ABDUL KAHAR MUZAKIR
Saudara Ketua Jth,
Assalamu alaikum.
Didalan sub Komisi I
dari Komisi I kami telah persoalkan tentang tempat untuk merumuskan Dasar
Negara. Hal ini sudah termasuk dalam laporan Komisi I jang baru kita dengar
bersama-sama tadi malam. Kami mengharapkan ketetapan mengenai hal tempat itu
dari Rapat Lengkap Panitia Persiapan Konstitusi dengan maksud semata-mata
supaja memudahkan kita bekerdja.
Pertumbuhan keadaan
kemudian membawa kita kepada suatu rapat Panitia Musjawarah, dimana diputuskan,
untuk menunda pemandangan umum mengenai laporan Komisi I itu sampai satu
minggu, dengan disertai harapan akan muntjulnja rumusan-rumusan tentang Mukaddimah
dan/atau pasal dimana akan diletakkan Dasar Negara itu. Keputusan ini
disetudjui oleh rapat lengkap panitia persiapan konstitusi.
Walaupun prosedurnja
sedikit berlainan dengan apa jang kami kehendaki, namun dengan pertumbuhan itu,
maksud mendapatkan ketetapan itu telah tertjapai.
Waktu memberi
komentar tentang kesimpulan jang dikemukakan oleh Ketua Sub Komisi I mengenai
hasil perundingan Sub Komisi tersebut, kami telah kemukakan dapat menerima
kesimpulan itu dengan tjatatan, djika kemudian menjadi keputusan bahwa tempat
merumuskan Dasar Negara itu ialah Mukaddimah dan/atau sesuatu pasal, supaja
kepada kami diberikan kesempatan untuk mengadjukan rantjangan rumusan itu.
Sampailah saatnja sekarang untuk kami menjampaikan apa jang pernah didjandjikan
itu.
Didalam hubungan ini,
perlu terlebih dahulu dikemukakan, bahwa tidak boleh dilupakan muntjulnja, atas
usul fraksi-fraksi Islam, suatu Kelompok Musjawarah selama pertumbuhan
pembahasan Dasar Negara dua tahun ini didalam Konstituante. Dengan saling
mengemukakan pertanjaan-pertanjaan antara para pendukung masing-masing konsepsi
mengenai konsep Dasar Negara, tumbuhlah saling pengertian jang memberikan
harapan. Sajang sekali, kelangsungan tjara bekerdja jang demikian itu terpotong
ditengah jalan, sedang pihak pendukung Islam sebagai dasar Negara, masih tetap
bersedia untuk memberikan jawaban-jawaban terhadap setiap pertanjaan jang akan
diadjukan kepadanja.
Sebaliknja, sajang
sekali sampai saat terpotongnja kelangsungan tjara bekerdja Kelompok Musjawarah
itu, belum terasa dijawab oleh para pendukung-pendukung pantjasila maupun
pendukung sosial ekomonie, beberapa pertanjaan fundamenteel dari Golongan
Islam.
Didorong oleh
keinginan baik untuk mempertjepat rumusan-rumusan jang bertalian dengan Dasar
Negara, oleh pihak-pihak diluar golongan Islam telah dikemukakan pada taraf Komisi
sekarang ini, dalam panitia persiapan Konstitusi, perumusan-perumusan jang
menurut penderian kami agak mengabaikan apa jang sudah dirintis dalam Kelompok Musjawarah.
Mungkin ini adalah akibat perobahan tjara bekerdja jang baru sadja diputuskan
oleh Rapat Lengkap Konstituante.
Untuk djangan
menimbulkan kesan, seolah-olah kami hendak mengundur-ngundur perumusan mengenai
dasar negara, kami ikuti pertumbuhan melalui rapat Panitia Musjawarah jang
diuraikan diatas tadi.
Tadi, kami katakan
bahwa sudah sampai waktunja kami keluar dengan perumusan kami. Baik rasanja
kami ulang disini pendapat jang pernah dikemukakan oleh Masjumi, bahwa
hendaknja dasar negara itu diletakkan bukan sadja didalam Mukaddimah, tetapi
djuga didalam sesuatu Bab atau pasal. Sedang pasal-pasal jang lain harus
didjiwai oleh dasar Negara itu. Selandjutnja mungkin akibat terbawa oleh
pertumbuhan jang diuraikan tadi, akan dirasakan oleh pihak lain seolah-olah
djuga perumusan kami itu meninggalkan apa jang telah tertjapai dalam kelompok
Musjawarah.
Untuk mengurangi
perasaan jang demikian itu, maka disamping rumusan rantjangan Mukaddimah jang
pendek dan rumusan pasal, disertakan pula suatu pendjelasan dari rantjangan Mukaddimah
itu sendiri. Berturut-turut akan kami batjakan rantjangan Mukaddimah serta
pendjelasannja dan rantjangan pasal tentang Dasar Negara.
MUKODDIMAH
Dengan Nama Allah
Pengasih Penjajang.
Bahwa, kami bangsa
Indonesia dengan berchidmat penuh kepada Allah Maha Kuasa, berketetapan hati
untuk menjusun Indonesia sebagai Republik Islam jang berdaulat.
Bahwa, dengan
memelihara kesatupaduan, kami bangsa Indonesia menegakkan Negara hukum, jang
mendjamin terlaksananja keadilan dan kemakmuran bagi rakjatnja dan mendjundjung
tinggi azas kemanusiaan dalam pergaulan bangsa-bangsa kesemuanja sesuai dengan
keluhuran adjaran-adjaran Islam.
Demi ini, kami bangsa
Indonesia menerima, menetapkan dan menghibahkan kepada kami sendiri
Undang-Undang Dasar ini, pada hari.............tanggal..........dalam Sidang
Konstituante kami.
PENDJELASAN
1. Mukaddimah
ini disusun dengan pengertian bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka dan
berdaulat dan tidak dengan pengertian bahwa bangsa Indonesia baru melepaskan
diri dari pendjadjahan dan perlu diantar kedepan pintu gerbang kemerdekaan.
2. Dipergunakan
Istilah “berchidmat penuh kepada Allah jang Maha Kuasa” karena diperoleh kesan
bahwa selama bermusjawarah hingga sekarang ini tidak ada jang menolak
pengertian itu. Selandjutnja kata-kata itu menundjukkan, bahwa manusia didalam
segala sepak-terdjangnja tidak dapat lepas dari kekuasaan Allah, sehingga
didalam ketatanegaraan pokok pangkal kedaulatan rakjat ialah kedaulatan Ilahi.
3. Banjak
Negara merumuskan sifat Negaranja sebagai suatu Republik Demokratis jang Berdaulat.
Dipergunakannja istilah “Republik
Islam jang berdaulat” karena didalam permusjawaratan selama ini telah diberikan
keterangan bahwa sifat Islam itu sudah terkandung djaminan-djaminan ;
a. Bahwa
tiap-tiap penduduk mempunjai hak untuk memeluk dan beribadat menurut agamanja
masing-masing.
b. Bahwa
kemanusiaan jang adil dan beradab akan terlaksana. Hal ini dipertegas sekali
lagi didalam bahagian ke II Mukaddimah ini mengenai “azas kemanusiaan dalam
pergaulan bangsa-bangsa sesuai dengan keluhuran adjaran-adjaran agama Islam”.
“Azas kemanusiaan dalam
pergaulan bangsa-bangsa” dengan sendirinja menolak pendjadjahan.
c. Bahwa
Musjawarah (unsur pokok demokrasi) mendjadi sendi bagi tiap-tiap penjelesaian
persoalan, sehingga dengan demikian terdjaminlah azas kerakjatan. –
d. Bahwa
keadilan jang meliputi segala bidang kehidupan bernegara akan ditegakkan, djadi
bukan keadilan sosial sadja.
e. Bahwa
kebangsaan jang sehat akan terpelihara. Selandjutnja dipergunakannja
istilah-istilah “kami bangsa Indonesia” dan “pergaulan bangsa-bangsa” mempertegas
adanja pengakuan kebangsaan didalam Islam.
Ketjuali jang tersebut
diatas telah diterangkan pula bahwa Islam mendjamin djuga segala
nilai-nilai jang mendjadi sjarat
terwujudnja pergaulan hidup jang beradab untuk Ummat manusia.
4. Sebaliknja
tanja-djawab dalam kelompok Musjawarah selama ini memberi kesan bahwa Dasar Pantja
Sila tidak tjukup mendjamin berlakunja Sjariat Islam.
5. Bagian
kedua Mukaddimah ini memberikan penegasan tentang kehidupan bernegara kedalam
dan keluar. Sedang bagian ketiga merupakan formula jang lazim dipergunakan
dalam banjak Undang-undang Dasar.
Adapun rantjangan pasal
mengenai Dasar Negara, maka sebagai berikut:
Negara disusun atas Dasar Islam.
Demikianlah, saudara Ketua
jang terhormat, sumbangan pikiran Fraksi Masjumi mengenai perumusan Dasar
Negara, disamping sumbangan lain dalam Undang-undang Dasar.
Terima kasih.
PIDATO SAUDARA PROF. KAHAR
MUZAKKIR
DALAM PEMANDANGAN UMUM TANGGAL 11-5-1959 (SIANG)
TENTANG USUL PEMERINTAH
Bismillahir Rachmanir Rahim,
Saudara Ketua jang Terjormat,
Sidang Konstituante jang Mulia,
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Madjelis
Konstituante pada saat menghadapi masa jang kritis sedjak diadakannja. Keadaan
jang kritis itu timbulnja dari pada tindakan pemerintah jang dengan tidak
diminta lebih dulu oleh Konstituante sendiri, telah memberikan bahan-bahan
Konstitutionil, seperti jang telah diadjukannja, jalah keputusan Kabinet tertanggal
19 Februari 1959. Keputusan mana telah diadjukan kepada Madjelis Konstituante pada
tgl. 22 April 1959 oleh P.J.M. Presiden, sebagai andjuran jang sedang kita
bitjarakan bersama sekarang ini.
Andjuran
Presiden dan Pemerintah itulah jang telah menimbulkan perdebatan dan
perselisihan baru diantara anggota-anggota dan fraksi-fraksi di Konstituante
ini.
Madjelis
Konstituante, hingga 18 Februari 1959 jang lalu sesungguhnja, tidak mengalami
perselisihan, pertentangan dan perbantahan-perbantahan jang telah digambarkan
oleh orang-orang dan dari luar Gedung ini, dengan gambaran-gambaran jang penuh
dengan imagination jang hebat. Seolah-olah dalam Madjelis ini akan timbul suatu
clash jang besar. Imagination (gambaran) jang sedemikian itu sebenarnja tidak
pernah digambarkan oleh pimpinan dan anggota-anggota Konstituante sendiri. Kita
masih ingat benar, bahwa pada achir sidang P.P.K. jang lalu itu, kami
anggota-anggota P.P.K. semuanja merasa penuh gembira, sebab telah dapat
menjelesaikan tugas kami menjelenggarakan bahan-bahan jang sangat berharga
untuk rapat-rapat sidang Pleno sekarang ini.
Benar,
kami tahu bahwa beberapa menteri dapat persesuaian paham diantara para anggota Madjelis
ini. Disamping itu sudahlah banjak pokok-pokok fikiran jang telah mentjapai
persetudjuan kita bersama.
Soal-soal
itu, baikpun hal dasar Negara maupun azas-azasnja, ataupun pokok-pokok fikiran
lainnja menurut kejakinan kami, masih ada kesempatan terbuka untuk
dimusjawaratkan lagi dengan djiwa dan semangat persaudaraan.
Sekali
lagi kami jakin akan tertjapainja penjelesaian jang baik bagi semua fihak dan
golongan, ialah suatu penjelesaian jang luhur, jang akan membawa bangsa dan
negara kita kepada keadilan dan kemakmuran. Madjelis Konstituante sesudah
sidang P.P.K. jang lalu (18 Februari 1959 telah berharapan penuh akan madju
lagi, dengan penjelesaian-penjelesaian baru jang menggembirakan sebenarnja.
Saja
kata demikian ini berdasar atas kejakinan kami, dari fraksi-fraksi Islam jang
senantiasa mengharapkan Taufiq dan Hidajah dari Allah s.w.t. Harapan itu bukanlah harapan jang hampa belaka. Sebab adjaran
Agama Islam senantiasa memberikan pedoman hidup kepada pemeluknja, dengan tidak
boleh berputus asa. Berachirlah sidang P.P.K. pada tanggal 18 Februari jang
lalu.
Akan
tetapi, kami sesudah itu sesungguhnja telah merasa kaget dan heran sekali,
sebab pada esok harinja, jaitu tgl. 19 Februari, pemerintah telah mengeluarkan
putusannja dan memadjukan bahan-bahan baru kepada Madjelis kita ini, jaitu
supaja kita menerima sadja Konstitusi tahun 1945, dalam rangka pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin. Saja mempunjai pengalaman pada biasanja bahwa ketua
Konstituante kita Mr. Wilopo itu adalah seorang jang besar dalam perasaannja.
Pada hari penutupan P.P.K. (tgl.18-2-1959) jang lalu, saja perhatikan dari
kata-kata penutupan sidang P.P.K. hari itu, dengan djelas beliau mengatakan
bahwa Konstituante sudah dapat menjelesaikan 90% dari tugasnja.
Pada
saat itu, saja lihat ketua kita itu, ibarat seorang nachoda sesuatu kapalnja,
tidak pernah memberikan atau membajangkan apa-apa jang mungkin dapat
membahajakan bagi penumpang-penumpangnja.
Dan
tidak ada alasan untuk menganggap bahwa ada sesautu jang perlu dirahasiakan.
Tiba-tiba pada tgl. 21 Februari, pemerintah telah menjampaikan keputusannja.
Lepas daripada setudju atau tidak andjuran pemerintah itu, saja rasa bahwa
andjuran pemerintah itu sedikit-sedikitnja akan menghilangkan atau
mensia-siakan kerja kita selama dua tahun setengah itu. Pada kebiasaan bangsa
Indonesia, kalau terjadji sesuatu peristiwa jang demikian itu, terang dan
djelaslah menjinggung perasaan dan kehormatan. Dalam sedjarah bangsa kita
dahulu, keadaan seperti ini dapat mematahkan hati orang.
Sidang jang Mulia.
Pemerintah
dengan andjuran itu menggunakan alasan pasal 134 dari UUD tahun 1950, dimana
pemerintah dan Konstituante bersama-sama menjelenggarakn Undang-undang Dasar
Negara. Pada sekitar persoalan kata-kata, “bersama-sama” itu, dahulu telah
ramai dibitjarakan orang dalam Madjelis ini. Ada orang jang sangat gigih
berpendapat, bahwa Madjelis ini adalah instansi rakjat jang tertinggi
kedudukannja. Djadi pemerintah harus menerima apa jang diputuskan oleh Madjelis
ini. Ada pula jang menghendaki djanganlah kata-kata “bersama” itu dipergunakan
sebagaimana pemerintah militer Djepang mempergunakannja terhadap bangsa
Indonesia, ketika mereka menduduki tanah air kita. Sebab perkataan “bersama-sama”,
menurut politik Djepang itu, telah terkenal tjurangnja. Saja tidak berpendapat,
bahwa dua pemerintah (Djepang dan Indonesia) itu satu daripada jang lain telah
tiru-meniru.
Sidang jang Mulia.
Bagaimana
judga, kini kita telah dihadapkan dengan andjuran pemerintah. Memanglah benar
apa jang biasa dikatakan orang, bahwa “politik itu bisa membikin sesuatu pun
menurut barang kehendak jang membikinnja itu sendiri”.
Pemerintah
Djuanda sekarang ini berpolitik demikian, saja belum jakin kalau politik
pemerintah jang sedemikian itu mengakibatkan sebaliknja dalam masjarakat dan sedjarah
nanti. Pemerintah jang bidjaksana bukanlah suatu pemerintah jang hanja
mengandalkan kekuasaan dan kekuatannja sadja. Banjaklah dalam sedjarah
pemerintah-pemerintah jang kuat, tetapi achirnja menemui keruntuhannja judga.
Saja tidak hadjat menjebutkan misal-misalnja. Berbuatlah orang kalau hendak
menunjukkan kekuatannja. Semua orang akan bertanggung djawab atas perbuatannja
sendiri.
Sidang jang Mulia.
Alasan-alasan
pemerintah dalam memadjukan andjuran itu, sudah diberi djawaban oleh
rekan-rekan kami dari Masjumi. Saudara-saudara Prawoto, Ibu S. Mangunpuspito,
Dachlan Lukman dan Al-Ustadz HAMKA. Disini saja tidak hendak mengulangi
uraian-uraian itu, kini dengan sentimen telah mengolok-mengolok. Tetapi
pemerintah Djuanda, saja pandang dapat menimbang-menimbang perkara dengan mana
kebidjaksanaan dan tidak akan terbawa oleh arus-arus sentimen alasan sadja.
Ada satu alasan
pemerintah, telah dibantah oleh Sekretaris Djenderal Partai N.U. Saudara K.H.
Saifuddin Zuhri, jaitu jang mengenai diakuinja Piagam Djakarta jang hanja
sebagai Piagam jang bersedjarah sadja. Oleh beliau diterangkan bahwa fungsi
Umat Islam itu hanja sebagai salah satu factor keamanan dalam potensi Nasional sadja.
Memang Umat Islam telah diberi hiburan dengan diakuinja Piagam tsb., tanpa
dasar hukum UUD 1945 sama sekali N.U. dengan terang-terangan mendesak, agar
supaja Piagam Djakarta itu diterima, bukan sadja sebagai dokumen jang
bersedjarah, akan tetapi hendaknja berlaku sebagai sumber pengambilan hukum
untuk Umat Islam, warga Negara Republik Indonesia. Dalam pada ini, memang
hanjalah tiap orang Islam sadja jang dapat merasakan hadjat dan kebutuhannja
kepada sumber perundang-undangan dalam UUD. Negara Republik Indonesia, jang
berdasar daripada Sjari’ah Islamijah.
Banjaklah orang-orang
jang mengaku beragama Islam, akan tetapi tidak merasa hadjat kepada hukum-hukum
Islam. Jang sedemikian itu sebenarnja adalah suatu kepintjangan, sebab tidak
berta’at kepada hukum-hukum Agama jang dipeluknja. Berpandangan dan kejakinan,
bahwa Agama itu hanjalah Iman dan Ibadah sadja, tidaklah dapat dibenarkan sama
sekali. Sebab Islam berlainan dengan lain-lain Agama, adalah meliputi Iman,
Ibadah, Achlaq, Adjaran-adjaran, Idologi, Negara dan hukum. Saja mengharapkan
bahwa saudara-saudara jang berkuasa dewasa ini dalam Negara dan Pemerintah,
memeluk Agama Islam, kiranja dapat pula mengikuti faham Agama jang sebenar-benarnja.
Djanganlah mereka itu
berorientasi setjara ilmiah asing sadja. Kalau demikian mereka itu akan keliru
dalam konsepsinja, dan achirnya menimbulkan kemenjesalan di dunia dan achirat.
Sidang jang mulia.
Dalam pidato saja
pada tanggal 27 Nopember 1957, ketika kita membitjarakan Dasar Negara, telah
saja uraikan serba ringkas tentang sedjarah Piagam Djakarta, jang kini
ditimbulkan kembali setelah ditjoret-tjoret dan dihapus dari Mukaddimah dan
rentjana UUD 1945 jaitu pada tanggal 18 Agustus 1945. Akan tetapi sajang seribu
sajang, bahwa piagam Djakarta ditimbulkan kembali bukan untuk didjadikan dasar
hukum dalam Undang-Undang Dasar 1945 akan tetapi hanjalah sebagai hiburan
kepada perasaan Umat Islam di Indonesia sadja. Umat Islam telah menjesal dan
patah-hati sedjak tanggal 18 Agustus 1945 itu.
Kalau pemerintah
sekarang mengatakan, bahwa Undang-undang Dasar 1945 itu hanjalah jang disjahkan
pada tanggal 18 Agustus 1945, saja hendak menanja “dari manakah pemerintah
mengambil rentjana Undang-undang Dasar 1945 itu” ? Bukankah rentjana U.U.D. itu
diambil dari apa jang telah diperbuat oleh Badan Penjelidik Bahan-Bahan
Kemerdekaan pada Juli 1945 ? Rantjangan itu adalah berdasar atas pidato Bung
Karno pada 1 Juni 1945 dan Piagam Djakarta tanggal 22 Juni 1945. Saja ingin
mendapat keterangan pemerintah, kalau ada jang lain daripada itu. Saja jakin
tidak akan lain daripada itu. Andaikata, Undang-undang Dasar jang dimadjukan
pemerintah itu Undang-undang Dasar hasil daripada Piagam Djakarta, jang masih
ada naskah aslinja dalam arsip sebagian dari Anggota-anggota Badan Penjeledik
Bahan-bahan Kemerdekaan, ja’ni naskah rantjangan Undang-undang Dasar dengan
Mukaddimahnja sebelum ditjoret-tjoret itu yang masih ada pada arsip jang
mempunjainja. Andaikata itu, nistjaja mungkin dapatlah kini dipertimbangkan
oleh Madjelis Konstituante sekarang ini. Akan tetapi, Undang-undang Dasar 1945
jang dimadjukan dalam Sidang Konstituante, sekarang ini adalah Undang-undang
Dasar jang telah ditjoret-tjoret dan dihapuskan segala sesuatu jang dapat
menarik hati rakjat Islam jang bukan hanja mendjadi warga Negara R.I. sadja,
tetapi telah ikut mengambil bagian utama dalam mempertahankan Proklamasi 17
Agustus 1945.
Saudara Ketua jang Terhormat.
Sukakah pemerintah
jang memimpin Negara kita sekarang ini mendengar lagi djeritan-djeritan
penderitaan rakjat Islam di Indonesia ? Djeritan almarhum Ki Bagus Hadikusumo,
Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadijah pada masa itu. Djeritan mana telah dinjatakan
dimuka Madjelis Tanwir dari Konsul-konsul Muhammadijah diseluruh Indonesia pada
bulan Agustus 1945 di Jogjakarta. Almarhum telah menjatakan bahwa pasal-pasal
jang mengenai Islam dan Umat Islam telah dihapuskan dan dilenjapkan dari
Undang-undang Dasar 1945. Maka oleh karenanja, sebenarnja Umat Islam Indonesia
masih tetap didjadjah ! ! ! “
Demikianlah
pernjataan almarhum Ki Bagus Hadikusumo dimuka Pimpinan-pimpinan Muhammadijah
pada tahun itu. Pernjataan itu telah diterima dengan kesedihan hati dan
kemenjesalan jang tak berputus-putus hingga sekarang ini. Sebenarnja, bukanlah
Umat Islam jang bernaung didalam persjarikatan Muhammadijah sadja, jang berperasaan
sedih jang sedemikian itu, akan tetapi tiap-tiap orang Islam jang sadar dan
ber-Iman kepada Agamanja, pasti merasakan kepedihan hati, seperti perasaan Ki
Bagus Hadikusumo Pemimpin besar Muhammadijah itu sendiri.
Sukakah pemerintah
pada masa sekarang ini akan diingatkan kembali dan dihadapkan dengan
perasaan-perasaan jang sama itu ? Kalau demikian, saja rasa Umat Islam pada
masa sekarang ini untuk kedua kalinja akan merasa ketjewa dan pedih pula
seperti perasaan mereka 14 tahun jang lalu.
Perasaan jang lama
belum dapat dipulihkan, kini akan mendapatkan luka sekali lagi. Apakah
Pemerintah tidak lagi menghadjatkan simpati dan sokongan dari Umat Islam
Indonesia ? Silahkan berbuat, kalau memang tidak butuh.
Saudara Ketua jang Terhormat.
Barangkali ada
fihak-fihak jang tidak senang mendengar pernjataan-pernjataan seperti diatas
itu. Akan tetapi Umat Islam sebelum datangnja pendjadjahan Asing adakah telah
mempunjai Negara-negara Islam di Indonesia. Datangnja pendjadjahan asing telah
menghapuskan Negara-negara dan dasar-dasar Negara-negara mereka itu sedjarah Nasional
kita telah membuktikan bahwa perlawanan-perlawanan Nasional itu adalah timbul
dan didorong oleh djiwa dan semangat Islam. Sebenarnja, saja tidak ingin
menerangkan uraian sedjarah jang sedemikian ini. Akan tetapi oleh karena saja
belum dapat menginsjafi benar mengapakah suatu Pemerintah Nasional dari Negara
Nasional, jang dipimpin oleh sebagian besar dari kaum Musjlimin, masih berani
memadjukan usul-usul jang bertentangan dengan falsafat hidupnja Umat Islam di
Indonensia. Dahulu, pemerintah Pendjadjahan masih mengindahkan
pertimbangan-pertimbangan dan nasihat-nasihat dari Advisuer Voor Inlandsche
Zaken. Akan tetapi mengapakah Kabinet Djuanda tidak mengindahkan dan menganggap
sepi sadja perasaan Umat Islam sedemikian itu ?
Saudara Ketua jang Terhormat.
Untuk memilih antara :
meneruskan serta mentjari penjelesaian tugas Madjelis Konstituante dan memilih
kembali Undang-undang Dasar 1945 adalah disana merupakan suatu andjuran jang
tidak wadjar. Sebab Undang-undang Dasar 1945 itu adalah tidak terdapat sumber
hukum-hukum Islam, sebagaimana jang terkandung seluruhnja dalam Sjari’at
Islamijah.
Kalau Umat Islam pada
tahun 1945 terpaksa menerima Undang-undang Dasar 1945, itu oleh karena Bung
Karno pada tanggal 18 Agustus 1945, telah mendjandjikan kepada wakil-wakil Umat
Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan, bahwa dikemudian hari selekas,
mungkin mereka akan dapat menjempurnakan Undang-undang Dasar sesuai dengan
tjita-tjita Umat Islam. Djandji beliau itu dipegang teguh dan ditagih kini oleh
Umat Islam. Oleh karena itu, di Madjelis Konstituante fraksi-fraksi Islam telah
membuat rumusan-rumusan jang sesuai dengan falsafat kehidupan mereka.
Rumusan-rumusan itu
tidak akan membikin kerugian pada lain-lain golongan semua Warganegara kita.
Bahan-bahan dari fraksi-fraksi Islam itu sebenarnja telah menjalurkan apa jang
terkandung dalam Piagam Djakarta. Jaitu rumusan-rumusan dasar dan asas-asas
dasar Negara, sosial dan kebudajaan, executif dan judikatif. Pada Piagam Djakarta,
Islam hanjalah terkandung dalam Mukaddimah dan bidang executif sadja. Dalam
Konstituante sekarang ini, sjariah Islam itu telah dapat diperintjikan dengan
terang dan djelas. Rumusan-rumusan fraksi Islam itu memberikan pelaksanaan bagi
Sjari’at Islam dan dapat mendjadi sendi-sendi jang kokoh untuk Bangsa dan Negara
kita.
Saudara Ketua jang Terhormat.
Saja mengharap dengan
sungguh-sungguh hati kiranja Pemerintah dapat mempertimbangkan lagi usul
kembali ke Undang-undang Dasar 1945 itu.
Saja rasa djiwa dan
semangat tahun 1945 itu masih hidup segar pada djiwa Umat Islam Indonesia. Umat
Islam tetap mendjadi pandu jang setia kepada kemerdekaan Negara. Umat Islam
tetap mempertahankan kemerdekaan dengan djiwa dan semangat revolusi 1945.
Saudara Ketua jang Terhormat.
Biarkanlah Madjelis
Konstituante ini melangsungkan tugasnja, hingga dapat menjelenggarakan suatu
Undang-undang Dasar jang dapat turut dipertanggungdjawabkan dari segi Islam.
Biarkanlah
fraksi-fraksi di Konstituante ini bermusjawarat, berunding dan mentjapai
kesimpulan-kesimpulan jang memuaskan bagi segala fihak dengan tiada sesuatu
keketjewaan.
Pemerintah Djuanda
jang dipimpin oleh seorang Negarawan jang diharapkan akan bersimpati kepada
Agama Islam akan berdjasalah apabila dapat memberikan kesempatan kepada
Konstituante ini dengan djiwa dan tjita-tjita Umat Islam.
Akan tetapi, kalau
djuga akan memaksakan, tidak boleh tidak harus kembali ke Undang-undang Dasar
1945, maka saja chawatir tindakan serupa itu akan menimbulkan rasa keketjewaan
bagian terbesar dari pada warganegara Indonesia, ialah keketjewaan Umat Islam.
Dapatkan saja
mengharapkan dari paduka Jang Mulia Presiden, Pemerintah Djuanda dan K.S.A.D.
Djenderal A.H. Nasution akan adanja djasa untuk rakjat Islam Indonesia ?
“Maka berikanlah
kegembiraan, wahai Muhammad, kepada hamba-hamba kami jang mendengarkan sesuatu
nasehat, maka lantas dapat menerima dan
mengikuti sebaik-baik nasehat itu”.
Sangat membantu, kalau boleh tau ini diambil dari sumber mana? Butuh referensi nya. Terimakasih
BalasHapus