SATGAS DAN MAFIA HUKUM DI INDONESIA
Fatahullah Jurdi
Ketua Umum DPD Sulawesi Selatan LSM Pemantau Kinerja Aparatur Negara (LSM PENJARA)- Indonesia
Indonesia yang sudah 65 tahun mengalami kermedekaan, tidak mampu keluar dari jeratan para penjajah yang kian mencekik lehernya, setelah mereka mengatakan berhasil keluar dari jeratan penjajah dalam bentuk kolonialisme dan developmentalisme, maka penjajah sekarang tampil dalam bentuk yang sangat bagus dan telah mampu mengikuti perkembangan zaman atau biasa disebut dalam bentuk postmodern yang sangat terdesain dengan baik seiring dengan perkembangan zaman. Penjajah Indonesia sekarang, bukan lagi Negara-negara Asing. Akan tetapi, penjajah Indonesia sekarang adalah penduduk Indonesia sendiri yang menjadi pelacur dan pengkhianat, mereka ingin menjual Indonesia kepada Negara Asing yang hasratnya hanya untuk membeli dan membeli Negara-negara berkembang yang banyak menyimpan sumber daya alam yang berlimpah ruah.
Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana di setiap pelanggaran itu akan dihukumi sesuai dengan koridor hukum yang ada dan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh hukum. Sebagaimana yang telah digariskan oleh Pasal I Ayat 3 UUD 1945, yang menjadi patokan kita dalam mengembangkan Negara yang kian antah barantah ini, serta dalam mengamandemen Undang-undang di Negeri ini, untuk menyamakannya dengan perkembangan zaman. Negara Indonesia adalah Negara yang lalim dengan berbagai kebijakan, baik kebijakan hukum, lebih-lebih kebijakan politik dan lainnya.
Dalam glamournya budaya pop dan bingkai hantu postmodern seperti sekarang ini, banyak orang yang berhasrat untuk menjual, menjual serta menjual saja, tanpa melihat apa yang mereka jual, bahkan harga diri mereka, mereka jual. Inilah para pengkhianat yang selalu mengkhianati dirinya sendiri. Para pengkhianat ini, biasa saya sebut dengan para Mafia, entah mafia hukum, mafia peradilan maupun mafia lainnya sampai mafia ”tahi kucing” yang sering berkeliaran ditempat yang kotor, tanpa harus melihat apakah disitu ’ada tahi’ atau ’tidak’. Mereka seperti manusia yang tidak memiliki hati nurani dan perasaan untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, yang baik dianggap buruk, yang buruk dianggap baik oleh mereka yang menjadi pelacur dan mafia yang hasratnya hanya untuk menjual, menjual dan menjual, bahkan mereka dengan antengnya menjual harga dirinya sendiri.
Sebagaimana yang dikatakan oleh, Dr. Soedjono Dirdjosisworo S.H (1985: 39), mengatakan, ”Pada umumya, sistem hukum pidana di Negara demokrasi harus memperlakukan pelaku kejahatan sebagai masalah individu. Pada bangsa-bangsa seperti itu, sudah menjadi kewajiban aparat peradilan pidana untuk menjatuhkan hukuman pada setiap pelaku kejahatan tanpa menghiraukan ras, agama, status sosial, atau keanggotaan”. Aparat-aparat ini kemudian harus mementingkan untuk mengumpulkan bukti-bukti yang menjurus pada pemeriksaan individu dihadapan pengadilan daripada menekankan pada bukti mengenai hubungan diantara para penjahat atau pada struktur dan operasi organisasi-organisasi gelap.
Tetapi, sangat lain yang terjadi di Indonesia, yang terjadi di Indonesia bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan oleh Dr. Soedjono Dirdjosisworo S.H tersebut. Hukum Pidana di Indonesia memperlakukan pelaku kejahatan dengan melihat suku, ras, agama, status sosial dan jabatan serta keanggotaannya. Sehingga banyak sekali para mafia yang bebas dari jeratan hukum serta banyak juga diantaranya yang kebal hukum.
