MEMAHAMI MAHASISWA DAN GERAKANNYA;
ANTARA KENYATAAN DAN UTOPIA
Mahasiswa sering menjadi bahan utama dalam topik apapun
yang ingin dibicarakan, sehingga mengkaji tentang eksistensi dan keberadaan
mahasiswa sangat sukar untuk kita bicarakan.
Dalam memahami mahasiswa dan seluruh rangkaian
gerakannya, kita akan mengambil benang penghubung antara kenyataan dan utopia
atau euforia yang tengah melanda alam pikiran mahasiswa.
Mahasiswa yang memiliki tiga dimensi dalam mengambil
patokan antara ada dan tidak adanya relasi gerakan sosial. Ketiga dimensi
mahasiswa yang menjadi patokan kita dalam menghukumi sukses atau tidaknya
kinerja seorang mahasiswa adalah. Pertama, mahasiswa sebagai Agent of Change, sebagai agent of change mahasiswa harus mampu
menampilkan dirinya dalam konteks sosial sebagai pembawa perubahan, sebab
perubahan itu ada yang murni dan ada yang buatan, perubahan (suksesi atau
pergantian) murni adalah perubahan yang sunnatullah
yang memang sudah ditetapkan oleh Allah SWT, sedang perubahan buatan adalah
perubahan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, sebab Allah SWT telah berfirman
dalam Al-Qur’an, yang artinya ”tidak akan
Aku rubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan merubahnya
sendiri”, ini adalah ayat yang sangat valid untuk perubahan itu.
Kedua, mahasiswa
sebagai Social of Control, sebagai social of control mahasiswa diharapkan
harus mampu tampil sebagai pengontrol kehidupan sosial dalam masyarakat,
sehingga apa yang diterjemahkan dalam kehidupan itu mampu mereka sampaikan
dengan sebenarnya kepada masyarakat, dan mereka tidak seharusnya tampil sebagai
pembajak teks-teks suci yang diberikan. Pengontrol sosial adalah tugas yang
amat besar dan amat sulit yang diemban oleh seorang mahasiswa, karena dia
diharapkan harus mampu memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Tapi, dalam
realitas kehidupan sehari-hari, mahasiswa justeru menampilkan sifat yang sangat
jauh dari sifatnya sebagai pengontrol, karena pengontrol yang dia emban sudah
dipakai untuk mengakal-akali masyarakat dan inilah sifat pengkhianat
sebagaimana yang dibongkar oleh Emile Zola dalam ”Manifestes des Intellectuall”, yang dia tulis ketika ada di Paris
dan menjadi pegangan khusus hampir semua mahasiswa dan intelektual dunia untuk
membedakan intelektual dengan yang bukan intelektual. Tapi, begitu juga dengan
apa yang dibongkar oleh Julien Benda dalam ”La
Trahison Dess Cleerss”, yang memberikan pembedaan khusus antara pengkhianat
dengan yang bukan pengkhianat dan lebih khususnya dia kaji dalam konteks
keintelektualan. Selanjutnya Antonio Gramsci dalam ”Selection of Prison Notebooks”, yang membedakan antar bentuk dan
kategori intelektual (intelektual Organik dan intelektual Akademis) yang lahir,
sehingga antara intelektual dengan yang buka intelektual akan mampu dibedakan.
Ketiga,
mahasiswa sebagai Moral Force,
sebagai moral force mahasiswa
diharapkan tampil sebagai gerakan moral yang akan menyampaikan amanah dan
jeritan rakyat kepada elit penguasa, supaya janji dan berjuta harapan yang
mereka ejewantahkan melalui kerongkongannya disampaikan ke objeknya.
Ada
juga yang menambahkan moral of politics,
dimana seorang mahasiswa diharapkan tampil sebagai gerakan moral dalam pentas
politik yang mampu memberikan konstribusi yang baik bagi kehidupan suatu
bangsa, sehingga apapun yang mereka harapkan dalam pentas politik selalu
dimenfestasikan dalam bentuk hati nuraninya.
Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Clemenceau[1]
dengan istilah “Les Intellectuels” dan dipakai secara luas di Prancis
pada 1898 sebagai resonansi dari “Manifesto Intelektual” (Manifeste
Des Intellectuel) yang dibangkitkan oleh “Kasus Dreyfus”. Pada 1896,
Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis dituduh
telah melakukan spionase dan dicopot pangkatnya oleh sebuah pengadilan militer
dan dihukum penjara seumur hidup. Sebagai protes atas kesewenang-wenangan
keputusan pengadilan itu, Emile Zola, seorang novelis populer yang terkenal,
menerbitkan sebuah surat terbuka di halaman muka sebuah koran kecil terbit di
Paris, yangn menuduh para anggota dinas ketentaraan Prancis telah merekayasa
bukti, memanipulasi, dan menutup-nutupi fakta-fakta kasus tersebut. Surat
itulah yang kemudian dikenal dengan “Manifeste Des Intellectuels”
(Manifesto Para Intelektual).
Pada
tahap-tahap awal kemunculannya, intelektual menunjuk pada sebuah kelompok
dengan misi yang diproklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah nurani bersama
atas persoalan-persoalan politik yang mendasar. Namun, dalam perkembangan
berikutnya, definis-definisi dari intelektual menjadi berlimpah dan beragam.
“Setiap definisi yang mereka ajukan”, kata Zygmunt Bauman, “Sesungguhnya
Merupakan sebuah upaya untuk menarik garis batas identitasnya masing-masing.
Setiap batasan membelah wilayah menjadi dua sisi: disini dan disana, di dalam
dan di luar, kita dan mereka”. Menurut pendapat Eyerman, dari beragam definisi
tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kategori. Yang pertama, definisi
yang menginterpretasikan intelektual dalam kerangka karakteristik-karakteristik
personal, seperti “seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus
bermain” atau mereka “yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya”
juga mengikuti dan mengembangkan definisi semacam ini. Yang kedua, definisi
yang mengaitkan istilah tersebut dengan suatu struktur dan fungsi sosial
tertentu. Definisi seperti ini, dapat diajukan, misalnya seperti yang diajukan
oleh Seymour Martin Lipset yang mendefinisikan para intelektual sebagai orang
“yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankan kebudayaan”.
Dalam
kajian yang panjang dan melelahkan, beberapa kajian yang mencakup tentang apa
dan bagaimana peran yang harus dimainkan oleh mahasiswa selama ia menjadi
mahasiswa, antaranya sebagaimana yang telah disebutkan diatas, yakni ketiga
dimensinya (agent of change, social of
control and moral force).
Mahasiswa
dan intelektual, tidak bisa dipisahkan, sehingga apapun yang berhubungan dengan
mahasiswa selalu dikaitkan dengan intelektual, karena mahasiswa disebut juga
dengan masyarakat intelek yang selalu mengedepankan rasio berpikir ilmiah dan
rasio berpikir rasional dan bisa diterima oleh masyarakat.
Dalam
bagian tulisan ini, akan diuraikan dengan lebih jelas mengenai apa yang tengah
dihadapi oleh mahasiswa dan seluruh aktifitasnya dalam menghadapi dan memantau
kinerja dan perilaku para elit penguasa. Disini diusahakan menampilkan sisi
kritisnya pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa adalah satu ikon
yang akan menjadi penentu baik dan buruknya masa depan suatu bangsa, apalagi
bangsa Indonesia yang sedang menghadapi masa transisi.
Bangsa
selalu menafikan dirinya dalam setiap ideologi yang diyakininya dan setiap
keyakinan yang diyakininya, selalu saja dikhianati. Pertanyaannya, Lantas berhasilkah Bangsa Indonesia, yang katanya
Negara Pancasilais, religius dan menjujung tinggi nilai-nilai kearifan lokal
ini, menemukenali kekhasan dan keunikan pembangunannya menuju kemajuan.
Koentjaraningrat menguraikan hal yang demikian melalui bukunya “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan”
(1974) dia mengidentifikasi karakter kebudayaan dan mentalitet pembangunan “orang-orang
Indonesia”, sebagai orang yang. Munafik, licik, suka sikut kanan-kiri, dan tidak
memiliki komitmen. Intinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu munafik
terhadap apa yang sudah diyakini sebagai ideologi yang akan dianut.
Ekonomi Pancasila, yang
dipopulerkan oleh almarhum Mubaryanto, Guru Besar Ekonomi UGM Yogyakarta.
Berhenti pada tataran kajian, ekonomi kerakyatan sekedar slogan dan retorika.
