Rabu, 16 November 2011

MEMAHAMI MAHASISWA DAN GERAKANNYA; ANTARA KENYATAAN DAN UTOPIA



MEMAHAMI MAHASISWA DAN GERAKANNYA; ANTARA KENYATAAN DAN UTOPIA

Mahasiswa sering menjadi bahan utama dalam topik apapun yang ingin dibicarakan, sehingga mengkaji tentang eksistensi dan keberadaan mahasiswa sangat sukar untuk kita bicarakan.
Dalam memahami mahasiswa dan seluruh rangkaian gerakannya, kita akan mengambil benang penghubung antara kenyataan dan utopia atau euforia yang tengah melanda alam pikiran mahasiswa.
Mahasiswa yang memiliki tiga dimensi dalam mengambil patokan antara ada dan tidak adanya relasi gerakan sosial. Ketiga dimensi mahasiswa yang menjadi patokan kita dalam menghukumi sukses atau tidaknya kinerja seorang mahasiswa adalah. Pertama, mahasiswa sebagai Agent of Change, sebagai agent of change mahasiswa harus mampu menampilkan dirinya dalam konteks sosial sebagai pembawa perubahan, sebab perubahan itu ada yang murni dan ada yang buatan, perubahan (suksesi atau pergantian) murni adalah perubahan yang sunnatullah yang memang sudah ditetapkan oleh Allah SWT, sedang perubahan buatan adalah perubahan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, sebab Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an, yang artinya ”tidak akan Aku rubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan merubahnya sendiri”, ini adalah ayat yang sangat valid untuk perubahan itu.
Kedua, mahasiswa sebagai Social of Control, sebagai social of control mahasiswa diharapkan harus mampu tampil sebagai pengontrol kehidupan sosial dalam masyarakat, sehingga apa yang diterjemahkan dalam kehidupan itu mampu mereka sampaikan dengan sebenarnya kepada masyarakat, dan mereka tidak seharusnya tampil sebagai pembajak teks-teks suci yang diberikan. Pengontrol sosial adalah tugas yang amat besar dan amat sulit yang diemban oleh seorang mahasiswa, karena dia diharapkan harus mampu memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Tapi, dalam realitas kehidupan sehari-hari, mahasiswa justeru menampilkan sifat yang sangat jauh dari sifatnya sebagai pengontrol, karena pengontrol yang dia emban sudah dipakai untuk mengakal-akali masyarakat dan inilah sifat pengkhianat sebagaimana yang dibongkar oleh Emile Zola dalam ”Manifestes des Intellectuall”, yang dia tulis ketika ada di Paris dan menjadi pegangan khusus hampir semua mahasiswa dan intelektual dunia untuk membedakan intelektual dengan yang bukan intelektual. Tapi, begitu juga dengan apa yang dibongkar oleh Julien Benda dalam ”La Trahison Dess Cleerss”, yang memberikan pembedaan khusus antara pengkhianat dengan yang bukan pengkhianat dan lebih khususnya dia kaji dalam konteks keintelektualan. Selanjutnya Antonio Gramsci dalam ”Selection of Prison Notebooks”, yang membedakan antar bentuk dan kategori intelektual (intelektual Organik dan intelektual Akademis) yang lahir, sehingga antara intelektual dengan yang buka intelektual akan mampu dibedakan.
Ketiga, mahasiswa sebagai Moral Force, sebagai moral force mahasiswa diharapkan tampil sebagai gerakan moral yang akan menyampaikan amanah dan jeritan rakyat kepada elit penguasa, supaya janji dan berjuta harapan yang mereka ejewantahkan melalui kerongkongannya disampaikan ke objeknya.
Ada juga yang menambahkan moral of politics, dimana seorang mahasiswa diharapkan tampil sebagai gerakan moral dalam pentas politik yang mampu memberikan konstribusi yang baik bagi kehidupan suatu bangsa, sehingga apapun yang mereka harapkan dalam pentas politik selalu dimenfestasikan dalam bentuk hati nuraninya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Clemenceau[1] dengan istilah “Les Intellectuels” dan dipakai secara luas di Prancis pada 1898 sebagai resonansi dari “Manifesto Intelektual” (Manifeste Des Intellectuel) yang dibangkitkan oleh “Kasus Dreyfus”. Pada 1896, Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukan spionase dan dicopot pangkatnya oleh sebuah pengadilan militer dan dihukum penjara seumur hidup. Sebagai protes atas kesewenang-wenangan keputusan pengadilan itu, Emile Zola, seorang novelis populer yang terkenal, menerbitkan sebuah surat terbuka di halaman muka sebuah koran kecil terbit di Paris, yangn menuduh para anggota dinas ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti, memanipulasi, dan menutup-nutupi fakta-fakta kasus tersebut. Surat itulah yang kemudian dikenal dengan “Manifeste Des Intellectuels” (Manifesto Para Intelektual). 
Pada tahap-tahap awal kemunculannya, intelektual menunjuk pada sebuah kelompok dengan misi yang diproklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah nurani bersama atas persoalan-persoalan politik yang mendasar. Namun, dalam perkembangan berikutnya, definis-definisi dari intelektual menjadi berlimpah dan beragam. “Setiap definisi yang mereka ajukan”, kata Zygmunt Bauman, “Sesungguhnya Merupakan sebuah upaya untuk menarik garis batas identitasnya masing-masing. Setiap batasan membelah wilayah menjadi dua sisi: disini dan disana, di dalam dan di luar, kita dan mereka”. Menurut pendapat Eyerman, dari beragam definisi tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kategori. Yang pertama, definisi yang menginterpretasikan intelektual dalam kerangka karakteristik-karakteristik personal, seperti “seorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain” atau mereka “yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya” juga mengikuti dan mengembangkan definisi semacam ini. Yang kedua, definisi yang mengaitkan istilah tersebut dengan suatu struktur dan fungsi sosial tertentu. Definisi seperti ini, dapat diajukan, misalnya seperti yang diajukan oleh Seymour Martin Lipset yang mendefinisikan para intelektual sebagai orang “yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankan kebudayaan”.
Dalam kajian yang panjang dan melelahkan, beberapa kajian yang mencakup tentang apa dan bagaimana peran yang harus dimainkan oleh mahasiswa selama ia menjadi mahasiswa, antaranya sebagaimana yang telah disebutkan diatas, yakni ketiga dimensinya (agent of change, social of control and moral force).
Mahasiswa dan intelektual, tidak bisa dipisahkan, sehingga apapun yang berhubungan dengan mahasiswa selalu dikaitkan dengan intelektual, karena mahasiswa disebut juga dengan masyarakat intelek yang selalu mengedepankan rasio berpikir ilmiah dan rasio berpikir rasional dan bisa diterima oleh masyarakat.
Dalam bagian tulisan ini, akan diuraikan dengan lebih jelas mengenai apa yang tengah dihadapi oleh mahasiswa dan seluruh aktifitasnya dalam menghadapi dan memantau kinerja dan perilaku para elit penguasa. Disini diusahakan menampilkan sisi kritisnya pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa adalah satu ikon yang akan menjadi penentu baik dan buruknya masa depan suatu bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang sedang menghadapi masa transisi.
Bangsa selalu menafikan dirinya dalam setiap ideologi yang diyakininya dan setiap keyakinan yang diyakininya, selalu saja dikhianati. Pertanyaannya, Lantas berhasilkah Bangsa Indonesia, yang katanya Negara Pancasilais, religius dan menjujung tinggi nilai-nilai kearifan lokal ini, menemukenali kekhasan dan keunikan pembangunannya menuju kemajuan. Koentjaraningrat menguraikan hal yang demikian melalui bukunya “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan” (1974) dia mengidentifikasi karakter kebudayaan dan mentalitet pembangunan “orang-orang Indonesia”, sebagai orang yang. Munafik, licik, suka sikut kanan-kiri, dan tidak memiliki komitmen. Intinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu munafik terhadap apa yang sudah diyakini sebagai ideologi yang akan dianut.
Ekonomi Pancasila, yang dipopulerkan oleh almarhum Mubaryanto, Guru Besar Ekonomi UGM Yogyakarta. Berhenti pada tataran kajian, ekonomi kerakyatan sekedar slogan dan retorika. Ekonomi Islam yang dikembangkan oleh banyak ekonom-ekonom muda Indonesia seperti M. Chatib Bisri dan lainnya, seakan tanpa signifikasi dan ruang memadai dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sosialisme tak memiliki tempat. Kapitalisme malu-malu tapi mau. Jadilah Indonesia sebagai Negara yang tanpa ideologi dalam pembangunannya. Tidak ada ideologi yang dipegang teguh.
Jadi, ideologi adalah masalah pokok pembangunan ekonomi Indonesia. Seperti yang disampaikan Koentjaraningrat, orang Indonesia tidak pernah berkomitmen kuat terhadap ideologi yang diyakini, ideologi hanya sebatas alat propoganda untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok. Politik Ekonomi Indonesia, melalui Undang-undang ekonomi yang dirancang dan disetujui oleh DPR cermin dari tidak ada ideologi. Padahal, para politisi tersebut selalu mendeklarasikan diri sebagai kelompok politik yang berpegang teguh terhadap ideologi, Islam dan nasionalis misalnya. Namun, undang-undang yang lahir dari para politisi tersebut sama sekali, kontradiktif dengan ideologi yang mereka usung. Undang-undang tentang pertambangan misalnya,  jelas menggadaikan sumber daya alam Indonesia kepada Negara luar.
Kemunafikan seakan menjadi biasa. Hampir semua politisi dan birokrat mulai tingkat pusat sampai daerah adalah ”etalase kemunafikan” Indonesia. Diatas podium teriak Syariat Islam, atau nasionalisme dan NKRI. Di belakang, menggadaikan Negara. Seolah mengajarkan moral, namun menjadi penggiat dan pelaku utama dari korupsi dan koncoisme. Iman dan Taqwa slogan indah, sering digunakan oleh banyak Pemda di Indonesia. Namun, operasionalisasi pembangunan justru jauh dari slogan bahkan ironisnya justru bertentangan. Tak ada harmonisasi pikir (tought) dengan gerak (action), atau Aqidah (tauhid) dengan ibadah (prilaku).  
Dengan melihat apa yang tengah terjadi dengan bangsa ini, maka mahasiswa diharapkan hadir sebagai penyadar akan adanya kemunafikan kita terhadap ideologi yang kita anut. Bangsa ini harus keluar dari kekungkungan pola pikir, yang selalu memikirkan bagaimana cara proses penjualan yang tidak terlalu rumit dan memakan waktu banyak. Sehingga apa yang mau dijual akan sangat laku ketika ditawarkan, meski harganya tidak sesuai dengan nilai yang dijual.
Mahasiswa akan memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses perbaikan kehidupan bangsa ini, sehingga menjadi bangsa yang besar dan akan disegani oleh seluruh dunia, sebab mahasiswa adalah penentu baik dan buruknya masa depan suatu bangsa. Sebagaimana yang sering diistilahkan oleh hampir semua aktifis dan pakar yakni sebagai generasi masa depan yang akan menjadi penentu masa depan suatu bangsa. Indonesia akan lebih baik, jika mahasiswa dan seluruh generasi mudanya baik dan memiliki intelektualitas yang memadai dan tidak mengkhianati keintelektualitasan yang dimilikinya, sehingga apa yang mereka ejewantahkan melalui mulutnya akan selalu mampu mereka realisasikan dengan baik.
Di mata penduduk dunia, bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat besar dan akan menjadi sangat ditakuti jika mampu mengelolah sumber daya alamnya dan sumber daya manusianya dengan mandiri dan berani. Kebesaran dan kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia akan menjadi angan-angan apabila mahasiswa dan seluruh generasi muda yang hidup dalam lingkup wilayah bangsa Indonesia tidak memiliki integritas dan kejujuran serta kemampuan pribadi dalam mengelolah semua apa yang menjadi persoalan bangsa mampu diselesaikan secara mandiri. Sebagaimana yang di ilhami dalam teks proklamasi.


[1] Orang pertama yang memperkenalkan istilah Intelektual.

1 komentar:

  1. obsolutely, mantep banget wacana politiknya??? riwayat organisasi nya mgkin itu yang bikin u become a great person.lanjut, n terus berkarya... yakusa

    BalasHapus