Satgas Dan Mafia Hukum
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) yang dibentuk oleh Presiden tidak mampu memberikan sedikit pemberantasan terhadap para mafia yang kian hari, kian banyak serta kian mencekik kehidupan di Indonesia. Satgas melihat dan mengukur keberhasilan kinerjanya dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat pada institusi penegak hukum (Kompas, 5 Januari 2010). Jika demikian, dipantau dalam realitas sosialnya, maka kinerja Satgas tidak ada apa-apanya dan tidak memberikan apa-apa dalam penegakan hukum dan pemberantasan mafia di Indonesia. Justeru dengan hadirnya Satgas, memberikan semacam legitimasi atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum, Satgas melejitkan atau memperkuat ketidakpercayaan tersebut, sebab dengan hadirnya Satgas semakin banyak pula kejadian aneh yang menimpa bangsa ini, bahkan para mafia semakin menjadi-jadi dalam melakukan kejahatan dan semakin banyak pula katalisator bagi mereka dalam melakukan kejahatan.
Jangankan Satgas yang baru seumuran jagung, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung juga, telah mengalami keompongan gigi dan bahkan giginya sudah hampir retak semua, tidak mampu lagi memberikan hukuman bagi siapa yang telah melakukan pelanggaran atau kejahatan, begitu juga dengan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial serta KPK yang dibentuk untuk menjaga kehidupan hukum dan peradilan di Indonesia tidak mampu memberikan penghakiman yang adil dan merata sebagaimana yang tersirat dalam sila kelima pancasila sebagai dasar Negara (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) dan kerapkali saya menyebut pancasila Indonesia sebagai panca yang sial, yang hanya bisa membawa sial bagi rakyat Indonesia. Inilah keretakan, pengkhianatan, pelanggaran hukum yang sangat tragis sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Aparat-aparat hukum yang ada di Indonesia adalah keparat yang tidak mampu mengungkap kejahatan para mafia yang menguasai Negeri ini, mereka hanya mampu mengungkap kejahatan orang-orang yang bukan bahkan tidak tahu-menau tentang apa dan bagaimana itu mafia, misalkan ’orang kecil’ mencuri satu buah semangka, sepasang sandal, dan lain sebagainya. Sedangkan kejahatan yang jauh lebih besar seperti kejahatan korupsi yang menghabiskan uang Negara bermilyar-milyaran bahkan bertriliun-triliunan rupiah tidak mampu mereka ungkap bahkan mereka menutup mulut dan mata mereka ketika melihat kejadian itu, serta banyak sekali yang melakukan penggelapan dalam berbagai hal yang menyangkut institusi.
Satgas dibentuk untuk memberantas para mafia yang menguasai Negeri ini, bukan untuk menjadi katalisator kejahatan para mafia tersebut sehingga semakin menjadi-jadilah kejahatan yang mereka lakukan. Presiden sendiri telah mengeluarkan ungkapan ketika Satgas melakukan kunjungan dikantor Presiden, Presiden mengungkapkan ”saya memandang perlu membentuk tim khusus ini, ad hoc. Harapan saya akan bisa bekerja selama dua tahun untuk membuka jalan dan membikin terang banyak jalan. Kemudian temuan yang didapatkan bisa ditindak lanjuti dan tituntaskan”. (Kompas, 5 Januari 2010). Saya meyakini, biar Satgas diberi waktu seumur hidup-pun tidak akan mampu mengungkap mafia-mafia yang menjalar di Negara ini, sebab para mafia tersebut sudah beranak-pinang dan sudah memiliki akar yang sangat kuat, sehingga tidak akan mampu di ungkap atau diberantas apalagi dicabut dari pertumbuhannya. Serta mafia-mafia ini sudah berselingkuh dengan penguasa itu sendiri.
Dengan hadirnya Satgas, telah membawa beberapa hal yang membuat Bangsa ini semakin jauh masuk kedalam jurang-jurang kehancuran, sebab para mafia semakin kuat dan semakin cepat dalam melakukan kejahatan serta menularkan virus kejahatan yang mereka kembangkan, dan kerja yang demikian mereka lakukan adalah ketika mereka mengetahui bahwa Satgas telah dibentuk oleh Presiden Indonesia. Dengan hadirnya Satgas, membuat para mafia hukum membuat kinerja yang sangat bagus dan lebih rapi tidak seperti yang sebelumnya, yang pada akhirnya Satgas yang dibentuk tidak mampu bekerja secara baik.
Saya mengajukan alternatif terakhir, yakni Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dipensiunkan saja, sebab hanya menghabiskan anggaran Negara, apalagi Negara miskin seperti Indonesia yang memiliki hutang luar Negeri yang sangat banyak bahkan semakin diperbanyak oleh pemerintah untuk menggaji para penegak hukum yang tidak pernah tegak sampai hari ini. (Wallahu A’lam Bishawab).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar