Rabu, 09 November 2011

DPR, DPF DAN DAR SEBUAH PERSELINGKUHAN SEKALIGUS CANDU PENGKHIANATAN OLEH ELIT POLITIK


PERSELINGKUHAN KAKI TIGA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN FRAKSI DAN DEWAN ARTIS RAKYAT
SEBUAH KECANDUAN POLITIK KAUM PENGKHIANAT
FATAHULLAH JURDI[1]





Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah Dewan yang menjadi “penyambung lidah” kepada elit penguasa, supaya apa yang mereka ejewantahkan melalui kerongkongannya yang mereka sebut sebagai misi dan visi serta amanah pemimpin kepada rakyat disampaikan kepada rakyat dengan sepenuhnya, supaya amanah itu disampaikan kepada rakyat dengan seutuhnya.
Dewan Perwakilan Fraksi (DPF) adalah dewan yang akan menjadi perwakilan utuh dari fraksi yang telah mengutusnya sehingga menjadi anggota dewan. DPF tidak dipilih oleh rakyat, tapi dipilih oleh fraksinya masing-masing dan DPF hanya bertanggungjawab pada fraksinya, bukan pada rakyat.
Sedangkan Dewan Artis Rakyat (DAR) adalah dewan kumpulan dari semua artis Ibukota yang hidup dalam glamournya budaya pop dan dalam bingkai hantu modernitas.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); Sebuah Bingkai Kejahatan yang Terlegitimasi
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah dewan rakyat yang menjadi wakilnya di institusi birokrasi Negara dan akan menyampaikan apa yang menjadi problema rakyat yang sedang dia pimpin. DPR harus selalu siap siaga dalam menanggapi dan menerima aspirasi dari masyarakat yang telah memberikan amanah kepada mereka, dalam istilah sehari-hari DPR selalu disebut sebagai penyambung lidah rakyat, yang akan menyampaikan aspirasi rakyat ke elit birokrat penguasa, supaya elit itu menyampaikan dengan benar apa yang menjadi harapan masyarakat.
Dalam memahami prospek dan kinerja DPR sebagai lembaga Negara yang mewakili rakyat dan penyambung lidah rakyat di institusi negara, harus mampu memberikan yang terbaik bagi masyarakat yang telah memberikan amanah kepadanya. Gedung DPR harus menjadi gedungnya rakyat, sebagai tempatnya rakyat untuk konsultasi segala hal yang mengenai prospeknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melihat prospek dan kinerja yang dilakukan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang, kita dapat menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan apa yang tengah terjadi dalam masyarakat, yang seharusnya mereka menjadi penyambung lidah rakyat yang telah memberikan amanah kepada mereka, justeru hanya menjadi penyambung lidah fraksi yang telah mengutus mereka. Pertama, adalah bentuk absurdnya seorang anggota dewan yang selalu tampil untuk mengumbar senyuman yang menyakitkan, jika ditafsirkan secara empirik. Kedua, adalah bentuk pengkhianatan yang selalu ditampilkan anggota dewan, lewat berbagai pemberitaan yang diberitakan oleh media massa. Ketiga, DPR hanya hadir sebagai pembuat masalah baru bagi proses perjalanan kehidupan bangsa yang kita cintai ini. Keempat, DPR juga, kerjaannya, hanya menghabiskan anggaran Negara dengan terus-terus meminta kenaikan gaji (padahal rakyat disekitarnya, yang telah memberikan amanah kepadanya kelaparan). Kelima, DPR sebagai pembuat malapetaka kemiskinan bangsa ini (DPR LEBIH BAIK DIBUBARKAN SAJA).
DPR harus tampil sebagai perpanjangan tangan bagi rakyat yang telah memberikan amanah kepadanya, dia harus memprioritaskan apa yang menjadi kepentingan rakyat. DPR tidak seharusnya tampil untuk kepentingan personal maupun familynya masing-masing, sebab bukan saja personal dan family nya yang memilihnya, justeru yang memilih mereka adalah rakyat, sehingga amanah mereka harus disampaikan kepada mereka dengan seutuhnya pula.
Dalam konteks sekarang, banyak anggota DPR, bahkan hampir semuanya, meminta untuk penambahan gaji, padahal masyarakat yang ada didekatnya kelaparan bahkan tidak punya tempat tinggal. DPR hanya tampil sebagai perpanjangan tangan dari family nya masing-masing. Mereka diibaratkan sebagai penjilat kelas teri yang hasratnya hanya untuk menjual, menjual dan menjual saja.
