Rabu, 09 November 2011

NASKAH BUKU

MAHKAMAH KONSTITUSI
&
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

“Sebuah Tinjauan Historis-Realitas”











FATAHULLAH JURDI
Pengantar;        Prof. (Em) Dr. Taufik Sri  M. S,H
Prof. Dr. Abdul Qadir Gassing



 Melalui wewenangnya Mahkamah Konstitusi telah mampu memperkuat kehidupan hukum di Indonesia, serta banyak merubah undang-undang dengan melakukan amandemen dan pengajuan oleh berbagai pihak yang merasa dirugikan karena ketentuan tersebut. Disamping empat kewenangan dan satu kewajiban yang telah diatur dalam undang-undang 1945, Mahkamah Konstitusi juga memiliki wewenang sebagai pengawal demokrasi.
Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan yang memberikan putusan pada tingkat awal dan tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Beberapa wewenang Mahkamah Konstitusi antaranya: 1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. 2) menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. 3) memutuskan pembubaran partai politik. 4) memutuskan sengketa hasil Pemilu dan satu kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi sangat banyak memberikan masukan dan juga vonis yang sangat menantang dalam berbagai putusan yang diambilnya disetiap perkara yang dibawa naungan kewenangannya. Mahkamah Konstitusi sangat berpeluang dalam menciptakan Negara yang berkeadilan sosial yang tinggi dan negara yang menjunjung tinggi kesejahteraan sosial serta negara yang demokrratis.
Buku ini berusaha mengungkap apa saja yang menjadi wewenang dari Mahkamah Konstitusi atau sebagaimana yang tertera pada judulnya yakni ingin membongkar sisi lain dari Mahkamah Konstitusi dengan menganalisis berbagai putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memberikan putusan terhadap perkara yang masuk pada buku registrasi perkara.
Buku ini berusaha membongkar sisi lain Mahkamah Konstitusi yang belum banyak dikaji oleh berbagai pakar hukum serta pakar konstitusi yang ada di Indonesia. Mahkamah Konstitusi yang sebenarnya telah terbentuk sejak adanya perubahan ketiga atau amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, yakni yang tercantum pada Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akan tetapi, baru disahkan pada tanggal 13 Agustus tahun 2003, pada saat itulah disahkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta kewenangan-nya sebagai pengganti wewenang Mahkamah Agung.
Dalam perjalanan kehidupan hukum di Indonesia, Mahkamah Konstitusi telah banyak memberikan masukan yang begitu berharga dalam menciptakan perubahan sosial dan perubahan hukum atau yang dikenal dengan istilah amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Mereka mengaitkan perubahan tersebut dengan perkembangan dunia yang sedang proses tersebut.
Dalam penulisan naskah ini tidak terlepas dari dukungan dan masukan dari pihak luar. Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Azhar Arsyad M.A selaku Rektor UIN Alauddin Makassar yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu yang lebih, buat masa depan penulis dan kepada Bapak Prof. Dr. Musafir Pababbari M.Si, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan ruang bagi penulis untuk bisa melanjutkan studi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dosen-dosen pengajar yang ada di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar yang mengajarkan banyak hal, mulai dari yang kecil sampai hal-hal yang besar dan selalu memberikan support bagi anak-anak didiknya, Prof. Dr. Arifuddin Ahmad (Guru besar Ushuluddin serta pakar hadits), Dr. Abdullah (pemberi ruang baru yang sangat menyayangi penulis, sekaligus sebagai sekretaris jurusan), Drs. M. Saleh Tajuddin (selaku ketua jurusan), dan lain sebagainya yang tak mampu disebut satu persatu. Terkhusus kepada Bapak Prof. Dr. Hamdan Juhannis M.A.,Ph.D, Bapak Dr. Sabri Ar., Bapak Drs. Salehuddin Yasin (selaku PR III UIN), Bapak Prof. Dr.H Abdul Qadir Gassing M.S, yang selalu memberikan semangat baru bagi penulis.
Kepada kakanda yang saya hormati yakni kak Arif Rahman H. Muhdar beliaulah yang mengurus penulis pada saat itu. Kepada teman-teman penulis yang ada Universitas Hasanuddin ada Niar, kak Wiwin Suwandi, beserta geng-nya di PUSHAM UNHAS dan Sri Wahyuningsih yang ada di Fakultas Kedokteran Umum UNHAS. Kepada anak-anak Pondok Cinta sebagai representasi dari ideologi penulis dan sebagai tempat pembentuk karakter penulis. Kepada anak-anak Pondok Al-Muqarramah Mamoa, ada Khairunnisa (analisis kesehatan UIT), Romi, Imam Sulaiman, Zaenuddin, dan lainnya yang tidak mampu disebutkan satu persatu. Semoga tetap eksis dengan berbagai problem keislaman masing-masing.
Kepada teman-teman yang ada di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), ada Imtihana Fitria, Nur Samsi, kak Razikin Al-Ngali (Ketua DPD), dan lain-lain yang tidak mampu disebutkan satu persatu. Kepada teman-teman di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kom. Ushuluddin UIN Alauddin Makassar. Kepada teman-teman di IPM. Kepada teman-teman di F-UMA IMBI. Kepada teman-teman yang ada di LDK Al-Jami’ UIN Alauddin Makassar. Kepada teman-teman Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kom. UIN Alauddin. Kepada teman-teman Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kom. UIN, beserta gengnya masing-masing. Semoga masih tetap eksis dengan berbagai nilai-nilai keislaman masing-masing. Terkhusus teman-teman di Organ–Organ Indonesia, selain Organ Islam, GARDA, LMND, SMI. GMKI, GMNI, GEMABUDHI, KOMTAK, PuKAT UGM Jogja, PUSDERANKUM, PSHK, LSHP, PuKAP-Indonesia, MAPPI, dan lain sebagainya. Saya ucapkan terima kasih banyak atas semua masukan dan pelajarannya.
Kepada teman-teman yang ada dilakon-lakon Organisasi Lokal (Organda), Seperti Anak-anak Al-Musafir Ngali, Komunitas Mahasiswa Bima (KMB), Himpunan Mahasiswa Bima (HMB), Forum Mahasiswa Lambu (Formal), Forum Mahasiswa Soromandi (Formasi) dan lain sebagainya yang tidak mampu disebutkan satu persatu, semoga lebih baik dan lebih sukses. Organ-organ lokal di Bima, ALIANSINDO, Komunitas B AB UJU’, The Frankfurt School, dan lain sebagainya.
Kepada teman-teman yang ada di STIKES Nani Hasanuddin (Azis Ardiansyah, pendorong perubahan) dan SANDIKARSA. Yang ada di UIM Makassar. Yang ada di UMI Makassar. Kepada teman-teman yang ada di Unismuh Makassar; Anhar Ruslin, Muslimin, Muhajir, beserta geng-nya. Di Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI), ada Bung Syamsul (yang selalu eksis dengan ke’islam’an dan sekarang ketua DPD IMM terpilih di NTB), semoga semuanya masih eksis dengan kuliah dan masih bersemangat dalam mengarungi kehidupan yang kian tak menentu. 
Kepada teman-teman yang ada di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, Al-Farisy, beserta geng-nya. Kemudian teman-teman yang ada di Fakultas Adab, Tarbiyah, Dakwah, Kesehatan Masyarakat, Syari’ah,: Maryama, Sahlan, Zaenudin, Syarifuddin, Ibrahim, Khairuddin, Kalisom, beserta geng-nya. Kepada teman-teman yang ada di UNM; ada Nursam Rahman, Rahmania (Analis Kimia), beserta gengnya.
Kepada teman-teman yang ada di Mataram, Masjidah (pendorong perubahan bagi kehidupan penulis), Gunawan Putra, dan masih banyak lagi yang belum mampu penulis sebutkan satu persatu. kepada teman-teman di Jakarta ada Syahrul, kak Liu, kak Ismail (Ismed), anak-anak KMBJ dan anak-anak yang ada di Forum Mahasiswa NTB-Jakarta. Kepada teman-teman yang ada di Bali, ada Eti, beserta gengnya.
Kepada teman-teman yang ada di STKIP (Ada Raodatun atau Athun Gokil; pemberi motivasi yang tidak ada batasnya sekaligus pembuat sejarah baru bagi kebangkitan penulis), STISIP, STIE, dan STIH serta STAIM Muhammadiyah Bima, ada Ika Purnamasari, Fitri (pemberi semangat baru), Atty Fitriah, Nurnaningsih (yang selalu memberikan support yang tidak terbatas kepada penulis), beserta geng-nya. Semoga sehat selalu.
Khusus kepada Teman-teman Alumni SMA N 1 Belo beserta para Guru-guru yang selalu penuh dengan semangat baru dalam mengarungi kehidupan ini, yang selalu memberikan yang terbaik bagi anak-anak didiknya, terkhusus kepada Bapak Drs. Muhammad Taslim S.Pd,. M.Pd (selaku Kepala sekolah), Bapak M. Noer (selaku Wakasek kesiswaan), Pak Budiansyah, Ibu Zaitun, Ibu Nurmi, Ernawati (sahabat penulis), Roswaidah, Sri Komalasari, spesial buat Bunyamin, dan lain sebagainya yang tidak mampu disebutkan satu persatu. semoga tetap eksis dengan keIslaman masing-masing dan semoga sehat selalu.
Terkhusus penulis ingin mengucapkan hormat dan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas (penggagas Indonesia baru), Bapak Dr. Khudori (penulis buku ”Lapar: Negeri Salah Urus”), yang keduanya telah memberikan beberapa masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam mempublikasikan buku ini. Bapak Prof. Dr. Burhan U. (yang telah mengajarkan kepada penulis untuk selalu kritis dengan berbagai kritikan yang penulis lontarkan kepada penguasa).
Akhirnya, Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya sekaligus rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada kedua Orang Tua penulis ”JURDI” dan ”IMROH”, Penulis sangat berterima kasih kepada kedua Orang Tua penulis yang sampai detik ini masih membiayai pendidikan penulis, sehingga penulis dapat melanjutkan studi sampai pada perguruan tinggi, tanpa mereka penulis mungkin tidak akan ada di dunia ini, saya sangat bangga dan sangat bersyukur karena Allah SWT telah melahirkan penulis dalam keluarga yang, biasa penulis sebut dengan keluarga yang doktrin agamanya kuat.
Kepada kakak-kakak penulis Kak Sitaman Jurdi dan Kak Natsir, beserta pasukannya Sari dan Bimo, Kak Syarifuddin Jurdi dan Kak Salma Amda, beserta pasukannya Salsabilah dan Ahmad Mutawaqqil, Kak Heriman Jurdi dan Kak Fuji, beserta pasukannya Abdul Gafur dan M. Maulana Mautul Akbar, Kak Fajlurrahman Jurdi, Kak Halimah Jurdi. Serta adik-adik penulis yang paling penulis sayangi yang ada di Ngali Furqan Jurdi, Nur Hadiah Jurdi dan Muhammad Al-Amien Jurdi. Mereka inilah yang menjadi inspirasi sekaligus motivator bagi penulis, Bercita-citalah untuk menjadi orang besar di negeri ini dan bercita-citalah untuk menjadi penulis yang handal, yang mampu mentransformasikan ide dalam bentuk tulisan dan mampu menghajar pemimpin yang bersifat inlander serta mampu membuatnya pincang di pentas politik. Kepada nenek yang sangat penulis sayangi dan sangat penulis rindukan INA NDO yang selalu merindukan penulis, beliaulah yang selalu mengajarkan penulis untuk selalu patuh dan taat kepada kedua orang tua dan selalu mengajarkan penulis untuk selalu patuh dan taat kepada Allah Swt. 
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada pihak penerbit yang telah mau menerbitkan naskah ini dengan berbagai kekurangannya, mengingat penulis adalah penulis awal yang sedang melakukan penelusuran lebih jauh lagi, penulis sangat berterima kasih.
Penulis sangat sadar dengan naskah yang ada di tangan pembaca ini yang masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, maka dari itu penulis sangat mengharap-kan masukan, saran dan kritik dari pembaca, karena yang paling kritis untuk memberikan saran, masukan dan kritikan adalah pembaca, dengan itu saya sangat mengharapkannya, demi kesempurnaan tulisan yang akan meluncur selanjutnya, entah itu tulisan kutukan ataupun hasil pemikiran. Dan semoga naskah ini dapat bernilai ibadah disisi Allah Swt. Amiiin..... !!!!!!!!!!!!!

Wassalam

Makassar, 15 Maret 2010


PENULIS





DAFTAR ISI
Halaman
PENGANTAR PENULIS ......................................................
DAFTAR ISI .....................................................................
BAGIAN PERTAMA
HUKUM KONSTITUSI DAN MAHKAMAH
KONSTITUSI DI INDONESIA .............................................
v  Hukum Konstitusi Indonesia ........................................................................
v  Mahkamah Konstitusi Indonesia ..................................................................
BAGIAN KEDUA
MAHKAMAH KONSTITUSI DAN DEMOKRASI
SERTA PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA ..................
v  Demokrasi Di Indonesia ...............................................................................
v  Mahkamah Konstitusi Dan Demokrasi .........................................................
v  Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu ..............................................
BAGIAN KETIGA
MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI
NEGATIVE LEGISLATOR ...................................................
v  Negative Legislator Dan Positive Legislator  ................................................
v  Negative Legislator Di Indonesia ..................................................................
v  Mahkamah Konstitusi Sebagai Negative Legislator ......................................
v  Kontroversi MK Sebagai Negative Legislator Dan
Lembaga Negara Yang Menjadi Positive Legislator .....................................
BAGIAN KEEMPAT
MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI
CONSTITUTIONAL COMPLAINT .........................................
v  Constitutional Complaint Sebagai Ciri Negara Hukum
Modern dan Sebagai Simbol Negara Demokratis ...........................................
v  Jejak Kasus Perlunya Memasukkan Constitutional Complaint
Kedalam Kewenangan Tambahan Mahkamah Konstitusi ..............................
BAGIAN KELIMA
PELAKSANAAN WEWENANG
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA HASIL PEMILU ....................
v  Wewenang Mahkamah Konstitusi ..................................................................
v  Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam
Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu ...........................................................  
PENUTUP ......................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................  
BIODATA PENULIS ...........................................................  




BAGIAN PERTAMA
HUKUM KONSTITUSI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA



Abstrak
Hukum Konstitusi adalah salah satu produk hukum, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah merupakan lembaga Negara yang mengatur dan menjaga jalannya konstitusi dalam suatu Negara atau Bangsa. Peran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah dengan melakukan amandemen terhadap Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia 1945 jo Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 tentang peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi dan empat kewenangan serta satu kewajiban yang telah dimiliki Mahkamah Konstitusi. Selain itu setelah amandemen terhadap Pasal 24C UUDNRI 1945 jo Pasal 10 Undang-undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dilakukan, perlu ada penyaringan (filterisasi) terhadap perkara konstitusional yang masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Constitutional law is one legal product, while the Constitutional Court is the state agency that regulates and maintains the course of the constitution of a State or Nation. The role and authority of the Constitutional Court is to make amendments to Article 24C of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 jo Article 10 of Law No. 24 of 2003 on the role and functions of the Constitutional Court and the four powers and a duty that has been owned by the Constitutional Court. Also after the amendment of Article 24C UUDNRI 1945 jo Article 10 of Law No. 24 of 2003 concerning the Constitutional Court made, there needs to be filtered (filter) to the constitutional case that went to the Constitutional Court.
Kata Kunci: Mahkamah Konsitusi, Konstitusi, UUD 1945, Indonesia, dan Negara.
Keywords: Constitutional Court, the Constitution, the 1945 Constitution, Indonesia, and the State.

Pengantar
Hukum Konstitusi adalah sebuah produk hukum, yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pakar konstitusi dunia yang berkebangsaan Austria yakni Hans Kelsen. Hans Kelsen juga adalah orang yang pertama kali menyusun konstitusi dunia dan menjadi acuan bagi mereka yang ingin menyusun konstitusi di semua Negara yang ada di dunia.
Dengan adanya hukum konstitusi, maka dibentuklah yang namanya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga yang mengkaji secara khusus tentang konstitusi dan memberikan putusan akhir (final) dalam perkara konstitusional dalam sebuah Negara yang sedang mengalami konflik atau lebih tepatnya polemik baik antar warga Negara dan lebih-lebih antara lembaga Negara yang saling menyalahkan gunakan wewenang dalam bekerja.
Apabila kita ingin mengkaji tentang konstitusi dan Mahkamah Konstitusi yang ada di Indonesia, maka kita tidak akan pernah terlepas UUD 1945 Pasal 24A dan Pasal 24C hasil amandemen atau perubahan ketiga, yang kemudian dipertegas lagi pada perubahan atau amandemen keempat. Dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 memberikan klasifikasi tentang para calon hakim konstitusi, antaranya; 1) harus warga Negara Indonesia, 2) berpendidikan sarjana hukum, 3) berusia sekurang-kurangnya 40 Tahun pada saat pengangkatan, 4) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, 5) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan 6) mempunyai pengalaman kerja dibidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun[1].
Akan tetapi, ketika calon hakim konstitusi tidak memiliki apa yang menjadi kriteria yang telah ditentukan oleh UU No. 24 Tahun 2005 pasal 16 tersebut, maka dengan sendirinya dia akan gugur menjadi calon hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang begitu besar dalam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, supaya terjadi keseimbangan kehidupan, baik dalam kehidupan sosial-politik, lebih-lebih kehidupan hukum. Sebab tugas MK adalah sebagai penjaga dan penafsir konstitusi yang pekerjaannya  hanyalah mengkaji dan mengkaji tentang konstitusi dan bagaimana perkembangan konstitusi, baik Negara Indonesia maupun Negara-negara lain yang menjadi patokan bagi Indonesia dalam menyusun konstitusi.
Untuk menciptakan Negara hukum yang demokratis, sebuah Negara harus mampu memberikan peran yang signifikan kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan masukannya terhadap kebijakan yang diambil oleh penguasa,  sebab penguasa sekarang sama dengan manusia-manusia yang tidak memiliki hati nurani dann tidak memiliki rasa kasihan terhadap sesama. Penguasa kehakiman sekarang hanya memberikan hukum kepada mereka yang tidak memiliki materi atau masyarakat bawah. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi diharapkan mampu memberikan peran dan mampu memciptakan hukum yang lebih baik dan lebih bagus.

Sejarah Konstitusi Indonesia

Secara umum terdapat dua macam konstitusi yaitu : 1) konstitusi tertulis dan 2) konstitusi tak tertulis. Dalam hal yang kedua ini, hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.
Negara yang dikategorikan sebagai Negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua Negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori Negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Pada hampir semua konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan jenis-jenis kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu dibentuklah lembaga-lembaga Negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk lembaga Negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan jenis kekuasaan tertentu itu.
Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya mengenai jenis tugas atau kewenangan itu, salah satu yang paling  terkemuka adalah pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan Negara itu terbagi dalam tiga jenis kekuasaan yang harus dipisahkan secara ketat. Ketiga jenis kekuasaan itu adalah : 1) kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif); 2) kekuasaan melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (judikatif).
Pandangan lain mengenai jenis kekuasaan yang perlu dibagi atau dipisahkan di dalam konstitusi dikemukakan oleh van Vollenhoven dalam buku karangannya Staatsrecht over Zee. Ia membagi kekuasaan menjadi empat macam yaitu :1) pemerintahan (bestuur); 2) perundang-undangan; 3) kepolisian dan 4) pengadilan. Van Vollenhoven kemungkinan menilai kekuasaan eksekutif itu terlalu luas dan karenanya perlu dipecah menjadi dua jenis kekuasaan lagi yaitu kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan kepolisian. Menurutnya kepolisian memegang jenis kekuasaan untuk mengawasi hal berlakunya hukum dan kalau perlu memaksa untuk melaksanakan hukum.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia mendukung gagasan Van Vollenhoven ini, bahkan ia mengusulkan untuk menambah dua lagi jenis kekuasaan negara yaitu kekuasaan Kejaksaan dan Kekuasaan untuk memeriksa keuangan negara untuk menjadi jenis kekuasaan ke-lima dan ke-enam.
Berdasarkan teori hukum ketatanegaraan yang dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa jenis kekuasaan negara yang diatur dalam suatu konstitusi itu umumnya terbagi atas enam dan masing-masing kekuasaan itu diurus oleh suatu badan atau lemabaga tersendiri yaitu:
  1. kekuasaan membuat undang-undang (legislatif)
  2. kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif)
  3. kekuasaan kehakiman (judikatif)
  4. kekuasaan kepolisian
  5. kekuasaan kejaksaan
  6. kekuasaan memeriksa keuangan Negara

Amandemen UUD 1945

      Konstitusi suatu Negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan Negara, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan Negara juga diatur dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat membawa perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan Negara. Bisa jadi suatu Negara yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam konstitusinya.
      Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan Negara yang diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu,  konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan konstitusi itu sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan yang terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat sementara atau pun keinginan dari sekelompok orang belaka.
            Pada dasarnya ada dua macam sistem yang lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di dunia dalam hal perubahan konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara keseluruhan (penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua Negara di dunia. Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli tadi. Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.
Menurut C.F Strong ada empat macam prosedur perubahan kosntitusi:
  1. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetap yang dilaksanakan menurut pembatasan-pembatasan tertentu. Perubahan ini terjadi melalui tiga macam kemungkinan.
    1. Pertama, untuk  mengubah konstitusi, sidang pemegang kekuasaan legislatif harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya sejumlah anggota tertentu (kuorum) yang ditentukan secara pasti
    2. Kedua, untuk mengubah konstitusi maka lembaga perwakilan rakyat harus dibubarkan terlebih dahulu dan kemudian diselenggarakan pemilihan umum. Lembaga perwakilan rakyat harus diperbaharui inilah yang kemudian melaksanakan wewenangnya untuk mengubah konstitusi.
    3. Ketiga, adalah cara yang terjadi dan berlaku dalam sistem majelis dua kamar. Untuk mengubah konstitusi, kedua kamar lembaga perwakilan rakyat harus mengadakan sidang gabungan. Sidang gabungan inilah, dengan syarat-syarat seperti dalam cara pertama, yang berwenang mengubah kosntitusi.
  2. Perubahan konstitusi yang dilakukan rakyat melalui suatu referendum. Apabila ada kehendak untuk mengubah kosntitusi maka lembaga negara yang diberi wewenang untuk itu mengajukan usul perubahan kepada rakyat melalui suatu referendum atau plebisit. Usul perubahan konstitusi  yang dimaksud disiapkan lebih dulu oleh badan yang diberi wewenang untuk itu. Dalam referendum atau plebisit ini rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul perubahan diatur dalam konstitusi.
  3. Perubahan konstitusi yang berlaku pada Negara Serikat yang dilakukan oleh sejumlah Negara Bagian. Perubahan konstitusi pada Negara Serikat harus dilakukan dengan persetujuan sebagian terbesar Negara-negara tersebut. Hal ini dilakukan karena konstitusi  dalam Negara Serikat dianggap sebagai perjanjian antara Negara-negara bagian. Usul perubahan konstitusi mungkin diajukan oleh Negara Serikat, dalam hal ini adalah lembaga perwakilannya, akan tetapi kata akhir berada pada Negara-negara bagian. Disamping itu, usul perubahan dapat pula berasal dari Negara-negara bagian.
  4. Perubahan  konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga Negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan. Cara ini dapat dijalankan baik pada Negara kesatuan ataupun Negara Serikat. Apabila  ada kehendak untuk mengubah konstitusi, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dibentuklah suatu lembaga Negara khusus yang tugas serta wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari pemegang kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula berasal dari pemegang kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula berasal dari lembaga Negara khusus tersebut. Apabila lembaga Negara khusus dimaksud telah melaksanakan tugas serta wewenang sampai selesai,dengan sendirinya lembaga itu bubar.
Hans Kelsen mengatakan bahwa kosntitusi asli dari suatu Negara adalah karya pendiri Negara tersebut. Dan ada beberapa cara perubahan konstitusi menurut Kelsen yaitu :
1.      Perubahan yang dilakukan diluar kompetensi organ legislatif biasa yang dilembagakan oleh konstitusi tersebut, dan dilimpahkan kepada sebuah konstituante, yaitu suatu organ khusus yang hanya kompeten untuk mengadakan perubahan-perubahan konstitusi
2.      Dalam sebuah negara federal, suatu perubahan konstitusi bisa jadi harus disetujui  oleh dewan perwakilan rakyat dari sejumlah negara anggota tertentu.
Miriam Budiarjo mengemukakan adanya empat macam prosedur perubahan konstitusi, yaitu :
v  Sidang badan legislatif ditambah beberapa syarat misalnya ketentuan kuorum dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerima perubahan.
v  Referendum atau plebisit, contoh : Swiss dan Australia
v  Negara-negara bagian dalam suatu Negara Federal harus menyetujui, Contoh : Amerika Serikat
v  musyawarah khusus (special convention), contoh : beberapa Negara Amerika Latin
Dengan demikian apa yang dikemukakan Miriam Budiarjo pada dasarnya sama dengan yang  dikemukakan oleh Hans Kelsen.
            Di Indonesia, perubahan konstitusi telah terjadi beberapa kali dalam sejarah  ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sejak Proklamasi hingga sekarang telah berlaku tiga macam Undang-undang Dasar dalam delapan periode yaitu :
  1. Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
  2. Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
  3. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
  4. Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober
  5. Periode 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000
  6. Periode 18 Agustus 2000 – 9 November 2001
  7. Periode 9 November 2001 – 10 Agustus 2002
  8. Periode 10 Agustus  2002 – sampai sekarang
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditetapkan dan disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 terdiri dari :
  1. Pembukaan (4 alinea) yang pada alinea ke-4 tercantum dasar Negara yaitu Pancasila;
  2. Batang Tubuh (isi) yang meliputi :
a.       16 Bab;
b.      37 Pasal
c.       4 aturan peralihan;
d.      2 Aturan Tambahan.
3.      Penjelasan
UUD 1945 digantikan oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) pada 27 Desember 1949, pada 17 Agustus 1950 Konstitusi RIS digantikan oleh Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali di Indonesia hingga saat ini.
Hingga tanggal 10 Agustus 2002, UUD 1945 telah empat kali diamandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Perubahan UUD 1945 dilakukan pada :
a.          Perubahan I diadakan pada tanggal 19 Oktober 1999;
Pada amandemen ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 9 pasal yaitu: Pasal 5 ayat (1), 7, 9 ayat (1) dan (2), 13 ayat (2) dan (3),14 ayat (1) dan (2), 15, 17 ayat (2) dan (3), 20 ayat (1), (2), (3) dan (4), 21 ayat (1).
Beberapa perubahan yang penting adalah :
1.      Pasal 5 ayat (1) berbunyi: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR;
Diubah menjadi: Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR.
2.      Pasal 7 berbunyi: Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali;
Diubah menjadi: Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
3.      Pasal 14 berbunyi: Presiden memberi grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi
Diubah menjadi :
Ø  Presiden memberi grasi dan rehabili dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung;
Ø  Presiden memberi Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

4.      Pasal 20 ayat 1: Tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan DPR;
Diubah menjadi: DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
b.      Perubahan II diadakan pada tanggal 18 Agustus 2000;
Pada amandemen II ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 24 pasal yaitu: Pasal 18 ayat (1) s/d (7), 18A ayar (1) dan (2), 18B ayat (1) dan (2), 19 ayat (1) s/d (3), 20 ayat (5), 20A ayat (1) s/d (4), 22A, SSB, 25A, 26 ayat (2) dan (3), 27 ayat (3), 28A, 28B ayat (1) dan (2), 28D ayat (1) s/d (4), 28E ayat (1) s/d (3), 28F, 28G ayat (1) dan (2), 28H ayat (1) s/d (4), 28I ayat (1) s/d (5), 28J ayat (1) dan (2), 30 ayat (1) s/d (5), 36A, 36B, 36C.
Beberapa perubahan yang penting adalah :
                                i.            Pasal 20  berbunyi:  Tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan DPR;
Diubah menjadi: Pasal 20A; DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
                              ii.            Pasal 26 ayat (2) berbunyi: Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan Negara ditetapkan dengan Undang-undang
Diubah menjadi: Penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
                            iii.            Pasal 28  memuat 3 hak asasi manusia diperluas menjadi 13 hak asasi manusia.  
c.       Perubahan III diadakan pada tanggal 9 November 2001;
Pada amandemen III ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 19 pasal yaitu: Pasal 1 ayat (2) dan (3), 3 ayat (1) s/d (3), 6 ayat (1) s/d (3), 6A ayat (1), (2), (3) dan (5), 7A, 7B ayat (1) s/d (7), 7C, 8 ayat (1) s/d (3), 11 ayat (2) dan (3), 17 ayat (4), 22C ayat (1) s/d (4), 22D ayat (1) s/d (4), 22E ayat (1) s/d (3), 23F ayat (1) dan (2), 23G ayat (1) dan (2), 24 ayat (1) dan (2), 24A ayat (1) s/d (5), 24B ayat (1) s/d (4), 24C ayat  (1) s/d (6).
Beberapa perubahan yang penting adalah :
1.      Pasal 1 ayat (2) berbunyi:  Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR
Diubah menjadi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
2.      Ditambah Pasal 6A:  Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
3.      Pasal 8 ayat (1) berbunyi :  Presiden ialah orang Indonesai asli;
Diubah menjadi: Calon Presiden dan wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya
4.      Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman ditambah:
v  Pasal 24B: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
v  Pasal 24C:  mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD (dan menurut amandemen IV) UUD 1945, Komisi dan Konstitusi ditetapkan dengan ketentuan MPR bertugas mengkaji ulang keempat amandemen UUD 1945 pada tahun 2003.  
d.      Perubahan IV diadakan pada tanggal 10 Agustus 2002
Pada amandemen IV ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 17 pasal yaitu: pasal-pasal: 2 ayat (1), 6A ayat (4), 8 ayat (3), 11 ayat (1), 16 23B, 23D, 24 ayat (3), 31 ayat (1) s/d (5), 32 ayat (1) dan (2), 33 ayat (4) dan (5), 34 ayat (1) s/d (4), 37 ayat (1) s/d (5), Aturan Peralihan Pasal I s/d III, aturan Tambahan pasal I dan II.
Beberapa perubahan yang penting adalah :
a.       Pasal 2 ayat (1) berbunyi :  MPR terdiri atas anggota-anggota dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang;
Diubah menjadi :  MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
b.      Bab IV pasal 16 tetang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus.
Diubah menjadi: Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-undang
c.       Pasal 29 ayat (1) berbunyi: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal ini tetap tidak berubah (walaupun pernah diusulkan penambahan 7 kata: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya)
d.      Aturan Peralihan Pasal III: Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa amandemen I,II,III dan IV terhadap UUD 1945, maka sejak 10 Agustus 2002 Ketatanegaraan Republik Indonesia telah mengalami perubahan sebagai berikut :
  1. Pasal 1 ayat (2):
MPR bukan lagi pemegang kedaulatan (kekuasaan tertinggi) di Indonesia, melainkan rakyat Indonesia yang memegang kedaulatan, MPR bukan Lembaga tertinggi Negara lagi.
MPR, DPR, dan Presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat melalui Pemilihan Umum. Presiden dan Wakil Presiden yang melangar hukum tidak akan terpilih dalam pemilihan umum yang akan datang.
  1. Pasal 2 ayat (1):
MPR terdiri dari :
1.      Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives: di Amerika Serikat)
2.      Dewan Perwakilan Daerah (Senate : di Amerika Serikat)
MPR merupakan lembaga yang memiliki dua badan (Bicameral) seperti di Amerika Serikat;
Anggota DPR dipilih dalam pemilihan umum oleh seluruh rakyat, sedangkan DPD dipilih oleh rakyat di daerah (Provinsi) masing-masing. Dengan ditetapkannya DPR dan DPD sebagai anggota MPR, maka utusan golongan termasuk TNI/POLRI dihapuskan dari MPR.
bukan lagi pemegang kedaulatan (kekuasaan tertinggi) di Indonesia, melainkan rakyat Indonesia yang memegang kedaulatan, MPR bukan Lembaga
  1. Pasal 5 ayat (1):
Presiden bukan lagi pembentuk undang-undang, tetapi berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (Lembaga Eksekutif, Pemerintahan/Pelaksana Undang-undang)
  1. Pasal 6 ayat (1) dan 6A:
Presiden Indonesia tidak harus orang Indonesia asli, tetapi calon Presiden dan Wakil Presiden harus warga Negara Indonesia sejak kelahirannya. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat (bukan secara tidak langsung oleh MPR, sedangkan DPR dipilih rakyat)
  1. Pasal 7:
Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat memegang jabatan selama paling lama 2 x 5 tahun : 10 tahun (dahulu Presiden memegang jabatan selama lebih dari 30 tahun, bahkan seumur hidup).
  1. Pasal 14:
Presiden memberi :
a.       Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
Menurut Carl Smith[2] dalam bukunya yang berjudul “verfassung lehre”, telah membagi konstitusi dalam empat pengertian, yaitu: Pertama, Konstitusi dalam arti absolut. Konstitusi dalam arti absolut terbagi lagi dalam empat sub pengertian, yakni:
  1. Konstitusi dianggap sebagai organisasi yang nyata, yang mencakup semua bangunan hukum dan semua organisasi-organisasi yang ada dalam Negara.
  2. Konstitusi sebagai bentuk Negara dan yang dimaksud dengan bentuk Negara itu bisa demorasi atau monarki. Sendi demokrasi adalah identitas dan sendi monarki adalah representasi. Apakah dalam demorasi itu ada sendi identitas dan pada monarki terdapat sendi representasi?. Demokrasi, baik langsung, maupun tidak langsung, bersendi pada rakyat yang memerintah dirinya sendiri, sehingga antara yang memerintah dan yang diperintah identik yaitu rakyat. Sedangkan, dalam monarki, asas yang terdapat adalah representasi karena baik raja maupun kepala Negara dalam Negara yang demokratis hanya merupakan seorang wakil atau mandataris daripada rakyat, dan pada dasarnya kekuasaan itu ada pada rakyat.
  3. Konstitusi sebagai factor integrasi. Factor integrasi ini sifatnya bisa abstrak dan fungsionil. Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan Negara dengan kebangsaannya, bahasa persatuannya, bendera sebagai lambang persatuan dan lain-lain. Sedangkan fungsionil, karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilihan umum, referendum, pembentukan kabinet, suatu diskusi atau debat politik pada Negara-negara liberal, mosi yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, baik yang sifatnya menuduh atau tidak percaya dan sebagainya.
  4. Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hokum yang tertinggi didalam Negara. Jadi, konstitusi itu merupakan norma dasar yang merupakan sumber bagi norma-norma lainnya dalam suatu Negara.
Kedua, Konstitusi dalam arti relatif. Konstitusi dalam arti relatif adalah konstitusi yang dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu didalam masyarakat. Golongan tersebut terutama adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki adanya jaminan dari pihak penguasa agar supaya hak-haknya tidak dilanggar. Jaminan itu diletakkan dalam Undang-Undang Dasar yang ditulis sehingga orang tidak mudah melupakannya dan tidak bisa hilang dan senantiasa bisa menjadi bukti jika orang memerlukannya. Jadi, dalam arti yang kedua ini konstitusi dalam arti relatif dapat dibagi kedalam dua sub pengertian, yakni:
  1. Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hak-haknya dijamin tidak dilanggar oleh penguasa.
  2. Konstitusi sebagai konstitusi dalam arti formil atau konstitusi tertulis.
Dengan adanya konstitusi dalam arti formil, maka timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan konstitusi dalam arti materil?. Konstitusi dalam arti materil adalah konstitusi jika orang melihatnya dari segi isinya. Isi dari konstitusi itu menyangkut hal-hal yang bersifat mendasar atau pokok bagi rakyat dan Negara serta karena pentingnya hal-hal tersebut, maka untuk membuat suatu konstitusi itu diperlukan suatu prosedur khusus. Prosedur khusus tersebut bisa dilakukan secara sepihak, dua pihak atau banyak pihak.
Ketiga, Konstitusi dalam arti positif. Oleh Carl Smith dihubungkan dengan ajaran mengenai “Dezisionismus” yaitu ajaran mengenai keputusan. Menurut Carl Smith, selanjutnya konstitusi dalam arti positif itu mengandung pengertian sebagai keputusan politik tertinggi berhubung dengan pembuatan Undang-Undang Dasar Weimar pada tahun 1919 yang menentukan nasib seluruh rakyat Jerman, karena Undang-Undang Dasar itu telah merubah struktur pemerintahan yang lama dari stelsel monarchi dimana raja masih kuat menjadi suatu pemerintahan parlementer. Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah suatu konstitusi dalam arti positif, karena ia merupakan satu-satunya keputusan politik yang tertinggi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia yang merubah nasibnya dari suatu bangsa yang dijajah menjadi bangsa yang merdeka. Undang-Undang Dasar 1945 dilahirkan sesudah proklamasi kemerdekaan, sebagai tindak lanjut dari proklamasi kemerdekaan tersebut.
Mahkamah Konstitusi adalah merupakan salah satu lembaga tinggi Negara yang bergerak dibidang kehakiman. Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji Undang-Undang atas Undang Dasar. Karena itu, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga kehakiman yang menjaga konstitusi.
Keempat, Konstitusi dalam arti ideal. Disebut konstitusi dalam arti ideal, karena ia merupakan idaman dari kaum borjuis liberal seperti tersebut diatas sebagai jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasinya dilindungi. Cita-cita lahir sesudah revolusi Perancis yang tuntutan dari golongan tersebut agar pihak penguasa tidak berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat.
Konstitusi adalah aturan dasar, yang mengandung makna filosofis, yuridis, histories dan sosiologis serta sekaligus menjadi rujukan terpenting bagi aturan-aturan lain yang ada di bawahnya. Sehingga konstitusi adalah sekaligus sebagai pijakan yang paling mendasar dalam menjalankan pemerintahan suatu Negara.
Konstitusi adalah merupakan konsensus bersama yang menjadi landasan yuridis paling fundamental dalam menjamin tegaknya sistem pemerintahan Negara, Hak Asasi Manusia dan sebagainya. Jimly Asshiddiqie[3] mengatakan, konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami berdasar tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:
1.      Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama (the general goals of society or general accetance of the same philosophy of government).
2.      Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara (the basisof government).
3.      Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institution and procedures).
Karena konstitusi adalah kesepakatan bersama antar masyarakat, maka konstitusi memiliki nilai-nilai yang mendasar yang mencakup falsafat hidup masyarakat yang bersangkutan. Ia merupakan cita-cita tertinggi dalam suatu Negara, yang terkonstruksi dan tercantum dalamnya untuk menjamin kerangka kehidupan bersama dibawah nilai-nilai yang telah menjadi kesepakatan bersama. Nilai-nilai itu kemudian menjadi dasar untuk menjalankan pemerintahan yang baik, menegakkan demokrasi untuk kepentingan bersama berdasarkan konsensus. Karena itu, Jimly Asshiddiqie[4] mengatakan, bahwa konsensus ini sangat prinsipil, karena dalam setiap Negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan Negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama.

Sejarah Lahirnya Mahkamah Konstitusi Di Indonesia

Gagasan mengenai pelembagaan/institusionalisasi sebuah lembaga peradilan tata negara (constitutional court), tidak lepas dari upaya serius untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, yang acapkali terancam oleh kesewenang-wenangan pemerintah berkuasa. Upaya inilah yang selanjutnya melahirkan konsepsi “constitutional review” atau pengujian konstitusional. Konsepsi ini lahir sebagai buah perkembangan pemikiran dari gagasan tentang negara hukum –dalam pengertian rule of law–, prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), dan upaya perlindungan serta pemajuan hak asasi manusia. Kolaborasi ketiga Ide dasar kemudian dikembangkan dalam sebuah konsep constitutional review, sebagai jawaban atas kebutuhan adanya suatu pemerintahan modern yang demokratis.
Dalam upaya penegakkan konstitusi dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara menjadi karakteristik dari cita-cita tentang negara hukum, meskipun karakteristik ini kemudian diaplikasikan dalam bentuk yang berbeda, namun esensi keduanya tetaplah sama. Konsep rechtsstaat mengehendaki perlindungan hak-hak konstitusional warga negara melalui mekanisme paradilan adiministrasi, yang artinya warga negara dapat mengajukan gugatan administrasi terhadap tindakan pemegang kekuasaan atau aturan yang dianggap melanggar hak-hak konstitusionalnya, pada sebuah lembaga peradilan administrasi, sedangkan konsep the rule of law menitikberatkan pada metode judicial, atau melalui mekanisme judicial review. Karena tulisan ini akan mencoba untuk melakukan penelusuran terhadap pelembagaan pengadilan tata negara (constitutional court), maka tulisan ini selanjutnya akan lebih banyak mengelupas term judicial review, dan mengenai upaya administrasi akan dikupas pada bagian tulisan yang lain.
Doktrin judicial review menyeruak kembali dan dipertegas oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat (The Supreme Court United States of America) ketika memutus perkara Marbury versus Madison tahun 1803. Dalam putusannya John Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung (chief justice) menyatakan bahwa Judiciary Act 1789 yang dijadikan dasar gugatan William Marbury terhadap James Madison adalah bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat, sehingga dalam memeriksa perkara tersebut Mahkamah Agung menggunakan pintu kewenangan yang ditafsirkan dari konstitusi, bukan melalui Judiciary Act 1789. Peristiwa monumental yang tidak pernah terjadi dalam dunia peradilan sebelumnya inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya gelar sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution), yang melekat pada Mahkamah Agung. Konstitusi menjadi “the supreme law of the land,” oleh karenanya segala peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya harus tunduk dan konsonan terhadapnya, apabila terjadi pertentangan, maka aturan yang lebih rendah dinyatakan tidaklah berlaku mengikat[5]. jadi, di sini Mahkamah Agung berfungsi sebagai negative legislature, dan hakim-hakimnya berkedudukan sebagai judge made law, karena mereka berwenang menemukan dan menginterpretasikan suatu aturan hukum dengan sandaran konstitusi.
Jika di Amerika Serikat yang menganut sistem hukum Anglo Saxon fungsi sebagai the guardian and the interpreter of constitution melekat pada Mahkamah Agung, maka lain lagi yang berlaku di Austria yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Austria yang menganut model Kelsenian (the Kelsenian model) 1920, mempunyai sebuah institusi peradilan tersendiri di luar Mahkamah Agung, yang melaksanakan fungsi constitutional review. Institusi ini disebut sebagai Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court/ Verfassungsgerichtshoft). Usulan pembentukan Mahmkamah Konstitusi disampaikan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharau Konstitusi Austria (Chancelery), pada tahun 1919-1920. Mahkamah Konstitusi Austria menjadi Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model pemisahan ini terkait dengan hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the parliament). Terhadap konsepsi ini Hans Kelsen mengatakan: “Penerapan peraturan-peraturan konstitusi mengenai pembuatan undang-undang hanya dapat dijamin secara efektif jika suatu organ selain organ legislatif diberi mandat untuk menguji apakah suatu undang-undang (hukum) sesuai atau tidak dengan konstitusi, dan untuk membatalkannya jika –menurut pendapat organ ini– hukum tersebut “tidak konstitusional.” Mungkin ada organ khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya, pengadilan khusus yang disebut “pengadilan konstitusi;” atau pengawasan “kekonstitusionalitasan” suatu undang-undang yang disebut judicial review, dapat dilakukan oleh pengadilan-pengadilan biasa, dan terutama oleh pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung)[6].”
Model pembagian dua lembaga (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) yang dikemukakan Hans Kelsen ini, kemudian banyak ditiru oleh Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan maksud untuk memaksimalkan fungsi dari mekanisme constitutional review dan Judicial Review. Walaupun begitu, sampai saat ini, baru sekitar 78 Negara yang memiliki organ Mahkamah Konstitusi, karena kemunculan organ ini merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Yang menarik dicermati, kemunculan organ Mahkamah Konstitusi yang terlepas dari lembaga Mahkamah Agung, umumnya terjadi pada Negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi Negara demokrasi konstitusional.
Sebagai salah satu produk adanya reformasi ketatanegaraan yang kita bangun setelah perubahan pertama (1999), kedua (2000), ket­iga (2001), dan keempat (2002) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi dengan sederajat dan kekuasaannya berada diluar dari pada kewenangan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk maksud mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (The Supreme Law of The Land) benar-benar dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Negara hukum modern, dimana hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan lebih-lebih hukum dalam suatu Negara.
Apabila dikaitkan dengan latar belakang teknis yuridisnya, pembentukan Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut Mahkamah Konstitusi pada pokok awalnya memang sangat diperlukan, sebab Negara Indonesia telah melakukan perubahan mendasar terhadap UUD 1945. Dalam perubahan pertama sampai pada perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia telah banyak mengadopsi prinsip-prinsip baru tentang peraturan ketatanegaraan yang berlaku, yakni dengan adanya pemisahan kekuasaan dan “Checks and Balances”, sebagai pengganti supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Fungsi-fungsi Yudicial Review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dikaitkan dengan fungsi dari Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi yang mutlak. Empat kewenangan ditambah satu kewajiban Mahkamah Konstitusi, antaranya adalah; 1) menguji Undang-undang terhadap UUD 1945, 2) memutus sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, 3) memutus pembubaran Partai Politik, 4) memutus perselisihan mengenai hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Dan kewajiban Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang putusannya bersifat final dan mengikat, yakni memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai yang dimaksudkan oleh UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga baru yang dibentuk pasca Orde Baru, yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman. Karena itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam kajian ini adalah untuk melihat fungsi dan perannya dalam menyelesaikan sengketa antara lembaga Negara termasuk sengketa Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, yang termasuk dalam lembaga tinggi Negara yang merupakan bagian dari kekuasaan kahakiman juga.
Sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi, akan kita bahas dalam tiga bentuk latar belakang, yang kesemuaanya sangat berkaitan satu sama lainnya. Antaranya:
  1. Latar Sosio Historis
Sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pasal 24 ayat (2), pasal 24C dan pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hokum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya amandemen atau perubahan ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pmbentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara diatur dalam pasal III aturan peralihan UUD 1945 hasil amandemen keempat.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada itu juga (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
  1. Latar Sosio Filosofis
  2. Latar Sosio Yuridis

