Selasa, 12 November 2013

PIDATO PROF. ABDUL KAHAR MUZAKIR



ABDUL KAHAR MUZAKIR


Saudara Ketua Jth,
Assalamu alaikum.

Didalan sub Komisi I dari Komisi I kami telah persoalkan tentang tempat untuk merumuskan Dasar Negara. Hal ini sudah termasuk dalam laporan Komisi I jang baru kita dengar bersama-sama tadi malam. Kami mengharapkan ketetapan mengenai hal tempat itu dari Rapat Lengkap Panitia Persiapan Konstitusi dengan maksud semata-mata supaja memudahkan kita bekerdja.
Pertumbuhan keadaan kemudian membawa kita kepada suatu rapat Panitia Musjawarah, dimana diputuskan, untuk menunda pemandangan umum mengenai laporan Komisi I itu sampai satu minggu, dengan disertai harapan akan muntjulnja rumusan-rumusan tentang Mukaddimah dan/atau pasal dimana akan diletakkan Dasar Negara itu. Keputusan ini disetudjui oleh rapat lengkap panitia persiapan konstitusi.
Walaupun prosedurnja sedikit berlainan dengan apa jang kami kehendaki, namun dengan pertumbuhan itu, maksud mendapatkan ketetapan itu telah tertjapai.
Waktu memberi komentar tentang kesimpulan jang dikemukakan oleh Ketua Sub Komisi I mengenai hasil perundingan Sub Komisi tersebut, kami telah kemukakan dapat menerima kesimpulan itu dengan tjatatan, djika kemudian menjadi keputusan bahwa tempat merumuskan Dasar Negara itu ialah Mukaddimah dan/atau sesuatu pasal, supaja kepada kami diberikan kesempatan untuk mengadjukan rantjangan rumusan itu. Sampailah saatnja sekarang untuk kami menjampaikan apa jang pernah didjandjikan itu.
Didalam hubungan ini, perlu terlebih dahulu dikemukakan, bahwa tidak boleh dilupakan muntjulnja, atas usul fraksi-fraksi Islam, suatu Kelompok Musjawarah selama pertumbuhan pembahasan Dasar Negara dua tahun ini didalam Konstituante. Dengan saling mengemukakan pertanjaan-pertanjaan antara para pendukung masing-masing konsepsi mengenai konsep Dasar Negara, tumbuhlah saling pengertian jang memberikan harapan. Sajang sekali, kelangsungan tjara bekerdja jang demikian itu terpotong ditengah jalan, sedang pihak pendukung Islam sebagai dasar Negara, masih tetap bersedia untuk memberikan jawaban-jawaban terhadap setiap pertanjaan jang akan diadjukan kepadanja.
Sebaliknja, sajang sekali sampai saat terpotongnja kelangsungan tjara bekerdja Kelompok Musjawarah itu, belum terasa dijawab oleh para pendukung-pendukung pantjasila maupun pendukung sosial ekomonie, beberapa pertanjaan fundamenteel dari Golongan Islam.
Didorong oleh keinginan baik untuk mempertjepat rumusan-rumusan jang bertalian dengan Dasar Negara, oleh pihak-pihak diluar golongan Islam telah dikemukakan pada taraf Komisi sekarang ini, dalam panitia persiapan Konstitusi, perumusan-perumusan jang menurut penderian kami agak mengabaikan apa jang sudah dirintis dalam Kelompok Musjawarah. Mungkin ini adalah akibat perobahan tjara bekerdja jang baru sadja diputuskan oleh Rapat Lengkap Konstituante.
Untuk djangan menimbulkan kesan, seolah-olah kami hendak mengundur-ngundur perumusan mengenai dasar negara, kami ikuti pertumbuhan melalui rapat Panitia Musjawarah jang diuraikan diatas tadi.
Tadi, kami katakan bahwa sudah sampai waktunja kami keluar dengan perumusan kami. Baik rasanja kami ulang disini pendapat jang pernah dikemukakan oleh Masjumi, bahwa hendaknja dasar negara itu diletakkan bukan sadja didalam Mukaddimah, tetapi djuga didalam sesuatu Bab atau pasal. Sedang pasal-pasal jang lain harus didjiwai oleh dasar Negara itu. Selandjutnja mungkin akibat terbawa oleh pertumbuhan jang diuraikan tadi, akan dirasakan oleh pihak lain seolah-olah djuga perumusan kami itu meninggalkan apa jang telah tertjapai dalam kelompok Musjawarah.
Untuk mengurangi perasaan jang demikian itu, maka disamping rumusan rantjangan Mukaddimah jang pendek dan rumusan pasal, disertakan pula suatu pendjelasan dari rantjangan Mukaddimah itu sendiri. Berturut-turut akan kami batjakan rantjangan Mukaddimah serta pendjelasannja dan rantjangan pasal tentang Dasar Negara.



MUKODDIMAH

Dengan Nama Allah Pengasih Penjajang.

Bahwa, kami bangsa Indonesia dengan berchidmat penuh kepada Allah Maha Kuasa, berketetapan hati untuk menjusun Indonesia sebagai Republik Islam jang berdaulat.
Bahwa, dengan memelihara kesatupaduan, kami bangsa Indonesia menegakkan Negara hukum, jang mendjamin terlaksananja keadilan dan kemakmuran bagi rakjatnja dan mendjundjung tinggi azas kemanusiaan dalam pergaulan bangsa-bangsa kesemuanja sesuai dengan keluhuran adjaran-adjaran Islam.
Demi ini, kami bangsa Indonesia menerima, menetapkan dan menghibahkan kepada kami sendiri Undang-Undang Dasar ini, pada hari.............tanggal..........dalam Sidang Konstituante kami.








PENDJELASAN

1.     Mukaddimah ini disusun dengan pengertian bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka dan berdaulat dan tidak dengan pengertian bahwa bangsa Indonesia baru melepaskan diri dari pendjadjahan dan perlu diantar kedepan pintu gerbang kemerdekaan.
2.     Dipergunakan Istilah “berchidmat penuh kepada Allah jang Maha Kuasa” karena diperoleh kesan bahwa selama bermusjawarah hingga sekarang ini tidak ada jang menolak pengertian itu. Selandjutnja kata-kata itu menundjukkan, bahwa manusia didalam segala sepak-terdjangnja tidak dapat lepas dari kekuasaan Allah, sehingga didalam ketatanegaraan pokok pangkal kedaulatan rakjat ialah kedaulatan Ilahi.
3.     Banjak Negara merumuskan sifat Negaranja sebagai suatu Republik Demokratis jang Berdaulat.
Dipergunakannja istilah “Republik Islam jang berdaulat” karena didalam permusjawaratan selama ini telah diberikan keterangan bahwa sifat Islam itu sudah terkandung djaminan-djaminan ;
a.  Bahwa tiap-tiap penduduk mempunjai hak untuk memeluk dan beribadat menurut agamanja masing-masing.
b.  Bahwa kemanusiaan jang adil dan beradab akan terlaksana. Hal ini dipertegas sekali lagi didalam bahagian ke II Mukaddimah ini mengenai “azas kemanusiaan dalam pergaulan bangsa-bangsa sesuai dengan keluhuran adjaran-adjaran agama Islam”.
“Azas kemanusiaan dalam pergaulan bangsa-bangsa” dengan sendirinja menolak pendjadjahan.
c.   Bahwa Musjawarah (unsur pokok demokrasi) mendjadi sendi bagi tiap-tiap penjelesaian persoalan, sehingga dengan demikian terdjaminlah azas kerakjatan. –
d.  Bahwa keadilan jang meliputi segala bidang kehidupan bernegara akan ditegakkan, djadi bukan keadilan sosial sadja.
e.  Bahwa kebangsaan jang sehat akan terpelihara. Selandjutnja dipergunakannja istilah-istilah “kami bangsa Indonesia” dan “pergaulan bangsa-bangsa” mempertegas adanja pengakuan kebangsaan didalam Islam.
Ketjuali jang tersebut diatas telah diterangkan pula bahwa Islam mendjamin djuga segala nilai-nilai  jang mendjadi sjarat terwujudnja pergaulan hidup jang beradab untuk Ummat manusia.
4.     Sebaliknja tanja-djawab dalam kelompok Musjawarah selama ini memberi kesan bahwa Dasar Pantja Sila tidak tjukup mendjamin berlakunja Sjariat Islam.
5.     Bagian kedua Mukaddimah ini memberikan penegasan tentang kehidupan bernegara kedalam dan keluar. Sedang bagian ketiga merupakan formula jang lazim dipergunakan dalam banjak Undang-undang Dasar.
Adapun rantjangan pasal mengenai Dasar Negara, maka sebagai berikut:
Negara disusun atas Dasar Islam.
Demikianlah, saudara Ketua jang terhormat, sumbangan pikiran Fraksi Masjumi mengenai perumusan Dasar Negara, disamping sumbangan lain dalam Undang-undang Dasar.
Terima kasih.





PIDATO SAUDARA PROF. KAHAR MUZAKKIR
DALAM PEMANDANGAN UMUM  TANGGAL 11-5-1959 (SIANG)
TENTANG USUL PEMERINTAH


Bismillahir Rachmanir Rahim,
Saudara Ketua jang Terjormat,
Sidang Konstituante jang Mulia,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Madjelis Konstituante pada saat menghadapi masa jang kritis sedjak diadakannja. Keadaan jang kritis itu timbulnja dari pada tindakan pemerintah jang dengan tidak diminta lebih dulu oleh Konstituante sendiri, telah memberikan bahan-bahan Konstitutionil, seperti jang telah diadjukannja, jalah keputusan Kabinet tertanggal 19 Februari 1959. Keputusan mana telah diadjukan kepada Madjelis Konstituante pada tgl. 22 April 1959 oleh P.J.M. Presiden, sebagai andjuran jang sedang kita bitjarakan bersama sekarang ini.
Andjuran Presiden dan Pemerintah itulah jang telah menimbulkan perdebatan dan perselisihan baru diantara anggota-anggota dan fraksi-fraksi di Konstituante ini.
Madjelis Konstituante, hingga 18 Februari 1959 jang lalu sesungguhnja, tidak mengalami perselisihan, pertentangan dan perbantahan-perbantahan jang telah digambarkan oleh orang-orang dan dari luar Gedung ini, dengan gambaran-gambaran jang penuh dengan imagination jang hebat. Seolah-olah dalam Madjelis ini akan timbul suatu clash jang besar. Imagination (gambaran) jang sedemikian itu sebenarnja tidak pernah digambarkan oleh pimpinan dan anggota-anggota Konstituante sendiri. Kita masih ingat benar, bahwa pada achir sidang P.P.K. jang lalu itu, kami anggota-anggota P.P.K. semuanja merasa penuh gembira, sebab telah dapat menjelesaikan tugas kami menjelenggarakan bahan-bahan jang sangat berharga untuk rapat-rapat sidang Pleno sekarang ini.
Benar, kami tahu bahwa beberapa menteri dapat persesuaian paham diantara para anggota Madjelis ini. Disamping itu sudahlah banjak pokok-pokok fikiran jang telah mentjapai persetudjuan kita bersama.
Soal-soal itu, baikpun hal dasar Negara maupun azas-azasnja, ataupun pokok-pokok fikiran lainnja menurut kejakinan kami, masih ada kesempatan terbuka untuk dimusjawaratkan lagi dengan djiwa dan semangat persaudaraan.
Sekali lagi kami jakin akan tertjapainja penjelesaian jang baik bagi semua fihak dan golongan, ialah suatu penjelesaian jang luhur, jang akan membawa bangsa dan negara kita kepada keadilan dan kemakmuran. Madjelis Konstituante sesudah sidang P.P.K. jang lalu (18 Februari 1959 telah berharapan penuh akan madju lagi, dengan penjelesaian-penjelesaian baru jang menggembirakan sebenarnja.
Saja kata demikian ini berdasar atas kejakinan kami, dari fraksi-fraksi Islam jang senantiasa mengharapkan Taufiq dan Hidajah dari Allah s.w.t. Harapan itu  bukanlah harapan jang hampa belaka. Sebab adjaran Agama Islam senantiasa memberikan pedoman hidup kepada pemeluknja, dengan tidak boleh berputus asa. Berachirlah sidang P.P.K. pada tanggal 18 Februari jang lalu.
Akan tetapi, kami sesudah itu sesungguhnja telah merasa kaget dan heran sekali, sebab pada esok harinja, jaitu tgl. 19 Februari, pemerintah telah mengeluarkan putusannja dan memadjukan bahan-bahan baru kepada Madjelis kita ini, jaitu supaja kita menerima sadja Konstitusi tahun 1945, dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Saja mempunjai pengalaman pada biasanja bahwa ketua Konstituante kita Mr. Wilopo itu adalah seorang jang besar dalam perasaannja. Pada hari penutupan P.P.K. (tgl.18-2-1959) jang lalu, saja perhatikan dari kata-kata penutupan sidang P.P.K. hari itu, dengan djelas beliau mengatakan bahwa Konstituante sudah dapat menjelesaikan 90% dari tugasnja.
Pada saat itu, saja lihat ketua kita itu, ibarat seorang nachoda sesuatu kapalnja, tidak pernah memberikan atau membajangkan apa-apa jang mungkin dapat membahajakan bagi penumpang-penumpangnja.
Dan tidak ada alasan untuk menganggap bahwa ada sesautu jang perlu dirahasiakan. Tiba-tiba pada tgl. 21 Februari, pemerintah telah menjampaikan keputusannja. Lepas daripada setudju atau tidak andjuran pemerintah itu, saja rasa bahwa andjuran pemerintah itu sedikit-sedikitnja akan menghilangkan atau mensia-siakan kerja kita selama dua tahun setengah itu. Pada kebiasaan bangsa Indonesia, kalau terjadji sesuatu peristiwa jang demikian itu, terang dan djelaslah menjinggung perasaan dan kehormatan. Dalam sedjarah bangsa kita dahulu, keadaan seperti ini dapat mematahkan hati orang.

Sidang jang Mulia.
Pemerintah dengan andjuran itu menggunakan alasan pasal 134 dari UUD tahun 1950, dimana pemerintah dan Konstituante bersama-sama menjelenggarakn Undang-undang Dasar Negara. Pada sekitar persoalan kata-kata, “bersama-sama” itu, dahulu telah ramai dibitjarakan orang dalam Madjelis ini. Ada orang jang sangat gigih berpendapat, bahwa Madjelis ini adalah instansi rakjat jang tertinggi kedudukannja. Djadi pemerintah harus menerima apa jang diputuskan oleh Madjelis ini. Ada pula jang menghendaki djanganlah kata-kata “bersama” itu dipergunakan sebagaimana pemerintah militer Djepang mempergunakannja terhadap bangsa Indonesia, ketika mereka menduduki tanah air kita. Sebab perkataan “bersama-sama”, menurut politik Djepang itu, telah terkenal tjurangnja. Saja tidak berpendapat, bahwa dua pemerintah (Djepang dan Indonesia) itu satu daripada jang lain telah tiru-meniru.

Sidang jang Mulia.
Bagaimana judga, kini kita telah dihadapkan dengan andjuran pemerintah. Memanglah benar apa jang biasa dikatakan orang, bahwa “politik itu bisa membikin sesuatu pun menurut barang kehendak jang membikinnja itu sendiri”.
Pemerintah Djuanda sekarang ini berpolitik demikian, saja belum jakin kalau politik pemerintah jang sedemikian itu mengakibatkan sebaliknja dalam masjarakat dan sedjarah nanti. Pemerintah jang bidjaksana bukanlah suatu pemerintah jang hanja mengandalkan kekuasaan dan kekuatannja sadja. Banjaklah dalam sedjarah pemerintah-pemerintah jang kuat, tetapi achirnja menemui keruntuhannja judga. Saja tidak hadjat menjebutkan misal-misalnja. Berbuatlah orang kalau hendak menunjukkan kekuatannja. Semua orang akan bertanggung djawab atas perbuatannja sendiri.

Sidang jang Mulia.
Alasan-alasan pemerintah dalam memadjukan andjuran itu, sudah diberi djawaban oleh rekan-rekan kami dari Masjumi. Saudara-saudara Prawoto, Ibu S. Mangunpuspito, Dachlan Lukman dan Al-Ustadz HAMKA. Disini saja tidak hendak mengulangi uraian-uraian itu, kini dengan sentimen telah mengolok-mengolok. Tetapi pemerintah Djuanda, saja pandang dapat menimbang-menimbang perkara dengan mana kebidjaksanaan dan tidak akan terbawa oleh arus-arus sentimen alasan sadja.
Ada satu alasan pemerintah, telah dibantah oleh Sekretaris Djenderal Partai N.U. Saudara K.H. Saifuddin Zuhri, jaitu jang mengenai diakuinja Piagam Djakarta jang hanja sebagai Piagam jang bersedjarah sadja. Oleh beliau diterangkan bahwa fungsi Umat Islam itu hanja sebagai salah satu factor keamanan dalam potensi Nasional sadja. Memang Umat Islam telah diberi hiburan dengan diakuinja Piagam tsb., tanpa dasar hukum UUD 1945 sama sekali N.U. dengan terang-terangan mendesak, agar supaja Piagam Djakarta itu diterima, bukan sadja sebagai dokumen jang bersedjarah, akan tetapi hendaknja berlaku sebagai sumber pengambilan hukum untuk Umat Islam, warga Negara Republik Indonesia. Dalam pada ini, memang hanjalah tiap orang Islam sadja jang dapat merasakan hadjat dan kebutuhannja kepada sumber perundang-undangan dalam UUD. Negara Republik Indonesia, jang berdasar daripada Sjari’ah Islamijah.
Banjaklah orang-orang jang mengaku beragama Islam, akan tetapi tidak merasa hadjat kepada hukum-hukum Islam. Jang sedemikian itu sebenarnja adalah suatu kepintjangan, sebab tidak berta’at kepada hukum-hukum Agama jang dipeluknja. Berpandangan dan kejakinan, bahwa Agama itu hanjalah Iman dan Ibadah sadja, tidaklah dapat dibenarkan sama sekali. Sebab Islam berlainan dengan lain-lain Agama, adalah meliputi Iman, Ibadah, Achlaq, Adjaran-adjaran, Idologi, Negara dan hukum. Saja mengharapkan bahwa saudara-saudara jang berkuasa dewasa ini dalam Negara dan Pemerintah, memeluk Agama Islam, kiranja dapat pula mengikuti faham Agama jang sebenar-benarnja.
Djanganlah mereka itu berorientasi setjara ilmiah asing sadja. Kalau demikian mereka itu akan keliru dalam konsepsinja, dan achirnya menimbulkan kemenjesalan di dunia dan achirat.

Sidang jang mulia.
Dalam pidato saja pada tanggal 27 Nopember 1957, ketika kita membitjarakan Dasar Negara, telah saja uraikan serba ringkas tentang sedjarah Piagam Djakarta, jang kini ditimbulkan kembali setelah ditjoret-tjoret dan dihapus dari Mukaddimah dan rentjana UUD 1945 jaitu pada tanggal 18 Agustus 1945. Akan tetapi sajang seribu sajang, bahwa piagam Djakarta ditimbulkan kembali bukan untuk didjadikan dasar hukum dalam Undang-Undang Dasar 1945 akan tetapi hanjalah sebagai hiburan kepada perasaan Umat Islam di Indonesia sadja. Umat Islam telah menjesal dan patah-hati sedjak tanggal 18 Agustus 1945 itu.
Kalau pemerintah sekarang mengatakan, bahwa Undang-undang Dasar 1945 itu hanjalah jang disjahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, saja hendak menanja “dari manakah pemerintah mengambil rentjana Undang-undang Dasar 1945 itu” ? Bukankah rentjana U.U.D. itu diambil dari apa jang telah diperbuat oleh Badan Penjelidik Bahan-Bahan Kemerdekaan pada Juli 1945 ? Rantjangan itu adalah berdasar atas pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 dan Piagam Djakarta tanggal 22 Juni 1945. Saja ingin mendapat keterangan pemerintah, kalau ada jang lain daripada itu. Saja jakin tidak akan lain daripada itu. Andaikata, Undang-undang Dasar jang dimadjukan pemerintah itu Undang-undang Dasar hasil daripada Piagam Djakarta, jang masih ada naskah aslinja dalam arsip sebagian dari Anggota-anggota Badan Penjeledik Bahan-bahan Kemerdekaan, ja’ni naskah rantjangan Undang-undang Dasar dengan Mukaddimahnja sebelum ditjoret-tjoret itu yang masih ada pada arsip jang mempunjainja. Andaikata itu, nistjaja mungkin dapatlah kini dipertimbangkan oleh Madjelis Konstituante sekarang ini. Akan tetapi, Undang-undang Dasar 1945 jang dimadjukan dalam Sidang Konstituante, sekarang ini adalah Undang-undang Dasar jang telah ditjoret-tjoret dan dihapuskan segala sesuatu jang dapat menarik hati rakjat Islam jang bukan hanja mendjadi warga Negara R.I. sadja, tetapi telah ikut mengambil bagian utama dalam mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Saudara Ketua jang Terhormat.
Sukakah pemerintah jang memimpin Negara kita sekarang ini mendengar lagi djeritan-djeritan penderitaan rakjat Islam di Indonesia ? Djeritan almarhum Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadijah pada masa itu. Djeritan mana telah dinjatakan dimuka Madjelis Tanwir dari Konsul-konsul Muhammadijah diseluruh Indonesia pada bulan Agustus 1945 di Jogjakarta. Almarhum telah menjatakan bahwa pasal-pasal jang mengenai Islam dan Umat Islam telah dihapuskan dan dilenjapkan dari Undang-undang Dasar 1945. Maka oleh karenanja, sebenarnja Umat Islam Indonesia masih tetap didjadjah ! ! ! “
Demikianlah pernjataan almarhum Ki Bagus Hadikusumo dimuka Pimpinan-pimpinan Muhammadijah pada tahun itu. Pernjataan itu telah diterima dengan kesedihan hati dan kemenjesalan jang tak berputus-putus hingga sekarang ini. Sebenarnja, bukanlah Umat Islam jang bernaung didalam persjarikatan Muhammadijah sadja, jang berperasaan sedih jang sedemikian itu, akan tetapi tiap-tiap orang Islam jang sadar dan ber-Iman kepada Agamanja, pasti merasakan kepedihan hati, seperti perasaan Ki Bagus Hadikusumo Pemimpin besar Muhammadijah itu sendiri.
Sukakah pemerintah pada masa sekarang ini akan diingatkan kembali dan dihadapkan dengan perasaan-perasaan jang sama itu ? Kalau demikian, saja rasa Umat Islam pada masa sekarang ini untuk kedua kalinja akan merasa ketjewa dan pedih pula seperti perasaan mereka 14 tahun jang lalu.
Perasaan jang lama belum dapat dipulihkan, kini akan mendapatkan luka sekali lagi. Apakah Pemerintah tidak lagi menghadjatkan simpati dan sokongan dari Umat Islam Indonesia ? Silahkan berbuat, kalau memang tidak butuh.

Saudara Ketua jang Terhormat.
Barangkali ada fihak-fihak jang tidak senang mendengar pernjataan-pernjataan seperti diatas itu. Akan tetapi Umat Islam sebelum datangnja pendjadjahan Asing adakah telah mempunjai Negara-negara Islam di Indonesia. Datangnja pendjadjahan asing telah menghapuskan Negara-negara dan dasar-dasar Negara-negara mereka itu sedjarah Nasional kita telah membuktikan bahwa perlawanan-perlawanan Nasional itu adalah timbul dan didorong oleh djiwa dan semangat Islam. Sebenarnja, saja tidak ingin menerangkan uraian sedjarah jang sedemikian ini. Akan tetapi oleh karena saja belum dapat menginsjafi benar mengapakah suatu Pemerintah Nasional dari Negara Nasional, jang dipimpin oleh sebagian besar dari kaum Musjlimin, masih berani memadjukan usul-usul jang bertentangan dengan falsafat hidupnja Umat Islam di Indonensia. Dahulu, pemerintah Pendjadjahan masih mengindahkan pertimbangan-pertimbangan dan nasihat-nasihat dari Advisuer Voor Inlandsche Zaken. Akan tetapi mengapakah Kabinet Djuanda tidak mengindahkan dan menganggap sepi sadja perasaan Umat Islam sedemikian itu ?

Saudara Ketua jang Terhormat.
Untuk memilih antara : meneruskan serta mentjari penjelesaian tugas Madjelis Konstituante dan memilih kembali Undang-undang Dasar 1945 adalah disana merupakan suatu andjuran jang tidak wadjar. Sebab Undang-undang Dasar 1945 itu adalah tidak terdapat sumber hukum-hukum Islam, sebagaimana jang terkandung seluruhnja dalam Sjari’at Islamijah.
Kalau Umat Islam pada tahun 1945 terpaksa menerima Undang-undang Dasar 1945, itu oleh karena Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945, telah mendjandjikan kepada wakil-wakil Umat Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan, bahwa dikemudian hari selekas, mungkin mereka akan dapat menjempurnakan Undang-undang Dasar sesuai dengan tjita-tjita Umat Islam. Djandji beliau itu dipegang teguh dan ditagih kini oleh Umat Islam. Oleh karena itu, di Madjelis Konstituante fraksi-fraksi Islam telah membuat rumusan-rumusan jang sesuai dengan falsafat kehidupan mereka.
Rumusan-rumusan itu tidak akan membikin kerugian pada lain-lain golongan semua Warganegara kita. Bahan-bahan dari fraksi-fraksi Islam itu sebenarnja telah menjalurkan apa jang terkandung dalam Piagam Djakarta. Jaitu rumusan-rumusan dasar dan asas-asas dasar Negara, sosial dan kebudajaan, executif dan judikatif. Pada Piagam Djakarta, Islam hanjalah terkandung dalam Mukaddimah dan bidang executif sadja. Dalam Konstituante sekarang ini, sjariah Islam itu telah dapat diperintjikan dengan terang dan djelas. Rumusan-rumusan fraksi Islam itu memberikan pelaksanaan bagi Sjari’at Islam dan dapat mendjadi sendi-sendi jang kokoh untuk Bangsa dan Negara kita.

Saudara Ketua jang Terhormat.
Saja mengharap dengan sungguh-sungguh hati kiranja Pemerintah dapat mempertimbangkan lagi usul kembali ke Undang-undang Dasar 1945 itu.
Saja rasa djiwa dan semangat tahun 1945 itu masih hidup segar pada djiwa Umat Islam Indonesia. Umat Islam tetap mendjadi pandu jang setia kepada kemerdekaan Negara. Umat Islam tetap mempertahankan kemerdekaan dengan djiwa dan semangat revolusi 1945.

Saudara Ketua jang Terhormat.
Biarkanlah Madjelis Konstituante ini melangsungkan tugasnja, hingga dapat menjelenggarakan suatu Undang-undang Dasar jang dapat turut dipertanggungdjawabkan dari segi Islam.
Biarkanlah fraksi-fraksi di Konstituante ini bermusjawarat, berunding dan mentjapai kesimpulan-kesimpulan jang memuaskan bagi segala fihak dengan tiada sesuatu keketjewaan.
Pemerintah Djuanda jang dipimpin oleh seorang Negarawan jang diharapkan akan bersimpati kepada Agama Islam akan berdjasalah apabila dapat memberikan kesempatan kepada Konstituante ini dengan djiwa dan tjita-tjita Umat Islam.
Akan tetapi, kalau djuga akan memaksakan, tidak boleh tidak harus kembali ke Undang-undang Dasar 1945, maka saja chawatir tindakan serupa itu akan menimbulkan rasa keketjewaan bagian terbesar dari pada warganegara Indonesia, ialah keketjewaan Umat Islam.
Dapatkan saja mengharapkan dari paduka Jang Mulia Presiden, Pemerintah Djuanda dan K.S.A.D. Djenderal A.H. Nasution akan adanja djasa untuk rakjat Islam Indonesia ?

“Maka berikanlah kegembiraan, wahai Muhammad, kepada hamba-hamba kami jang mendengarkan sesuatu nasehat, maka lantas dapat menerima dan  mengikuti sebaik-baik nasehat itu”.

1 komentar:

  1. Sangat membantu, kalau boleh tau ini diambil dari sumber mana? Butuh referensi nya. Terimakasih

    BalasHapus