Dalam prospek perjalanannya anggota DPR hanya tampil sebagai aib bagi perjalanan kehidupan bangsa ini, dia hanya mampu nenciptakan stratifikasi dan pemilihan sosial yang jelas, sehingga amanah rakyat tidak pernah sampai pada kebenaran yang sebenarnya.
Dalam kejelasan seorang anggota Dewan, maka harus dipahami dari cara kerja serta cara mereka mengejewantahkan kebijakan dan amanah yang diberikan oleh rakyat kepada mereka dengan sebaik mungkin. Legitimasi baik atau buruknya kerja seorang anggota dewan, itu dilihat dari merata atau tidaknya kebijakan dan janji yang telah mereka ejewantahkan melalui kerongkongannya.
Dewan Perwakilan Rakyat, seharusnya tampil sebagai pahlawan bagi rakyat yang telah memberikan amanah kepadanya. Akan tetapi, dalam konteks realitas yang terjadi sekarang, justeru tampil sebagai pengkhianat yang selalu berhasrat untuk mengkhianati rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka untuk menjadi penyambung lidahnya di parlemen.
DPR dipilih untuk memperjuangkan kepentingan dan amanah rakyat demi tercapainya masyarakat yang adil, sejahtera dan makmur, sehingga terbentuknya demokrasi yang sebenar-benarnya. Janji-janji yang mereka ejewantahkan melalui kerongkongan mereka harus sampai pada rakyat yang telah memberikan amanah kepadanya.
Dewan Perwakilan Fraksi (DPF); Sebuah Bentuk Pengkhianatan
Dewan perwakilan fraksi (DPF), hanya sebagai perpanjangan tangan dari fraksi yang telah mengutusnya dan sebagai kendaraan politiknya. Adanya hibridisasi dan hibridisme dalam konteks politik, akan membawa kecelakaan besar bagi kemajuan bangsa ini.
Banyak anggota dewan yang sekarang asyik menyapa realitas hibrid dengan menghancurkan nilai politik yang sesungguhnya untuk melancarkan jalannya kepentingan dan hasrat yang mereka inginkan. Kebanyakan elit politik sekarang, hanya mampu menjadi aib bagi politik, sehingga realitas politik yang sesungguhnya semakin absurd dan tidak jelas.
Hadirnya fraksi yang memberikan ruang gerak bagi para politisi muda, justeru menjadi pentas kecelakaan yang besar bagi keberlangsungan politik yang sedang ingin dikembangkan. Sehingga mengakibatkan semua elit yang ada di dewan, beramai-ramai membicarakan kepentingan fraksinya, yang seharusnya mereka membicarakan kepentingan rakyat yang telah memberikan amanah kepada mereka, justeru tampil dan hadir untuk membicarakan kepentingan fraksinya masing-masing.
DPF akan bertanggungjawab bagi fraksinya, bukan bertanggungjawab bagi rakyat. Mereka tidak punya relasi yang jelas dengan rakyat yang selalu mengharapkan amanah mereka disampaikan kepada mereka dengan seutuhnya. DPF sebagai salah satu dewan dan termasuk juga duduk di kursi empuk dewan yang akan memperjuangkan aspirasi masyarakat kepada institusi Negara, justeru sangat lihai dalam memperjuangkan kepentingan fraksi atau kelompok mereka masing-masing.
DPR yang seharusnya membahas apa yang tengah terjadi di masyarakat (rakyat), justeru tampil sebagai pahlawan bagi fraksi yang telah mengutusnya. Fraksi adalah merupakan kumpulan orang-orang tolol dan bodoh yang siap untuk menggagalkan demokrasi di negeri ini. Adanya fraksi hanya akan menyakiti hati masyarakat yang telah memberikan amanah untuk memperjuangkan amanah mereka, DPF tidak pernah tampil sebagai perwakilan rakyat dan keberadaan DPF hanya untuk menghabiskan anggaran Negara dan membuat Negara ini semakin miskin dengan menggaji orang-orang yang tidak pernah punya otoritas dan profesionalisme yang jelas.
Hadirnya DPF hanya menambah populasi orang tolol dan bodoh untuk menghabiskan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), mereka tidak pernah punya profesionalisme dan otoritas yang jelas dalam menata kehidupan bangsa ini kedepannya.
Tawaran terakhir dari saya adalah, jika semua anggota dewan tampil hanya untuk membicarakan apa yang terjadi dalam fraksi masing-masing, maka lebih baik gedung mewah dewan itu dijadikan pasar saja, itulah manfaat yang langsung bisa dipetik, yakni bisa menambah Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Dan seluruh angggota dewan yang ada lebih baik dibubarkan saja bilaperlu dibumihanguskan saja, demi tentramnya kehidupan bangsa ini.
Sistem bikameral yang dianut Indonesia semakin tidak jelas dan tidak pernah menentu. Bikameral yang dikatakan, tetapi sistem yang sebenarnya adalah multikameral. Multikameral yang hanya bisa menghabisi anggaran Negara, tanpa memberikan konstribusi yang baik bagi negeri ini.
Dewan Artis Rakyat (DAR); Sebuah Kecelakaan Besar Sejarah Bangsa Ini
Sekarang yang menguasai wilayah perwakilan rakyat adalah mereka yang menjadi artsi-artis ibu kota dan mereka yang telah menjadi anggota-anggota fraksi yang tidak pernah paham dengan berbagai fenomena yang sedang dihadapi oleh bangsa ini, ada juga yang paham, tapi tidak pernah memberikan pahaman yang baik kepada masyarakat serta mengimplementasikan apa yang telah dipahaminya untuk kebenaran. Ternyata yang lolos menjadi anggota Dewan dan sebagai penyambung lidah rakyat di parlemen kebanyakan adalah para artis-artis Ibukota dan anggota-anggota fraksi. Ini adalah drama demokrasi yang cukup mengerikan secara substansial, namun secara formal justru sangat legitimate.
Mereka yang terpilih menjadi anggota Dewan, adalah mereka yang di beri amanah oleh rakyat untuk bisa memperbaiki Bangsa dan Negara, agar kesejahteraan rakyat bisa diperjuangkan. Namun, kenyataan yang terjadi, justru muncul berjuta problem dengan kehadiran aktor baru, yang belum memiliki pengalaman, kurang cerdas dan bahkan dalam rentang sejarah kehidupannya jauh dari hiruk-pikuk kemiskinan. Mereka hidup dalam glamournya budaya pop, hantu modernitas dan hedonisme Jakarta yang begitu dahsyat. Pertanyaanya, apakah janji-janji, dan berjuta harapan yang keluar dari “tenggorokan” mereka akan diejawantahkan?.
Dalam konteks ini, seorang Artis (selebritis) dan seorang anggota fraksi yang seringkali tampil di Televisi dan sering kali hanya membicarakan masalah-masalah fraksinya masing-masing, dengan gaya khas anak kandung ibukota, menyapa realitas hibrid dikalangan mereka, yang terkadang absurd, justru menjadi bagian dari “diskursif” politik yang dikembangkan. Akibat “hasutan” demokrasi liberal dengan sistem politik yang terlampau bebas, tanpa berpikir panjang mereka yang telah melonjak popularitasnya akibat “berkah” media televisi dan farksi yang mengharu-biru setiap hari, menayangkan “tubuh” seksi dan senyuman aib serta ideologi busuk dalam bingkai desas desus, akhirnya memilih untuk ikut dalam kontestasi politik.
Keikut-sertaan mereka dalam kontestasi politik ini, tanpa ada bayangan untuk apa mau jadi politisi, apa yang harus dikerjakan ketika menjadi politisi, apa makna menjadi wakil rakyat, tiba-tiba karena “berkah” media, popularitas, “tubuh”’ dan duit serta popularitas sebagai aktris fraksi yang baik, mereka kemudian terpilih menjadi wakil rakyat. Panggung politik bukanlah panggung sandiwara sinetron, panggung politik bukanlah panggung sandiwara drama lelucon, panggung politik bukanlah panggung sandiwara kisah cinta, panggung politik bukan panggung sandiwara serta lelucon fraksi yang selalu ditampilkan oleh seluruh anggota fraksi yang ada. Akan tetapi, Panggung politik adalah panggung yang penuh tanggungjawab, di atas panggung ini nasib berjuta rakyat ditentukkan, masa depan berjuta anak bangsa diputuskan.
Politik pengkhianatan para artis dalam panggung politik, menyebabkan kualitas demokrasi kita harus dipertanyakan. Demokrasi yang sedang dianut oleh Indonesia, sebenarnya adalah demokrasi sebahagian, sebab demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi yang mampu mensejahterakan rakyat dan mampu melawan kemiskinan yang terjadi dalam Negara dan Bangsa. Sedangkan Indonesia sekarang adalah Negara yang paling banyak penduduk atau bahkan Negara Indonesia sekarang adalah popularitas orang-orang miskin. Indonesia adalah Negara termiskin di Dunia.
Sekarang parlemen itu bukan lagi kumpulan Dewan Perwakilan Rakyat, justeru sudah berbalik haluan menjadi Dewan Artis Rakyat yang sangat tidak jelas apa yang menjadi agenda mereka untuk memajukan Negara ini kedepannya. Kalau kita mengkaji tentang perilaku artis khususnya di Indonesia sekarang ini tidak lebih dari sebuah dramatisasi ke”Gila”an dan selalu penuh dengan gosip-gosip murahan yang tidak pernah ada pelajaran politiknya serta akting-akting kebohongan yang selalu menghinggapi hidupnya, bagaimana bisa, kita mempercayai mereka yang sudah mahir dalam akting-akting dusta dan kehidupannya pun penuh dengan kebohongan dan kedustaan, bahkan rumah tangga mereka tidak jelas, mereka selalu menggonta-ganti pasangan dan sama persis dengan binatang, yang hari ini dia berjalan dengan si A besoknya berjalan lagi dengan si B, hari ini dia menikah dengan si A besoknya cerai dan menikah lagi dengan si B, dan seterusnya begitu, untuk menjadi penyambung lidah rakyat di parlemen. Kebohongan dan kedustaan yang dilakukannya, mereka tidak pernah menutupinya, justeru mereka sangat bangga bisa berbohong dan berdusta demi memenuhi hasrat Duniawi-nya dan ini sangatlah aneh untuk dicerminkan oleh mereka yang mengatakan diri akan memperjuangkan hak-hak rakyat di pemerintah. Pertanyaannya adalah apakah mereka akan mencermin-kan hal yang demikian ketika berada di parlemen nanti? Tentu jawabannya adalah “YA”. Sebab, sebuah kebiasaan tidak mampu untuk ditinggalkan dengan sekaligus, sebab kebiasaan itu kalau mau ditinggalkan harus melalui proses dan sangat susah.
Saya tidak menyebut anggota Dewan kita yang sekarang duduk di parlemen dengan sebutan Dewan Perwakilan Rakyat, saya menyebutnya dengan Dewan Artis Rakyat, yang selalu berakting di depan rakyat, ketika mereka membutuhkan legitimasi dari rakyat, tanpa melihat nasibnya rakyat. Mereka hanya bisa menarik massa, demi untuk mendapatkan kekuasaan, setelah mereka mendapatkannya, mereka mengabaikan massa yang mereka jemput tadi. Inilah sifatnya para pecundang dan pengkhianat dan mereka pantas untuk di hukum dan kemudian di giring dan di gantung di tiang sejarah, biar menjadi mimpi yang kelam di masa lalu, mereka tidak layak untuk memimpin suatu bangsa. Kalau artis, mereka hanya bisa hidup berfoya-foya tanpa melihat orang-orang yang ada didekatnya, yang penuh dengan kelaparan dan penyakitan, mereka hanya bisa keluar-masuk mall dan keluar-masuk hotel dan restoran-restoran mahal, yang mereka kedepankan hanyalah kepentingan Duniawi saja. Sebenarnya artis Indonesia sekarang, demi untuk mendapatkan uang, mereka bahkan akan menjual harga dirinya. Semua artis itu punya catatan-catatan kelam yang sangat menjijikkan untuk kita bicarakan, dan hal yang demikian, hampir semuanya artis yang ada di Indonesia ini memilikinya. Makanya jangan pernah percaya terhadap mulut-mulut busuk sang Wakil kita, sebab semua sangatlah busuk dan menjijikkan.
Kita sekarang sedang menyaksikan sebuah tontonan gila yang dicerminkan oleh para wakil-wakil kita yang sudah terpilih untuk duduk di parlemen, mereka yang terpilih menjadi wakil-wakil kita itu adalah mereka yang setiap hari pekerjaan hanyalah akting-akting busuk yang penuh dengan kebohongan dan dusta. Banyak para pakar sosial-politik yang resah terhadap perilaku pemilih Indonesia sekarang. Saya teringat dengan perkataan dari Dr. Alwi Rahman dalam sebuah diskusi terbuka yang diadakan oleh Forum Dialog Antarkita (FORLOG antarkita) Sulsel bekerjasama dengan Lembaga Indonesia Timur untuk Studi Agama dan Sosial (LINTAS) di Kampus UIN Alauddin Makassar, dengan tema “Peran Lembaga Agama Dalam Konsolidasi Demokrasi Di Indonesia”, dia mengatakan bahwa pemilih-pemilih Indonesia sekarang adalah pemilih-pemilih busuk atau yang lebih tepatnya dia mengatakan “Kebusukan Pemilih Indonesia” (Dr. Alwy Rahman, 2009). Dimana pemilih kita sekarang, sudah tidak lagi memilih sesuai dengan kata hatinya mereka hanya menyikuti hasratnya, yang mana yang mereka suka, maka itu yang akan mereka pilih, meski orang itu sudah mereka ketahui busuk dan dustanya. Inilah perilaku yang dicerminkan oleh mayoritas pemilih kita pada saat sekarang.
Kebingungan kita akan bagaimana menentukan nasib Bangsa ini kedepan, sangat bergantung pada siapa yang kita pilih untuk menjadi wakil-wakil kita. Dan akan di jawab ketika kita memilih wakil yang sesuai dengan hati nurani (bukan Partai HANURA) dan mampu menjalankan apa yang menjadi amanat kita semua. Mereka yang menjadi Wakil-wakil kita di parlemen, bukan lagi orang-orang yang pandai dalam menata keadaan masyarakat dan sedikit belajar tentang hal itu. Mungkin saja ketika mereka berada di Parlemen, mereka memakai teori yang mereka terapkan pada kehidupannya sehari-hari yakni dengan kebusukan-kebusukan dan kedustaan-kedustaan belaka, demi untuk mendapatkan uang tanpa melihat lagi nasib rakyat yang memberikan amanah kepada mereka untuk mensejahterakannya.
Kecelakaan besar yang dialami oleh bangsa ini, yakni dengan naiknya para artis Ibukota menduduki kursi suci Dewan, yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat di institusi negara, justeru tampil sebagai aktris yang selalu ingin diliput oleh media, dengan cara mengekspose popularitas tubuh. Sebagaimana ungkapan awal dalam tulisan ini, panggung politik bukan panggung sandiwara sinetron, panggung politik bukan panggung sandiwara lelucon, panggung politik adalah panggung dimana berjubel-berjubel nyawa manusia dipertaruhkan.
Bingkai Relasi Perselingkuhan Kakitiga yang Menghasilkan Anak Haram
Dalam bingkai serta relasi antara DPR, DPF dan DAR, memberikan sebuah gambaran bagi kita terhadap apa yang terjadi di dunia politik yang sedang digeluti oleh manusia yang menyebut dirinya sebagai aktifis politik, toh tidak pernah mampu memberikan konstribusi yang baik bagi masyarakat yang ada di dekatnya.
Kecanduan politik yang dialami oleh beberapa kalangan elit, membuat politik semakin masuk pada ambang kehancuran dan siap untuk menyingkirkan nilai politik yang sesungguhnya, sehingga nilai politik menghilang dari kebenaran dan eksistensinya, hinggap dari panggung politik.
Dalam sebuah bingkai relasi perselingkuhan kaki tiga antar elit institusi negara yang selalu berada dalam alam pengkhianatan dan selalu berada dalam gelimangan amanah yang diamanahi oleh rakyat untuk menata kehidupannya. Selalu melakukan pengkhianatan atas apa yang telah diamanahi oleh rakyat tersebut.
Relasi perselingkuhan yang begitu kuat yang dilakukan oleh hampir seluruh elit politik kita sekarang cukup membuat kita ‘gila’ untuk memikirkannya. Perselingkuhan tanpa batas yang mereka lakukan adalah sebuah pengkhianatan yang nyata yang selalu mereka cerminkan dalam setiap kehidupannya.
Dalam perselingkuhan segitiga yang dilakukan oleh DPR, DPF dan DAR telah banyak menghasilkan anak-anak haram perngkhianatan dan anak haram realitas kehidupan, sehingga muncul yang namanya serangga-serangga baru yang hanya bisa menghisap dan menghabiskan madu yang dihasilkan oleh lebah.
Perselingkuhan yang dilakukan oleh elit gigantis sekarang cukup membuat telinga dan mata kita bernanah ketika mendengar dan melihatnya, mereka telah melakukan perngkhianatan tanpa akhir kepada masyarakat yang hanya memikirkan kebaikan mereka, tanpa memikirkan sisi keburukan dan melihat apa yang sebenarnya mereka lakukan diatas kebijakan-kebijakan ‘gila’ yang mereka lakukan.
Banyak sisi keburukan yang diciptakan dengan adanya perselingkuhan tanpa batas yang dilakukan oleh segitiga pengkhianat.
Hadirnya Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, hanya sebagai bentuk absurd yang tidak jelas dalam sebuah tatanan kehidupan sebuah Negara yang sedang dalam proses transisi. Hadirnya lembaga-lembaga ini hanya menghabiskan anggaran Negara dan menambah beban biaya bagi negeri ini, mereka tidak pernah menjadi memberikan yang terbaik bagi terciptanya Negara yang lebih baik.
KY, DPD, MK, dan SATGAS Pemberantasan Mafia Hukum, hadir sebagai bentuk yang semakin membuat prosesi hukum negeri ini dan sistem kelembagaan negeri ini semakin jauh dari kejelasan. Kerja professional yang mereka sebut, bukanlah professional, tapi inprofesional. Mereka tidak pernah menetralisir pengkhianatan yang terjadi dalam institusi Negara, justeru mereka tampil sebagai katalisator yang akan selalu siap untuk melegitimasi semua pengkhianatan itu.
Lembaga-lembaga Negara yang saya sebut di atas, lebih baik dibubarkan saja, karena hanya menghabiskan anggaran Negara dan menambah beban utang luar negeri bangsa ini.


[1]. Adalah Ketua DPD Sulsel Ormas Masyarakat Pencinta Polri (MPP)- Indonesia, Ketua DPD Sulawesi Selatan Lembaga Swadaya Masyarakat Pemantau Kinerja Aparatur Negara (LSM - PENJARA) (2010-1012), Pendiri DPD Nusa Tenggara Barat LSM - PENJARA beserta Cabang-cabang dibawahnya, Pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Jurdi Institut, Direktur Program pada Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)- Indonesia, Aktifis pada Lembaga Swadaya Masyarakat Dewan Rakyat Pemantau Sengketa (LSM-DERAS)- Jakarta, Dewan Penasehat pada Aliansi Mahasiswa dan Kepemudaan Indonesia (ALIANSINDO) Bima, aktifis HMI dan IMM Kom. Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, mantan Aktifis Iqra Club (IC) Kab. Bima, Aktifis Gabungan Rakyat Daerah (GARDA) Kota Makassar dan kota Bima. Pendiri sekaligus ketua Umum Forum Intelektual Muda Bima (2009-2014), Penggagas gerakan Jalan kaki di kabupaten dan kota Bima. Sedang aktif menulis berbagai Karya tulis Ilmiah, Jurnal dan juga berbagai Artikel. Buku-buku yang ditulis antaranya, Ideologi dan Konstelasi Politik Islam Indonesia (2010), Ilmu Politik: Suatu Pengantar (Buku Pegangan Kuliah Anak-Anak Fisipol) (Resist Book, 2011), Political Islamic: Pengantar Kepemikiran Politik Islam (Naskah Siap Terbit), Sejarah Politik Indonesia Modern: Dari Orla, Orba, Reformasi Sampai Pasca-Reformasi hingga Sekarang (naskah siap terbit), Mahasiswa Vis A Vis Negara; Refleksi Pengalaman Masa Lalu dan Relasinya Dengan Masa Kini (Naskah Siap Terbit), Mahkamah Konstitusi dan Penguatan Demokrasi di Indonesia; Sebuah Analisis Terhadap Beberapa Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi RI (naskah siap terbit), Politik Islam Dalam Gonjang-Ganjing Politik Indonesia; Studi Analisis Terhadap Perkembangan Politik Islam Indonesia (naskah siap terbit), Pengkhianat Politik; Relasi antara Pengkhianat dengan yang Dikhianati (Naskah sedang digarap). dapat dihubungi di Email: Jurdifatahullah@rocketmail.com, Hp: 081338769613. Banyak mendirikan organisasi bayangan.

2 komentar:

  1. itulah yang membuat negeri ini semakiin hari, semakin mengalami kemunduran. sebab konstitusi yang dibuat, selalu dibarengi dengan hasrat, nafsu dan keinginan mereka yang berkuasa. terima kasih sudah mengunjungi blog saya. semoga bermanfaat.

    BalasHapus