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945[7] menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY)[8]. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.
Kewenangan
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
1.      Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
2.      Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:
·         Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;[9]
·         Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;[10]
·         Memutus pembubaran partai politik; dan[11]
·         Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;[12]
·         Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[13]
Pemohon Pengujian UU
Dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi, sebenarnya siapa sajakah yang boleh memohon (legal standing)? Ternyata tidak semua orang boleh mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon.[14]Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata[15] maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar.
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi per­syaratan menurut undang-undang untuk meng­ajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mah­kamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Per­syaratan legal standing atau kedudukan hukum di­mak­sud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan da­lam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, yang bunyinya sebagai berikut:
1.      Perorangan warganegara Indonesia;
2.      Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
3.      Badan hukum publik atau privat; atau
4.      Lembaga Negara.
Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hak dan kewenangan kosntitusional? Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas. Dua kriteria dimaksud adalah:[16]
·         Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan Warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau (iv) lembaga negara;
·         Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa.[17] Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).[18]
Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.
Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.
Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat dikenali sebagai berikut:[19]
·         Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
·         Peraturan Mahakamah Konstitusi (PMK);
·         Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI;
·         Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia;
·         Pendapat Sarjana (doktrin);
·         Hukum Acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.
Adapun secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:[20]
1. Pengajuan permohonan[21]
·         Ditulis dalam bahas Indonesia;
·         Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya;
·         Diajukan dalam 12 rangkap;
·         Jenis perkara;
·         Sistematika:
- Identitas dan legal standing Posita
- Posita Petitum
- Petitum
·         Disertai bukti pendukung
2. Pendaftaran[22]
·         Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera:
- Belum lengkap, diberitahukan
- 7 (tujuh) hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi
- Lengkap
·         Registrasi sesuai dengan perkara.
·         7 (tujuh) hari kerja sejak registrasi untuk perkara.
- Pengujian undang-undang:
* Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
* Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
- Sengketa kewenangan lembaga negara:
* Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
- Pembubaran Partai Politik:
* Salinan permohonan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan.
- Pendapat DPR:
* Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.
3. Penjadwalan Sidang
·         Dalam 14 hari kerja setela registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).
·         Para pihak diberitahu/dipanggil.
·         Diumumkan kepada masyarakat.
4. Pemeriksaan Pendahuluan
·         Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Kejelasan materi Permohonan.
·         Memberi nasehat:
- Kelengkapan syararat-syarat permohonan.
- Perbaikan materi permohonan.
·         14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.
5. Pemeriksaan Persidangan
·            Terbuka untuk umum.
·            Memeriksa: permohonan dan alat bukti.
·            Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan. Lembaga negara dapat diminta keterangan Lembaga negara dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta.
·            Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
·            Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi luasa dan orang lain.
6. Putusan
·            Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:
- Untuk perkara pembubaran partai politik, 60 hari kerja sejak registrasi.
- Untuk perkara perselisihan hasil pemilu:
* presiden dan/atau wakil Presiden, 14 hari kerja sejak registrasi.
* DPR, DPD, dan DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi.
* Untuk perkara pendapat DPR, 90 hari kerja sejak registrasi.
·            Sesuai alat bukti, minimal 2 (dua) alat bukti memuat:[23]
- Fakta.
- Dasar hukum keputusan
·            Cara mengambil keputusan:
- Musyawarah mufakat.
- Setiap hakim menyampaikan pendapat/pertimbangan tertulis.
- Diambil suara terbanyak bila tak mufakat.
- Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menentukan.
·            Ditandatangani hakim dan panitera.
·            Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
·            Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7 (tujuh) hari sejak diucapkan.
·            Untuk Putusan perkara:
- Pengujian undang-undang, disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA.
- Sengketa kewenangan lembaga negara, disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden.
- Pembubaran partai politik, disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.
- Perselisihan hasil pemilu disampaikan kepada Presiden.
- Pendapat DPR, disampaikan kepada DPR, Presiden dan Wakil Presiden.

Daftar Pustaka

1.      Buku-buku,
Asshiddiqie, Jimly, 2005, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”, Konstitusi Press, Jakarta.
-----------------------, 2007, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,
-----------------------, 2006, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Konstitusi Press, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, “Teori Hans Kelsen Tentang Hukum”, Konstitusi Press, Jakarta.
Fadjar, Abdul Mukthie, 2006, “Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”, Konstitusi Press bekerja sama dengan Citra Media, Jakarta.
Fathurohman dkk., 2004, ”Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia”, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Ferejohn, John and Pasquale Pasquino, “Rule of Democracy and Rule of Law”, dalam Jose Maria Maravall amd Adam Przeworski eds, 2003, “Democracy and The Rule of Law”, Cambridge University
Hadi SH., MH., Nurudin, 2007, “Wewenang Mahkamah Konstitusi: Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu”, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
Hadjar, A. Fickar, dkk, “Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi”, Jakarta, KRHN dan Kemitraan.
Jurdi, Fajlurrahman, 2007, “Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim”, Kreasi Wacana bekerjasama dengan PuKAP-Indonesia, Yogyakarta.
Kelsen, Hans, 2006, “General Theory of Law and State”, terjemahan, Nusamedia dan Nuansa, Bandung.
Librayanto, Romi, “Trias Politica: Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, PuKAP-Indonesia, Makassar.
Plato, 1986, “The Laws” Pinguin Classics, Edisi tahun 1986, diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trover J. Saunders.
Puspa, Yan Pramadia, 1977, “Kamus Hukum; Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris”, Aneka Ilmu, Semarang.
Simorangkir, SH., J.C.T., Drs. Rudy T. Erwin, SH., dan J.T. Prasetyo, SH., 1995, “Kamus Hukum”, Bumi Aksara, Jakarta.
Soimin dan Sulardi, 2008,  “Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif”, Malang, UMM Press. 
Strong, C.F, 1966, “Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Exiting Form”, The English Book Society and Sidgwick and Jackson Limited London, London. Yang diterjemahkan oleh SPA Teamwork dalam bahasa Indonesia, 2008, “Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia”, Penerbit Nusa Media, Bandung.
Sutiyoso, Bambang, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Bandung, Citra Aditya Bakti.
2.      Koran/Makalah
Fajlurrahman Jurdi, “Mahkamah Konstitusi Menghukum Tanpa Batas”, Opini Harian Pagi Fajar, Makassar, Kamis 19 Maret 2009.
Harjono, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan Implementasinya Dalam Praktek”, makalah disampaikan dan acara stadium general yang diselenggarakan oleh Departemen Hukum Acara FH UII di ruang sidang FH UII Yogyakarta, 5 Maret 2005.
3.      Internet.
http://www.legalitas.Org/?q=content/gagasan-pembentukan-mk-indonesia, Jimly Asshiddiqie, 2005, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”, Konstitusi Press, Jakarta, Hlm: 8-9. Yang diakses pada tanggal 25 Juli 2009 jam 18:30 Wita.
www.pemantauperadilan.com , Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., “Mahkamah Konstitusi dan Cita Negara Hukum Indonesia: Refleksi Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Opini dalam Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH-UI), Jakarta, Hlm: 6-19. Yang diakses pada tanggal 25 Juli 2009 jam 18:30 Wita.
4.      Undang-Undang.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 (amandemen ketiga).
Pasal 68 s.d. 73 UU Mahakamah Konstitusi.
Pasal 50 s.d. 60 UU MK dan telah dilengkapi dengan PMK No. 06/PMK/2005.
Pasal 74 s.d. 79 UU Mahkamah Konstitusi dan dilengkapi dengan PMK No. 04/PMK/2004 dan No. 05/PMK/2004.
Pasal 61 s.d. 67 UU Mahkamah Konstitusi.
Pasal 80 s.d. 85 UU Mahkamah Konstitusi.





BAGIAN KEDUA
MAHKAMAH KONSTITUSI DAN DEMOKRASI SERTA PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA



Abstrak
Salah satu cara untuk memperkuat peran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah dengan melakukan amandemen terhadap Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia 1945 jo Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk memasukan negative legislator sebagai salah satu peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi dan masuk dalam kewenangan tambahan Mahkamah selain empat kewenangan dan satu kewajiban yang telah dimiliki Mahkamah Konstitusi. Selain itu setelah amandemen terhadap Pasal 24C UUDNRI 1945 jo Pasal 10 Undang-undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dilakukan, perlu ada penyaringan (filterisasi) terhadap perkara konstitusional yang masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Kata Kunci :Mahkamah Konsitusi, UUD 1945, Indonesia, Negative Legislator dan Konstitusi.


Pengantar
Hukum Konstitusi adalah sebuah produk hukum, yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pakar konstitusi dunia yang berkebangsaan Austria yakni Hans Kelsen. Hans Kelsen juga adalah orang yang pertama kali menyusun konstitusi dunia dan menjadi acuan bagi mereka yang ingin menyusun konstitusi di semua Negara yang ada di dunia.
Dengan adanya hukum konstitusi, maka dibentuklah yang namanya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga yang mengkaji secara khusus tentang konstitusi dan memberikan putusan akhir (final) dalam perkara konstitusional dalam sebuah Negara yang sedang mengalami konflik atau lebih tepatnya polemik baik antar warga Negara dan lebih-lebih antara lembaga Negara yang saling menyalahkan gunakan wewenang dalam bekerja.
A.    DEMOKRASI DI INDONESIA
Ada beberapa tesis tentang demokrasi beserta isu problematisnya dan perkembangannya di Indonesia dimulai pada saat runtuhnya rezim Orde Baru sampai 2008 (1998-2008), yang dikemukakan oleh Daniel Sparringa[24], yakni;
Pertama, Demokrasi adalah sebuah konsepsi politik dan sekaligus praktik sosial yang berkembang melalui sebuah proses sejarah yang panjang yang merepresentasikan sebuah dialektika di antara teks dan konteks.  Oleh karena itu, sebagai sebuah institusi, demokrasi adalah representasi dari sebuah siklus di antara pengalaman tekstual, pengalaman struktural, dan pengalaman kultural.
Isu-isu Problematis:
         Kegagalan dalam memahami pentingnya konteks dari mana teks itu dilahirkan menghasilkan penafsiran dan praktik yang kadang menyesatkan;   
         Demokrasi memerlukan kontekstualisasi yang memungkinkan berbagai prinsip yang bersifat universal itu dapat diperkaya, diperkuat, dan dibumikan oleh berbagai “pengaturan” dan “keteraturan” yang bersifat partikular dan lokal.  Tidak semua yang bersifat partikular dan lokal selalu bersesuaian dengan yang ajaran universal demokrasi.
         Untuk memungkinkan demokrasi “bekerja” pada tingkat individual, diperlukan sebuah transformasi di tiga tingkat yang berbeda secara penuh: pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.  Dalam periode transisi, kesenjangan di antara ketiganya kerap sangat lebar.
Kedua, Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang mengintegrasikan cara (means), tujuan (goals), dan nilai-nilai (values) sebagai tiga entitas yang tidak terpisahkan—“MGV’s”
         Sebagai cara, mekanisme, prosedur, atau protokol, demokrasi berkenaan dengan berbagai pilihan rasional tentang bagaimana individu atau kelompok mengorganisasikan cara (-cara) yang relevan untuk pencapaian sebuah atau lebih tujuan: dialog, musyawarah, demonstrasi, pawai, rapat akbar, menulis petisi, menulis ‘surat pembaca’, mengirim protes adalah beberapa contohnya.
         Sebagai tujuan, demokrasi berkaitan dengan pencapaian keadilan dan kemakmuran (justice and prosperity);
         Sebagai nilai-nilai dan etika, demokrasi berhubungan dengan pengikatan diri terhadap sejumlah nilai utama, di antaranya yang terpenting adalah non-violence, freedom and equality, pluralism, human rights, multiculturalism;
Isu Problematis:
Di Indonesia, terdapat kecenderungan yang kuat untuk menekankan demokrasi pertama-tama dan bahkan melulu sebagai cara daripada juga sebagai tujuan dan nilai-nilai. Kerapnya demonstrasi dan demonstrasi yang juga melibatkan kekerasan menghasilkan kepercayaan yang meremehkan manfaat demokrasi.
Ketiga, Transisi demokrasi akan selalu ditandai dengan berlangsungnya empat agenda utama berikut ini: 
(1). penegasan tentang pemisahan dan pembagian kekuasan di antara lembaga Judisial, Eksekutif, dan Legislatif (YEL). Walaupun terdapat beberapa varian tentang bagaimana tiga lembaga negara ini diatur, pada dasarnya pemisahan kekuasaan itu bermaksud untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan di satu lembaga, atau orang bahkan.  Dengan argumentasi semacam itu, dipercaya akan terjadi proses saling mengawasi sehingga kekuasaan akan memang dan sungguh digunakan untuk kemaslahatan kehidupan bersama.
Isu-isu Problematis:
         Walaupun ajaran Trias Politica secara relatif memberikan definisi yang cukup jelas, dalam praktiknya di Indonesia pembagian mandat dan otoritas di antara ketiga lembaga itu lebih banyak ditentukan oleh negosiasi politik dan sejumlah asumsi kultural yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ajaran asalinya.
         Tidak tersedianya pemahaman yang memadai tentang faham-faham dasar yang yang terkait dengan konstitusionalisme menyebabkan terjadinya keganjilan dalam pewacanaan publik dan pelembagaan ajaran demokrasi dalam konteks Trias Politica di Indonesia.
(2). pembagian kekuasaan di antara pemerintah pusat, regional, dan lokal.  Distribusi atau re-distribusi kekuasaan semacam ini, yang di Indonesia sering lebih dikenal dengan “otonomi daerah” itu, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil di samping pemikiran-pemikiran yang lebih pragmatis seperti efisiensi dan kemasukakalan.
Isu-isu Problematis yang terjadi di Indonesia:
         “Otonomi daerah” menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah, terlepas, dari rasionalitas demokrasi;
         “Otonomi daerah” menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang “ganjil”, “aneh”, “kontradiktif”, dan “paradoksikal”: berorientasi pada elite daripada massa; mendorong fenomena “local boss politics”, meluasnya korupsi dan misuse/abuse of power; dan bahkan menghasilkan politik identitas yang mengancam tidak saja HAM dan pluralisme namun juga multikulturalisme.
(3). pembagian kekuasan atas apa yang menjadi wilayah yurisdiksi negara (state) dan apa pula yang menjadi wilayah yurisdiksi masyarakat (civil society).  Negara  memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai pengaturan yang berkenaan dengan kehidupan bersama, dan, bila mana perlu, dapat menggunakan kekuatan paksa (coercive power) untuk menegakkan prinsip-prinsip yang diakui dalam kehidupan bersama itu.  Sering disebut, negara mengurus wilayah publik sementara masyarakat mengurus wilayah privat dan inter-privat.  Masyarakat, oleh karena itu, memiliki, memelihara dan mengendalikan sepenuhnya berbagai ruang dan inter-relasi privat yang berkaitan dengan sistem produksi dan re-produksi biologis (misalnya perkawinan), sosial (misalnya pendidikan), ekonomi (misalnya pertukaran barang dan jasa), dan budaya (misalnya sistem kepercayaan dan adat).  Walaupun di antara dua wilayah itu terjadi interaksi, dan oleh karena itu keduanya tak sepenuhnya terisolasi satu terhadap yang lain, dapat dikatakan masing-masing memiliki wilayah yang relatif otonom.
Isu Problematisnya di Indonesia:
Dalam praktiknya di Indonesia, terdapat kekaburan dan bahkan mungkin pengaburan batas wilayah publik dan privat. Selama hampir sepuluh tahun proses transisi ini, terdapat kecenderungan di antara keduanya untuk melampaui batas otoritas atau tidak melakukan kewajiban yang diharuskan oleh otoritas masing-masing.
(4). terjadinya proses pemisahan yang kian jelas di antara hak-hak individu dan kewajiban-kewajiban individu atas kehidupan komunal.  Tersedianya kebebasan untuk berekspresi menurut keyakinan-keyakinan individual daripada pertama-tama atau semata-mata menurut keyakinan komunal merupakan satu proses sosial penting yang terjadi dalam transisi menuju masyarakat yang kian kompleks, plural dan demokratis.  Keabsahan hak-hak komunal atas individu selain dilakukan berdasarkan prinsip kesukarelaan juga tidak boleh berakibat pada dikurangkannya hak-haknya sebagai warga negara yang merdeka dan setara dan atau berakibat pada dihilangkannya, sebagian atau keseluruhan, kemampuannya dalam membuat keputusan berdasarkan prinsip self-determination.
Isu Problematisnya yang terjadi di Indonesia:
Ciri tradisional dalam masyarakat majemuk yang di antaranya menekankan kesetiaan dan kepatuhan tanpa batas terhadap adat, kepercayaan, dan tradisi kerap menyebabkan hilangnya kemerdekaan dan kesetaraan individu dalam kehidupan komunalnya.
Keempat, Demokrasi berevolusi dari awalnya yang hanya berhubungan dengan “ihwal memerintah” di tingkat negara (state) menuju ke wilayah yang juga berhubungan dengan “ihwal bertingkah” dalam masyarakat (civil society) dan “ihwal pengaturan produksi dan distribusi barang dan jasa” di lingkungan pasar.  Implementasi demokrasi di masing-masing “wilayah” memiliki masalah dan tantangan yang walaupun mungkin berhubungan namun dapat dibedakan secara distingtif.
Isu Problematisnya di Indonesia:
Secara umum, kita memiliki akumulasi pengetahuan dan best practices yang memadai untuk mengenali masalah-masalah mendasar dan mendorong perubahan di wilayah negara yang tercakup dalam konsepsi dan ageneda aksi “political reforms”.  Sebaliknya, kita tidak mempunyai modal pengetahuan dan pengalaman yang dapat dibandingkan untuk mendorong terjadinya transformasi sosial di tingkat masyarakat.  Sementara itu, terdapat kecenderungan ideologis yang kuat yang memandang program “liberalisasi pasar” sebagai agenda yang terpisah dan harus dipisah dari proses demokratisasi di Indonesia.
Kelima, Implementasi demokrasi berbasis hak asasi manusia (human rights based democracy) memprasyaratkan hadirnya negara dengan otoritas dan mandat yang kuat dalam melindungi, membela, dan mempromosikan hak asasi manusia.
Isu Problematisnya di Indonesia:
Dalam sepuluh tahun transisi demokrasi di Indonesia, otoritas dan mandat negara dalam melindungi, membela, dan mempromosikan hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh undang-undang dasar banyak dihalangi oleh melemahnya fungsi dan wibawa negara, oleh ketiadaan elemen-elemen strategis yang memadai di tingkat civil society untuk menjamin pluralisme, toleransi, dan multikulturalisme, serta tiadanya mekanisme yang efektif untuk memastikan terjadinya pertukaran barang dan jasa berdasarkan prinsip-prinsip pasar yang bebas dan adil.
Keenam, Perkembangan demokrasi di suatu negara merupakan fungsi dari berbagai tindakan—baik yang disadari maupun tidak (acknowledged and unacknowledged actions)—dan telah menghasilkan sejumlah konsekuensi—baik yang dimaksudkan begitu maupun tidak (intended and unintended consequences).
Isu-isu Problematis yang terjadi di Indonesia:
         Kegagalan, sekurang-kurangnya ketidakcermatan, dalam menginden-tifikasikan acknowledged and unacknowledged actions serta intended and unintended consequences mengaburkan penilaian yang jernih terhadap capaian kolektif (collective achievements) di negeri ini selama sepuluh tahun terakhir ini, dan telah menyebabkan bercampuraduknya keputusasaan dan kepercayaan yang berlebihan kepada jalan pintas sebagai jalan keluar dalam menciptakan masa depan yang lebih baik itu.
         unacknowledged actions dan unintended consequences yang dihasilkan oleh perkembangan selama sepuluh tahun terakhir ini telah mendorong berkembangnya kepercayaan bahwa demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia lebih banyak menghasilkan halangan dan bahkan ancaman terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketujuh, Demokrasi hanya mungkin menghasilkan sistem politik yang stabil dan berkelanjutan apabila perkembangan dalam setiap tahapnya ditandai oleh hadirnya keseimbangan di antara keluasan partisipasi (quantity of partisipation) dan kualitas wacana (quality of discourse) tentang demokrasi dan kaitannya dengan HAM, pluralisme, multikulturalisme, dan sejumlah tema strategis lainnya seperti kebebasan dan keadilan, gender, dan lingkungan hidup.
Isu-isu Problematis pada Indonesia:
         terdapat kecenderungan yang kuat di Indonesia untuk secara berlebihan menggunakan indikator kuantitas partisipasi sebagai ukuran kemajuan demokrasi dengan ongkos kian berkurangnya ruang bagi pengembangan wacana demokrasi.
         Pengutamaan pada kuantitas partisipasi telah mengakibatkan tersingkirnya perdebatan intelektual tentang isu-isu strategis di sekitar demokrasi dan tema-tema relevan lainnya.
         Arah dan perkembangan demokrasi di masa depan dapat secara serius terancam oleh rejim mayoritas yang dihasilkan oleh proses-proses yang difasilitasi oleh keluasan partisipasi.
Kedelapan, Berkembangnya kepercayaan secara berlebihan terhadap kekhususan (specifity) dan keunikan (uniqueness) yang melekat dalam konstruksi politik tentang Indonesia dan atau ke-Indonesia-an dapat menghasilkan argumentasi yang menyesatkan tentang gagasan-gagasan universal negara bangsa (nation-state), demokrasi, dan HAM.  
Isu Problematisnya di Indonesia:
Adalah jelas bahwa setiap bangsa selalu memiliki berbagai kekhususan dan keunikan—baik yang dihasilkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, budaya, sejarah maupun kombinasi di antara berbagai faktor itu.  Walaupun demikian, peneguhan secara keliru terhadap kedua konsep itu dapat mendorong berkembangnya pemikiran dan atau kepercayaan sempit yang memberi jalan bagi para elite dan eksponen tradisional lainnya untuk menghasilkan doktrin-doktrin ortodoks yang tidak saja berbeda namun juga mengandung pertentangan secara diametral dengan konsepsi dan praktik demokrasi.
Banyak hal yang membuat politik Islam ini menjadi politik yang sangat minim, daintaranya adalah (1) Para politisi Islam itu sendiri, yang tidak mau membuat politik Islam ini menjadi politik yang menguasai konteks politik pada masa sekarang. (2) karena pemerintah yang tidak memberi ruang bagi politisi/partai politik Islam untuk bergerak (menyempitkan ruang gerak bagi partai-partai politik Islam dan juga bagi para pilitisi Islam). (3) umat Islam sendiri yang tidak menyadari bahwa politik Islam sekarang semakin dipojokkan, (4) kemunafikan dan kedustaan yang dicerminkan oleh para politisi Islam, sehingga membuat masyarakat itu semakin tidak percaya terhadap yang namanya politisi atau elit politik. (5) para politisi atau elit politik Islam sekarang tidak pernah lagi berjuang untuk kesejahteraan masyarakat, justeru mereka berjuang untuk kesejahteraan hidupnya sendiri tanpa menengok kepada masyarakat yang sedang mengalami kelaparan, meski itu adalah tetangganya sendiri dan bahkan rumahnya baku berhadapan. Beberapa hal inilah yang membuat politik Islam ini menjadi politik yang sangat minim dan sangat tidak disukai oleh masyarakat.
B.     MAHKAMAH KONSTITUSI DAN DEMOKRASI
Membangun Negara Hukum Demokratis
Gagasan, cita, atau ide tentang Negara hukum, selain memiliki kaitan antara konsep ‘rechtsstaat’ dan juga dengan konsep ‘the rule of law’, gagasan tentang Negara hukum juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari kata ‘nomos’ dan ‘cratos’. Kata nomokrasi dapat  dibandingkan dengan kata yang sering diungkapkan oleh orang yakni ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratein’ dalam pengertiannya demokrasi. ‘Nomos’ artinya norma dan ‘cratos’ berarti kekuasaan. Yang menjadi faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Jadi, nomokrasi sangat berkaitan erat dengan prinsip atau kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Oleh A.V. Dicey dikembangkan dalam bahasa Inggris, hal tersebut dapat dikaitkan dengan prinsip rule of law yang berkembang di Amerika Serikat yang menjadi kalimat ‘the rule of law, and the not of man’ yang dianggap sebagai pemimpin, hukum itu sendiri, bukan orang[25]. Nomokrasi juga dibahas dalam bukunya Plato yang berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi “the laws” disitu sangat jelas tergambar bagaimana ide tentang pemerintahan nomokrasi sudah sejak lama dibicarakan di zaman Yunani kuno.
Konsep Negara hukum merupakan terjemahan dari rechstaat (ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental) atau rule of law (ahli-ahli hukum Anglo Saxon).[26] Konsep bahwa Indonesia adalah Negara hukum dapat ditemukan pada Konstitusi Indonesia yang pernah berlaku. Penjelasan UUD 1945 sebelum Perubahan berbunyi ”Negara Indonesia berdasar atas Hukum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machstaat)”. Konstitusi RIS 1959 dan UUDS 1950 juga menyinggung tentang konsep negara hukum yang dijelaskan pada Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi, ’Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”. Sedangkan pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi, ”Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”. Pasca Perubahan Keempat UUD 1945, konsep tersebut lebih ditegaskan lagi pada Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Di zaman modern, konsep tentang Negara hukum di Eropa kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte dan lain sebagainya, dengan menggunakan istilah Jerman yakni “rechtsstaat”. Sedangkan didalam tradisi atau kehidupan Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan ‘the rule of law’, menurut Julius Stahl, konsep Negara hukum yang disebut dengan ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yakni;
a.       Perlindungan hak asasi manusia.
b.      Pembagian kekuasaan.
c.       Pemerintahan berdasarkan undang-undang yang sedang berlaku.
d.      Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan menurut Dicey sendiri sebagai pelopor, menguraikan ada tiga ciri utama atau ciri penting dari konsep tentang Negara hukum, yang disebut oleh Dicey dengan ‘the rule of law’ yakni
a.      Supremacy of law.
b.      Aquality before of law.
c.       Due process of law.
Dari keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl, dapat digabung dengan ketiga prinsip ‘rule of law’ yang dikemukakan oleh Dicey, itulah yang akan menandai ciri Negara hukum modern pada zaman sekarang yang begitu kompleks dengan berbagai persoalan. Yang oleh ‘The International Commission of Jurist’, prinsip-prinsip Negara hukum itu ditambah lagi dengan sistem peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang pada saat sekarang sangat dirasakan perlunya dan bahkan mutlak perlunya dalam setiap Negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut The International Commission of Jurist, itu adalah;
a.       Negara harus tunduk dan patuh pada hukum (hukum sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan kekuasaannya tanpa batas).
b.      Pemerintah harus menghormati hak-hak individu (sebagai hak asasi manusia yang dilindungi oleh UU).
c.       Peradilan yang bebas dan tidak memihak dapat menciptakan hukum dan tertib dan hukum yang dihargai dan dihormati oleh masyarakat.
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara hukum dan penerapannya dalam wilayah ketatanegaraan Indonesia dewasa ini, menurut Jimly Asshiddiqie, kita sapat merumuskan kembali adanya tiga belas prinsip pokok Negara hukum yang berlaku atau banyak diterapkan pada zaman sekarang. Ketiga belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara modern sehingga ia dapat disebut sebagai Negara hukum (the rule of law, ataupun rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya[27];
v  Supremacy hukum, adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yakni bahwa semua masalah akan diselesaikan dengan jalan hukum sebagai pedoman tertinggi dalam semua perkara yang sedang terjadi.
v  Persamaan Dalam hal Hukum (equality before of law), adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik.
v  Asas Legalitas (due process of law), dalam setiap Negara yang hukum sebagai pemegang kekuasaan tertingginya, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yakni segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
v  Pembatasan Kekuasaan, dengan adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan sistem pembagian kekuasaan (trias politica) secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.
v  Organ-Organ Eksekutif Independen, dalam rangka membatasi kekuasaan, dizaman sekarang telah ada pengaturan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian. Selain organisasi-organisasi ini, telah berdiri pula beberapa organisasi independen lainnya yang baru seperti, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan sebagainya.
v  Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, peradilan bebas dan tidak memihak itu mutlak atau wajib ada dalam setiap Negara hukum. Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim tidak boleh atau haram untuk dapat dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) kepentingan uang (ekonomi), lebih-lebih kepentingan keluarga, meski itu adalah anaknya sendiri yang melakukan pelannggaran hukum, jika itu dikerjakan oleh hakim maka akan terciptalah hukum dan Negara yang adil.
v  Peradilan Tata Usaha Negara, dalam setiap Negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi setiap warga Negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha Negara (administrative court) oleh pejabat administrasi Negara.
v  Peradilan Tata Negara (constitutional court), Negara hukum modern juga lazim mengadopsi gagasan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri diluar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya.
v  Perlindungan Hak Asasi Manusia, perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut harus dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting dalam suatu Negara hukum yang demokratis.
v  Bersifat Demokratis (democratische rechtsstaat), dianut dan diprakteknya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah masyarakat.
v  Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechtsstaat), hukum adalah sarana untuk mencapai sarana dan tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri baik yang dilembagakan melalui gagasan Negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan Negara hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
v  Transparansi dan Kontrol Sosial, adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi secara langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.
v  Ber-Ketuhanan yang Maha Esa, ini khusus mengenai cita Negara hukum Indonesia yang berdasarkan pancasila, ide kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang memrupakan sila pertama dan utama dalam pancasila.
C.    PELAKSANAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILU

Pelanggaran Pemilu, Sengketa Pemilu dan Sengketa Hasil Pemilu

Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang Pemilu yang dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) pelanggaran yakni pelanggaran pidana dan pelanggaran administrasi.
Pelanggaran pidana adalah tindakan-tindakan yang menurut Undang-undang Pemilu ditetapkan sebagai tindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara dan/atau denda, sedangkan pelanggaran Administratif adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilu dan tidak didefinisikan sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman dan/atau denda.
Konsekwensi dari pelanggaran Administratif adalah tidak diikutsertakannya DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota sebagai peserta Pemilu.
Pelanggaran Pemilu diselesaikan oleh Panwaslu atau KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Pelanggaran pemilu adalah semua tindakan yang menurut Undang-undang pemilu telah keluar dari apa yang telah digariskan oleh Undang-undang tersebut

Sengketa Pemilu

Adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu.
Ada beberapa pihak yang ikut terlibat dalam sangketa Pemilu, yaitu diantaranya adalah:
  1. Penyelenggara Pemilu. 
  2. Partai politik peserta Pemilu, yaitu Dewan Pimpinan Tingkat Nasional, Dewan Pimpinan Tingkat Propinsi, Dewan Pimpinan Tingkat Kab/Kota, dst.
  3. Peserta Pemilu perseorangan untuk pemilihan anggota DPD.
  4. Anggota dan/atau pengurus partai politik peserta Pemilu.
  5. Warga Negara yang memiliki hak pilih.
  6. Pemantau Pemilu.
Proses penyelesaian sengketa pemilu di Panitia Pengawas Pemilu adalah sebagai berikut:
v  Penetapan berkas laporan sebagai sengketa Pemilu oleh Panitia Pengawas Penerima Laporan.
v  Penyerahan berkas laporan sengketa pemilu oleh Pengawas Pemilu penerima laporan kepada Pengawas Pemilu yang berwenang.
v  Pengkajian dan pemeriksaan berkas laporan tentang sengketa pemilu oleh Pengawas Pemilu yang berwenang.
v  Pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa oleh Pengawas Pemilu yang berwenang.
v  Apabila pertemuan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan mufakat tercapai, maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Secara Musyawarah dan Mufakat.
v  Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat, maka Pengawas Pemilu yang berwenang menawarkan alternatif penyelesaian kepada phak-pihak yang bersengketa, dan apabila disetujui, maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Melalui Alternatif Penyelesaian Pengawas Pemilu.
v  Apabila tawaran alternatif penyelesaian tidak diterima oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa, maka Pengawas Pemilu memberikan putusan final dan mengikat, yang dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Melalui Putusan Pengawas Pemilu.
      Suatu sengketa pemilu yang ditangani oleh pengawas pemilu telah selesai, apabila:
Ø  Dicapainya Musyawarah dan Mufakat sebagaimana dimaksud dalam butir 5 (sebagaimana penjelasannya diatas) yang ditandai dengan dibuatnya Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu secara Masyawarah dan Mufakat.
Ø  Diterimanya Alternatif Penyelesaian dari Pengawas Pemilu oleh pihak-pihak yang bersengketa sebagaimana dimaksud dalam butir 6 yang ditandai dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Alternatif  penyelesaian Pengawas Pemilu.
Ø  Diberikannya Putusan Pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud dalam angka 7 yang ditandai dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Putusan Pengawas Pemilu.
Adapun tenggang waktu yang Penyelesaian Sengketa Pemilu di Panwaslu ini adalah sebagai berikut:
1.      Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima.
2.      Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah angka 1 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 1 (satu) dilakukan).
3.      Proses sebagaimana disebutkan pada angka 3 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah angka 2 dilakukan.
4.      Proses sebagaimana yang disebutkan pada angka 4 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah angka 3 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
5.      Pertemuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 5 dilaksanakan paling lama 3 (tiga) hari setelah angka 4 diselesaikan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
6.      Proses sebagaimana disebutkan pada angka 5, 6, dan 7 diselesaikan paling lama 14 (empat belas) hari setelah angka 5 dilakukan.
Permohonan sengketa penyelesaian sengketa pemilu gugur[28], apabila:
Ø  Permohonan gugur bila pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir dalam pertemuan pertama setelah 3 (tiga) kali dipanggil secara patut oleh Pengawas Pemilu yang berwenang dalam “Berita Acara Gugurnya Sengketa”.
Ø  Permohonan penyelesaian sengketa pemilu dapat dicabut kembali setelah pertemuan pertama, yang dituangkan dalam “Berita Acara Pencabutan Permohonan Penyelesaian Sengketa Pemilu”.
Ø  Permohonan yang gugur dapat diajukan kembali paling lama 7 (tujuh) hari setelah terjadinya sengketa.

Sengketa Hasil Pemilu

Dalam sejarah kehidupan ketatanegeraan Indonesia, Bangsa Indonesia telah melakukan 10 (sepuluh) kali Pemilihan Umum (1945-2010), dimana pemilihan umum itu merupakan salah bentuk dari pesta demokrasi. Dalam waktu yang relatif cukup panjang tersebut, segala bentuk kecurangan dan/atau manipulasi yang berujung pada sengketa Pemilu, yang merupakan persoalan yang cukup mendasar dan menjadi perhatian serius kita semua, mengingat asas Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER) serta Jujur dan Adil (JURDIL) selalu saja diciderai dengan tindakan-tindakan curang oleh Partai Politik tertentu yang menimbulkan pelanggaran atau sengketa dalam menjalankan Pemilu tersebut.
Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang berkaitan dengan hasil Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi pada hasil pemilu.
Penyelesaian tentang perkara sengketa hasil pemilu merupakan salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi. Dimana wewenang itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945[29] menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY)[30]. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.
Untuk mempertegas atau memberikan kapastian hukum tentang kewenangan penyelesaian sengketa pilkada masuk dalam wewenang MK dapat dilakukan pertama, diatur kembali dalam UU pilkada secara tersendiri dan menyatakan Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tidak berlaku atau; kedua, dapat dimasukkan ke dalam UU MK yang sekarang sedang direvisi. Beralihnya penyelesaian sengketa pilkada ke MK akan membawa harapan baru karena penyelesaian oleh MK relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti. Hal ini dibuktikan dari pengalaman MK dalam menangani sengketa pemilu. Namun demikian, yang perlu dipikirkan adalah, apabila dalam suatu kasus yang telah diputus ternyata terdapat bukti baru, Apakah MK akan membuka upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana pranata di MA? Di samping itu, beberapa pasal yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Pemilihan Umum perlu dilakukan perubahan misalnya,
Bab I Pasal 1 dapat ditambah dengan norma yang berbunyi;Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;.
Bab III tentang Tata Cara Mengajukan Permohonan, Pasal 5 ayat (2) seharusnya ditambah huruf (d) yang berbunyi; calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;.
Bab II Pasal 3 ditambah dengan huruf (d); Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;. Pasal 4 ditambah dengan huruf (d) yang berbunyi; terpilihnya calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;. UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 telah membawa perubahan besar terhadap penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Perubahan itu antara lain dialihkannya penanganan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK. Hal ini merupakan penegasan tentang masuknya pilkada dalam rezim pemilu. Adanya perubahan tersebut telah menimbulkan banyak persoalan sehingga terdapat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah.
Beberapa pekerjaan rumah tersebut antara lain: pertama, Pasal 22E UUD 1945 yang menjadi sandaran hukum penyelenggaraan pemilu sebaiknya dilakukan perubahan sehingga berbunyi; Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah;. Kedua, tentang peran regulasi pemerintah dalam pilkada. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana tidak dilakukan perubahan. Padahal, apabila pilkada sudah beralih ke rezim pemilu, PP tersebut mutlak tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Empat pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang tidak ikut direvisi yaitu: Pasal 65 ayat (4) yang berbunyi; Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah; Pasal 98 ayat (3) yang menegaskan bahwa; Ketentuan lebih lanjut mengenai, pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah; Pasal 94 ayat (2) yang menyatakan bahwa; tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah; dan Pasal 114 ayat (4) yaitu; tata cara untuk menjadi pemantau pemilih dan pementauan pemilihan serta pencaburan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah;. Ketiga, tentang pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, mekanisme pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama dengan usul DPRD dan kedua tanpa usul DPRD. Persoalan akan muncul pada pemberhetian kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui cara yang pertama. UU No. 32 tahun 2004 Pasal 29 jo Pasal 123 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menegaskan bahwa; pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya;. Banyaknya persoalan yang ditimbulkan akibat adanya perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, adalah sebuah keniscayaan untuk segera diterbitkannya UU Mahkamah Konstitusi yang baru dan UU Pilkada yang nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan pilkada di seluruh Indonesia. Pengaturan lebih lanjut dalam kedua UU tersebut diharapkan dapat mengantipasi berbagai kendala yang mungkin muncul.
Kewenangan
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
3.      Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
4.      Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:
·         Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;[31]
·         Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;[32]
·         Memutus pembubaran partai politik; dan[33]
·         Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;[34]
·         Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[35]
Dalam beberapa wewenang tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan setelah melakukan pengujian atas gugatan dan juga perkara yang masuk dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan putusan selambat-lambatnya tiga hari setelah perkara tersebut masuk dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi. 
Kewajiban dari Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pada Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memerintahkan penyusunan dengan segera Undang-undang organik tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur hal-hal yang bersifat teknis, administratif yang meliputi antara lain: prosedur pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi dan Ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi.
Menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang selengkapnya menyatakan, sebagai berikut:
Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-undang”.
Para pihak yang dapat berperkara atau legal standing untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004, ditentukan sebagai berikut:
Pemohon adalah: (i) Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilihan Umum, (ii) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, (iii) Partai Politik pserta Pemilihan Umum”,
Sedangkan selain dari 3 (tiga) pihak diatas, maka tidak memiliki legal standing dan tentunya tidak berhak untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, akan tetapi tidak semua sengketa yang berkaitan dengan pemilihan umum berada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Karena bisa jadi sengketa Pemilu tersebut masuk dalam kewenangan panitia pengawas Pemilu.
Permohonan sengketa pemilu yang dapat diajukan kehadapan Mahkamah Konsitusi, adalah hanya dapat diajukan penetapan hasil pemilihan umum yang ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, yang dapat mempengaruhi; (i) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (ii) Penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, (iii) Perolehan kursi yang dimenangkan oleh partai politik peserta pemilihan umum disuatu Daerah Pemilihan.
Tiga poin yang dapat mempengaruhi penetapan hasil pemilihan umum secara nasional diatas, merupakan materi permohonan dan tentunya harus dipenuhi oleh setiap pemohon, sehingga sengketa hasil pemilihan umum tersebut dapat dibawa kedepan persidangan Mahkamah Konstitusi, dan apabila ke- 3 (tiga) poin tersebut tidak terpenuhi, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun posisi Komisi Pemilihan Umum dalam hal ini, adalah menjadi pihak termohon.

Prosedur Pengajuan Perselisihan

Para pihak atau yang disebut sebagai pemohon yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat mengajukan permohonan tersebut yang secara administrasi ditujukan kepada bagian kepeniteraan Mahkamah Konstitusi, yang memeriksa kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap dari pemohon, yang ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal lain yang diminta untuk diputuskan.
Untuk kepentingan itu, sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh pasal 5 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.04/PMK/2004. tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa:
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh: (i) calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta Pemilihan Umum atau kuasanya, (ii) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta Pemilihan Umum dan kuasanya, (iii) Ketua umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan sejenisnya dari pengurus pusat partai politik atau kuasanya.
Permohonan diatas harus memuat antaranya:
Ø  Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon seluler/email. Yang dihampiri dengan alat-alat bukti yang sah, antara lain meliputi; foto copy KTP, terdaftar sebagai pemilih yang dibuktikan dengan kartu pemilih, terdaftar sebagai peserta Pemilihan Umum (bagi partai politik dan perseorangan calon anggota DPD).
Ø  Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat dilakukan melalui faksimili  atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud diatas sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktuu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat.
Ø  Uraian yang jelas tentang; (i) Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon, (ii) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Ø  Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut, antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy sertifikat hasil penghitungan suara, foto copy sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dalam setiap jenjang penghitungan, atau foto copy dokumen-dokumen tertulis lainnya dalam rangkap 12 (dua belas) setelah 1 (satu) rangkap dibubuhi materai cukup dilegalisasi. Apabila pemohon berkehendak mengajukan saksi dan/atau ahli, daftar dan curriculum vitae saksi dan/atau ahli dilampirkan bersama-sama permohonannya.
Permohonan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam (tiga kali dua puluh empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 jo Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004. Namun, karena jangka waktu pengajuan permohonan yang sangat singkat itu, maka cara pengajuannya juga dimudahkan yaitu dapat melalui faksimili atau e-mail, dengan ketentuan bahwa permohonan aslinya sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat waktu. Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.
Permohonan tentang tentang sengketa hasil Pemilu memberikan salah satu pemahaman kepada kita tentang bagaimana proses demokratisasi itu telah ada di Negara Indonesia, proses demokrastisasi Indonesia dipicu oleh berbagai macam hal, yang salah satunya adalah keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengatasi perkara dan keterbukaan Mahkamah Konstitusi dalam menerima berbagai perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Selain empat kewenangan dan satu kewajibannya diatas, Mahkamah Konstitusi juga memiliki peran dalam mengawal proses demokrasi di Indonesia yang sarat dengan berbagai fenomena yang nenghadangnya. Indonesia adalah Negara hukum yang selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan selalu menjaga berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan hukum di negeri ini. Indonesia adalah Negara yang amat kaya dengan memiliki
Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 UU tahun 2003, dimana dalam pasal tersebut, diatur bagaimana tata tertib beracara di Mahkamah Konstitusi dan bagaimana mengajukan perkara oleh para pemohon yang ingin mengajukan permohonan, baik dalam kasus yang bersifat konstitusional maupun kasus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam pelaksanaan wewenangnya sebagai lembaga Negara yang memutuskan perkara ditingkat awal dan pada tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan mengikat, Mahkamah Konstitusi
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan dibidang:
1.      Politik Luar Negeri adalah urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunjuk warga Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya.
2.      Pertahanan, adalah misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan Negara atau sebagian Negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan Negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap warga Negara, dan sebagainya.
3.      Keamanan, adalah misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian Negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum Negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan Negara, dan sebagainya.
4.      Moneter dan Fiskal Nasional, adalah misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter/fiscal, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya.
5.      Yustisi, adalah misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesty, abolisi, membentuk Undang-undang, peraturan pengganti undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya.
6.      Agama, adalah misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberi hak pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.

Penyelenggara Pemilu

Dengan diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah, maka UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, perubahan yang paling signifikan yang terdapat dalam undang-undang baru, adalah mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung. UU No. 32 tahun 2004 ini terdiri dari 240 pasal. Dari 240 pasal tersebut, 63 pasal diantaranya mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, yaitu pasal 56 sampai dengan pasal 119.
Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai dengan tuntutan reformasi dan amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Dan calon-calon tersebut diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas pemilu sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER), serta jujur dan adil (JURDIL).
Dalam kajian tentang penyelenggara Pemilu, kita akan mengkaji tentang apa yang menjadi kinerja dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan lainnya yang berada dalam lingkaran peserta serta panitia pemilu yang akan melaksanakan pemilihan umum.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada
Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman, yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.[36] Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah dirubah menjadi pemilihan umum kepala daerah. Bab I Pasal 1 UU No. 22 tahun 2007 mempunyai maksud bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, apabila pemilihan kepala daerah masuk rezim pemilu maka penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Perubahan UUD 1945. Persoalannya, UU No 32 tahun 2004 masih mengatur perselisihan hasil pilkada menjadi kewenangan Mahkamah Agung sehingga perlu adanya regulasi lebih lanjut untuk mempertegas pengaturan mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Melalui UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa pilkada telah dialihkan dari MA ke MK. Peralihan locus penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Bunyi Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tersebut dari sudut legal drafting menimbulkan persoalan. Pertama, menurut Jimly Asshiddiqie,[37] Pasal 236C mempunyai penafsiran ganda. Frase “paling lama” dalam kalimat tersebut praktiknya bisa lebih cepat (satu atau dua hari, pen), apalagi latar belakang munculnya Pasal itu semata-mata hanya ingin memberi waktu persiapan kepada MK. Misalnya, apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak disahkan UU No. 12 tahun 2008 MK sudah siap, maka perselisihan hasil pilkada dapat langsung ditangani oleh MK. Penafsiran kedua, maksud “paling lama” adalah sebelum 18 bulan. Artinya, meskipun MK sudah mempunyai persiapan yang matang, sengketa tersebut tidak serta merta atau belum dapat dialihkan. Untuk memastikan mana yang benar, maka penafsiran ganda tersebut dapat dibawa ke MK untuk judicial review. Namun demikian, hal ini kemungkinannya kecil karena sulit mencari alasan konstitusionalnya. Untuk itu, Jimly mengembalikan persoalan ini kepada pembentuk undang-undang yaitu Presiden dan DPR.
Hal senada juga dikatakan oleh Bagir Manan[38] bahwa kata ”paling lama” itu bisa jadi besok. Seharusnya isi pasal itu bukan menggunakan frase ”paling lama” 18 bulan, melainkan dijelaskan dengan kalimat, semua sengketa pilkada yang sudah diselesaikan oleh MA, kemudian sengketa yang baru ditangani oleh MK. Dengan demikian, sebuah undang-undang akan memberikan kepastian dan konsisten.
Kedua, sebuah pasal dalam undang-undang akan tetap dinyatakan berlaku apabila dalam undang-undang perubahannya tidak secara tegas dinyatakan telah dihapus atau diubah dengan rumusan pasal yang baru. UU No 12 Tahun 2008 tidak mengubah Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan dasar kewenangan MA untuk memutus sengketa pilkada. Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 berbunyi: “Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”.
Pola pikir anggota DPR dalam membahas Undang-undang tersebut keliru karena lebih mengedepankan proses peralihan dibandingkan dasar hukum utamanya, yakni Pasal 106. Hal tersebut akan menimbulkan kontradiksi substantif di dalam UU Pemda terbaru karena di satu sisi memuat teknis pengalihan tetapi di sisi lain justru ”menjamin” kondisi awalnya tetap ada. Untuk mempertegas atau memberikan kapastian hukum tentang kewenangan penyelesaian sengketa pilkada masuk dalam wewenang MK dapat dilakukan pertama, diatur kembali dalam UU pilkada secara tersendiri dan menyatakan Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tidak berlaku atau; kedua, dapat dimasukkan ke dalam UU MK yang sekarang sedang direvisi.
Beralihnya penyelesaian sengketa Pilkada ke MK akan membawa harapan baru karena penyelesaian oleh MK relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti. Hal ini dibuktikan dari pengalaman MK dalam menangani sengketa pemilu. Namun demikian, yang perlu dipikirkan adalah, apabila dalam suatu kasus yang telah diputus ternyata terdapat bukti baru, apakah MK akan membuka upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana pranata di MA? Di samping itu, beberapa pasal yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Pemilihan Umum perlu dilakukan perubahan misalnya, Bab I Pasal 1 dapat ditambah dengan norma yang berbunyi “Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota”. Bab III tentang Tata Cara Mengajukan Permohonan, Pasal 5 ayat (2) seharusnya ditambah huruf (d) yang berbunyi “calon kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Bab II Pasal 3 ditambah dengan huruf (d) “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Pasal 4 ditambah dengan huruf (d) yang berbunyi “terpilihnya calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.
UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 telah membawa perubahan besar terhadap penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Perubahan itu antara lain dialihkannya penanganan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK. Hal ini merupakan penegasan tentang masuknya pilkada dalam rezim pemilu.
Adanya perubahan tersebut telah menimbulkan banyak persoalan sehingga terdapat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah. Beberapa pekerjaan rumah tersebut antara lain: pertama, Pasal 22E UUD 1945 yang menjadi sandaran hukum penyelenggaraan pemilu sebaiknya dilakukan perubahan sehingga berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala daerah dan Wakil Kerpala Daerah”. Kedua, tentang peran regulasi pemerintah dalam pilkada. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana tidak dilakukan perubahan. Padahal, apabila pilkada sudah beralih ke rezim pemilu, PP tersebut mutlak tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Empat pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang tidak ikut direvisi yaitu: Pasal 65 ayat (4) yang berbunyi ”Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; Pasal 98 ayat (3) yang menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai, pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”; Pasal 94 ayat (2) yang menyatakan bahwa “tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; dan Pasal 114 ayat (4) yaitu “tata cara untuk menjadi pemantau pemilih dan pementauan pemilihan serta pencaburan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Ketiga, tentang pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, mekanisme pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama dengan usul DPRD dan kedua tanpa usul DPRD. Persoalan akan muncul pada pemberhetian kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui cara yang pertama. UU No. 32 tahun 2004 Pasal 29 jo Pasal 123 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menegaskan bahwa “pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya”.
Banyaknya persoalan yang ditimbulkan akibat adanya perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, adalah sebuah keniscayaan untuk segera diterbitkannya UU Mahkamah Konstitusi yang baru dan UU Pilkada yang nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan pilkada di seluruh Indonesia. Pengaturan lebih lanjut dalam kedua UU tersebut diharapkan dapat mengantipasi berbagai kendala yang mungkin muncul.
Rancangan Hukum Acara Perselisihan Hasil Pilkada Versi Mukhtie Fadjar
 Pemohonnya adalah pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah;
a)      Termohonnya adalah KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota;
b)      Objek yang diperselisihkan adalah penetapan hasil penghitungan suara pilkada yang dilakukan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota;
c)      Tenggat pengajuan keberatan 3x24 jam setelah KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan hasil penghitungan suara Pilkada;
d)     Tenggat penyelesaiannya oleh MK untuk memutus perselisihan hasil pilkada adalah 14 hari kerja sejak permohonan keberatan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.


Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly, 2005. ”Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden,” Jurnal Unisia No 51/XXVII/I/2004.
_______________, 2006. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar demokrasi, SerpihanPemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta, Konstitusi Press.
Abdul, Gaffar Karim (Editor), 2005. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Huda, Ni’matul, 2005, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Joko, J. Prihatmoko, 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, kerja sama Pustaka Pelajar Yogyakarta dengan LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang,
Manan, Bagir, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, FH UII Press.
Morison, 2005. Hukum Tata Negara Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta.
Fadjar, Abdul Mukthie, 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta.
Ari, Pradhanawati (Penyunting), 2005. Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP)
Siahaan, Maruarar, 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press.
http.www.hukumonline.com diakses tanggal 5 Mei 2008
UUD 1945 Setelah Perubahan
Republik Indonesia,Undang-Undang No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
______________,Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
______________,Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan
______________,Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah
______________,Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah




BAGIAN KETIGA
KEDUDUKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI NEGATIVE LEGISLATOR DAN PENGAWAL DEMOKRASI DI INDONESIA
Abstrak
Salah satu cara untuk memperkuat peran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah dengan melakukan amandemen terhadap Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia 1945 jo Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan memasukan Negative Legislator sebagai salah satu peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi serta memasukkan Negative Legislator dalam kewenangan tambahan Mahkamah selain empat kewenangan dan satu kewajiban yang telah dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu setelah amandemen terhadap Pasal 24C UUDNRI 1945 jo Pasal 10 Undang-undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dilakukan, perlu ada penyaringan (filterisasi) terhadap perkara konstitusional yang masuk ke Mahkamah Konstitusi.

Kata Kunci: Mahkamah Konsitusi, UUD 1945, Indonesia, Negative Legislator dan Konstitusi.

Pengantar
Peran Mahkamah Konstitusi dan kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara konstitusi adalah suatu putusan yang sangat sulit dalam kajian ketatanegaraan dalam suatu Negara serta untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk mengemban amanah konstitusi Indonesia dan mengemban amanah untuk menjaga konstitusi, sebagaimana yang sudah menjadi kewenangan MK sebagai pemberi putusan yang bersifat final dan mengikat serta sebagai penjaga dan penafsir konstitusi dan juga sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung serta sebagai pengawal demokrasi yang sedang berkembang di negeri ini.
Apabila seseorang ingin mengkaji tentang konstitusi beserta Mahkamah Konstitusi di Indonesia, maka dia tidak akan terlepas dengan UUD 1945 Pasal 24A dan Pasal 24C hasil amandemen atau perubahan ketiga, yang kemudian dipertegas lagi pada perubahan atau amandemen keempat. Dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 memberik klasifikasi tentang para calon hakim konstitusi, antaranya; 1) harus warga Negara Indonesia, 2) berpendidikan sarjana hukum, 3) berusia sekurang-kurangnya 40 Tahun pada saat pengangkatan, 4) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, 5) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan 6) mempunyai pengalaman kerja dibidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun[39].
Ketika calon hakim  konstitusi tidak memiliki apa yang sudah menjadi ketentuan dalam kehidupan hukum di Indonesia. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang begitu besar dalam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, supaya terjadi keseimbangan kehidupan, baik dalam kehidupan sosial-politik, lebih-lebih kehidupan hukum. Sebab tugas MK adalah sebagai penjaga dan penafsir konstitusi yang pekerjaannya  hanyalah mengkaji dan mengkaji tentang konstitusi dan bagaimana perkembangan konstitusi, baik Negara Indonesia maupun Negara-negara lain yang menjadi patokan bagi Indonesia dalam menyusun konstitusi.
Untuk menciptakan Negara hukum yang demokratis, sebuah Negara harus mampu memberikan peran yang signifikan kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan masukannya terhadap kebijakan yang diambil oleh penguasa,  sebab penguasa sekarang sama dengan manusia-manusia yang tidak memiliki hati nurani dann tidak memiliki rasa kasihan terhadap sesama. Penguasa kehakiman sekarang hanya memberikan hukuman kepada mereka yang tidak memiliki materi atau masyarakat bawah. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi diharapkan mampu memberikan peran dan mampu memciptakan hukum yang lebih baik dan lebih bagus.
Penguasa Indonesia sekarang adalah penguasa yang tidak memiliki mental dan memberikan peran yang sangat signifikan dalam perkembangan sosial politik, lebih-lebih hukum, sebab penguasa ini hanyalah penguasa yang bermental inlander, inilah penguasa gila dan penguasa Yahudi yang tidak memiliki dan tidak mencerminkan dimensi Islam yang asli, sebagai orang yang mengaku dirinya Islam.
Sejarah Mahkamah Konstitusi
Gagasan mengenai pelembagaan/institusionalisasi sebuah lembaga peradilan tata negara (constitutional court), tidak lepas dari upaya serius untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, yang acapkali terancam oleh kesewenang-wenangan pemerintah berkuasa. Upaya inilah yang selanjutnya melahirkan konsepsi “constitutional review” atau pengujian konstitusional. Konsepsi ini lahir sebagai buah perkembangan pemikiran dari gagasan tentang negara hukum –dalam pengertian rule of law–, prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), dan upaya perlindungan serta pemajuan hak asasi manusia. Kolaborasi ketiga Ide dasar kemudian dikembangkan dalam sebuah konsep constitutional review, sebagai jawaban atas kebutuhan adanya suatu pemerintahan modern yang demokratis.
Dalam upaya penegakkan konstitusi dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara menjadi karakteristik dari cita-cita tentang negara hukum, meskipun karakteristik ini kemudian diaplikasikan dalam bentuk yang berbeda, namun esensi keduanya tetaplah sama. Konsep rechtsstaat mengehendaki perlindungan hak-hak konstitusional warga negara melalui mekanisme peradilan administrasi, yang artinya warga negara dapat mengajukan gugatan administrasi terhadap tindakan pemegang kekuasaan atau aturan yang dianggap melanggar hak-hak konstitusionalnya, pada sebuah lembaga peradilan administrasi, sedangkan konsep the rule of law menitikberatkan pada metode judicial, atau melalui mekanisme judicial review. Karena tulisan ini akan mencoba untuk melakukan penelusuran terhadap pelembagaan pengadilan tata negara (constitutional court), maka tulisan ini selanjutnya akan lebih banyak mengelupas term judicial review, dan mengenai upaya administrasi akan dikupas pada bagian tulisan yang lain.
Doktrin judicial review menyeruak kembali dan dipertegas oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat (The Supreme Court United States of America) ketika memutus perkara Marbury versus Madison tahun 1803. Dalam putusannya John Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung (chief justice) menyatakan bahwa Judiciary Act 1789 yang dijadikan dasar gugatan William Marbury terhadap James Madison adalah bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat, sehingga dalam memeriksa perkara tersebut Mahkamah Agung menggunakan pintu kewenangan yang ditafsirkan dari konstitusi, bukan melalui Judiciary Act 1789. Peristiwa monumental yang tidak pernah terjadi dalam dunia peradilan sebelumnya inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya gelar sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution), yang melekat pada Mahkamah Agung. Konstitusi menjadi “the supreme law of the land,” oleh karenanya segala peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya harus tunduk dan konsonan terhadapnya, apabila terjadi pertentangan, maka aturan yang lebih rendah dinyatakan tidaklah berlaku mengikat[40]. jadi, di sini Mahkamah Agung berfungsi sebagai negative legislature, dan hakim-hakimnya berkedudukan sebagai judge made law, karena mereka berwenang menemukan dan menginterpretasikan suatu aturan hukum dengan sandaran konstitusi.
Jika di Amerika Serikat yang menganut sistem hukum Anglo Saxon fungsi sebagai the guardian and the interpreter of constitution melekat pada Mahkamah Agung, maka lain lagi yang berlaku di Austria yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Austria yang menganut model Kelsenian (the Kelsenian model) 1920, mempunyai sebuah institusi peradilan tersendiri di luar Mahkamah Agung, yang melaksanakan fungsi constitutional review. Institusi ini disebut sebagai Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court/ Verfassungsgerichtshoft). Usulan pembentukan Mahkamah Konstitusi disampaikan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharau Konstitusi Austria (Chancelery), pada tahun 1919-1920. Mahkamah Konstitusi Austria menjadi Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model pemisahan ini terkait dengan hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the parliament). Terhadap konsepsi ini Hans Kelsen mengatakan: “Penerapan peraturan-peraturan konstitusi mengenai pembuatan undang-undang hanya dapat dijamin secara efektif jika suatu organ selain organ legislatif diberi mandat untuk menguji apakah suatu undang-undang (hukum) sesuai atau tidak dengan konstitusi, dan untuk membatalkannya jika –menurut pendapat organ ini– hukum tersebut “tidak konstitusional.” Mungkin ada organ khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya, pengadilan khusus yang disebut “pengadilan konstitusi;” atau pengawasan “kekonstitusionalitasan” suatu undang-undang yang disebut judicial review, dapat dilakukan oleh pengadilan-pengadilan biasa, dan terutama oleh pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung)[41].”
Model pembagian dua lembaga (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) yang dikemukakan Hans Kelsen ini, kemudian banyak ditiru oleh Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan maksud untuk memaksimalkan fungsi dari mekanisme constitutional review dan Judicial Review. Walaupaun begitu, sampai saat ini, baru sekitar 78 Negara yang memiliki organ Mahkamah Konstitusi, karena kemunculan organ ini merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Yang menarik dicermati, kemunculan organ Mahkamah Konstitusi yang terlepas dari lembaga Mahkamah Agung, umumnya terjadi pada Negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi Negara demokrasi konstitusional.
Sebagai salah satu produk adanya reformasi ketatanegaraan yang kita bangun setelah perubahan pertama (1999), kedua (2000), ket­iga (2001), dan keempat (2002) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi dengan sederajat dan kekuasaannya berada diluar dari pada kewenangan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk maksud mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (The Supreme Law of The Land) benar-benar dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Negara hukum modern, dimana hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan lebih-lebih hukum dalam suatu Negara.
Apabila dikaitkan dengan latar belakang teknis yuridisnya, pembentukan Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut Mahkamah Konstitusi pada pokok awalnya memang sangat diperlukan, sebab Negara Indonesia telah melakukan perubahan mendasar terhadap UUD 1945. Dalam perubahan pertama sampai pada perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia telah banyak mengadopsi prinsip-prinsip baru tentang peraturan ketatanegaraan yang berlaku, yakni dengan adanya pemisahan kekuasaan dan “Checks and Balances”, sebagai pengganti supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Fungsi-fungsi Yudicial Review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dikaitkan dengan fungsi dari Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi yang mutlak. Empat kewenangan ditambah satu kewajiban Mahkamah Konstitusi, antaranya adalah; 1) menguji Undang-undang terhadap UUD 1945, 2) memutus sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, 3) memutus pembubaran Partai Politik, 4) memutus perselisihan mengenai hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Dan kewajiban Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang putusannya bersifat final dan mengikat, yakni memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai yang dimaksudkan oleh UUD 1945.
Konstitusi Sebagai Masalah Ketatanegaraan
Konstitusi (Constitutie) adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945[42]. Dalam beberapa kamus dan menurut beberapa penulis yang sempat penulis baca dan penulis kaji tentang hal yang mengenai konstitusi, penulis menemukan beberapa definisi yang berkaitan dengan konstitusi yang sedang penulis bahas pada saat sekarang, ada beberapa definisi yang dapat penulis tarik dalam pengkajian tentang konstitusi ini. Konstitusi adalah Undang-Undang Dasar (UUD)[43]. Sedangkan Mahkamah adalah pengadilan[44].
James Bryce mendefinisikan Konstitusi sebagai “suatu kerangka masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. Dengan kata lain hukum, menetapkan adanya lembaga-lembaga permanen dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan”. Konstitusi dapat pula disebut dengan kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan diantara keduanya. Konstitusi bisa berupa sebuah catatan tertulis; konstitusi dapat ditemukan dalam bentuk dokumen yang biasa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman; atau konstitusi dapat juga berwujud sekumpulan hukum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai konstitus. Atau biasa pula dasar-dasar konstitusi tersebut ditetapkan dalam satu atau dua undang-undang dasar sedangkan selebihnya bergantung pada otoritas kekuatan adat-istiadat atau kebiasaan[45].
Negara konstitusional modern telah menghasilkan undang-undang dan konvensi yang telah diakui untuk melaksanakan fungsi-fungsi ketiga kekuasaan pemerintahan tersebut[46]. Sebuah konstitusi sejati akan mencantumkan keterangan-keterangan jelas mengenai hal-hal berikut ini: 1) cara pengaturan berbagai jenis institusi, 2) jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut, 3) dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan. Tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.
Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagai Negative Legislator
Negative Legislator adalah merupakan salah satu peran Mahkamah Konstitusi yang baru-baru ini menjadi pembicaraan hangat dari berbagai kalangan baik pakar hukum maupun para pakar sosial politik, dan Negative Legislator ini adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penghapus Undang-Undang atau Norma-norma. Negative Legislator pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen, dan Hans Kelsen-lah orang yang pertama kali mengenalkan tentang konstitusi kepada dunia. Hans Kelsen adalah seseorang yang berkebangsaan atau berasal dari Negara Austria. Di Austria-lah pertama kali muncul yang namanya konstitusi dan orang yang pertama kali menyusun konstitusi serta Mahkamah Konstitusi dunia adalah Hans Kelsen.
Negative Legislator adalah sebuah ungkapan yang sering orang lontarkan kepada Mahkamah Konstitusi yang pekerjaannya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi yang bersifat mutlak, dan sebagai pengambil keputusan yang bersifat final dan mengikat. Kata Negative Legislator hanyalah sebuah kata hiasan yang sebenarnya peran Mahkamah Konstitusi bukan sebagai Negative Legislator, sebagaimana yang menjadi bidang kajian dalam tulisan ini.
Negative legislator masih sangat jarang dikaji oleh para pakar hukum dan juga para praktisi hukum yang diharapkan mampu memberikan konsep hukum yang terbaik bagi Indonesia, ketika kita melihat konteks realitas sekarang, kita akan menemukan bagaimana hukum itu menjadi mainan bagi para mafia hukum dan mafia peradilan atau yang biasa disebut dengan makelar kasus. Kalau saja tidak ada Mahkamah Konsitusi dan lembaga hukum lainnya, tidak akan mampu kita menciptakan hukum yang sudah agak meningan seperti sekarang ini. Mahkamah Konsitusi telah banyak melakukan kerja-kerja hukum dan telah banyak menolak disahkannya produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi juga sebagai Lembaga hukum Negara Republik Indonesia, telah memberikan masukan dan juga berbagai hal yang berkaitan dengan perkembangan hukum Indonesia khususnya, dunia pada umunya. Pelajaran hukum yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah banyak direalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan untuk menata bangsa ini dengan lebih baik dan lebih maju.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga hukum yang akan menghapus dan mensahkan UU yang diajukan oleh DPR-MPR dan juga Presiden. UU akan disahkan jika UU tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan UU tersebut akan dihapus, apabila UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi pertama kali terbentuk di Austria. Seorang ahli hukum sekaligus penyusun konstitusi Austria, Hans Kelsen, sebagai seorang pencetus ide tentang konstitusi dunia. Menurut Kelsen, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai legislator sebagaimana fungsi yang dijalankan oleh parlemen. Bedanya anatar Mahkamah Konstitusi dan Parlemen, Parlemen sebagai Positive Legislator (pembuat norma), sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator (penghapus norma). Inilah pengantar yang disampaikan oleh ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie SH., kepada peserta pendidikan dan pelatihan legal drafting (perancang perundang-undangan) Departemen Hukum dan HAM, kamis tanggal 29 Mei 2008, digedung MK, Jakarta[47].
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga Negara yang dibentuk setelah rezim otoritarian[48] hengkang dari panggung politik. Sebab pada saat rezim ini berkuasa tidak diberi kebebasan kepada rakyat untuk mengembangkan diri. Rezim ini selalu menghadangnya dan selalu membuatnya terkungkung dalam keterpurukan tanpa pengetahuan untuk lebih memahami kehidupan ini. Mahkamah Konstitusi yang sebenarnya telah terbentuk sejak adanya perubahan ketiga atau amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, yakni yang tercantum pada Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akan tetapi, baru disahkan pada tanggal 13 Agustus tahun 2003, pada saat itulah disahkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Inilah awal dari sejarah Indonesia baru yang akan membuka jalan baru bagi pemerintahan yang selama ini dikuasai oleh penguasa militer otoriter.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sturuktur ketatanegaraan Republik Indonesia adalah merupakan sebuah bentuk dari tuntutan reformasi peradilan agar Mahkamah Agung tidak berkuasa dan mengadili dengan sewenang-wenang sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru (rezim otoritarian yang gila dan Yahudi). Juga sebagai bentuk dari komitmen, agar UUD 1945 sebagai dasar bernegara tidak dilecehkan sebagaimana masa lalu yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Semangat reformasi mewarnai aroma perubahan UUD mulai perubahan pertama sampai perubahan keempat. Namun di dalamnya juga mengidap penyakit legitimasi dan hierarkis yang menjadi rantai panjang persoalan konstitusi sekarang.
Untuk lebih memahami bagaimana Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator. Perlu lebih awal untuk kita ketahui bagaimana fungsi, tugas, kedudukan, visi dan misi mahkamah konstitusi itu sendiri[49], adapun peran atau kewenangan dari mahkamah konstitusi; adapun kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah;
a.       Merupakan salah satu lembaga Negara yang memegang/melakukan kekuasaan kehakiman.
b.      Merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka
c.       Sebagai penegak hukum dan keadilan yang dapat dipercaya (cetakan miring dari penulis).
Sedangkan Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi adalah; menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan sesuai dengan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggarannya pemerintahan Negara yang stabil dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan masa lalu “yang begitu kelam, amburadur dan tanpa kejelasan serta tanpa arah sebab dikuasai oleh penguasa otokratik yang sangat gila terhadap dunia serta sangat gila terhadap harta, sehingga apapun yang menjadi kebijakannya tidak pernah dibicarakan atau tidak pernah diinformasikan kepada masyarakat yang menjadi objek dalam kebijakan tersebut”, dan ini semua ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi, oleh karenanya Mahkamah Konstitusi selain sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), Mahkamah Konstitusi juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution), selain itu juga Mahkamah Konstitusi memiliki tugas sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the process of democratization) yang memang sudag tercermin dalam visi Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dan pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).
Adapun visi dan misi didirikannya Mahkamah Konstitusi adalah:
Visi Mahkamah Konstitusi; Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita Negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Misi Mahkamah Konstitusi;
-          Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya.
-          Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya yang sadar akan berkonstitusi
Beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, (a) menguji Undang-undang terhadap UUD 1945[50], (b) memutus sengketa kewenangan konstitu-sional antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945[51], (c) memutus untuk pembubaran Partai Politik[52], (d) memutus perselisihan mengenai hasil Pemilihan Umum (Pemilu)[53], dan (e) memutus pendapat DPR mengenai dugaan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden[54] (selanjutnya disebut Impeachment), kewenangan Mahkamah Konstitusi ini biasa disebut dengan empat kewenangan dan satu kewajiban.
Apabila kita membandingkan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya, Mahkamah Konstitusi ini mempunyai posisi yang sangat unik dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya. Kalau MPR adalah lembaga yang menetapkan UUD, sedangkan Mahkamah Konstitusi yang akan mengawal UUD tersebut. DPR yang membentuk UU, akan tetapi Mahkamah Konstitusi yang akan membatalkannya jika terbukti bertentangan dengan UUD. Mahkamah Agung mengadili semua perkara pelanggaran hukum dibawah UUD, sedangkan Mahkamah Konstitusi mengadili perkara pelanggaran UUD.
Ada beberapa kelemahan tentang konsepsi yang dibangun oleh konstitusi hasil amandemen dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, antaranya; Pertama, teks konstitusi masih dapat ditafsirkan secara semena-mena oleh penguasa karena kepentingan politik semata, misal dalam konteks kalimat ‘pidana berat lainnya’ atau ‘perbuatan tercela’. Kedua, apa dan bagaimana mekanisme pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi mengingat dugaan yang dimaksud oleh DPR adalah perbuatan-perbuatan yang terkait dengan tindak pidana. Apakah akan mencukupi waktu 90 hari untuk memeriksa dan memutuskan dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden jika mengingat proses acara pidana yang harus menentukan kebenaran materiil dalam suatu kasus biasa memakan waktu berbulan-bulan?. Ketiga, bagaimana sifat mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi harus dibawa oleh DPR ke MPR. Hal ini menyebabkan bahwa tidak menutup kemungkinan MPR menganulir putusan Mahkamah Konstitusi tersebut[55].
Masa kepemimpinan Mahkamah Konstitusi yang pertama, yakni dibawah kepemimpinan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie SH, telah berhasil membawa Mahkamah Konstitusi, dari yang tidak pernah dikenal sampai menjadi terkenal dengan beberapa kebijakan yang telah diambil oleh konstitusi selama masa kerjanya, dan Jimly Asshiddiqie telah banyak melakukan upaya perkenalan Mahkamah Konstitusi kepada masyarakat, dengan cara bedah buku, seminar, workshop dan lainnya. Sehingga Mahkamah Konstitusi sampai sekarang banyak dikenal dalam kalangan masyarakat bawah sekalipun.
Mahkamah Konstitusi memiliki peran ganda dalam menjalankan wewenangnya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi yang sah. Apabila semua lembaga Negara misal MPR, DPR dan lainnya mengalami perselisihan dalam berpendapat tentang tuduhan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka putusan akhir dan bersifat final serta mengikat itu adalah Mahkamah Konstitusi.
Dari perkembangan sejarah di atas, Indonesia, kata Jimly, ketika melakukan amendemen Konstitusi, akhirnya mengadopsi Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang dibentuk berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga. Pembentukannya dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Menurut Jimly Asshiddiqie, lembaga Mahkamah Konstitusi banyak berdiri di Negara-negara penganut aliran hukum Eropa-continental. Sedangkan di negara-negara penganut aliran hukum common law, fungsi Mahkamah Konstitusi telah melekat di lembaga Mahkamah Agung (MA). “Kecuali, di Inggris tidak dikenal adanya pengujian undang-undang karena menganut prinsip supremasi parlemen,”.
Dalam menjalankan perannya sebagai Negative Legislator (penghapus norma), Mahkamah Konstitusi dapat manjalankan beberapa fungsi dan kewenangan. Ketika MK dapat membatalkan suatu ketentuan undang-undang pada hakikatnya, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk mencipatkan suatu norma baru dengan dihapuskannya norma yang lama, Hans Kelsen menyebut fungsi Mahkamah Konstitusi yang demikian ini sebagai Negative Legislator (penghapus norma) yang sangat berbeda dari parlemen yang menjalankan fungsi sebagai Positive Legislator (pembuat norma)[56].
Dari beberapa kewenangannya, Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga Negara, yang semua putusannya bersifat final dan bersifat mengikat, telah menjalankan perannya dengan hasil yang bisa kita katakan sebagai berhasil dan memuaskan. Sebab setelah berdirinya Mahkamah Konstitusi masalah ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia telah mampu untuk dipecahkan dengan jalan, misalnya melakukan pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dan banyak sekali masalah yang mampou diselesaikan. Baik yang menyangkut perkara ketatanegaraan ataupun perkara-perkara politik yang sedang terjadi yang memerlukan penyelesaian dengan jalan hukum.
Mahkamah Konstitusi adalah sebagai lembaga Negara yang memiliki kewenangan ganda, Mahkamah Konstitusi telah banyak memberikan putusan-putusan baik secara konstitusional maupun secara filosofis. Parlemen sebagai Positive Legislator selalu menciptakan undang-undang baru atau norma-norma baru sebagaimana cita-cita reformasi bagi Negara Indonesia demi kelangsungan kehidupan hukum di Indonesia, dengan mengeluarkan atau menciptakan norma-norma yang sesuai dengan fenomena atau keadaan yang sedang terjadi pada zaman sekarang (baik yang terjadi di Indonesia maupun yang sedang terjadi di Dunia). Selain sebagai Positive Legislator seperti parlemen yang lainnya, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menciptakan dan/atau mensahkan undang-undang yang diajukan oleh parlemen dan/atau Presiden.
Sebagai lembaga Negara yang kewenangannya untuk menjaga konstitusi dan menafsirkan konstitusi dalam konteks zaman, Mahkamah Konstitusi telah banyak mengeluarkan beberapa putusan yang menentukan kehidupan politik dan hukum yang sedang terjadi di Indonesia. Selama berdirinya Mahkamah Konstitusi sudah banyak menangani berbagai macam perkara-perkara ketatanegaraan yang begitu banyak sehingga dapat membuat Mahkamah Konstitusi dan seluruh anggota Hakim konstitusinya merasa leleah dan letih dengan keadaan bangsa yang begitu rumit dan begitu banyak, baik yang berkaitan dengan perkara tentang pembubaran Partai Politik[57], perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (perkara konstitusional)[58], perkara tentang perselisihan hasil Pemilu[59], perkara hubungan kewenangan antara lembaga Negara[60], serta perkara dalam memutuskan pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden[61], yang terakhir disebut dengan Impeachment Mahkamah Konstitusi.
Sebagai Negative Legislator, Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan akan menghapus Undang-undang atau norma-norma yang bertentangan dengan UUD 1945 dan bertentangan dengan keadaan tatanegara RI. Kewenangan Mahkamah Konstitus sebagai Negative Legislator tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga Negara yang lainnya, seperti Mahkamah Agung dan parlemen yang hanya sebagai Positive Legislator, yakni mereka ini hanya membuat dan menciptakan Undang-undang yang akan disahkan oleh Mahkamah Konstitusi dan apabila undang-undang atau norma yang diajukan itu bertentangan dengan UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi berhak menghapusnya.
Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat untuk tata hukum yang sedang terjadi di Indonesia, antaranya; 1) Perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, diatur dalam “Pasal 50 s.d. 60 UU MK dan telah dilengkapi dengan PMK No. 06/PMK/2005”, 2) Pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi diatur dalam “Pasal 68 s.d. 73 UU Mahakamah Konstitusi”, 3) Perkara perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum, diatur dalam “Pasal 74 s.d. 79 UU Mahkamah Konstitusi dan dilengkapi dengan PMK No. 04/PMK/2004 dan No. 05/PMK/2004”, 4) Perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, diatur dalam “Pasal 61 s.d. 67 UU Mahkamah Konstitusi”, 5) Perkara dugaan yang diajukan oleh DPR terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atau yang biasa disebut dengan Impeachment, diatur dalam “Pasal 80 s.d. 85 UU Mahkamah Konstitusi.
Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban dari keinginan rakyat untuk memiliki aturan undang-undang yang berpihak kepada rakyat kecil atau berpihak pada keadilan (membatasi penguasa), karena selama ini banyak sekali produk perundang-undangan yang dibentuk hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek tidak mempunyai visi dan misi kedepan sehingga masyarakat tidak berdaya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi mengakomodasikan kepentingan rakyat yang diperlakukan tidak adil dengan dibuatnya undang-undang yang bertentangan dengan UUD tahun 1945 sehingga rakyat dapat mengajukan judicial review.
Masyarakat sangat antusias menyambut keberadaan lembaga ini, hal ini dapat dilihat dari permohonan judicial review yang diajukan di Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi, terhadap undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945 selalu meningkat setiap tahunnya.
Pada awal tahun pelaksanaan tugasnya Mahkamah Konstitusi telah memutuskan beberapa permohonan dan yang diajukan mendapat perhatian masyarakat luas. Salah satu keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan Deliar Noer dkk dan Lembaga Perjuangan dan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KRDB) yang menuntut pembatalan pasal 60 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang mengatur bahwa WNI bekas anggota Partai terlarang (PKI) termasuk organisasi massanya tidak mempunyai hak dipilih dalam Pemilu tahun 2004, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut: “Calon anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan: bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya?. Mahkamah Konstitusi memandang pasal itu melanggar hak asasi manusia yang diatur dalam UUD tahun 1945, oleh karena itu pasal tersebut harus dicabut.
Keputusan lain yang menjadi perhatian publik adalah keputusan gugatan Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang mengajukan gugatan judicial review terhadap Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan isi pasalnya ada yang saling bertentangan, di satu pihak masih mengakui keberadaan instansi terkait termasuk KPKPN, tetapi di pihak lain menempatkan KPKPN merupakan salah satu  bagian dari KPK. Permohonan Ketua KPKPN ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan konsekuensinya Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tetap berlaku dan eksistensi KPKPN secara mandiri teranulir menjadi bagian dari KPK.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang tidak kalah populernya pada tahun 2006 adalah membatalkan kewenangan Pengadilan Ad Hoc dalam mengadili perkara korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh KPK, dan pembatalan Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi.
Terlepas dari pendapat yang pro dan kontra terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, merupakan suatu realita bahwa Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya sudah dapat menyelesaikan perselisihan para pihak yang berbeda pendapat tentang suatu pasal undang-undang.
Hal ini diharapkan akan tercipta suatu kepastian hukum terhadap konflik yang terjadi di masyarakat.

Table 1: Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi RI
Tahun 2003 s/d 2007
TAHUN
SISA YANG LALU
TERIMA
JUMLAH ( 3 + 4 )
PUTUSAN

KABUL
TOLAK
TIDAK DITERIMA
TARIK KEMBALI
2003
-
24
24
-
-
3
1
2004
20
27
47
12
8
12
4
2005
11
25
36
9
14
4
-
2006
9
27
36
8
8
11
2
2007
72
2
9
-
-
-
-

Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap pembatalan sebagian atau seluruh pasal-pasal Undang-undang yang telah dihasilkan DPR bersama Pemerintah dapat dikatakan sebagai bagian pembangunan sistem hukum terutama substansi undang-undang yang tidak boleh bertentangan dengan UUD tahun 1945. Dengan keputusan ini Undang-undang tersebut harus diperbaharui karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Agar sesuai dengan undang-undang dasar dan dapat menampung (mengakomodasikan) kehendak masyarakat yang telah dirugikan dengan adanya undang-undang maka dalam pembentukan undang-undang, substansi yang akan diatur seharusnya mencerminkan kehendak masyarakat dan sejalan dengan amanat UUD tahun 1945.
Adanya pembatalan undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pelajaran bagi DPR dan Pemerintah, agar dalam menyiapkan/ membahas undang-undang seyogyanya lebih hati-hati dan memperhatikan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis serta responsif terhadap aspirasi rakyat sehingga UU tersebut mencerminkan keadilan, tidak hanya mempertimbangkan politik untuk kepentingan kelompok/golongannya melainkan mencerminkan kehendak rakyat dan tidak ada gugatan masyarakat terhadap UU tersebut.
Produk undang-undang yang responsif dan populis adalah undang-undang yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Proses pembuatan UU dimaksud seharusnya memberikan peranan yang lebih besar terhadap partisipasi sosial atau individu di dalam masyarakat.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 24c dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 merupakan langkah awal bangsa Indonesia dalam menjalankan pembangunan sistem hukum sesuai tuntutan reformasi di bidang hukum agar praktik kenegaraan di Indonesia lebih demokratis dan adil sesuai amanat UUD 1945. Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat mengajukan JR terhadap undang-undang yang dianggap merugikan kepentingan dan bertentangan dengan undang-undang dasar.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang sudah dapat menunjukkan kinerjanya dalam menangani perselisihan pendapat antara para pihak terhadap suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu semua pihak yang terlibat dalam penyiapan undang-undang, khususnya DPR dan Pemerintah seharusnya lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat dan tidak meninggalkan prinsip filosofis, yuridis dan sosiologis dalam membentuk suatu undang-undang, untuk mengurangi undang-undang yang dibuat tersebut dinilai oleh masyarakat  telah merugikannya dan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga diajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi.
Untuk menjaga kredibilitasnya, Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya mengambil keputusan dalam menguji suatu undang-undang hendaknya menghindari pengaruh dari kepentingan politik tertentu.
Bagi pemangku kepentingan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (baik pihak pemerintah, dewan perwakilan maupun masyarakat luas) dituntut selalu meningkatkan kompetensinya. Salah satu usaha untuk itu adalah melalui pendidikan dan pelatihan a legal drafting? bagi pihak yang menyiapkan rancangan peraturan perundang-undangan untuk mengikutinya secara rutin dan bertahap dengan harapan kompetensi yang bersangkutan akan selalu meningkat dan terjaga dengan baik, yang akhirnya peraturan perundang-undangan yang dihasilkan akan lebih baik dalam arti mengakomodasikan kepentingan semua pihak, tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan gejolak yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah mengeluarkan putusan yang kontroversial dalam pengujiannya terhadap UU KPK, pada tanggal 12 April 2005 Mahkamah Konstitusi kembali mengejutkan kita dengan menguji Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 (UUMK) yang tidak lain adalah undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri. Dalam pengujiannya terhadap UUMK tersebut,  MK membatalkan Pasal 50 dari UUMK yang melarang MK untuk menguji undang-undang yang dibuat setelah adanya perubahan atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan dibatalkannya Pasal 50 UUMK, kini MK memiliki wewenang untuk menguji seluruh Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, tanpa batasan waktu.
Dalam Perkara Nomor 066/PUU-II/2004, beberapa orang pemohon yang tergabung dalam Kamar Dagang Industri Usaha Kecil dan Menengah (Kadin UKM) mengajukan pengujian atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (UU Kadin) karena undang-undang tersebut dinilai telah merugikan hak konstitusional mereka.  Pasal 4 dari UU Kadin hanya mengizinkan adanya satu Kamar Dagang dan Industri sebagai wadah bagi pengusaha Indonesia baik yang tidak bergabung maupun yang bergabung dalam organisasi pengusaha dan/atau organisasi perusahaan. Menurut para pemohon, Pasal 4 tersebut jelas-jelas merugikan hak konstitusi Pemohon beserta puluhan ribu anggotanya dalam membentuk organisasi yang sebanding dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Permasalahan timbul karena UU Kadin diberlakukan pada tahun 1987, sedangkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 50 UUMK hanya boleh menguji undang-undang yang lahir setelah adanya perubahan atas UUD 1945. Baik para pemohon dan beberapa ahli yang bersaksi dalam perkara tersebut mendalilkan bahwa dengan adanya Pasal 50 UUMK tersebut, terdapat kemungkinan undang-undang yang lahir sebelum perubahan UUD 1945 bersifat inkonstitusional namun tidak dapat dijangkau oleh MK. Dengan argumentasi tersebut, maka bisa terjadi pelanggaran hak-hak konstitusional warga Negara Indonesia yang harus dibiarkan semata-mata karena MK tidak bisa mengujinya.
Sebelum menguji UU Kadin, MK terlebih dahulu menguji Pasal 50 UUMK. Mayoritas hakim MK berpendapat bahwa (i)  Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ……”, tanpa memuat batasan tentang pengundangan undang-undang yang diuji;  (ii) Meskipun Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 termasuk dalam Bagian Kedelapan BAB V Hukum Acara, namun substansinya bukan semata-mata hukum acara tetapi menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah diatur secara jelas dan limitatif oleh UUD 1945, sehingga undang-undang tidak dapat mengurangi atau menambahkan kewenangan tersebut. Seandainya memang dimaksudkan untuk membatasi kewenangan Mahkamah, maka pembatasan demikian harus dicantumkan di dalam undang-undang dasar sendiri dan bukan di dalam peraturan yang lebih rendah; (iii) Adanya Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi akan menyebabkan ketidakpastian hukum yang pasti menimbulkan ketidakadilan karena dalam sebuah sistem hukum akan terdapat tolok ukur ganda: pertama, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan Pertama UUD 1945; dan kedua, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan setelah berlakunya Perubahan Pertama UUD 1945; (iv) Kedudukan undang-undang sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 adalah undang-undang yang berfungsi untuk melaksanakan undang-undang dasar dan tidak membuat aturan baru apalagi yang bersifat membatasi pelaksanaan undang-undang dasar. Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dipandang mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 dan bertentangan dengan doktrin hierarki norma hukum yang telah diakui dan diterima secara universal; (vi) MK bukanlah organ undang-undang melainkan organ undang-undang dasar. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangan konstitusionalnya adalah undang-undang dasar. Segala peraturan perundang-undangan  sudah seharusnya dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945
Beberapa Hakim Konstitusi tidak sependapat dengan putusan mayoritas dan mengeluarkan Dissenting Opinion. Ada hal yang menarik tentang dissenting opinion dari Hakim Achmad Rustandi yang menyatakan secara etika maka MK tidak bisa menjudicial review UU tentang Mahakamah Konstitusi itu sendiri, Achmad Rustandi mengambil kesimpulan ini dengan memperbanding-kan dengan hakim dalam perkara umum, perdata/pidana yang secara norma persidangan harus mengundurkan diri jika kasus yang akan ditangani berkaitan atau berhubungan dengan dirinya, dan hal ini menurutnya sama sekali bukan berarti meragukan imparsialitas dan integritas pribadi para hakim, melainkan merupakan kepatutan yang telah diakui secara universal (Achmad Roestandi)[62]. Sedangkan, Hakim Natabaya yang menyatakan dalam dissentingnya bahwa jika MK menerima permohonan judicial review ini maka MK berarti telah menanggalkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar melalui pembentuk undang-undang (wetgever)[63]. Hakim Laica Marzuki dengan mengutip Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum dari Jerman, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah menciptakan keadilan, kepastian dan kebergunaan hukum. Apabila Pasal 50 UUMK dibatalkan maka tedapat ketimpangan keadilan karena MK memaksakan paradigma UUD 1945 pasca perubahan terhadap UU yang berlaku sebelum UUD 1945 diubah. Selain itu, pengujian Pasal 50 akan membuka celah ketidakpastian hukum terhadap keberlakuan undang-undang pra-perubahan UUD 1945.
Secara teknis-hukum positif, memang MK memiliki wewenang untuk menguji Undang-Undang manapun, termasuk UU yang mengatur dirinya sendiri. Logika Hakim Konstitusi yang menyatakan bahwa MK bukanlah badan bentukan undang-undang melainkan badan bentukan Undang-Undang Dasar memang dapat diterima. Dengan memakai logika ini, MK bisa membatalkan undang-undang manapun yang dipandang bertentangan dengan konstitusi. Dengan ketiadaan pengaturan dalam UUD 1945 (beserta perubahannya) mengenai pembedaan legislative review dengan judicial review kekuasaan MK menjadi sangat besar sekali, karena MK bisa memutuskan undang-undang mana yang akan berlaku apabila terdapat konflik antara 2 undang-undang. Hal ini telah dipraktekkan MK dalam Putusan Perkara Nomor 004/PUU-I/2003 tentang pengujian terhadap UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Demikian pula, dengan ketiadaan pengaturan legislative review tersebut, Mahkamah Konstitusi dapat masuk kedalam kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam menentukan anggaran, misalnya, dengan men-judicial-review Undang-Undang tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (“APBN”). APBN kita memiliki satu celah hukum karena belum dapat memenuhi ketentuan minimal 20% alokasi dari anggaran untuk pendidikan. Tentu tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi apabila APBN dibatalkan karena belum dapat memenuhi ketentuan 20% tersebut. Pemerintah mungkin harus kembali kepada APBN tahun sebelumnya dan berhadapan dengan krisis politik, ekonomi serta terhambatnya pembangunan nasional.
Kini dengan dibatalkannya Pasal 50 UUMK, terbuka celah untuk diajukannya pembatalan seluruh produk hukum Undang-Undang yang dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, dan seluruh Undang-Undang produk kolonial yang berlaku dengan aturan peralihan UUD 1945. Dengan kacamata positivis, MK bisa membatalkan Burgerlijk Wetboek (Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata bentukan Pemerintah Kolonial Belanda) sekalipun karena bertentangan dengan konstisusi.
APBN dan Burgerlijk Wetboek legal-legal saja untuk dibatalkan. Namun apabila itu dilakukan, pertanyaan yang timbul adalah: apa gunanya? Gustav Radbruch menentang pandangan positivisme hukum seperti ini:  “Berdiri dibelakang barbarisme Nazi, pemerintah Jerman mengesampingkan keadilan seraya berkata Gesetz ist Gesetz! (UU adalah UU)”, demikian seru Radbruch. 
Penulis berpendapat bahwa kekuasaan MK yang demikian luas harus dibatasi – tidak ada jalan lain harus  melalui jalur Undang-Undang Dasar. UUD harus dirubah sehingga mendefinisikan dengan jelas rationne temporis (keberlakuan waktu) dan rationne materiae (meteri pengujian) yang masuk dalam kewenangan MK. Hal ini penting karena jika tidak ada yang mengontrolnya maka MK akan masuk dalam kategori lembaga yang hampir memiliki absolute power. Lord Acton pernah mengatakan, power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely.
Apabila akhirnya kewengan rationne temporis MK dibatasi oleh UUD untuk dapat menguji UU yang diberlakukan pasca Perubahan UUD 1945 maka akan timbul pertanyaan lain: bagaimana halnya dengan putusan-putusan MK yang terlanjur menguji produk UU sebelum Perubahan UUD 1945? Mungkin atas pertanyaan ini, hanya waktu yang bisa menjawab.
Ada beberapa contoh perkara yang dapat di Constitutional Complaint-kan di Mahkamah Konstitusi antaranya dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2: contoh kasus yang bisa dibawa pada Constitutional Complaint pada Mahkamah Konstitusi

No

Nama Kasus

Keterangan Kasus
1
Kasus Lumpur Lapindo di Kab. Sidoarjo, Jatim
Warga masyarakat korban Lumpur Lapindo bisa membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme constitutional complaint dengan alas an telah melanggar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) masyarakat yang secara internasional telah mendapat pengakuan dalam ICESCR dan telah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005, walaupun upaya hkum ke PN Sidoarjo telah dilakukan namun tidak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya.
2
Kasus penyerobotan tanah masyarakat adat Kajang, Kab. Bulukumba, Sulsel, oleh PT. Lonsum
Masyarakat adat Kajang, Kab. Bulukumba, Prop. Sulsel bisa membawa kasus penyerbotan tanah adat oleh pihak PT. Lonsum melalui mekanisme constitutional complaint ke Mahkamah Konstitusi dengan memakai dasar hukum perlindungan hak-hak masyarakat adat (indigenous peoples) yang telah mendapatkan pengakuan dalam pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960 dan instrumen internasional Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang diterima oleh Dewan HAM PBB pada tanggal 29 Juni 2006[64].
3
Keputusan pemerintah dalam kebijakan kenaikan harga BBM, TDL dan telepon dengan alasan menutupi defisit APBN
Masyarakat Indonesia yang merasa dirugikan atau merasa keputusan pemerintah tersebut tidak didukung oleh alas an ekonomi yang kuat bisa membawa masalah ini ke constitutional complaint Mahkamah Konstitusi dengan alasan telah melanggar hak dasar masyarakat untuk kehidupan yang layak demi kemanusiaan. Selain melalui mekanisme hak interpelasi di DPR.
4
Kasus penyerobotan tanah milik masyarakat adat lain seperti yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
Komunitas masyarakat dat yang tersebar di Indonesia seperti yang ada di Kalimantan, dan Sumatera yang lahan adatnya diserobot oleh pihak-pihak yang terkait yang tidak disertai dengan prosedur hukum yang benar dan adil juga bisa membawa kasus ini melalui mekanisme constitutional complaint ke Mahkamah Konstitusi dengan memakai dasar hukum perlindungan hak-hak masyarakat adat (indigenous peoples) yang telah mendapatkan pengakuan dalam pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960 dan instrumen internasional Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang diterima oleh Dewan HAM PBB pada tanggal 29 Juni 2006.

Pada bulan Agustus 2006 kemarin, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia genap berusia 3 (tiga) tahun[65]. Dalam perjalanannya dalam mengawal konstitusionalitas Indonesia dan membangun budaya sadar berkonstitusi, Mahkamah Konstitusi terus berusaha menjadi lembaga negara yang dekat dengan publik, dekat dengan rakyat, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan rakyat dan negara Indonesia. Dengan sistem peradilan yang bersih dan didukung dengan Teknologi Informasi (TI) yang sangat modern,[66] berbagai perkara yang masuk dalam Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi telah berhasil diputuskan dan menjadi jalan keluar dari kebuntuan akan ketidakpastian hukum yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sejak Mahkamah Konsitusi berdiri, penulis mencatat beberapa perkara yang sempat menjadi sorotan di tengah-tengah publik yaitu:
1.      Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tahun 2004, terdiri dari:
  • Perkara PHPU Legislatif, berjumlah 273 perkara yang dikonsolidasikan ke dalam 44 permohonan, diajukan oleh 23 partai politik dan 21 calon anggota DPD.
  • 1 (satu) buah Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, diajukan oleh pasangan calon Presiden Wiranto dan calon Wakil Presiden Salahuddin Wahid.
2.      Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD).[67]
3.      Pekara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (PUU):
  • UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
  • UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
  • UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
  • UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
  • UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  • UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
  • UU No. 24 Tahun 2004 tentang Kamar Dagang Indonesia (KADIN).
  • UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
  • UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.
  • UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Beberapa Provinsi, Kabupaten/Kota di Irian Jaya.
  • UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
  • UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  • UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
  • UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2005.
  • UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Kesimpulan
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator sekaligus sebagai pengawal jalannya demokrasi di Indonesia, sangat diharapkan untuk kerja yang lebih baik dan lebih berpihak pada keadilan dan kesejahteraan rakyat, Indonesia telah banyak membuat dan mengeluarkan hukum-hukum atau UU yang sesuai dengan perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan hukum atau UUD 1945. Sebab dengan perannya sebagai Negative Legislator inilah yang telah membuat Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan sebagai lembaga yang memutuskan perkara pada tingkat awal dan sekaligus pada tingkat akhir dari masalah-masalah ketatanegaraan yang sedang dihadapi oleh Negara dan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA


5.      Buku-buku,
Asshiddiqie, Jimly, 2005, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”, Konstitusi Press, Jakarta.
-----------------------, 2007, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,
-----------------------, 2006, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Konstitusi Press, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, “Teori Hans Kelsen Tentang Hukum”, Konstitusi Press, Jakarta.
Fadjar, Abdul Mukthie, 2006, “Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”, Konstitusi Press bekerja sama dengan Citra Media, Jakarta.
Fathurohman dkk., 2004, ”Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia”, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Ferejohn, John and Pasquale Pasquino, “Rule of Democracy and Rule of Law”, dalam Jose Maria Maravall amd Adam Przeworski eds, 2003, “Democracy and The Rule of Law”, Cambridge University
Hadi SH., MH., Nurudin, 2007, “Wewenang Mahkamah Konstitusi: Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu”, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
Hadjar, A. Fickar, dkk, “Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi”, Jakarta, KRHN dan Kemitraan.
Jurdi, Fajlurrahman, 2007, “Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim”, Kreasi Wacana bekerjasama dengan PuKAP-Indonesia, Yogyakarta.
Kelsen, Hans, 2006, “General Theory of Law and State”, terjemahan, Nusamedia dan Nuansa, Bandung.
Librayanto, Romi, “Trias Politica: Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, PuKAP-Indonesia, Makassar.
Plato, 1986, “The Laws” Pinguin Classics, Edisi tahun 1986, diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trover J. Saunders.
Puspa, Yan Pramadia, 1977, “Kamus Hukum; Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris”, Aneka Ilmu, Semarang.
Simorangkir, SH., J.C.T., Drs. Rudy T. Erwin, SH., dan J.T. Prasetyo, SH., 1995, “Kamus Hukum”, Bumi Aksara, Jakarta.
Soimin dan Sulardi, 2008, “Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif”, Malang, UMM Press. 
Strong, C.F, 1966, “Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Exiting Form”, The English Book Society and Sidgwick and Jackson Limited London, London. Yang diterjemahkan oleh SPA Teamwork dalam bahasa Indonesia, 2008, “Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia”, Penerbit Nusa Media, Bandung.
Sutiyoso, Bambang, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Bandung, Citra Aditya Bakti.
6.      Koran/Makalah
Fajlurrahman Jurdi, “Mahkamah Konstitusi Menghukum Tanpa Batas”, Opini Harian Pagi Fajar, Makassar, Kamis 19 Maret 2009.
Harjono, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan Implementasinya Dalam Praktek”, makalah disampaikan dan acara stadium general yang diselenggarakan oleh Departemen Hukum Acara FH UII di ruang sidang FH UII Yogyakarta, 5 Maret 2005.
7.      Majalah.
Jimly Asshiddiqie, “MK sebagai Negative Legislator” Berita Mahkamah Konstitusi No. 23 Juni-Juli 2008.
8.      Internet.
http://www.legalitas.Org/?q=content/gagasan-pembentukan-mk-indonesia, Jimly Asshiddiqie, 2005, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”, Konstitusi Press, Jakarta, Hlm: 8-9. Yang diakses pada tanggal 25 Juli 2009 jam 18:30 Wita.
www.pemantauperadilan.com , Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., “Mahkamah Konstitusi dan Cita Negara Hukum Indonesia: Refleksi Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Opini dalam Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH-UI), Jakarta, Hlm: 6-19. Yang diakses pada tanggal 25 Juli 2009 jam 18:30 Wita.
9.      Undang-Undang.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 (amandemen ketiga).
Pasal 68 s.d. 73 UU Mahakamah Konstitusi.
Pasal 50 s.d. 60 UU MK dan telah dilengkapi dengan PMK No. 06/PMK/2005.
Pasal 74 s.d. 79 UU Mahkamah Konstitusi dan dilengkapi dengan PMK No. 04/PMK/2004 dan No. 05/PMK/2004.
Pasal 61 s.d. 67 UU Mahkamah Konstitusi.
Pasal 80 s.d. 85 UU Mahkamah Konstitusi.






PENUTUP
Mahkamah Konstitusi telah banyak memberikan masukan dan penjagaan ketat terhadap kehidupan hukum di Indonesia. Kesimpulan dari semua apa yang telah tertulis diatas ini, adalah ingin memberikan masukan atau lebih tepatnya tambahan kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi, supaya lebih memperkuat lagi kehidupan hukum yang tengah mengalami gonjang-ganjing dalam kancah pemahaman masyarakat yang mulai meragukan idealism para penegak hukum, dengan berbagai tayangan yang selalu ditayangkan dimedia, baik media cetak, lebih-lebih media elektronik.
Ada beberapa fungsi Mahkamah Konstitusi yang berusaha penulis analisis dan teliti dengan  baik untuk diajukan menjadi tambahan kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi Indonesia, antaranya;
1.      Pengawal Demokrasi, dimana fungsi ini, sudah menjadi ketetapan dalam perjalanan perkembangan Mahkamah Konstitusi. Maka penulis ingin mengajukan fungsi ‘pengawal demokrasi’ itu sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi, supaya perjalanan demokrasi di bangsa ini, terarah dengan adanya pengontrol atau pengawal jalannya kehidupan yang demokratis di Negeri ini, dari lembaga formal institusi, yang selalu ingin melesetkan jalannya proses demokratisasi tersebut.
2.      Negative Legislator (penghapus undang-undang), sebagaimana yang telah digariskan pada amandemen ke tiga UUD 1945 Tahun 2001 pasal 24C, yang menyebutkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final dan mengikat. Dimana, disetiap rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPR, DPD dan Presiden, akan disahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila ada rancangan UU yang diajukan itu, tidak sama dengan UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menghapus UU tersebut. Inilah analisis singkat yang membuat penulis untuk mengujakan tambahan kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi, supaya kehidupan hukum di Indonesia semakin terlihat kuat dan memihak pada yang benar, bukan yang punya modal.
3.      Constitutional Complaint (pembanding konstitusi/penyalur aspirasi hukum rakyat).
Kenapa penulis begitu antusias memberikan masukan bagi Mahkamah Konstitusi?, sebab Mahkamah Konstitusi, telah memberikan kinerja penuh dalam mengawal dan menjaga kehidupan hukum di Negara ini. Apalagi Negara ini adalah Negara hukum yang memang sudah dijelaskan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 amandemen keempat Tahun 2002, menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, setiap pelanggaran dan perilaku penduduknya akan diadili dan dinilai sebagaimana hukum yang berlaku. Sekarang kehidupan hukum Negara ini semakin terancam keberlangsungan dengan hadirnya para mafia, yang membuat kekacauan dalam kehidupan hukum yang sedang berlaku.








BIOGRAFI SINGKAT PENULIS
FATAHULLAH JURDI, lahir di Ngali, pada tanggal 24 September 1990. Anak ke 6 dari Sembilan bersaudara. Lahir dari keluarga yang tidak terlalu berada akan tetapi mempunyai semangat untuk mencari ilmu yang tinggi, sehingga dalam keluarga penulis tidak ada yang menjadi pengangguran, Nama Ayahanda “JURDI Bin H. YASIN”, Nama Ibunda “IMROH Bin H. SAAD”, inilah sang pemberi motivator dan pemberi inspirasi bagi kelangsungan kehidupan dan pemberi semangat baru bagi penulis, tanpa kedua Orang Tua Penulis ini, mungkin penulis tidak akan menjadi seperti sekarang, dan Orang Tua penulis memiliki slogan “lebih baik menyekolahkan anak dari pada naik Haji”.
Menyelesaikan MI Negeri di Ngali dan MTs Assaydiyah di Ngali, SMA di SMA Negeri 1 Belo di Cenggu. waktu SMA, penulis adalah siswa yang paling bodoh dan dan paling minder dan kebodohan serta keminderan itu masih melekat dalam diri penulis sampai sekarang. Akan tetapi, penulis mampu menepisnya ketika berada dibangku kuliah.
Dari rumah penulis bertekad untuk masuk UNHAS, dan UIN tidak pernah ada dalam pikiran penulis pada saat itu dan bahkan ketika sudah sampai di Makassar. Dan penulis juga berencana untuk mengambil jurusan Kimia Murni, sebab penulis adalah jago Kimia dalam kelas dan memang penulis merasa, penulis punya bakat dalam ahli kimia. Akan tetapi takdir berbicara lain, ternyata penulis lebih suka pada jurusan Politik, Hukum, Hubungan Internasional, dan Bidang Kesehatan, dan penulis namakan jurusan-jurusan ini dengan, Misalnya Politik, ya, Kimia Politik, Kimia Hukum, dan lainnya.
Sekarang penulis sedang aktif kuliah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar pada jurusan Pemikiran Politik Islam, UIN adalah tempat yang sangat bagus untuk kita membangun nalar dan nilai kritis yang sangat bagus, dan UIN juga membentuk karakter kita untuk menjadi manusia yang unik dan berbeda dengan yang lainnya. Dalam lingkungan UIN inilah penulis akan bangkit dan akan memulai perlawanan terhadap kebijakan penguasa yang tidak sama dengan apa yang pernah mereka ikrarkan dalam berbagai kesempatan untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan dari masyarakat. UIN akan menciptakan sejarah perlawanan baru dan akan menciptakan sistem baru bagi Indonesia yang lebih maju dan lebih beradab. Akan ada sesi baru bagi UIN untuk tampil dipentas nasional dengan mengatasnamakan masyarakat dan juga keadilan.
Penulis sempat melakukan cuti kuliah, itu dikarenakan penulis tidak punya dana untuk melanjutkannya, sebab penulis memiliki satu pegangan yakni “jika kita sudah berusia diatas 17 tahun, berarti kita tidak bisa lagi bergantung kepada orang tua”, dan sekarang penulis sedang berusaha mandiri, meski penulis merasa masih sangat kecil untuk mencari uang, kalau dalam konteks Indonesia. Akan tetapi, penulis berusaha sekuat tenaga untuk melakukan berbagai upaya untuk bisa membayar kuliah sendiri dan mencari uang makan sendiri, dari sinilah nilai kekritisan penulis muncul untuk mengkritik penguasa yang tidak pernah melihat masyarakat bawah yang kehabisan makanan dan bahkan mereka melarat, sedangkan para pejabat Negara dengan enaknya menikmati uang rakyat. Disinilah penulis merasakan bagaimana yang tengah dialami oleh sebahagian besar penduduk Indonesia yang hidup dibawah angka kemiskinan.
Penulis punya kedekatan khusus dengan Muhammadiyah, sehingga sering kalil teman-teman penulis, menyangka bahwa penulis adalah anak Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), yang lahir dari tubuh Muhammadiyah. Dan penulis juga sangat dekat dengan berbagai organisasi Islam yang tumbuh, bahkan semuanya. Dari kedekatan inilah, maka penulis sering dianggap sebagai anggota organisasinya. Disinilah kelebihan penulis terhadap teman-teman yang lainnya, yakni punya kedekatan khusus dengan berbagai organisasi Islam yang sedang berkembang sekarang.
Ada beberapa organisasi yang sempat penulis ikuti baik itu pada saat SMA sampai sekarang: Mantan Pengurus OSIS SMA N 1 Belo (2006-2007), Mantan Pengurus Iqro Club (IC) Bima (2005-2008), mantan Pengurus Mesjid Jami’ Al-Manar Ngali (2001-2008), mantan Aktifis Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Bima (2006-2008). Sekarang aktif di HMI Cabang Gowa Raya, Anggota LDK Al-Jami’ UIN Makassar, sebagai kelanjutan dari Tarbiyah di Iqro Club, Aktifis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), aktifis Pro-Demokrasi, sempat di kader di Hizbut Tharir Indonesia (HTI), Peneliti Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)- Indonesia Bidang Kajian Politik Islam, Aktifis Gerakan Rakyat Daerah (GARDA)- Indonesia, Kota Makassar Sulsel. Ketua Umum sekaligus Pendiri Forum Intelektual Muda Bima-Indonesia (2009-2013).
Ini adalah karya pertama dari penulis, semoga akan di susul lagi dengan beberapa karya kutukan dan kritik terhadap cara kerja para Rezim Politik dan juga para pakar Hukum serta para Aktifis yang mengaku diri orang Islam, akan tetapi mereka belum pernah mencerminkan ke’Islam’annya itu, justeru mereka selalu mencerminkan sifat dan sikap ke’Yahudi’an dan itu sangat di cekam oleh Allah dalam Al-Qur’an dan bahkan akan di kutuk.
Ada beberapa tokoh panutan yang menjadi inspirasi baru kebangkitan pemikiran penulis dan pemberi motivasi bagi penulis untuk selalu hidup dalam gelimangan pemikiran yang menghinggapi, dalam wilayah Indonesia seperti Jimly Asshiddiqie, Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas, Saiful Mujani, Yudi Latif, Syarifuddin Jurdi, Fadjloerrahman, Fajlurrahman Jurdi, Anies Baswedan, dan lainnya. Dalam konteks dunia Nabi Muhammad Saw, Murtadha Muthahari, Ali Syari’ati, Thomas Alfa Edison, Einstein, Jurgen Habermas, Hans Kelsen, Taqiuddin An-Nabhani, Hassan Al-Banna, Abdul Qadim Zallum, Muhammad Abduh dan lainnya.
Buku Ideologi dan Konstalasi Politik Islam Indonesia adalah buku pertama dari penulis dan akan disusul dengan beberapa naskah yang sedang digarap, antaranya, Ilmu Politik: Suatu Pengantar (Buku Pegangan Kuliah Untuk Anak-Anak Fakultas Sosial Politik) (naskah siap terbit), Perjalanan Politik Indonesia: Dari Orla, Orba, Reformasi Sampai Pasca-Reformasi Hingga Sekarang (naskah siap terbit), Plesetan Ormas-Ormas Islam Indonesia (naskah siap terbit), Kritikan Atas Kinerja Dan Kajian Ormas-Ormas Islam Indonesia (naskah siap terbit), Aib Kampus-Kampus Islam (naskah sedang ditulis), Pengkhianatan Intelektual Ala Indonesia: Sebuah Pendekatan Ala Julien Benda (naskah sedang ditulis), Meretas Nalar Berpikir Anak-Anak Muda Islam Indonesia Pasca Reformasi (naskah yang sedang ditulis), Mengkritisi Konsep Hukum Yang Ada Di Indonesia (naskah yang masih dalam proses negosiasi otak kanan dengan otak kiri).
Sekarang sedang aktif menulis, Artikel, Jurnal, Makalah, bahkan membantu menyelesaikan skripsi para calon sarjana.
Penulis juga sering mengikuti seminar, workshop, diskusi baik Lokal, Nasional, maupun Internasional, dan penulis selalu hadir tepat waktu, bahkan lebih awal. Dan penulis juga sering mengirim tulisan ke Harian Pagi Fajar dan Tribun Timur, tapi selalu ditolak, katanya teman-teman, tulisan penulis itu sangat tajam dan sangat kasar untuk konteks koran, karena selalu dengan kritikan tajam dan tegas serta lugas dengan berbagai fenomena yang sedang terjadi. Akan tetapi penulis tidak pernah berhenti untuk menulis, semakin ditolak oleh koran lokal ini semakin bersemangat penulis untuk menulis, mungkin inilah awal dari kehidupan seseorang sebagai penulis, dan penulis fine-fine aja terhadap itu.
Dapat Di Hubungi:
              : ulangali@yahoo.co.id
Hp.        : 081 338 769 613
087 866 721 101


[1] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., 2007, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, Hlm: 587.
[5] Jimly Asshiddiqie, 2005, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”, Konstitusi Press, Jakarta, Hlm: 8-9. Sumber: http://wahyudidjafar.wordpress.com/2008/ 07/25/penu..., dalam http://www.legalitas.Org/?q=content/gagasan-pembentukan-mk-indonesia.
[6] Hans Kelsen, 2006, “General Theory of Law and State”, terjemahan, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, Hlm. 223. Lihat juga Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, “Teori Hans Kelsen Tentang Hukum”, Konstitusi Press, Jakarta, Hlm. 126. Sumber: http://wahyudidjafar. wordpress.com/2008/ 07/25/penu..., dalam http://www.legalitas.Org/?q=content/gagasan-pembentukan-mk-indonesia.
[7] UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan penyebutan atau penulisan resmi terhadap UUD 1945 yang telah 4 (empat) kali diamandemen. Hal ini digunakan untuk membedakan UUD 1945 yang belum diamandemen (UUD 1945) dengan UUD 1945 yang telah diamandemen (UUD Negara RI Tahun 1945). http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref3
[8] Lihat Pasal 24B UUD Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
[9] Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, serta buku “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang” karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H., yang tidak lama lagi akan segera diterbitkan, dimana penulis merupakan editor dari buku tersebut.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftn8
[10] Untuk saat ini referensi tulisan yang berkaitan dengan Lembaga Negara, dapat dilihat pada buku ”Sengketa Lembaga Negara” yang telah diterbitkan oleh KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional). http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref6
[11] Lebih jelasnya lihat dan pelajari buku karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H., yang berjudul ”Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi”.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref7
[12] Pemilihan Umum yang dimaksud di sini yaitu hanya terbatas pada pengertian Pemilihan Umum anggota Legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja, bukan termasuk pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Akan tetapi pada saat ini telah berkembang wacana dimana penyelesaian sengketa Pilkada yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung akan dimungkinkan dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, dikarenakan MA ternyata menemukan kesulitan terhadap penanganan perkara Pilkada itu sendiri. http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref8
[13] Rumusan terinci dapat merujuk pada Pasal 7B ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945 yang lebih dikenal dengan impeachment. Lihat juga buku ”Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945” karya Hamdan Zoelva, S.H., M.H., yang telah diterbitkan oleh Konstitusi Press belum lama ini. http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref9
[14] Semua perkara konstitusi di Mahkamah Konsti­tusi disebut sebagai perkara permohonan, bukan gu­gatan. Alasannya karena hakikat perkara konstitusi di Mahkamah Konstitusi tidaklah bersifat adversarial atau contentious yang berkenaan dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata ataupun tata usaha negara. Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara peng­ujian undang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. Undang-undang yang digugat adalah un­dang-undang yang mengikat umum terhadap sege­nap warga negara. Oleh sebab itu, perkara yang diaju­kan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permo­honan. Dengan demikian, subjek hukum yang mengajukannya disebut sebagai Pemohon.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref10
[15] Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point d’interet point d’action, yaitu apabila ada kepentingan hukum diperbolehkan untuk mengajukan gugatan.
[16] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Kosntitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 81-82. (Maruarar Siahaan merupakan salah satu dari sembilan hakim konsitusi RI).
[17] Hal ini disebabkan oleh karena adanya sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andaikata permohonan hanya diajukan oleh seseorang atau individu tertentu.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref13
[18] Perbedaan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam hal Judicial Review yaitu dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar harus dimohonkan kepada Mahakamah Konstitusi, sedangkan pengujian seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
[19] Untuk sumber-sumber hukum acara yang disebut dalam huruf d, e, dan f merupakan sumber tidak langsung, dimana dapat diterapkan pada Mahkamah Konstitusi RI apabila terdapat kekosongan dalam pengaturan hukum acaranya. http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref15
[20] Lihat dalam BAB V Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan beberapa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang Hukum Beracara berdasarkan tiap-tiap kewenangan MK. http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref16
[21] Khusus untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), diajukan paling lambat 2 x 24 jam sejak KPU mengumumkan hasil pemilu.
[22] Khusus untuk perkara perselisihan hasil pemilu, paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi Salinan Permohonan disampaikan kepada KPU.
[23] Berdasarkan Pasal Pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengakui enam jenis alat bukti yang sah yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus setiap perkara konstitusi yang dimohonkan kepadanya. Keenam alat bukti itu adalah: 1. Surat atau tulisan; 2. Keterangan saksi; 3. Keterangan ahli; 4. Keterangan para pihak; 5. Petunjuk; dan 6. Alat bukti lain berupa informasi yang diucap­kan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
[24] Daniel Sparringa, “Demokrasi Dalam delapan Tesis: Beberapa Isu Problematis dan Perkembangannya di Indonesia (1998-2008)Universitas Airlangga, Komunitas Indonesia Untuk Demokrasi (KID), 2008.
[25] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., 2007, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, Hlm: 587.
[26] Moh. Mahfud MD., 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media. Jakarta, hlm 22.
[27] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., “Mahkamah Konstitusi dan Cita Negara Hukum Indonesia: Refleksi Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Opini dalam Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH-UI), Jakarta, Hlm: 6-19. Dalam www.pemantauperadilan.com, yang diakses pada tanggal 25 Juli 2009 jam 18:30 Wita.
[28] Untuk penjelasan Lebih lanjut, lihat Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Umum No. 13 Tahun 2003.
[29] UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan penyebutan atau penulisan resmi terhadap UUD 1945 yang telah 4 (empat) kali diamandemen. Hal ini digunakan untuk membedakan UUD 1945 yang belum diamandemen (UUD 1945) dengan UUD 1945 yang telah diamandemen (UUD Negara RI Tahun 1945). http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref3
[30] Lihat Pasal 24B UUD Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
[31] Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, serta buku “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang” karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H., Dalam.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftn8
[32] Untuk saat ini referensi tulisan yang berkaitan dengan Lembaga Negara, dapat dilihat pada buku ”Sengketa Lembaga negara” yang telah diterbitkan oleh KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional). http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref6
[33] Lebih jelasnya lihat dan pelajari buku karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H., yang berjudul ”Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi”.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref7
[34] Pemilihan Umum yang dimaksud di sini yaitu hanya terbatas pada pengertian Pemilihan Umum anggota Legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja, bukan termasuk pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Akan tetapi pada saat ini telah berkembang wacana dimana penyelesaian sengketa Pilkada yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung akan dimungkinkan dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, dikarenakan MA ternyata menemukan kesulitan terhadap penanganan perkara Pilkada itu sendiri. http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref8
[35] Rumusan terinci dapat merujuk pada Pasal 7B ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945 yang lebih dikenal dengan impeachment. Lihat juga buku ”Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945” karya Hamdan Zoelva, S.H., M.H., yang telah diterbitkan oleh Konstitusi Press belum lama ini. http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=34143207 - _ftnref9
[36] UU Mahkamah Konstitusi No. 24 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1). Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), hlm.3-4
[37] ”Mengkritisi revisi UU Pemda dari Ilmu Peraturan Perundang-undangan”, http.www. hukumonline.com, diakses tanggal 5 Mei 2008
[38] ”Mengkritisi revisi UU Pemda dari Ilmu Peraturan Perundang-undangan”, http.www. hukumonline.com, diakses tanggal 5 Mei 2008
[39] Jimly Asshiddiqie, 2007, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, Hlm: 587.
[40] Jimly Asshiddiqie, 2005, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”, Konstitusi Press, Jakarta, Hlm: 8-9. Sumber: http://wahyudidjafar.wordpress.com/2008/ 07/25/penu..., dalam http://www.legalitas.Org/?q=content/gagasan-pembentukan-mk-indonesia.
[41] Hans Kelsen, 2006, “General Theory of Law and State”, terjemahan, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, Hlm. 223. Lihat juga Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, “Teori Hans Kelsen Tentang Hukum”, Konstitusi Press, Jakarta, Hlm. 126. Sumber: http://wahyudidjafar. wordpress.com/2008/ 07/25/penu..., dalam http://www.legalitas.Org/?q=content/gagasan-pembentukan-mk-indonesia.
[42] Baca J.C.T Simorangkir, SH., Drs. Rudy T. Erwin, SH., dan J.T. Prasetyo, SH., 1995, “Kamus Hukum”, Jakarta, Bumi Aksara, Hlm; 84. Lihat pula dalam Yan Pramadia Puspa, 1977, “Kamus Hukum; Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris”, Aneka Ilmu, Semarang, Hlm: 243 dan 523.
[43] UUD 1945 itu sendiri, kalau dalam konsteks Indonesia. Sebab itulah lembaga Negara yang memiliki kewenangan ganda (yakni menjaga dan menafsirkan Konstitusi dan memiliki satu kewajiban memutus dugaan DPR terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
[44] Baca J.C.T Simorangkir, SH., Drs. Rudy T. Erwin, SH., dan J.T. Prasetyo, SH., 1995, “Kamus Hukum”, Bumi Aksara, Jakarta, Hlm; 94. Lihat pula dalam Yan Pramadia Puspa, 1977, “Kamus Hukum; Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris”, Aneka Ilmu, Semarang, Hlm: 433, 581 dan 582.
[45] Baca C.F Strong, 1966, “ Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Exiting Form”, The English Book Society and Sidgwick and Jackson Limited London, London. Yang diterjemahkan oleh SPA Teamwork dalam bahasa Indonesia, 2008, “Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia”, Penerbit Nusa Media, Bandung, Hlm: 15-16.
[46] Sebagai catatan, ketiga lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah lembaga Legislatif (pembuat undang-undang), lembaga Eksekutif (menjalankan undang-undang) dan lembaga Yudikatif (menjaga undang-undang atau mengadili). Yang masing-masing memiliki fungsi-fungsi tersendiri.
[47] Majalah berita Mahkamah Konstitusi No. 23/Juni-Juli 2008, Hlm; 22.
[48] Sebagai catatan, rezim ini tiada lain yakni rezim Soehartoisme, yang begitu ganas dan siap untuk memangsa siapa saja yang tidak patuh terhadap semua kebijakannya yang gila dan sangat tidak masuk akal. Inilah sifat rezim otoriter yang tidak memberikan orang lain memberinya masukan meski kebijakannya sangat mengganggu rakyat yang menjadi objek dari kebijakan tersebut.
[49] Mengenai kajian tentang kedudukan, fungsi, tugas, visi dan misi Mahkamah Konstitusi, dapat dilihat dalam beberapa buku, seperti Abdul Mukthie Fadjar, 2006, “Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”, Konstitusi Press bekerja sama dengan Citra Media, Jakarta, Hlm: 118-120. Lihat pula dalam Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie SH, 2006, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Konstitusi Press, Jakarta,. Hlm: 155-156. Lihat pula dalam Nurudin Hadi SH., MH., 2007, “Wewenang Mahkamah Konstitusi: Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu”, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,. Kemudian lihat pula dalam Fajlurrahman Jurdi, 2007, “Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim”, Kreasi Wacana bekerjasama dengan PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, Hlm: 115-124.
[50] Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 (perubahan atau amandemen ketiga).
[51] Ibid
[52] Ibid
[53] Ibid.
[54] Lihat Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 (perubahan ketiga).
[55] Soimin dan Sulardi, 2008,  “Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif”, Malang, UMM Press, 2004, Hlm; 154-155. Lihat pula dalam Romi Librayanto, “Trias Politica: Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, PuKAP-Indonesia, Makassar,.
[56] Jimly Ashiddiqie, 2007, “Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, Hlm: 952. Lihat pula John Ferejohn and Pasquale Pasquino, “Rule of Democracy and Rule of Law”, dalam Jose Maria Maravall amd Adam Przeworski eds, 2003, “Democracy and The Rule of Law”, Cambridge University, Hlm: 242-260.
[57] Pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi diatur dalam “Pasal 68 s.d. 73 UU Mahakamah Konstitusi; pemohonnya adalah pemerintah, sedangkan termohonnya adalah Partai Politik yang bersangkutan yang diinginkan untuk berubah; alasan pembubaran Parpol adalah ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan Parpol yang bersangkutan sudah menyimpang dari UUD 1945; jika permohonan dikabulkan, parpol yang bersangkutan dibatalkan pendaftarannya sebagai badan hukum pemerintah”. Baca pula Abdul Mukthie Fadjar, 2006, “Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”, Konstitusi Press bekerjasama dengan Citra Media, Jakarta, Hlm: 122.
[58] Perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, diatur dalam “Pasal 50 s.d. 60 UU MK dan telah dilengkapi dengan PMK No. 06/PMK/2005; subjek hukum yang dapat menjadi pemohon adalah, i) perorangan WNI, termasuk kelompok yang memiliki kepentingan sama, ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat pada prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-undang, iii) badan hukum publik atau privat, iv) lembaga Negara, yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, yakni hak/kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945; objek permohonan adalah konstitusionalitas sebuah undang-undang yang meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian mengenai apakah pembentukan dan bentuk undang-undang sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD 1945, dan pengujian secara materiil, yaitu pengujian mengenai apakah materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945; selama perjalanannya mengawal konstitusi Mahkamah Konstitusi sudah menangani 65 perkara, dengan putusan ada yang dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebahagian, tidak diterima dan ada yang ditolak. Baca pula Abdul Mukthie Fadjar, “Hukum Konstitusi........., Ibid, Hlm; 121
[59] Perkara perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum, diatur dalam “Pasal 74 s.d. 79 UU Mahkamah Konstitusi dan dilengkapi dengan PMK No. 04/PMK/2004 dan No. 05/PMK/2004; pemohon adalah perorangan peserta Pemilu DPD, partai politik peserta Pemilu, dan pasangan Capres dan/atau Cawapres peserta Pemilu Presiden dan/atau Wakil Presiden, sedang termohon adalah KPU; objek perselisihan adalah Penetapan hasil Pemilu oleh KPU; sedangkan untuk Pemilu 2004 yang lalu telah ditangani 21 permohonan peserta Pemilu DPD, 273 kasus Pemilu DPR/DPRD, dan 1 kasus Pemilu Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Baca pula Abdul Mukthie Fadjar, “Hukum Konstitusi........, Ibid, Hlm; 122-123,
[60] Perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, diatur dalam “Pasal 61 s.d. 67 UU Mahkamah Konstitusi; pemohonnya adalah lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; sedangkan termohonnya adalah lembaga Negara yang mengambil kewenangan lembaga Negara lainnya; objek sengketa adalah kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945; dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama yakni baru dua tahun berdirinya Mahkamah Konstitusi, baru satu perkara yang ditangani oleh MK, yakni permohonan yang diajukan oleh DPD terkait dengan pemilihan anggota Badan Pemeriksaan Keuangan”. Baca pula Abdul Mukthie Fadjar, “Hukum Konstitusi, Ibid, Hlm; 121-122.
[61] Perkara dugaan yang diajukan oleh DPR terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atau yang biasa disebut dengan Impeachment, diatur dalam “Pasal 80 s.d. 85 UU Mahkamah Konstitusi; pemohon adalah DPR yang disetujui oleh minimal 2/3 dari minimal 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna; alasan impeachment: 1) Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar hukum karena pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, serta tindak pidana berat lainnya, dan melakukan perbuatan tercela yang sangat merusak citra bangsa dan Negara, dan 2) Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan UUD 1945; putusan menyatakan pendapat DPR terbukti atau tidak terbukti”. Baca pula Abdul Mukthie Fadjar, “Hukum Konstitusi, Ibid, Hlm; 123.
[62] dissenting opinion Achmad Roestandi, Putusan  MK No 066/PUU-II/2004
[63] Natabaya, ibid
[64] Deklarasi tersebut, telah disepakati oleh 30 Negara dari 47 Negara peserta. Definisi Indigenous Peoples dalam konteks Indonesia adalah masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum adat yang memiliki hakl kolektif terhadap sumber daya alam.
[65] Pendirian Mahkamah Konstitusi dimulai semenjak adanya pengucapan sumpah jabatan 9 (sembilan) hakim konsitutsi di Istana Negara, Jakarta pada tanggal 16 Agustus 2003.
[66] Mahkamah Kosntitusi pada saat ini bertempat di Jalan Merdeka Barat No. 7 Jakarta, dimana pada masa awal pembentukan pernah bertempat di Plaza Centris di Jalan HR Rasuna Said, Kav. B-5 Kuningan, Jakarta Selatan. Dan direncanakan pada tahun 2006 Mahkamah Konsitusi akan menempati gedung barunya (dalam proses pembangunan) yang sangat megah dan berarsitektur nilai tinggi pada Jalan Merdeka Barat No 6, Jakarta. Akan tetapi pemenuhan IT System pada lingkungan Mahkamah Konstitusi tidak pernah luput dan bahkan semakin membaik, dimana pada lingkungan kerja MK setiap pegawainya dilengkapi dengan komputer yang mempunyai akses internet 24 hours, LAN, Intercom, dan ruang persidangan yang mengikuti standar International, serta official website Mahkamah Konstitusi yang berdomain pada www.mahkamahkonstitusi.go.id yang selalu up to date bagi masyarakat yang ingin mencari setiap putusan, risalah ataupun berita-berita yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
[67] Perkara SKLN ini diajukan oleh lembaga negara DPD yang isinya menyangkut dua lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yaitu DPD dengan Presiden terkait dengan pengangkatan Pimpinan dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2004-2009, dimana pada intinya DPD meminta MK memutus bahwa pengangkatan anggota BPK periode 2004-2009 tidak dilakukan dengan adanya pertimbangan dari DPD, padahal UUD 1945 mengatur mekanisme sebagaimana disebutkan. Dalam waktu 8 (delapan) hari dan hanya dalam tiga kali sidang, perkara tersebut telah diselesaikan dengan amar permohonan pemphon ditolak.

3 komentar:

  1. Selamat siang Pak, izin bertanya, buku ini bisa saya beli dimana yah?
    Mohon petunjuk nya pak
    Terima Kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf dengan sangat pak, baru bls komentar bapak.
      boleh saya minta nomor ponsel bapak?
      ini nomor saya: 085338590866
      atasnama : Fatahullah Jurdi

      Hapus
  2. Mohon maaf dengan sangat pak, baru bls komentar bapak.
    boleh saya minta nomor ponsel bapak?
    ini nomor saya: 085338590866
    atasnama : Fatahullah Jurdi

    BalasHapus