mahkamah Konstitusi (yang dulunya diselesaikan
dimeja Mahkamah Agung, setelah amandemen Undang-undang tahun 2003 dibentuklah
Mahkamah Konstitusi, maka semua perkara ketatanegaraan dibawa kemeja Mahkamah
Konstitusi.
Kata Kunci;
Demokrasi, Pilkada, Mahkamah Konstitusi
A.
PENDAHULUAN
Dalam suatu
perkembangan berdemokrasi di daerah tumbuh luar biasa sejak lahirnya kebijakan
otonomi daerah. Seluruh kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat
sesuai dengan amanat undang-undang yang lahir di era reformasi – kecuali
jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Walikota di Daerah Khusus
Ibukota Jakarta. Di beberapa daerah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) melahirkan ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas
hasil Pilkada tersebut ke pengadilan dengan alasan yang beragam.
Dan hal tersebut di Maluku
Utara dan daerah lainnya misalnya, penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah
telah menimbulkan kekacauan dan berakhir dengan menyisakan sejumlah
permasalahan. Bahkan, pihak KPUD Maluku Utara dipandang tidak mampu
melaksanakan pemilihan Kepala Daerah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hasil
penghitungan suara yang diperoleh masing-masing calon kepala daerah menimbulkan
kontroversi. Akibatnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat mengambil alih peran
untuk melakukan penghitungan ulang.
Intervensi KPU Pusat
berawal dari keterangan KPU Provinsi Maluku Utara (Malut) dengan KPUD
Kabupaten/Kota Malut terkait kesimpangsiuran penandatanganan dua dokumen. Ada
dua dokumen sertifikat perhitungan suara yang sama, tetapi dengan angka
perhitungan yang berbeda. Hal ini nampak aneh karena sudah jelas angkanya
berbeda tetapi penandatanganannya sama.[2] Buah intervensi
tersebut menghasilkan penetapan hasil pemilihan kepala daerah Maluku Utara oleh
KPU Pusat dan membatalkan penetapan KPUD Provinsi Maluku Utara.
Secara teoritis,
intervensi pusat kepada daerah memang dapat dibenarkan yaitu apabila terjadi
kemacetan dalam proses demokrasi. Kemacetan demokrasi dimaksud adalah kondisi
apabila elit daerah, baik eksekutif (birokrat) maupun legislatif (politisi),
melakukan konspirasi dengan mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat daerah
untuk kepentingan kelompok elit itu sendiri. Apabila hal itu yang terjadi, maka
campur tangan pusat, baik pemerintah pusat maupun pimpinan pusat partai politik
dapat dibenarkan dengan argumen untuk melindungi kepentingan rakyat.[3]
Dalam soal
pengambilalihan, KPU Pusat menggunakan Pasal 122 ayat (3) UU No 22 Tahun 2007
yang menyebutkan bahwa apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan KPU Provinsi
atau KPU Kabupaten/Kota tidak dapat menjalankan tugasnya, tahapan
penyelenggaraan Pemilu untuk sementara dilaksanakan oleh KPU setingkat di
atasnya. Persoalannya, KPU Provinsi Maluku Utara berhasil menjalankan tugasnya,
bahkan sudah mengumumkan pemenang Pilkada. Jadi, tidak ada kriteria yang membuktikan
bahwa KPU Provinsi Maluku Utara tidak dapat menjalankan tugasnya, karena telah
dibuktikan dengan selesainya semua tahapan Pilkada sampai dikeluarkannya
Keputusan KPU Provinsi Maluku Utara No. 20/Kep/PGWG/2007 pada tanggal 16
November 2007, KPUD Malut telah menetapkan pasangan Thaib-Abdul sebagai
pemenang pilkada Gubernur Malut.
Pasal 122 ayat (3) di
atas sebenarnya memberikan celah kepada KPU Pusat untuk mengambil alih tugas
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten. Tetapi, pengaturannya tidak jelas. Tidak dijelaskan
secara rinci dalam kondisi dan alasan apa KPU Pusat dapat mengambil alih tugas
KPUD ter`sebut. Apakah dapat dibenarkan apabila KPU Pusat bersandar pada Pasal
122 ayat (3) untuk mengambil alih kewenangan KPUD dan melakukan rekapitulasi
suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dengan alasan rapat pleno KPUD Maluku
Utara beberapa kali mengalami deadlock (jalan buntu). Jelas bahwa dalam
persoalan ini KPU Pusat bertindak atas dasar pertimbangan dan penafsiran
sendiri sebab tidak ada satu pasal pun dalam UU No 32 Tahun 2004, PP No 6 Tahun
2007 dan UU No 22 tahun 2007 yang memberikan kewenangan kepada KPU Pusat untuk
mengadakan rekapitulasi ulang, apalagi menetapkan pasangan calon terpilih
Gubernur/Wakil Gubernur.
B.
PEMBAHASAN
1.
Urgensi Pilkada
Langsung di Indonesia
Pilkada langsung
merupakan mekanisme demokrasi dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah di mana
rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon
yang didukungnya. Sebab, sebagus apapun sebuah negara yang ditata secara
demokratis, tidak akan dianggap benar-benar demokratis manakala
pemimpin-pemimpinnya tidak dipilih secara bebas oleh rakyatnya sendiri.
Pemilihan selalu dijadikan tolak ukur untuk menentukan sebuah negara demokratis
atau tidak. Demokrasi memang tidak semata-mata ditentukan oleh ada tidaknya
pemilihan oleh rakyat atas pemimpin-pemimpinnya. Pemilihan memerlukan perangkat
lain untuk mendukung proses pemilihan.[4]
Sejalan dengan sistem
demokrasi perwakilan, maka secara kelembagaan perlu ada badan perwakilan rakyat
daerah yang dibentuk secara demokratik. Demikian pula penyelenggaraan
pemerintahannya harus dijalankan secara demokratik yang meliputi tata cara
penunjukan pejabat, penentuan kebijakan, pertanggungjawaban, pengawasan, dan
lain-lain. mekanisme pemerintahan harus dilakukan dengan tata cara yang
demokratik pula.[5]
Axel Hadenis[6] mengatakan bahwa suatu pemilu,
termasuk pemilihan kepala daerah langsung, disebut demokratis kalau memiliki
“makna”. Istilah “bermakna” merujuk pada tiga kriteria, yaitu (1) keterbukaan,
(2) ketepatan dan (3) keefektifan pemilu. Ketiga kriteria tersebut harus
dipenuhi bukan hanya pada saat pemungutan suara saja, melainkan juga sewaktu
dilakukan kampanye dan penghitungan suara.
Keterbukaan mengandung
tiga maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka bagi setiap warga Negara
(universal suffrage, atau hak pilih universal), ada pilihan dari antara
alternatif-alternatif politik riil (para calon yang berkompetisi), dan bahwa
hasilnya tidak ditentukan sebelumnya. Akses warga yang terbuka berarti hak
pilih benar-benar bersifat universal. Seluruh warga Negara dijamin memiliki hak
pilih tanpa diskriminasi. Bukan merupakan kontroversi atau kontradiksi apabila
hak untuk memilih dibatasi dengan syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi
warga, seperti usia, kesehatan jasmani dan rohani, domisili, dan lamanya
bermukim. Keterbukaan juga berarti persamaan nilai suara dari seluruh warga
Negara tanpa terkecuali. Prinsip yang biasa digunakan adalah one person, one vote, one value.
Kriteria mengenai
ketepatan bertujuan pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye dan
prosedur pemilu dalam pengertian lebih ketat, yaitu semua calon harus mempunyai
akses yang sama kepada media negara dan swasta berdasarkan standar-standar
hukum yang sama. Aparat negara harus netral secara politis pada saat
meyelenggarakan Pilkada.
Kedaulatan rakyat
mengandung di dalamnya pengertian bahwa Pilkada langsung harus ”efektif”. Itu
berarti jabatan kepala eksekutif atau anggota legislatif harus diisi
semata-mata dengan pemilu. Prinsip efektifitas Pilkada langsung dilanggar
apabila akses pada posisi pusat kekuasaan diatur sebagian saja atau sama sekali
tidak diatur oleh pemilu, melainkan semata-mata pengangkatan/penunjukan.
Kriteria itu lebih lanjut mensyaratkan bahwa sistem bahwa Pilkada langsung
harus mampu untuk menerjemahkan preferensi pemilih menjadi kursi. Hal itu
mengukur tingkat disproporsionalitas sistem Pilkada langsung.
Namun demikian, perlu
digarisbawahi bahwa pemilihan Kepala Daerah secara langsung tidak dengan serta
merta menjamin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi pada
tingkat lokal membutuhkan berbagai persyaratan. Dalam perspektif itu,
efektifitas sistem Pilkada langsung ditentukan oleh faktor-faktor atau sebutlah
prakondisi demokrasi yang ada di daerah itu sendiri. Prakondisi demokrasi
tersebut mencakup kualitas pemilih, kualitas dewan, sistem rekruitmen dewan,
fungsi partai, kebebasan dan konsistensi pers, dan pemberdayaan masyarakat
madani, dan sebagainya.
Pilkada langsung tidak
dengan sendirinya menjamin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri, tetapi
jelas membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses itu
berarti berfungsinya mekanisme check and
balances. Dimensi check and balances
meliputi hubungan Kepala Daerah (KDH)/Wakil Kepala Daerah (WKDH) dengan rakyat;
DPRD dengan rakyat; KDH/WKDH dengan DPRD; DPRD dengan KDH/WKDH tetapi juga
KDH/WKDH dan DPRD dengan lembaga yudikatif dan Pemerintah Daerah dengan
Pemerintah Pusat.[7]
Tujuan utama Pilkada
langsung adalah penguatan masyarakat dalam rangka peningkatan kapasitas
demokrasi di tingkat lokal dan peningkatan harga diri masyarakat yang sudah
sekian lama dimarginal. Selama ini, elit politik begitu menikmati kue
kekuasaan. Tak mudah bagi mereka, khususnya anggota DPRD, merelakan begitu saja
kekuasaan tersebut untuk dibagi-bagikan dengan rakyat walaupun rakyatlah
penguasa kedaulatan dalam arti sesungguhnya.[8]
2.
Penyelesaian Sengketa
Pilkada
Putusan sengketa
Pilkada akan diselesaikan di meja Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, setelah ada
amandemen Undang-undang Dasar 1945 dan sudah beberapakali dilakukan amandemen
tersebut. Maka secara tidak langsung memberikan legitimasi kuat terhadap
Mahkamah Konstitusi untuk mengadili setiap perkara ketatanegaraan yang
mengalami sengketa diwilayah Negara Indonesia, Indonesia memiliki jendela hukum
yang bikameral bukan unikameral dan lebih kepada multirateral.
Banyak kasus sengketa
pilkada yang lain terjadi di Indonesia baru-baru ini, misalnya yang terjadi di
Sulawesi Selatan.[9] Sengketa yang berujung pada putusan
MA tersebut diputuskan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di daerah
pemilihan Kabupaten Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja. MA menengarai telah
terjadi penggelembungan suara di beberapa daerah tersebut. Namun, putusan PK
dari MA menyatakan hakim keliru menerapkan hukum dalam sengketa pilkada Sulsel.
Disebutkan, yang berwenang untuk memutuskan dilakukan perhitungan suara dan
pemungutan ulang adalah panitia pemilih kecamatan (PPK), penggelembungan jumlah
daftar pemilih tetap pada hakikatnya menjadi wewenang Panitia Pengawas
Pemilihan untuk menanganinya. MA memutuskan menolak keberatan yang disampaikan
pasangan calon gubernur Amin Syam dan calon wakil gubernur Mansyur Ramly.
Putusan yang dikeluarkan melalui rapat permusyawaratan MA itu dipimpin langsung
Ketua MA, Bagir Manan, tertanggal 18 Maret 2008. Dengan demikian, pasangan
pemenang Pilkada Sulsel ditetapkan kepada Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin
Nu'mang (Sayang) yang terpilih pada November 2007.
Berbeda dengan
sengketa pilkada Depok.[10] Awal konflik pilkada Depok ketika
salah satu pasangan dari lima pasangan, yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad
mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 11 Juli 2005 dengan
menggugat KPU Kota Depok. Alasannya, terdapat kesalahan perhitungan suara
sehingga pasangan itu dirugikan. Sebelumnya, KPU Depok mengumumkan hasil
perhitungan suara pilkada 2005. Pasangan Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra
meraih 232.610 suara atau 43,90 persen, disusul pasangan Badrul
Kamal-Syihabuddin Ahmad 206.781 suara (39,03 persen), Yus Ruswandi-Soetadi
Dipowongso 34.096 (6,44 persen), Abdul Wahab Abidin-Ilham Wijaya 32.481 suara
(6,13 persen) dan Harun Heryana-Farkhan 23.850 (4,5 persen).
Pada 4 Agustus 2005,
Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan No 01/Pilkada/2005/PT Bandung
yang mengabulkan permohonan dari pemohon dan menyatakan batal hasil perhitungan
suara 6 Juli 2005 serta menetapkan jumlah perhitungan suara yang benar, yaitu
suara Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad menjadi 269.551, sedangan suara Nur Mahmudi
Isma’il turun menjadi 204.828. Keputusan ini-pun menganulir kemenangan pasangan
Nur Mahmudi-Yuyun W dan memenangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin.
Atas putusan PT Jabar
tersebut, KPU Depok menolak dan mengajukan memori Peninjauan Kembali (PK) ke
Mahkamah Agung (MA) pada 16 Agustus 2005. Pada 8 September 2005 MA mengumumkan
pembentukan Majelis PK perkara sengketa Pilkada Depok dan menetapkan lima hakim
agung. MA akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan PK dari KPU Depok,
membatalkan putusan PT Jabar di Bandung tanggal 4 Agustus 2005, dan menolak
keberatan dari permohonan Badrul Kamal-Syihabuddin ihwal pilkada Depok.
Dengan putusan MA ini berarti Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra sah dan
punya kekuatan hukum yang tetap sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pada
3 Januari 2006, pasangan Badrul Kamal mengajukan permohonan keberatan atas
putusan MA ke Mahmakah Konstutusi (MK). Oleh MK, sengketa (pilkada) ini
merupakan wewenang MA.
Undang-Undang No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa penyelesaian sengketa
pilkada diserahkan melalui proses hukum di Mahkamah Agung di satu sisi.
Sementara, di sisi lain putusan sengketa pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah
Agung di beberapa daerah menuai kontroversi. Sebagai contoh, putusan sengketa
Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara (Malut) dan pilkada Depok yang
berbuntut kontroversi tersebut menunjukkan ketidakjelasan putusan hukum yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal putusan itu seharusnya mencerminkan
penyelesaian terakhir sengketa pilkada.
Harapan adanya putusan
hukum yang mengikat dan bisa dihormati semua pihak yang bersengketa nampaknya
sulit dicapai. Putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan dilakukannya pilkada
ulang atau perhitungan ulang hasilnya digugat lagi. Tentu saja persoalan akan
bertambah runyam. Wajar apabila banyak orang yang menggugat putusan MA. Hal ini
yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik terhadap MA agak rendah, dan banyak
pihak yang berkeinginan agar penyelesaian sengketa pilkada dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi.
Setelah lahirnya UU
No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, telah memungkinkan MK
untuk memutus perselisihan hasil pilkada. Hal ini disebabkan karena adanya
perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu. Permasalahannya adalah apa
konsekuensi yuridis perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu?.
a.
Mahkamah Konstitusi
Dan Penyelesaian Sengketa Pilkada
1.
Rancangan
Baru Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pilkada
MK kerja sama dengan sejumlah fakultas
hukum di daerah. MK menyediakan perangkat teleconference untuk memudahkan pihak
berperkara. Tempatnya, di ruang pengadilan semu masing-masing fakultas hukum.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan
kultur yang sedang ia coba bangun di MK adalah kultur akademis. Ia
mengungkapkan tugas seorang hakim konstitusi hanya tiga. Membaca
sebanyak-banyaknya, berdebat sekeras-kerasnya, dan menulis sesering mungkin,
tuturnya beberapa
waktu lalu. Latar belakang sejumlah hakim konstitusi memang mendukung hal
tersebut. Mereka adalah pengajar di sejumlah perguruan tinggi, bahkan tak
sedikit yang menyandang gelar guru besar ilmu hukum.
Proyek teranyarnya kembali menegaskan bahwa MK merupakan lembaga
negara yang academic oriented. Dalam proyek penempatan teleconference,
MK tak melakukan kerja sama dengan lembaga penegak hukum lain. Tapi justru
melakukan kerja sama dengan Dekan Fakultas Hukum dari 33 Provinsi. Kerja sama
ini terkait tugas MK dalam menyelesaikan sengketa perselisihan pemilihan kepala
daerah (Pilkada) serta pemilihan umum (Pemilu).
Jimly berharap kerja sama ini akan membuat peradilan menjadi efektif
dan efisien. Kalau ada sidang, (pihak berperkara,-red) tak perlu ke Jakarta,
jelasnya di Jakarta, Jumat (20/6). Nantinya, tambah Jimly, persidangan tetap
dilakukan di MK tetapi untuk pembuktian atau mendengarkan keterangan saksi
maupun ahli bisa dilakukan di masing-masing daerah.
Lebih lanjut, Jimly menegaskan upaya ini merupakan bentuk pengajaran
dalam memanfaatkan teknologi informasi. Mahasiswa juga akan mendapatkan
manfaatnya. Selain bisa merasakan suasana sidang sesungguhnya, peralatan teleconference
ini bisa juga menjadi multifungsi untuk kuliah online yang sedang
dirintis Jimly. Apalagi, dana yang dikeluarkan juga tak terlalu mahal. Hanya
250 juta per alat (teleconference,-red), ungkap Sekretaris Jenderal MK
Janedjri M. Gaffar.
Uniknya, lokasi yang dijadikan tempat teleconference adalah
ruang sidang pengadilan semu (mootcourt) di fakultas hukum tersebut. Ruang itu
akan disulap menjadi ruang sidang yang nyata, tak lagi semu. Nantinya bisa jadi
ruang pengadilan MK, jelas Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas
Indonesia ini.
Penggunaan teleconference ini memang bukan hal yang baru di
MK. Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar menyatakan pada penyelesaian perselisihan
hasil Pemilu 2004, MK telah menggunakan metode ini. Kala itu, MK meminjam
fasilitas yang dimiliki Mabes Polri untuk melakukan pemeriksaan jarak jauh
melalui video conference terhadap saksi-saksi yang ada di
daerah.
Namun, kebijakan MK ini bukan tanpa kekurangan. Sengketa Pilkada dan
Pemilu yang sering menyulut kerusuhan bisa berkembang ke kampus. Bila pada
Pemillu 2004, proses aman-aman saja tak lain karena tempat persidangan
teleconference dilakukan di sejumlah Polres. Jimly bukan tak tahu hal ini.
Karenanya, ia meminta agar hal ini dibahas dalam Rapat Koordinasi MK, Dekan
Fakultas Hukum dan Pusat Kajian Konstitusi di Jakarta, 20-22 Juni 2008.
2.
Wewenang Mahkamah
Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada
Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan lembaga
baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman, yang berfungsi menangani
perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi.[11] Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”.
Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah dirubah menjadi pemilihan
umum kepala daerah. Bab I Pasal 1 UU No. 22 tahun 2007 mempunyai maksud bahwa
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Dengan demikian, apabila pemilihan kepala daerah
masuk rezim pemilu maka penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah
menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1)
Perubahan UUD 1945. Persoalannya, UU No 32 tahun 2004 masih mengatur
perselisihan hasil pilkada menjadi kewenangan Mahkamah Agung sehingga perlu
adanya regulasi lebih lanjut untuk mempertegas pengaturan mengenai sengketa
hasil pemilihan kepala daerah.
Melalui UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa pilkada telah
dialihkan dari MA ke MK. Peralihan locus penyelesaian sengketa tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa
hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh
Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan
belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Bunyi Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tersebut dari
sudut legal drafting menimbulkan
persoalan. Pertama, menurut Jimly
Asshiddiqie,[12] Pasal 236C mempunyai penafsiran
ganda. Frase “paling lama” dalam kalimat tersebut praktiknya bisa lebih cepat
(satu atau dua hari, pen), apalagi latar belakang munculnya Pasal itu
semata-mata hanya ingin memberi waktu persiapan kepada MK. Misalnya, apabila
dalam jangka waktu satu bulan sejak disahkan UU No. 12 tahun 2008 MK sudah
siap, maka perselisihan hasil pilkada dapat langsung ditangani oleh MK.