Ekonomi Islam yang dikembangkan oleh banyak ekonom-ekonom muda Indonesia
seperti M. Chatib Bisri dan lainnya, seakan tanpa signifikasi dan ruang memadai
dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sosialisme tak memiliki tempat.
Kapitalisme malu-malu tapi mau. Jadilah Indonesia sebagai Negara yang tanpa
ideologi dalam pembangunannya. Tidak ada ideologi yang dipegang teguh.
Jadi, ideologi adalah masalah
pokok pembangunan ekonomi Indonesia. Seperti yang disampaikan Koentjaraningrat,
orang Indonesia tidak pernah berkomitmen kuat terhadap ideologi yang diyakini,
ideologi hanya sebatas alat propoganda untuk mencapai kepentingan pribadi dan
kelompok. Politik Ekonomi Indonesia, melalui Undang-undang ekonomi yang
dirancang dan disetujui oleh DPR cermin dari tidak ada ideologi. Padahal, para
politisi tersebut selalu mendeklarasikan diri sebagai kelompok politik yang
berpegang teguh terhadap ideologi, Islam dan nasionalis misalnya. Namun,
undang-undang yang lahir dari para politisi tersebut sama sekali, kontradiktif
dengan ideologi yang mereka usung. Undang-undang tentang pertambangan
misalnya, jelas menggadaikan sumber daya alam Indonesia kepada Negara
luar.
Kemunafikan seakan menjadi biasa.
Hampir semua politisi dan birokrat mulai tingkat pusat sampai daerah adalah ”etalase
kemunafikan” Indonesia. Diatas podium teriak Syariat Islam, atau nasionalisme
dan NKRI. Di belakang, menggadaikan Negara. Seolah mengajarkan moral, namun
menjadi penggiat dan pelaku utama dari korupsi dan koncoisme. Iman dan Taqwa
slogan indah, sering digunakan oleh banyak Pemda di Indonesia. Namun, operasionalisasi
pembangunan justru jauh dari slogan bahkan ironisnya justru bertentangan. Tak
ada harmonisasi pikir (tought) dengan gerak (action), atau Aqidah
(tauhid) dengan ibadah (prilaku).
Dengan melihat apa yang tengah terjadi dengan bangsa
ini, maka mahasiswa diharapkan hadir sebagai penyadar akan adanya kemunafikan
kita terhadap ideologi yang kita anut. Bangsa ini harus keluar dari
kekungkungan pola pikir, yang selalu memikirkan bagaimana cara proses penjualan
yang tidak terlalu rumit dan memakan waktu banyak. Sehingga apa yang mau dijual
akan sangat laku ketika ditawarkan, meski harganya tidak sesuai dengan nilai
yang dijual.
Mahasiswa akan memiliki peran yang sangat signifikan
dalam proses perbaikan kehidupan bangsa ini, sehingga menjadi bangsa yang besar
dan akan disegani oleh seluruh dunia, sebab mahasiswa adalah penentu baik dan
buruknya masa depan suatu bangsa. Sebagaimana yang sering diistilahkan oleh
hampir semua aktifis dan pakar yakni sebagai generasi masa depan yang akan
menjadi penentu masa depan suatu bangsa. Indonesia akan lebih baik, jika
mahasiswa dan seluruh generasi mudanya baik dan memiliki intelektualitas yang
memadai dan tidak mengkhianati keintelektualitasan yang dimilikinya, sehingga
apa yang mereka ejewantahkan melalui mulutnya akan selalu mampu mereka
realisasikan dengan baik.
Di mata penduduk dunia, bangsa Indonesia adalah bangsa
yang amat besar dan akan menjadi sangat ditakuti jika mampu mengelolah sumber
daya alamnya dan sumber daya manusianya dengan mandiri dan berani. Kebesaran
dan kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia akan menjadi angan-angan apabila
mahasiswa dan seluruh generasi muda yang hidup dalam lingkup wilayah bangsa
Indonesia tidak memiliki integritas dan kejujuran serta kemampuan pribadi dalam
mengelolah semua apa yang menjadi persoalan bangsa mampu diselesaikan secara
mandiri. Sebagaimana yang di ilhami dalam teks proklamasi.
obsolutely, mantep banget wacana politiknya??? riwayat organisasi nya mgkin itu yang bikin u become a great person.lanjut, n terus berkarya... yakusa
BalasHapus