Penafsiran kedua, maksud “paling lama” adalah sebelum 18 bulan. Artinya,
meskipun MK sudah mempunyai persiapan yang matang, sengketa tersebut tidak
serta merta atau belum dapat dialihkan. Untuk memastikan mana yang benar, maka
penafsiran ganda tersebut dapat dibawa ke MK untuk judicial review. Namun demikian, hal ini kemungkinannya kecil
karena sulit mencari alasan konstitusionalnya. Untuk itu, Jimly mengembalikan
persoalan ini kepada pembentuk undang-undang yaitu Presiden dan DPR.
Hal senada juga dikatakan oleh Bagir Manan[13] bahwa kata ”paling lama” itu bisa
jadi besok. Seharusnya isi pasal itu bukan menggunakan frase ”paling lama” 18
bulan, melainkan dijelaskan dengan kalimat, semua sengketa pilkada yang sudah
diselesaikan oleh MA, kemudian sengketa yang baru ditangani oleh MK. Dengan
demikian, sebuah undang-undang akan memberikan kepastian dan konsisten.
Kedua, sebuah pasal dalam
undang-undang akan tetap dinyatakan berlaku apabila dalam undang-undang
perubahannya tidak secara tegas dinyatakan telah dihapus atau diubah dengan
rumusan pasal yang baru. UU No 12 Tahun 2008 tidak mengubah Pasal 106 UU No. 32
Tahun 2004 yang merupakan dasar kewenangan MA untuk memutus sengketa pilkada.
Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 berbunyi: “Keberatan terhadap penetapan
hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh
pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari
setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”.
Pola pikir anggota DPR dalam membahas undang-undang
tersebut keliru karena lebih mengedepankan proses peralihan dibandingkan dasar
hukum utamanya, yakni Pasal 106. Hal tersebut akan menimbulkan kontradiksi
substantif di dalam UU Pemda terbaru karena di satu sisi memuat teknis
pengalihan tetapi di sisi lain justru ”menjamin” kondisi awalnya tetap ada.
Untuk mempertegas atau memberikan kapastian hukum tentang kewenangan
penyelesaian sengketa pilkada masuk dalam wewenang MK dapat dilakukan pertama,
diatur kembali dalam UU pilkada secara tersendiri dan menyatakan Pasal 106 ayat
(1) UU No 32 Tahun 2004 tidak berlaku atau; kedua, dapat dimasukkan ke dalam UU
MK yang sekarang sedang direvisi.
Beralihnya penyelesaian sengketa pilkada ke MK akan
membawa harapan baru karena penyelesaian oleh MK relatif tidak menimbulkan
konflik yang berarti. Hal ini dibuktikan dari pengalaman MK dalam menangani
sengketa pemilu. Namun demikian, yang perlu dipikirkan adalah, apabila dalam
suatu kasus yang telah diputus ternyata terdapat bukti baru, apakah MK akan
membuka upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana pranata di MA? Di samping
itu, beberapa pasal yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Pemilihan Umum perlu
dilakukan perubahan misalnya, Bab I Pasal 1 dapat ditambah dengan norma yang
berbunyi “Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota”. Bab III tentang Tata Cara
Mengajukan Permohonan, Pasal 5 ayat (2) seharusnya ditambah huruf (d) yang
berbunyi “calon kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Bab II Pasal 3 ditambah
dengan huruf (d) “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Pasal 4 ditambah
dengan huruf (d) yang berbunyi “terpilihnya calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah”.
UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No.
32 tahun 2004 telah membawa perubahan besar terhadap penyelenggaraan pilkada di
Indonesia. Perubahan itu antara lain dialihkannya penanganan sengketa hasil
pilkada dari MA ke MK. Hal ini merupakan penegasan tentang masuknya pilkada
dalam rezim pemilu.
Adanya perubahan tersebut telah menimbulkan banyak
persoalan sehingga terdapat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah. Beberapa
pekerjaan rumah tersebut antara lain: Pertama,
Pasal 22E UUD 1945 yang menjadi sandaran hukum penyelenggaraan pemilu sebaiknya
dilakukan perubahan sehingga berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala daerah dan Wakil Kerpala
Daerah”.
Kedua, tentang peran
regulasi pemerintah dalam pilkada. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang
meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana tidak dilakukan
perubahan. Padahal, apabila pilkada sudah beralih ke rezim pemilu, PP tersebut
mutlak tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Empat pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang
tidak ikut direvisi yaitu: Pasal 65 ayat (4) yang berbunyi ”Tata cara
pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap
pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman
pada Peraturan Pemerintah”; Pasal 98 ayat (3) yang menegaskan bahwa “Ketentuan
lebih lanjut mengenai, pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”; Pasal 94 ayat
(2) yang menyatakan bahwa “tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; dan Pasal
114 ayat (4) yaitu “tata cara untuk menjadi pemantau pemilih dan pementauan pemilihan
serta pencaburan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Ketiga, tentang
pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menurut UU No. 32 Tahun
2004, mekanisme pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan
melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama dengan usul DPRD dan kedua tanpa usul DPRD.
Persoalan akan muncul pada pemberhetian kepala daerah dan wakil kepala daerah
melalui cara yang pertama. UU No. 32 tahun 2004 Pasal 29 jo Pasal 123 Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menegaskan bahwa “pemberhentian kepala
daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden dan berdasarkan
putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil
Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan
kewajibannya”.
Banyaknya persoalan yang ditimbulkan akibat adanya perubahan Kedua
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, adalah sebuah keniscayaan
untuk segera diterbitkannya UU Mahkamah Konstitusi yang baru dan UU Pilkada
yang nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan pilkada di
seluruh Indonesia. Pengaturan lebih lanjut dalam kedua UU tersebut diharapkan
dapat mengantipasi berbagai kendala yang mungkin muncul.
Sebagaimana yang ungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD
mengatakan, pihaknya sudah siap menghadapi berbagai sengketa Pemilu Kepala
Daerah (Pilkada) yang akan digelar pada tahun 2010.
“Kami siap menghadapi sengketa
Pilkada pada 2010, meski Pilkada itu akan dimajukan, dilakukan sesuai waktu
yang telah diagendakan, atau harus ditunda,” kata Mahfud dalam pertemuan dengan
Komisi III di Gedung MK di Jakarta, Selasa (26/1).
Mahfud memaparkan, MK mengetahui
bahwa terdapat 244 Pilkada yang rencananya akan digelar pada tahun 2010 dan
diprediksi sekitar separuh dari jumlah tersebut akan dipersengketakan atau
diperkarakan ke MK.
Ia juga mengemukakan, MK sejak 2009
mulai melakukan terobosan hukum seperti memerintahkan pemilu ulang di sejumlah
daerah karena ditemukan pelaksanaan prosedur pemilihan yang telah cacat sejak
awal.
Ketua MK juga memahami bahwa pada
saat ini masih terdapat perbedaan pendapat antara pemerintah yang tetap ingin
melangsungkan Pilkada pada 2010 dan sejumlah anggota DPR yang mengingingkan
agar Pilkada ditunda terlebih dahulu karena masih terdapat permasalahan dalam
Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Namun, Mahfud meyakini Mahkamah
Konstitusi akan selalu siap menghadapi perkara sengketa hasil Pilkada kapanpun Pilkada
itu dijadwalkan untuk diselenggarakan.
Pada 2010 akan diselenggarakan 244
Pilkada yang terdiri dari tujuh pemilihan gubernur, 163 pemilihan bupati, dan
33 pemilihan wali kota.
Ketujuh provinsi yang akan
menyelenggarakan Pilkada adalah Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sulawesi
Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau (Kepri).
b.
Hukum Acara di Mahkamah
Konstitusi
Bila persoalan teknis hampir beres,
MK masih punya segudang pekerjaan yang harus dilakukan. Diantaranya, adalah mempersiapkan
hukum acara terkait kewenangan MK dalam memutus sengketa perselisihan hasil
Pilkada. Kewenangan baru saja diberikan dengan keluarnya UU No.12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Pemda). Revisi UU Pemda itu memang telah mengalihkan sengketa Pilkada dari MA
ke MK.
Mukhtie menyatakan saat ini MK telah
menyiapkan draft Peraturan MK tentang penyelesaian perselisihan hasil penghitungan
suara Pilkada. Ia mengatakan walau UU MK dan Revisi UU Pemda belum mengatur
hukum acaranya, tapi pada dasarnya tata caranya hampir sama dengan perselisihan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Rancangan Hukum Acara Perselisihan
Hasil Pilkada
Versi Mukhtie Fadjar
a) Pemohonnya adalah pasangan calon
kepala daerah/wakil kepala daerah;
b) Termohonnya adalah KPU Provinsi atau
Kabupaten/Kota;
c) Objek yang diperselisihkan adalah
penetapan hasil penghitungan suara pilkada yang dilakukan KPU Provinsi atau
KPU Kabupaten/Kota;
d) Tenggat pengajuan keberatan 3x24 jam
setelah KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan hasil penghitungan
suara pilkada;
e) Tenggat penyelesaiannya oleh MK
untuk memutus perselisihan hasil pilkada adalah 14 hari kerja sejak
permohonan keberatan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
|
Sumber: Naskah Pidato
Mukhtie dalam rapat koordinasi MK, Dekan FH, dan Pusat Kajian Konstitusi
Sedangkan Jimly menawarkan
penyelesaian sengketa hasil pilkada ala MK yang berbeda dengan yang dilakukan
MA sebelumnya. Pertama, bila di MA
ada pemisahan Pilkada Kabupaten/Kota yang diselesaikan di Pengadilan Tinggi dan
Pilkada Gubernur di MA, maka di MK berbeda. Karena tak punya cabang di daerah,
maka MK akan menyelesaikan semua sengketa hasil pilkada langsung dari Jln.
Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta.
Kedua, Jimly berjanji akan memanggil semua pihak terkait untuk didengar
keterangannya. Kalau di MA, contoh Jimly, saat sengketa pilkada Depok yang
diajukan oleh Badrul Kamal, pihak terkait Nurmahmudi Ismail tak dipanggil oleh
Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Nurmahmudi hanya mengirim surat saja.
Namun, nanti di MK akan berbeda. Bahkan, Jimly mengatakan tak hanya
pihak yang vis a vis bersaing saja yang dipanggil, tapi semua pasangan
yang ikut proses pilkada. Kalau ada lima pasangan akan kita panggil semua,
tambahnya. Ia beralasan bila ada suara yang dibatalkan, maka akan mempengaruhi
perolehan semua pasangan.
Jimly memang harus berusaha seadil mungkin. Kalau di MA masih
dikenal upaya peninjauan kembali (PK), maka di MK tak ada upaya itu. Sifat
putusan MK adalah final dan mengikat. Ketika diketok palu, putusan harus
dianggap sudah benar. Tinggal laksanakan. Kalau tak puas silahkan mengadu ke
Allah SWT, pungkasnya.
3.
Permasalahan Mengenai Demokrasi
di Indonesia
Sebaimana yang dikatakan oleh Diskusi mengenai demokrasi, orang bisa
berdebatan panjang lebar, yang diperdebatkan bisa konsep, bentuk, tujuan,
kepentingan, praktek yang sedang berlangsung sampai dengan harapan-harapan yang
digantungkannya. Untuk itu, tulisan ini mencoba membahas tentang demokrasi yang
meliputi tiga hal: 1. Tinjauan selintas perkembangan konsep demokrasi, 2.
Bagaimana harapan-harapan terhadap demokrasi, dan ke. 3 tentang bagaimana
demokrasi dalam kenyataan sedang berlangsung.. Demokrasi merupakan suatu konsep
pemikiran yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam suatu lingkungan suatu
budaya masyarakat. Untuk itu pembahasan demokrasi akan lebih bermakna jika
didasarkan pada konteks budaya, dalam hal ini bagaimana demokrasi yang
berlangsung di Indonesia.
Kemudian mengenai harapan yang dimaksud dapat merupakan harapan dari
orang, kelompok, bangsa, atau harapan dari demokrasi itu sendiri dalam rentang
perkembangan. Untuk mendapatkan konsep harapan terhadap demokrasi dalam konteks
Indonesia, maka harapan itu dapat didapat dari dokumen hasil pemikiran dari founding fathers, kemudian juga yang
tercantum dalam dasar negara tentunya juga dalam rentang perkembangan. Demikian
pula mengenai kenyataan, dapat diperoleh mengenai kenyataan masa lampau,
kenyataan atau realitas pada masa kini sebagaimana yang sedang berlangsung, dan
mungkin juga kenyataan yang diharapkan pada masa yang akan datang.
Dikenal bermacam-macam istilah demokrasi, dan dalam sejarah
demokrasi di Indonesia dikenal demokrasi Parlementer, demokrasi Terpimpin,
demokrasi Pancasila, dan mungkin juga demokrasi (era) Reformasi.
Menurut asal usulnya "demokrasi" berasal dari dua kata,
yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti
pemerintahan. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh
warga negara yang bertindak berdasar prosedur mayoritas. Demokrasi langsung (direct
democracy) pada negara-kota Yunani Kuno dapat berlangsung efektif karena
berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas, serta jumlah penduduk
yang sedikit, dan itupun hanya berlaku untuk warga negara resmi, dimana
sebagian besar penduduk merupakan budak yang tidak mempunyai hak membuat
keputusan politik. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung,
tetapi bersifat demokrasi berdasar perwakilan (representative democracy).
Dalam khazanah studi-studi demokratisasi, Samuel Huntington dalam
studinya tentang “gelombang demokratisasi ketiga”,[14]
menggambarkan bahwa demokratisasi pada tingkatan yang paling sederhana
mensyaratkan terjadinya tiga hal, yaitu (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter;
(2) dibangunnya sebuah rezim demokratis; (3) pengkonsolidasian rezim demokratis itu. Alfred Stepan
menyebutkan bahwa transisi demokrasi dari rezim otoriter ada tiga model
kemungkinan[15]:
(1) penjajahan dari luar dan peperangan internal; (2) tranformasi internal dari
elit rezim otoriter menuju rezim demokratis; (3) kekuatan internal kelompok
oposisi yang menumbangkan kekuasaan otoriter yang berkuasa.
Demokrasi mencakup beberapa azas, nilai dan menjadi sebuah kata
kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Demokrasi disebut-sebut sebagai
indikator perkembangan politik suatu negara. Namun demikian, sebagaimana
dinyatakan oleh UNESCO bahwa demokrasi mengandung ambiguity mengenai
lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan idee, atau
mengenai keadaan kultural serta historis yangmempengaruhi istilah, idee dan
praktek demokrasi. Secara garis besar aliran pikiran yang dinamakan demokrasi
dapat dikelompokkan ke dua aliran besar, yaitu demokrasi konstitusional dan
kelompok aliran yang menamakan dirinya “demokrasi” yang pada hakekatnya
mendasarkan dirinya pada komunisme.
Sementara Samuel Huntington menyebutkan bahwa ada tiga kemungkinan
model demokratisasi, yaitu (1) Transformasi
(reforma), yaitu demokratisasi
terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi. (2) Replacement (ruptura), yaitu demokratisasi terjadi ketika kelompok oposisi
mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan rezim otoriter tumbang atau
digulingkan. (3) Transplacement (ruptforma), yaitu demokratisasi terjadi
sebagai sebuah hasil tindakan bersama antara kelompok pemerintah dan kelompok
oposisi.
Dengan demikian, demokratisasi memiliki dua aspek, yaitu transisi
demokrasi dan konsolidasi demokrasi.[16]
Transisi demokrasi adalah titik awal antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan
rezim otoritarian lama, yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan
lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi.
Proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil
komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi.[17]
Konsolidasi demokrasi juga dipahami
sebagai sebuah proses panjang yang mengurangi kemungkinan pembalikan
demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang
diteruskan dengan melengkapi demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir
demokrasi secara berkelanjutan.[18]
Dalam konsolidasi demokrasi diawali dengan negosiasi (transaksi)
politik yang hendak mempromosikan sistem atau aturan main baru ketimbang
merusak sistem lama. Struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama
proses transisi akan dimantapkan, diinternalisasikan dan bahkan diabsahkan
dalam proses konsolidasi. Akhirnya
proses konsolidasi akan menghasilkan penetapan sistem demokrasi secara
operasional dan ia akan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat. Karena itu,
konsolidasi demokrasi tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural dan
lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi yang
terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan, dan lainnya
menganggap bahwa tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih
kekuasaan (democracy as the only game in
town), dan tidak ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim terhadap
tindakan yang sudah dipilih secara demokratis.
Proses konsolidasi demokrasi jauh lebih kompleks dan panjang setelah
transisi. Karena itu, studi-studi tentang konsolidasi demokrasi juga jauh lebih
kompleks dan bervariasi ketimbang studi
transisi. Studi-studi konsolidasi demokrasi, menurut Goran Hyden,
memiliki empat pendekatan.[19] Pertama, pendekatan agen-elite yang
memfokuskan studinya pada interaksi elite politik, baik pemimpin, penyelenggara
negara maupun politisi. Menurut pendekatan ini, elite harus mempunyai sikap,
pilihan, tindakan dan keyakinan yang kuat pada demokrasi serta saling membangun
konsensus bersama untuk konsolidasi demokrasi.
Kedua, pendekatan teori budaya politik. Pendekatan ini selalu menekankan
bahwa budaya politik demokratis (toleran, egalitarian, kompromis, akomodatif,
kompeten) sebagai prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi. Pendekatan teori budaya
politik ini memiliki dua fokus, yaitu relasi horisontal antar-warga masyarakat
dan relasi vertikal antara elit-massa atau pemerintah-rakyat. Secara
horisontal, demokrasi mengajarkan tentang pluralisme, yaitu semangat hubungan
yang menghargai perbedaan dan melewati batas-batas etnis, agama, daerah, bahasa
dan unsur-unsur primordial lainnya. Secara vertikal, demokrasi mengajarkan
bahwa relasi pemerintah dengan rakyat atau antara elite dengan massa bukan berdasar kepada
klientelisme, paternalisme atau patrimonialisme, namun berdasar kepada prinsip
kewarganegaraan.
Ketiga, pendekatan pembangunan ekonomi dan demokrasi. Pendekatan ini
memiliki dua pandangan yang berbeda. Pada satu sisi, terdapat korelasi positif
antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi
akan berperan sebagai penopang tumbuhnya demokrasi. Namun pada sisi lain justru
sebaliknya, terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan
munculnya rezim otoriter-birokratis, yaitu pertumbuhan ekonomi justru ditopang
oleh keberadaan rezim otoriter-bikroratis.
Keempat, pendekatan struktur-massa,
yaitu pendekatan yang lebih fokus kepada gerakan-gerakan sosial dalam
masyarakat dalam proses demokrasi. Pendekatan ini memfokuskan diri untuk
mengkaji peranan civil society dalam proses demokratisasi.
Sependapat dengan Goran Hyden, Larry Diamond berpendapat bahwa
terdapat empat pendekatan dalam studi-studi konsolidasi demokrasi, yaitu (1)
pendekatan aktor elite; (2) pendekatan
institusional; (3) pendekatan budaya politik; dan (4) pendekatan yang
barhaluan kepada masyarakat (civil
society).[20]
Pendekatan institusional, menurut Larry Diamond, yaitu pentingnya
institusionalisasi politik dalam proses konsolidasi demokrasi. Pendekatan ini
merupakan bagian dari tiga tugas dalam konsolidasi demokrasi : pendalaman
demokrasi, institusionalisasi politik dan mengontrol kinerja rezim. Pendalaman
demokrasi membuat struktur-struktur formal demokrasi menjadi lebih liberal,
akuntabel, representatif dan aksesibel.[21]
Institusionalisasi politik melibatkan konvergensi yang mapan pada
tingkat aturan dan prosedur dalam persaingan dan aksi politik.[22]
Konsolidasi demokrasi harus mampu melakukan penguatan tiga tipe institusi
politik, yaitu Aparat Administrasi Negara (birokrasi); institusi representasi
dan penyelenggaraan demokrasi (partai politik, parlemen dan sistem pemilihan
umum); dan struktur-struktur yang
menjamin akuntabilitas horisontal, konstitusionalisme, dan pemerintahan
berdasar hukum (sistem peradilan dan lembaga pengawasan). Institusionalisasi
politik ini adalah upaya memperkuat struktur demokrasi representatif dan pemerintahan formal, sehingga menjadi lebih
koheren, kompleks, otonom, mudah beradaptasi, dan karenanya lebih kapabel, efektif,
berharga, dan mengikat.
Proses konvergensi elite dalam konsolidasi demokrasi tidak sekedar
untuk mencapai kesepakatan atau untuk mengakhiri konflik di antara mereka,
tetapi juga menjadi bagian dari proses institusionalisasi politik, yang di
dalamnya mencakup agenda rekonstitusi maupun penciptaan prosedur kelembagaan
baru yang kondusif bagi demokrasi. Institusionalisasi politik pada dasarnya
hendak melakukan reformasi sistemik institusi politik, prosedur dan aturan main
yang lebih cocok dengan demokrasi.
Setidaknya ada tiga sasaran dalam melakukan institusionalisasi
politik, yaitu (1) Institusi Eksekutif-Negara (lembaga kepresidenan, sistem
pemerintahan, birokrasi dan militer); (2) Institusi Perwakilan (parlemen,
partai politik dan pemilihan umum); dan (3)
Lembaga Peradilan dan sistem hukum. Dalam konteks ini, para pemimpin
politik melakukan crafting yang didukung oleh partisipasi dan konsultasi publik,
untuk membuat sistem baru yang dituangkan dalam konstitusi atau
perundang-undangan. Tujuan institusionalisasi politik ini adalah membuat institusi
politik menjadi lebih akuntabel, transparan, terkontrol, responsif,
partisipatif, dan berpijak pada rule of
law.
Urgensi rekonstitusi (amandemen konstitusi) dalam konsolidasi
demokrasi adalah bahwa norma-norma konstitusional baru yang dihasilkan dari
konsolidasi konstitusional, hadir pada
langkah awal dalam proses konsolidasi demokrasi.[23]
Norma-norma itu memberi petunjuk pola-pola perilaku formal dalam konstestasi
politik, yang dikembangkan dan dinegosiasikan dalam proses transisi, dan
memantapkan standarisasi penyelenggaraan kekuasaan. Kegiatan merancang
konstitusi baru (rekonstitusi atau amandemen konstitusi) terjadi pada bagian
awal konsolidasi demokrasi, dan mulai memberi kesempatan pada konsolidasi level
berikutnya. Bahkan konstitusi baru yang telah terbentuk akan memberikan jaminan
bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik. Pada akhirnya, implementasi
dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan
institusi politik.
Sejarah demokrasi yang pernah berlangsung di Indonesia menghadapi
permasalahan yakni bagaiamana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola
budayanya, mempertinggi tingkat keidupan ekonomi, di samping membina suatu
kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pokok masalahnya adalah menyusun
suatu sistim politik dengan kepemimpinan cukup kuat untuk membangun ekonomi,
serta dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktatur.
Sejarah perkembangan demokrasi Indonesia, dapat dikemukakan sbb:
1.
Masa Demokrasi Parlementer,
1954-1959, yang dikenal juga dengan masa demokrasi (konstitusionil) yang
menonjolkan peranan parlemen serta partai- partai.
2.
Masa Demokrasi Terpimpin,
1959-1965, yang dalam banyak aspek menyimpang dari demokrasi konstitusionil
yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek
demokrasi rakyat.
3.
Masa Demokrasi Pancasila, sejak
1965 sampai reformasi yang merupakan demokrasi konstitusionil yang menonjolkan
sistim presidensiil.
4.
Masa Demokrasi Pancasila, era
reformasi yang masih dan sedang berjalan merupakan demokrasi konstitusioniil,
presiden dipilih langsung oleh rakyat, sistim presidensiil “terbatas”. (Pasal 5
ayat 1 UUD 1945 ”Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan. Rakyat”, dan dalam Undang-Undang Dasar setelah amandemen
pasal 5 ayat 1 berbunyi ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”) Ada perubahan dari memegang kekuasaan
membentuk undang-undang bergeser ke berhak mengajukan rancangan undang-undang).
5.
Arus demokratisasi di Indonesia
agaknya berjalan begitu cepat. Terhitung sejak turunnya Soeharto dari kursi
kepresidenan pada 21 Mei 1998 atau yang disebut dengan era reformasi,
serangkaian peristiwa politik menandai transisi menuju demokrasi di Indonesia.
Pengalaman Indonesia yang berada dalam kungkungan rezim otoriter selama kurang
lebih 32 tahun tentu saja sedang mencari
pola demokratisasi yang tepat untuk dipraktekkan. Penyelenggaraan Pemilu 1999
di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie sebagai awal dimulainya transisi
demokrasi, hingga sekarang sedang terjadi proses demokratisasi besar-besaran di
wilayah pemerintahan Indonesia. Hasil Pemilu 1999 berupa lahirnya kelembagaan
perwakilan rakyat (MPR) yang kemudian melanjutkan agenda demokratisasi ini
melalui serangkaian amandemen konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 yang dimulai pada tahun 2003 hingga sekarang.[24]
C.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa dengan berubahnya rezim pemilihan kepala daerah
menjadi rezim pemilihan umum, maka penyelesaian sengketa pilkada yang semula
menjadi kewenangan Mahkamah Agung beralih ke Mahkamah Konstitusi sesuai dengan
UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Peralihan tersebut tentunya mengakibatkan banyaknya
persoalan yang semestinya perlu ada pengaturan lebih lanjut baik dalam UU
Mahkamah Konstitusi maupun UU Pemerintahan Daerah. Ada baiknya jika pengaturan
tentang Pilkada diatur tersendiri dan dikeluarkan dari UU Pemerintahan Daerah.
Dan dengan adanya pemilihan kepala daerah tersebut, membuat demokrasi lokal
semakin menjadi kenyataan, bukan lagi angan-angan dan khayalan.
Daftar Pustaka
Abdul, Mukthie Fadjar, 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
Cetakan Pertama, Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta.
Aguero,
Felipe, 1995, Soldiers, Civilians, and Democracy: Post-Franco Spain in Comparative
Perspective, Baltimore : The John Hopkins University Press.
Asshiddiqie, Jimly, 2005. ”Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil
Presiden,” Jurnal Unisia No 51/XXVII/I/2004.
_______________, 2006. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar demokrasi, SerpihanPemikiran Hukum,
Media dan HAM, Cetakan Kedua, Jakarta, Konstitusi Press.
Ari, Pradhanawati (Penyunting), 2005. Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi
Lokal, Cetakan Pertama, Surakarta, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan
Institusi Publik (KOMPIP)
Gaffar Karim, Abdul, (Editor), 2005. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di
Indonesia, Cetakan I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Bagir, Manan, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. III, Yogyakarta, FH UII
Press.
Diamond,
Larry, 2003, Developing Democracy Toward
Consolidation, Yogyakarta : IRE.
di
Palma, Giuseppe, 1997, Kiat Membangun
Demokrasi: Sebuah Esai tentang Transisi Demokrasi, Jakarta : Yayasan Sumber Agung.
Higley,
John and Richard Gunther (eds.), 1992, Elites and Democratic Consolidation in Latin
America and Southern Europe, (Cambridge : Cambridge University Press).
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/07/Sorotan/sorot01.htm
http.www. hukumonline.com, diakses tanggal 01
Oktober 2010.
Huntington,
Samuel P., 1995, Gelombang Demokratisasi
Ketiga, Jakarta : Grafiti.
Hyden,
Goran, 2002, “Development and Democracy :
An Overview”, dalam Ole Elgstrom and Goran Hyden (eds.), Development and Democracy: What Have We
Learn and How?, (London : Routledge).
Joko, J. Prihatmoko, 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi,
Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Cetakan I, kerja sama Pustaka
Pelajar Yogyakarta dengan LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang,
Koran Sindo, 23
November 2007
Kompas
cibermedia 26 juli 2006
Liddle,
R. William, 2002, “Indonesia’s Democratic
Transition : Playing by the Rules”, dalam Reynolds, Andrew, (ed.),
2002, The Architecture of Democracy : Constitutional Design, Conflict
Management, dan Democracy, ((Oxford : Oxford University Press).
Maruarar, Siahaan, 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, Konstitusi Press.
Morison, 2005. Hukum Tata Negara Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta.
Ni’matul, Huda, 2005, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika,
Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Przeworski,
Adam, et.al. (eds.), 1999, Democracy,
Accountability and Representation, (Cambridge : Cambridge University
Press).
Republik Indonesia,Undang-Undang No 22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
______________,Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
______________,Undang-Undang No. 12 Tahun
2008 Tentang Perubahan.
______________,Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan daerah.
______________,Peraturan Pemerintah No. 6
Tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
Schedler,
Andreas, 1998, “What is Democratic
Consolidation?”, Journal of Democracy, No. 2.
Stepan,
Alfred, 1993, “Berbagai Jalur Menuju
Demokratisasi : Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan Komparatif”, dalam
Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter and Laurence Whitehead (eds.), 1993,
Transisi Menuju Demokrasi : Tinjauan
Berbagai Perspektif, (Jakarta : LP3ES), hlm. 104-143.
UUD 1945 Setelah
Perubahan
Whitehead,
Laurence, 1989, “The Consolidation of
Fragile Democracy”, dalam Robert Pastor (ed.), Democracy in the Americas, (New York : Holmes), hlm.30.
[1]Adalah anak Pemikir Politik Islam Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar. Peneliti pada Pusat Kajian
Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)- Indonesia, Aktifis Pro
Demokrasi yang menjadi Anggota Pada Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
Jogjakarta, Aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kom. UIN Alauddin Makassar,
Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kom. Ushuluddin UIN Alauddin, Aktifis
Hizbut Thahrir Indonesia Kota Makassar, Aktifis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) Kom. UIN Alauddin Makassar, Mantan Aktifis Iqro Club (IC)
Kab. Bima, Aktifis Lembaga Dakwah Kampus (LDK Al-Jami’) UIN Alauddin, Aktifis Gerakan Rakyat Daerah
(GARDA) Kota Makassar. Pendiri
sekaligus ketua Umum Forum Intelektual Muda Bima (2009-2014). Sedang aktif
menulis berbagai Karya tulis Ilmiah, Jurnal dan juga berbagai Artikel.
Buku-buku yang sedang ditulis antaranya, Ideologi dan Konstelasi Politik
Islam Indonesia (2010), Ilmu Politik: Suatu Pengantar (Buku Pegangan Kuliah Anak-Anak
Fisipol) (Naskah Siap
Terbit), Political Islamic: Pengantar Kepemikiran Politik Islam (Naskah Siap
Terbit), Sejarah Politik Indonesia Modern: Dari Orla, Orba, Reformasi Sampai Pasca-Reformasi hingga Sekarang (naskah siap terbit). dapat dihubungi di
email: Jurdifatahullah@rocketmail.com, Hp: 081 338 769 613.
[2] Koran
Sindo, 23 November 2007.
[3] Abdul
Gaffar Karim (Editor), Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 185.
[4] Jimly
Asshiddiqie,”Pemilihan Langsung Presiden
dan Wakil Presiden,” Jurnal Unisia No 51/XXVII/I/2004, hlm. 10.
[5] Bagir
Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,
Cet. III, (Yogyakarta, FH UII Press, 2004), hlm. 59.
[6] Joko
J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah
Langsung Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Cetakan I,
(Yogyakarta, kerja sama Pustaka Pelajar dengan LP3M Universitas Wahid Hasyim
Semarang, 2005), hlm. 112-115.
[7] Joko
Prihatmoko, Pilkada Langsung Solusi
Kemacetan Demokrasi, dalam Ari Pradhanawati (Penyunting), Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi
Lokal, Cetakan Pertama, (Surakarta, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan
Institusi Publik (KOMPIP), 2005), hlm. 176.
[8]
Ibid., hlm. Viii.
[9] http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/07/Sorotan/sorot01.htm,
diakses tanggal 01 Oktober 2010.
[10] kompas
cibermedia 26 juli 2006
[11] UU
Mahkamah Konstitusi No. 24 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1). Lihat Maruarar Siahaan,
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), hlm.3-4
[12] ”Mengkritisi revisi UU Pemda dari Ilmu
Peraturan Perundang-undangan”, http.www. hukumonline.com, diakses tanggal 5
Mei 2008
[13] Ibid.
[14]
Samuel P. Huntington, 1995, Gelombang
Demokratisasi Ketiga, (Jakarta : Grafiti).
[15]
Alfred Stepan, 1993, “Berbagai Jalur
Menuju Demokratisasi : Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan Komparatif”,
dalam Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter and Laurence Whitehead (eds.),
1993, Transisi Menuju Demokrasi :
Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta : LP3ES), hlm. 104-143.
[16]
Giuseppe di Palma, 1997, Kiat Membangun
Demokrasi : Sebuah Esai tentang Transisi Demokrasi, (Jakarta : Yayasan Sumber Agung).
[17]
Laurence Whitehead, 1989, “The
Consolidation of Fragile Democracy”, dalam Robert Pastor (ed.), Democracy in the Americas, (New York :
Holmes), hlm.30.
[18]
Andreas Schedler, 1998, “What is
Democratic Consolidation?”, Journal of Democracy, No. 2.
[19] Goran
Hyden, 2002, “Development and Democracy :
An Overview”, dalam Ole Elgstrom and Goran Hyden (eds.), Development and Democracy : What Have We
Learn and How?, (London : Routledge), hlm. 2.
[20] Larry
Diamond, 2003, Developing Democracy
Toward Consolidation, (Yogyakarta : IRE).
[21] Adam
Przeworski et.al. (eds.), 1999, Democracy,
Accountability and Representation, (Cambridge : Cambridge University
Press).
[22] John
Higley and Richard Gunther (eds.), 1992,
Elites and Democratic
Consolidation in Latin America and Southern Europe, (Cambridge : Cambridge
University Press).
[23]
Felipe Aguero, 1995, Soldiers, Civilians, and Democracy:
Post-Franco Spain in Comparative Perspective, (Baltimore : The John Hopkins
University Press).
[24] Lihat
: R. William Liddle, 2002, “Indonesia’s
Democratic Transition : Playing by the Rules”, dalam Andrew Reynolds (ed.),
2002, The Architecture of Democracy : Constitutional Design, Conflict
Management, dan Democracy, ((Oxford : Oxford University Press), hlm.
373-399.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar